𝐃𝐞𝐦𝐢 𝐀𝐥𝐚𝐬𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐬𝐞𝐡𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐄𝐩𝐢𝐬𝐨𝐝𝐞 𝟏𝟒

 


 Pagi harinya sekitar jam setengah enam aku terbangun. Ayah mertuaku masih pulas terbaring di sampingku. Kemudian aku memungut kresek tempat kondom bekas yang penuh dengan sperma ayah mertuaku itu yang tadi malam mengajariku pertama kali apa yang namanya anal sex. Kemudian aku beranjak menuju ke dapur yang terlihat lampunya sudah menyala dan ternyata ada mamaku sedang sibuk masak. 

Rasa seperti mengganjal di lubang belakangku masih agak sedikit terasa, apalagi ketika dibuat berjalan. Untunglah pagi itu ada ibuku, hal urusan masak-memasak dua hari itu beliau yang handel. Kalau aku, jangan diharap, buat sambel aja ga bisa, hehe. Buat kopi juga baru belajar ketika mambuatkan ayah mertuaku. Sebelum-sebelumnya juga si Inah yang mengerjakan.

“Eh, anak mama udah bangun ya… kecapekan yaa tadi malam berapa ronde Nuk?” ledek mamaku ketika mengetahui aku mendekat kepadanya. “Ihhh… mama, apaan sih ma…” jawabku. Kulhat wanita itu sepertinya sudah mandi. “Jam berapa pak Hadi datang tadi malam Nuk?” tanyanya lagi sambil terus sibuk berdiri di depan kompor. “Jam 10 an ma” sahutku. 

“Oooo, makanya mama disuruh tidur di kamar tamu, biar mama ga ganggu ya..” kata wanita itu sambil tersenyum. “Buatin kopi dulu sana gih, nanti kalo kopinya sudah jadi, baru bangunin ayah mertuamu” kata mamaku seakan mengajariku gimana memperlakukan lelaki di pagi hari. “Oh iya ma, di kulkas ada berkatan. Kung tadi malam bawa. Ada dua” kataku. “Iya sudah tahu Nuk… ini mama angetin, bisa buat sarapan habis ini” sahutnya singkat.

Aku pun segera melakukan apa yang dikatakan mamaku. “Eiits… mandi dulu anak cantiik” kata mamaku ketika aku mau menyalakan kompor untuk memasak air untuk membuat kopi. “Iya ma” sahutku. “Ehhh.. bentar-bentar.. jalanmu kenapa Nuk? Ooohh mama tau, tadi malem ada lewat belakang yaa” tanya mamaku yang di jawabnya sendiri. “Ihhh… mama apaan sih” sahutku kemudian meninggalkannya menuju kamar mandi. Setelah mandi aku pun menuju kamarku untuk memakai daster marun tanpa lenganku.

Sesaat setelah menaruh kopi di meja ruang tengah, aku kemudian duduk di sebelah ayah mertuaku yang masih saja bermimpi dalam tidurnya. Kuusap-usap kening lelaki itu. “Kung… bangun kung” bisikku pelan. Tubuh lelaki itu mulai menggeliat, matanya kemudian terbuka. “Eh Nuk… kamu sudah bangun” kata lelaki itu menyambut paginya. “Eh, malah sudah mandi kayaknya. Kok tumben.” Katanya lagi ketika melihat handuk yang kututupkan di kepalaku menandakan aku habis mandi keramas.

Lelaki itu sudah sangat tahu dengan kebiasaanku yang jarang mandi di pagi hari. Seringnya agak siang, setelah anak-anakku berangkat sekolah. Bahkan sering juga lelaki itu berhubungan badan denganku dalam kondisi aku yang belum mandi. Biar sekalian mandinya, katanya. Bahkan aroma tubuhku malah buat dia lebih terangsang katanya juga. Aku sih seneng-seneng aja.

“Air putih sama kopinya di meja Kung” kataku ketika melihat lelaki itu berdiri kemudian duduk di sofa. Aku segera melipat dan menaruh kasur busa yang tadi malam menjadi alas tidurku dan ayah mertuaku itu. Beberapa saat setelah minum air putih dan menyeruput sedikit kopinya, kemudian lelaki itu berdiri dan beranjak ke kamar mandi untuk bebersih.

