Hari pun berganti, minggu pun juga terus berputar menuju beberapa bulan kemudian. Aktivitasku pun sama seperti biasa, tidak ada yang extraordinary. Keadaan kesehatan prostat ayah mertuaku juga semakin membaik, berkat aku kali ya. Sudah tidak ada keluhan lagi dan tampaknya normal seperti dulu kala. Malah dikira dokter ayah mertuaku sudah menjalankan apa yang disarankannya, yaitu menikah lagi.
Hingga akhirnya tiba di pergantian tahun. seberti sebelum-sebelumnya, di perbankan seperti yang suamiku bekerja, tiap akhir tahun selalu sibuk bahkan sampai lembur-lembur. Barulah setelah tahun berganti, dia bisa pulang. Kebetulan juga hari jum’at.
Keesokan harinya, tidak seperti biasanya di Sabtu pagi, mas Hendra mengajakku ngobrol serius. Aku sempat juga deg-deg an karena belum tahu apa yang akan dibicarakannya dimana sampai dengan saat itu aku masih mempunyai rahasia dan komitmenku dengan ayah mertuaku di atas komitmenku padanya.
“Dik, aku punya kabar buruk. Aku ga tau nanti gimana kamu sama anak-anak menyikapinya” kata suamiku. “Kenapa mas?” tanyaku penasaran. Ia mengatakan bahwa mulai munggu depan dia dipindah tugaskan ke salah satu cabang di ibukota jawa tengah. “nggak mungkin lagi kalau aku harus kesana sendiri, bisa pulang tiap minggu kesini. Tiap bulan mungkin aku usahakan” katanya sepertinya menginginkanku dan anak-anak untuk ikut pindah juga.
“Aku sebagai isteri, tetep harus manut apa kata suami mas. Kalau mas memutuskan aku dan anak-anak ikut ke Semarang, ya kami berangkat. Tapi tolong juga dipertimbangkan, disini ada Kung. dan kalau aku ingin atau perlu pulang ke Malang juga tidak terlalu jauh. Tapi kembali lagi, keputusan ada di mas” jawabku, tapi dalam hatiku, aku berharap suamiku itu tidak mengajakku untuk ikut dengannya. Sejenak kulihat lelaki itu berpikir.
“Iya sudah, mungkin sebaiknya aku sendiri saja disana. Kung juga kasihan kalau harus jauh dari Bayu dan Doni. Dan juga kita kan juga sudah terbiasa seperti ini. Hanya, yang biasanya tiap minggu ketemu, sekarang sebulan aja belum tentu” katanya. “iya mas. Lagian sayang juga rumah ini, baru dua bulan lunas eh harus ditinggal, entah dijual atau disewakan” sahutku, padahal dalam hati aku bersorak riang.
Senin berikutnya aku langsung menceritakan berita itu ke ayah mertuaku ketika kami ngobrol setelah dia mngantarkan anak-anakku sekolah. “Iya Nuk, Hendra juga kasih tau aku. Aku juga diminta untuk pindah untuk tinggal disini. Tapi aku ga mau. Eman-eman rumahku Nuk, itu rumah perjuangan dulu aku sama ibumu. Akhirnya aku hanya diminta untuk sering-sering tidur disini” kata ayah mertuaku itu. “Asiiik…” sahutku. Lelaki itu lalu mencubit hidungku. “Untuk temani Bayu sama Doni Nuk, di Sabtu atau Minggu” lanjutnya. “Loh, Ninuk ga ditemani?” protesku. “Kalo kamu ya harus… tapi juga harus pas sendirian, ga sama anak-anak” sahutnya sambil tersenyum. “Ihhh… Kung” jawabku.
Semuanya berjalan normal, bahkan di bulan pertama suamiku di jawa tengah, aku anak-anak dan Kung menyempatkan untuk sambang. Sekalian jalan-jalan tentunya. Hubunganku dengan ayah mertuaku juga baik-baik saja, dalam urusan ranjang pun demikian. Memang kuakui, dulu di awal-awal kami berhubungan intim, selalu terasa sangat spesial.
Lambat laun dan seiring dengan intensitas kami melakukannya, rasanya sudah menjadi saling mengisi, dia mengisi hari-hariku yang ditinggal suamiku bekerja di tempat yang jauh, aku pun mengisi kekosongannya setelah istrinya meninggal. Meskipun lelaki itu sering juga membuatku istimewa dan unik. Misalnya, ia mengajakku berhubungan badan di tempat jemuran pakaian yang kondisinya terbuka atau di dalam mobil meski mobilnya pun masih terparkir di dalam garasiku, hehe.
Hingga sampai pada sekitar beberapa bulan kemudian, lelaki itu sempat pergi keluar kota, 3 hari. Katanya sih ke Solo dan Jogja atau sekitaran situ , ada urusan dengan saudara jauhnya yang ada disana. Nah sepulangnya dari situ ini yang kurasakan ada perbedaan sang mencolok dengan sikap ayah mertuaku itu. Dia tampak sering merenung, diam sepertinya melamun.