“Nuk, kamu bagian nyapu lantai plus ngepel. Aku bersihkan halaman. Kamar tamu sudah mama bersihin tadi pagi. Baju-baju kotor yang nggantung-nggantung taruh di mesin cuci” perintah mamaku mengatur pembagian pekerjaan pagi itu. “Saya bagian apa bu Eko?” tanya ayah mertuaku ketika keluar dari kamar mandi. “Eh, pak Hadi santai saja. Biar saya sama Ninuk saja yang bersih-bersih” jawab mamaku sambil tersenyum. Akhirnya lelaki itu memutuskan untuk membantu tugasku. Menyapu dan mengepel seluruh bagian rumah. Setelah semua pekerjaan selesai, kami bertiga pun sarapan.

Sekitar jam 9 an terdengar pagar rumah terbuka, ternyata si Inah yang datang. “Kamu ini Nah, pas semuanya selesai baru datang” kataku menyambutnya. “Maaf bu, tadi Inah kesiangan bangunnya” jawabnya. “Tuh tinggal cuci baju sana, yang ada di mesin cuci” perintahku. “Eh, Nah, baju-baju kotorku tolong dibungkus kresek ta, biar nanti tak cuci di rumah aja” kata mamaku. “Lho nanti balik ke Malang bu Eko?” tanya ayah mertuaku ke besannya. “Iya pak, besok kan sudah harus dines lagi” jawab mamaku.

Tiba-tiba HP ayah mertuaku berdering. “ssttsss… Hendra nelpon” kata lelaki itu menyuruh aku dan mamaku tidak bersuara. Terdengar suara ayah mertuaku yang bercakap-cakap dengan anaknya. “Iya, nanti bilang ke Ninuk aja” terdengar suaranya.

“Hendra sama Bayu sudah OTW dari Bandung. Perkiraan sampe Surabaya jam 10 malam, kalau nggak molor. Nanti aku diminta jemput Bayu ke Surabaya. Soalnya Hendra sekalian nggak pulang katanya, nanggung, besoknya sudah senin” kata ayah mertuaku itu menjelaskan hasil pembicaraannya dengan mas Hendra barusan.

Beberapa saat kemudian gantian lalu HPku yang bersuara. “Dek, nanti malam aku sampe Surabaya paling jam 10 an. Aku nanti ga pulang, nanggung biar sekalian di surabaya. Aku tadi dah telp Kung untuk jemput Bayu di Surabaya. Ga papa kan?” suara mas Hendra. “Iya mas.. eh tapi kalau umpama kita ke Malang dulu, antar mama gimana? Mama juga mau pulang hari ini ke Malang. Nanti setelah dari Malang baru ke Surabaya” jawabku. 

“oh iya mama pulang hari ini ya. Iya, bagus kalo gitu. Nanti kamu bilang ke Kung ya” kata mas Hendra lagi. “Ya mas lah yang telp Kung. Ninuk kan ndak enak kalau suruh-suruh Kung. Kung mau apa nggak. Oh ya, sekalian bilang ke Kung kalau nanti jemput Doni dari sekolah, bawa mobil aja. Bawaan Doni banyak, kasihan kalau naik sepeda motor” jawabku. 

Kulihat mamaku dan ayah mertuaku menahan senyum. “Oke deh, sungkem buat mama ya” kata suamiku lalu menutup teleponya. Kami bertiga kemudian sepakat untuk tertawa bersama. Mas Hendra nggak tahu kalau sebenarnya ayahnya ada di rumahku saat itu.

Tak terasa waktu menunjukkan pukul 10, saatnya ayah mertuaku menjemput anak pertamaku dari kegiatan perjusaminya. Setengah jam kemudian mereka pun datang. Anakku langsung menuju ke kamarnya untuk tidur. Sedangkan aku, mamaku dan ayah mertuaku membereskan bawaan Doni yang lumayan menyita waktu dan tenaga.

“Nanti coba tanya Doni dulu, dia capek atau nggak, kasihan juga kalau nanti harus ke Malang trus ke Surabaya nanti” kata mamaku. “ iya ma” jawabku singkat. Sekitar jam setengah 12, anak itu bangun dan langsung makan. “Mas, kamu capek nggak?” tanyaku. “Ini mama sama Kung mau antar mamauti pulang ke Malang, trus nanti malam jemput adikmu ke Surabaya” lanjutku. “Nggak ma… asiiik nanti jalan-jalan” sorak anakku kegirangan yang membuatku tersenyum.

Sekitar jam 1 siang, setelah semua persiapan selesai akhirnya mobilku sudah meluncur menuju ke kota kelahiranku. Inah, pembantuku juga akhirnya kuajak turut serta. “Saatnya kamu ganti mobil Nuk” kata mamaku mengomentari sesaknya duduk kami berlima mengisi Honda Brioku. “Siap ma… jadi tukar sama mobil mama kan?” jawabku. “Eh, enak ajah” sahutnya lagi. Entah jalanan yang sepi atau ayah mertuaku yang nyetirnya kenceng, sekitar jam 3.15 kami sudah sampai di rumah orang tuaku.

“Kung, sebaiknya kung istirahat, tidur dulu. Nanti malem kan harus nyetir ke Surabaya, langsung ke Kediri juga” kataku yang langsung disetujui oleh lelaki itu. “Iya Kung, sama aku. Aku juga mau bobok” sahut Doni yang rupanya juga masih mengantuk setelah kegiatan perjusaminya. Akhirnya mereka berdua masuk ke kamar yang biasa kutempati ketika aku pulang ke sana. Beberapa saat kemudian mamaku muncul dari belakang menanyakan Doni dan ayah mertuaku. “wah, kalo gitu mama tidur juga aja” katanya lalu masuk ke kamar meninggalkanku sendiri.

“Loh ini gimana sih, aku kok jadi sendirian” gumamku. Si Inah lagi asik ngobrol sama bi Asih di belakang. Beberapa saat kemudian tiba-tiba muncul keinginanku untuk pijat. Lama juga sejak terakhir kali nggak di massage. Kemudian aku pun browsing mencari pusat kebugaran khusus wanita yang dekat dengan rumah. Ternyata tidak ada, yang paling dekat jaraknya hampir 10 km. “Bu Zen” gumamku. Entah benar atau nggak, tapi memang pak Zen dan Bu Zen ini bisa mijat dan juga melayani pijat. Kalau cewek ke bu Zen, kalau cowok ke pak Zen. Kecuali mama papaku tentunya. Itu sih yang pernah diceritakan mamaku.

“Inah, bi Asih. Aku mau keluar dulu. Jalan-jalan, pake sepeda motornya mama” pamitku ke dua orang yang sore itu tidak tidur. “Kemana mbak Ninuk, kayaknya mendung. Mau hujan” jawab bi Asih. “Ga papa, bentar kok bi” sahutku kemudian pergi. Kusempatkan untuk mampir ke swalayan sekedar membeli handbody lotion. Aku memang tidak terbiasa dengan minyak yang dipakai tukang urut.

Keadaan seperti beberapa bulan yang lalu, rumah itu tampak sepi. Pintunya juga tertutup. Aku kemudian memarkir motor yang aku bawa di tempat dulu mama memarkirkan motornya. Beberapa kali kuketok pintu utama rumah itu tapi tetap tidak ada jawaban hingga akhirnya aku berkesimpulan tidak ada manusia di dalamnya.

“Eh.. Bu Ninuk… anaknya bu Eko yaa” sapa seseorang bukan dari dalam rumah, tapi dari belakangku yang ternyata itu adalah bu Zen, isterinya pak RT. Kamipun bersalaman. Melihat dandanannya, kupastikan niatku untuk pijat kala itu pupus. Wanita yang usianya kira-kira lima tahun di atasku itu memakai baju warna hijau tosca, seragam khas ibu-ibu PKK.

“Ada apa ya bu Ninuk?” tanya wanita itu. “Ini sebenarnya saya mau pijat, tapi nampaknya bu Zen sedang sibuk ya” jawabku dengan logat seperti meniru wanita itu. “Waduh, gimana ya. Memang ini saya sedang ada PKK rutin. Ini pun pulang sebentar karena ada yang ketinggalan” jawab bu Zen dengan nada khasnya. “Iya sudah tidak apa-apa bu. Mungkin di lain waktu” jawabku. “Kalau umpama dengan pak Zen gimana. Pak Zen ada, mungkin sekarang sedang tidur. saya bangunkankan dulu ya” katanya seolah ingin tidak mengecewakanku.