Aku yang merasakan hal itu pun akhirnya ingin mengetahui apa yang sebenarnya jadi beban di pikirannya. Lelaki itu tidak mau mengutarakannya. Setiap kali kutanyakan dia selalu memelukku dan mengatakan semuanya baik-baik saja. Bahkan ketika sedang atau setelah bercinta pun pernah kutanyakan, tetapi jawaban yang kuperoleh selalu sama. Sempat terlintas di benakku kalau lelaki itu sudah bosan atau apa.
“Nuk, kamu nggak mau kerja lagi tah? Maksudku kamu nggak pengen kerja lagi” tanya lelaki itu suatu pagi. “Emang kenapa Kung” balasku bertanya, karena tidak ada angin tidak ada hujan tiba-tiba pertanyaan itu terlontar darinya. “Ya ga papa, mungkin aja, kan sayang ijazahmu dulu” jawabnya. “Iya Kung, mama juga pernah tanya itu, tapi akhirnya mama mengerti kalau Ninuk memang mengutamakan anak-anak. Cari uang apa kata mas Hendra. Malah mama dulu juga pernah sarankan Ninuk untuk punya usaha sendiri, kayak online shop atau apa gitu, biar pikiran Ninuk ga buntu, katanya” sahutku panjang.
“Nah, itu… Onlineshop… sekarang kayaknya sudah banyak sekali. Orang-orang pada belanja ga ke Toko, tapi lewat HP” kata lelaki itu. Ayah mertuaku itu kemudian menyuruhku untuk mencoba peruntunganku dengan membuka toko online. Terserah sudah kamu mau buka apa. “Nanti tak coba tanya-tanya anaknya temanku, sepertinya dia juga sudah punya seperti itu” katanya. Aku juga mengatakan pada lelaki itu bahwa ibuku juga pernah memintaku untuk melakukan hal yang sama, untuk tetap membuka pikiranku dan bisa punya penghasilan sendiri.
“Nai itu juga Nuk.. biar kamu ada pegangan sendiri tanpa mengharapkan terus ke Hendra” kata ayah mertuaku. Kemudian apa yang di lakukan oleh lelaki itu kesannya seakan memang benar-benar ingin menyuruhku membuka usahaku sendiri. Mulai dari mengenalkannya ke anak temannya yang sudah memluai bisnis itu, mengenalkan berbagai macam produk-produk yang mungkin bisa dijual dan sebagainya. Mas Hendra, suamiku juga merestui rencanaku tersebut.
Aku yang sebelumnya hanya memikirkan itu hanya sebagai ide atau gagasan saja, akhirnya mau tidak mau benar-benar memikirkannya untuk segera memulainya. Lucunya ketika pikiran buntu, lelaki itu langsung mengajakku berhubungan badan. Dan memang ajaib juga, setelah itu ide-ide bermunculan. Bahkan tak jarang muncul ketika di tengah-tengah aku dan ayah mertuaku itu melakukannya.
Suatu pagi, terdengar suara pagar rumahku terbuka. Kupikir ayah mertuaku yang datang, eh ternyata bukan. 2 orang anak muda berseragam salah satu vendor internet besar di negeri ini memasuki halaman rumahku. Aku yang hanya memakai androg saja kala itu buru-buru langsung memakai jaket dan penutup kepalaku.
“Rumah pak Hendra Hadi Kusuma? Ini kami dari perusahaan X mau memasang instalasi wifi disini atas pesanan nomor bla bla bla.” Ijin salah satu diantara mereka ketika aku membuka pintu. Beberapa saat kemudian ayah mertuaku datang dan dia lah akhirnya yang menghandel urusan itu. “Iya Nuk, kemarin aku yang pesan ini. Nanti tiap bulannya, biar aku yang subsidi” kata lelaki itu. “Terimakasih Kung” jawabku. Tidak hanya itu, lelaki itu membelikanku sebuah Laptop yang katanya khusus untuk bisnisku nanti.
Ibuku di Malang juga sepertinya antusias sekali. Ia mensupport modal kepadaku. “20 Juta cukup ya Nuk? Tanyanya. “Cukup mah” jawabku. “Iya nanti mama transfer ke rekeningmu, tapi ingat, ini pinjaman modal loh, bukan dana hibah” kata mamaku. “Iya mah” sahutku senang mendapatkan pinjaman tanpa bunga dari orang tuaku, bahkan biasanya sih nggak perlu dikembalikan, hehe.