“Loh, katanya kalau cewek ke bu Zen, kalau cowok baru ke pak Zen” kataku kemudian. “Oh iya, tapi berhubung bu Ninuk anaknya bu Eko, tidak apalah. Bu Eko sering pijat sama pak Zen, pak Eko dengan saya. Katanya kalau yang memijat sama jenis, geli” jelasnya dengan bahasa indonesia yang bagus tapi malah terdengar aneh di kupingku. Bener juga kata mamaku, pikirku.

“Gimana Bu Ninuk? Ayo-ayo masuk dulu. Saya bangunkan pak Zen sebentar” ajaknya kemudian membuka pintu rumahnya yang tidak terkunci. Kemudian ia masuk ke dalam meninggalkanku duduk sendiri di ruang tamu. Sesaat kemudian ia dan pak Zen muncul. “Eh, adik Ninuk.. sebentar ya, saya mandi dulu. Barusan ketiduran” kata lelaki itu kemudian masuk. Sebuah tata bahasa yang agak tidak lazim di telingaku. “Saya tinggal dulu ya bu Ninuk, nanti biar dengan pak Zen saja” kata bu Zen kemudian berjalan pergi meninggalkanku sendiri di ruang tamunya.

Dadaku berdebar-debar. Akankah nanti ada apa-apa selain pijat. Benakku langsung terbayang sewaktu ketika aku mengintip mamaku dan pak Zen berhubungan badan. Langsung kubayangkan alat vital pak Zen yang ukurannya lebih panjang dari penis-penis yang pernah yang aku tahu secara langsung, bukan yang aku lihat di film-film.

“Maaf ya adik Ninuk.. buat Adik Ninuk menunggu. Mari-mari di dalam sini” kata pak Zen yang langsung membuyarkan lamunanku. Melihatku yang ragu untuk berdiri, lelaku itu tersenyum. “Tidak perlu takut adik Ninuk. Bu Eko sering ke mari kok” katanya menyakinkanku. Aku kemudian berjalan mengikuti lelaki yang termasuk tinggi itu menuju kamar nomor 2 di rumah itu. Btw, tinggiku hanya sepundak laki-laki itu.

“Ini adik Ninuk.. tolong pakaiannya dilepas. Kalau BH dan celana dalam tidak usah. Terus bisa pakai ini. Saya tunggu diluar dulu” kata lelaki itu sambil menyerahkan handuk putih yang besar. Ia kemudian keluar kamar dan menutup pintunya. “Sopan juga ternyata” pikirku yang mulai nyaman dengan situasi itu.

Pertama kutanggalkan hijab yang kupakai, berturut kemudian kaos lengan panjang dan tanktop krem yang kupakai. Kutata rapi dan kutaruh di meja agar nanti ketika mau pulang gampang memakainya kembali. Kemudian celana Lea ku pun kulepas. Lalu aku memakai handuk yang diberikan pria itu untuk menutup tubuhku dan membuka pintu kamar. Ternyata lelaki itu berdiri menunggu tidak jauh dari sana. Mengetahui aku membuka pintu kamar, dia pun kembali masuk meski tanpa kupanggil.

Tiba-tiba terdengar suara hujan mulai turun membasahi bumi malang. Lelaki itu cepat-cepat menutup krepyak jendelanya sekalian dengan gorden coklat tua yang menempel di sisinya. “Tiduran di sana adik Ninuk” kata pak Zen. Ternyata kasur tempat pijat itu tidak menempel tembok seperti yang aku kira sebelumnya. “Oh iya pak.. pakai ini ya.. jangan pakai minyak” kataku kepada lelaki itu sambil menyerahkan sebotol handbody yang tadi baru kubeli.

“Oh. Baik. Siap” sahutnya. Aku kemudian tengkurap di kasur yang sepertinya dilapisi perlak di kamar itu. “Saya mulai ya” katanya lalu mulai memijit kaki kananku. “kalau terlalu keras tolong adik Ninuk bicara ya” katanya lagi. Ternyata lelaki itu benar-benar bisa memijat dan meskipun aku hanya memakai BH dan CD saja, tampaknya ia memang bener-bener menjaganya. Ketika akan memijat pantatku pun dia juga bilang seakan minta ijin. Waktu memijat punggungku pun, klip bra ku saja yang dilepas agar dia leluasa memijatku. Setelahnya dia pun memasangkannya kembali. Aku pun semakin nyaman meski tidak bisa kupungkiri, sentuhan lelaki itu juga membuatku sungguh terangsang. Vaginaku sudah becek maksimal.

“Bisa berbalik badannya. Saya mau memijat lengan dan tangan adik Ninuk?” kata lelaki itu yang segera kuturuti. Lelaki itupun menutupkan handuk putih tadi di atas tubuhku supaya bagian-bagian pentingku tidak terlihat. Lelaki itu pun mulai memijat tangan kiriku. Kubuka mataku yang sejak tadi terpejam. Kulihat pak Zen masih berkonsentrasi memijatku. Kedua tanganku pun selesai dipijatnya. Kemudian ia beralih ke paha kiriku. Aku semakin tidak tahan dengan birahiku sendiri tapi seakan lelaki itu tidak tampak tergoda sama sekali. Kulirik celana kolor pendek yang dipakai pak Zen kala itu dan terlihatlah gundukan di depannya. “Eh, kau bisa berpura-pura, tapi itu kau tak bisa” kataku dalam hati mencoba menirukan logat bicaranya.

“Duduk adik Ninuk” katanya yang segera kuturuti ia mulai memijat punggungku lagi. Tali bra yang ada di pundakku hanya dilorotkan pada kedua lenganku saja tidak membuka klip belakangnya. Tak sabar lagi aku pun segera melorotkan bra ku, dan berbalik ke arah lelaki itu. Kuraih tangan lelaki itu dan menempelkannya di dadaku meyuruhnya untuk meremas payudaraku. Kuraih gundukan yang ada di bagian depan celanannya dan meremasnya. Tampaknya lelaki itu juga sudah tidak bisa menahan nafsunya. Ia langsung melorotkan celananya dan mengarahkan penisnya ke arahku. Terlihat penis coklat tua itu bersih dari bulu sama sekali, kulupnya agak tertarik sehingga pucuk bagian dalam kepalanya tersembul.

Kupegang penis itu dan kutarik kulupnya sehingga bagian kepalanya tersembul dengan utuh, lebih mengkilap. Tanpa banyak omong aku lalu mengulumnya, baunya khas sekali, lain dengan punya mas Hendra atau ayah mertuaku. Tangan pak Zen mulai menyusup ke celana dalamku dan menguceknya. “Sebentar” gumamnya dengan suara parau. Ia lalu menutup pintu kamar yang sejak tadi terbuka. Sambil berjalan kearahku ia melepas kaos yang dipakainya. Aku pun segera melepas CD ku. Segera kukangkangkan kedua kakiku. Aku ingin segera merasakan penis hitam itu menusuk vaginaku.

Lelaki itu tanggap. Dia segera memasukkan penisnya perlahan ke dalam liang senggamaku. “oooohhh…” rintih kami berdua. Ia langsung menghajarku dengan rpm tinggi. Sensasi luar biasa, memang ada yang unik ketika penis nggak sunat mengocok-ngocok vaginaku, tapi tetep sama-sama enak. Gila, seakan penis lelaki itu dengan mudah bisa mencapai titik g spot ku yang membuatku cepat mencapai orgasme. Belum sepuluh menit aku sudah dapat 3 kali puncak kenikmatanku. Kemudian ia mencabut penisnya dan mengocoknya tepat diatas vaginaku. “Ooooooccch…” erangnya ketika maninya muncrat. Tidak begitu banyak tapi terlihat kental. Ia lalu memasukkannya lagi ke dalam vaginaku. Rupanya lelaki itu pengin langsung memulai ronde kedua tanpa jeda. Cukup sudah bagiku 3 orgasme yang kurasakan. Kucabut penis hitam itu sebelum ia menggoyangku lagi dan kuarahkan ke lubang anusku. Lelaki itu tanggap. Dia gunakan spermanya tang ada di perutku untuk pelumas anal sex yang kuinginkan. Benar juga, tidak sampai dua menit lelaki itu memuntahkan kembali spermanya, kini di dalam lubang belakangku. Ia kemudian keluar kamar, katanya ke kamar mandi mau bebersih. Sekitar lima menit kemudian ia kembali dalam tetap telanjang bulat. Memang bajunya ada di kamar tempat aku berada.

“Dik Ninuk bisa mandi dulu di belakang” katanya. “Iya pak sebantar” kataku kemudian aku berdiri dan melangkah. Belum sampai pintu kamar, lelaki itu langsung mendekapku. “Maaf dik Ninuk” gumamnya. Ia lalu mengakat tubuhku dan menaruhnya lagi di kasur dan langsung menyetubuhiku untuk yang ketiga kalinya sore itu. “kamu cantik sekali… sexy sekali… ooocch aku ga tahan… memekmu enak sekali” teriaknya. Bahkan di permainan ketiga itu ia juga menjilati tubuhku sampai habis. Hal yang tidak dilakukannya pada ronde pertama dan kedua tadi. Entah berapa kali aku mencapai puncak kenikmatanku. Tubuhku sampai lemas.

Sekitar lima belas menit permainan itu berlangsung. Ia mengakhirinya dengan memuntahkan spermanya di payudaraku. Aku kemudian ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhku. Setengah jam kemudian saat hujan mulai reda, aku segera pulang. Pas menjelang maghrib.

“Darimana aja kamu Nuk?” sambut mamaku ketika aku memasuki rumah. “Ditelp ga bisa” lanjutnya. “Iya ma, tadi kehujanan jadi neduh di swalayan depan jalan besar” jawabku. “HP kumatikan takut petir” lanjutku.

Sekitar pukul delapan malam aku, ayah mertuaku, Doni dan Inah melanjutkan perjalanan ke surabaya untuk menjemput Bayu, anakku yang kedua. Ingin kuhabiskan perjalanan itu untuk tidur karena kelelahan. Ayah mertuaku pun juga tidak menaruh curiga. Sesaat akan memasuki Tol Trans jawa, terdengar ada suara WA masuk ke HPku.

“Ninuuuuuk… kamu dari rumah pak RT ya….” Bunyi pesan mamaku lengkap dengan emoji marahnya. “Aman ma… aman” jawabku singkat. Pasti mamaku sekarang ada di rumah pak Zen. Kemudian aku pun tertidur bareng Doni yang juga terlelap.

“maaf ya dik, aku ga pulang… malah ngerepotin kalian semua” kata mas Hendra sesaat sebelum kita berangkat lagi menuju kota dimana kami tinggal. “Pak kalau ngantuk jangan dipaksa, istirahat dulu” pesan suamiku pada ayahnya yang membawa kemudi mobilku.

Sekitar pukul 2 pagi akhirnya kamipun sampai di rumah. Semua langsung pada masuk kamar. “Kung nanti tidur di kamar anak-anak ya” bisikku kepada ayah mertuaku. Ia mengangguk tanda setuju. Aku kemudian masuk kamarku dan ganti baju dengan daster yang kupakai tadi pagi. Setelah itu aku rebahkan tubuhku di ranjang. Belum sempat terlelap, ayah mertuaku masuk ke kamarku. “Nuk.. nuk..” iya kung” jawabku kemudian bangkit. “Aku ga bisa tidur” jawabnya. “Pengen dikeluarin ta Kung” tanyaku yang dibalasnya dengan anggukan. “Di ruang tengah ya” kataku lalu beranjak, kuambil pelumas yang biasa kugunakan kemudian keluar kamar menuju ruang tengah.

Lelaki itu kemudian melorotkan celana pendeknya ketika melihat kedatanganku. Aku pun langsung melepas CD yang kupakai. Melihat penis mertuaku itu masih lemas, aku pun segera mengulumnya. Tak perlu waktu lama untuk penis lelaki itu berdiri. Kemudian aku melumasi nya dengan gel yang aku bawa tadi. “Kenapa Nuk?” tnya lelaki itu. “Kamu lagi nggak pengen ta?” tanyanya. “kalo gitu ndak usah nuk” lanjutnya lagi. “Ndak apa-apa Kung” yang penting kung bisa dapet, trus istirahat” kataku kemudian aku mengakangkan kedua kakiku agar lelaki itu bisa langsung menyetubuhiku.

Lelali itu langsung memasukan penisnya dan langsung menggoyangku. Tidak sampai 5 menit ia sudah memuntahkan spermanya di dalam liang kewanitaanku. “Maaf ya Nuk…” katanya pelan yang kujawab dengan senyuman. “Maksih ya sayang” katanya lagi lalu mencium pipiku kemudian berdiri dan beranjak. Aku pun segera ke kamar mandi untuk membersihkan kemaluanku. Setelahnya akupun tidur.

Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Categories

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

BTemplates.com

POP ADS

Blogroll

About

Copyright © Cerita Panas | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com