Hari demi hari berlalu yang kugunakan untuk persiapan usahaku melalui platform digital. Dua buah olshop pun kupilih, yang pertama kali hadir dan yang sepertinya paling banyak digunakan, terlihat ketika mengunduh aplikasi di playstore, dia lah yang paling banyak di download. Di awal memang tidak banyak yang kutawarkan, tidak sampai 30 item produk. Tapi ketika mendengar masukan dari pelaku usaha, bahwa kalau jualan online itu deskripsi barang harus benar-benar jelas, ukurannya, bahannya sampai warna. Nah warna ini yang juga akan ada kendala dengan jenis kamera yang kita gunakan.
Nah dari 30 item tersebut ada beberapa barang yang memang khas dan handmade, bahkan produsennya itu keponakan ayah mertuaku sendiri dan sanggup hanya memasarkannya lewat aku saja. Jadi seperti eksklusif di onlineshopku. Sekitar sebulan setengah setalah ide membuka usaha itu muncul, akhirnya bisa direalisasikan dan dibuka juga sesuai dengan hari baik hitungan orang jawa.
“Gimana Nuk” tanya mamaku via telepon. “Iya ma, sudah buka. Hanya beberapa yang beli di minggu ini” jawabku. Di situlah tangan magis mama kembali beraksi, dia kerahkan teman-temannya di jantornya untuk beli atau bahkan memborong barang daganganku. Memang ternyata, rating toko sangatlah berpengaruh. Lambat laun mulai meningkat dan semakin ramai hingga omzet per bulanku tertinggi bisa mencapai harga mobil sejuta umat.
Hingga aku pun bisa memperkerjakan beberapa karyawan untuk paruh waktu. Dua orang staf admin dan seorang lagi membantu Inah dan Ayah mertuaku di proses packing. Lalu lalang petugas ekspedisi tiap sore juga menjadi aktivitas di rumahku.
Garasi yang awalnya kujadikan gudang dan tempat packing, akhirnya tidak mampu menampung sehingga merambah sampai ke kamar tamu bahkan di dalam rumah. Aku sendiri bagian menentukan barang-barang yang akan dikulak setelah mendapat laporan harian dari staf adminku itu tadi.
“Gimana Nuk?” tanya ayah mertuaku setelah usahaku berjalan sekitar 3 bulanan. Memang aktivitas di rumahku dimulai jam 1 siang dan berakhir sekitar jam 8 malam untuk pengambilan dari ekspedisi. “Ya moga-moga lancar terus Nuk” kata lelaki itu setelah mendengarkan penjelasanku.
Aktivitas dengan ayah mertuaku pun tetap meskipun intensitasnya mulai berkurang. Dulu yang hampir tiap pagi kami berhubungan intim apalagi setelah suamiku pindah tugas jauh dan jarang pulang, kini jadi 2 hari sekali. Tapi malamnya kadang-kadang juga kami lakukan, kalau boleh dibilang masih rutin juga.
“Nuk, nanti habis jumatan aku mau ke Malang. Ada urusan” pamit ayah mertuaku ketika mengantarkan anakku pulang di hari jum’at. “Loh, ada apa Kung, ke Malang” tanyaku. Memang ayah mertuaku itu jarang sekali keluar kota kalau memang tidak ada acara yang benar-benar penting. Sebagian besar saugaranya ada di kota ini. Adapun yang jauh, paling di kabupaten sebelah. Aku mengingat kejadian beberapa bulan lalu ketika ayah mertuaku itu pamit pergi ke joga dan solo, pulangnya ada perubahan sikap yang tidak kuketahui sebabnya. Meskipun perubahan sikap itupun hilang dengan sendirinya dan kembali normal.
Karena tidak menginap aku menawarinya untuk membawa mobilku tapi ditolaknya karena akan bisa istirahat kalau naik kendaraan umum. “Iya udah Kung… hati-hati” trus pulangnya kabari ya. Kataku sebelum melepas lelaki itu pergi.
Malam harinya aku dikejutkan dengan kedatangan kedua orang tuaku. Tidak biasanya mereka datang malam-malam. Hampir jam 11 mereka datang. Hal yang tidak lazim memang. Kulihat wajah papaku juga seperti tegang, sepertinya memendam sesuatu. “Bentar pah, biar mama yang ngomong dulu sama Ninuk” kata mamaku dengan nada yang datar ketika mama dan papaku mengajak ngobrol di ruang tamu. “Loh ada apa sebenarnya ini??” pikirku yang akhirnya juga ikut deg-degan.
“Nggak bisa ma.. nggak bisa.. Nuk.. kamu harus pisah sama Hendra. Pokoknya harus cerai” kata papaku dengan nada tinggi. “Ada apa sih ma?” tanyaku semakin bingung dengan keaadaan itu dimana ayahku menginginkanku cerai dengan suamiku. “Pah, biar mama ngomong dulu sama Ninuk berdua dulu ya” kata mamaku lagi. “Iya ma.. tapi ingat…” kata papaku yang lansgung dicegah oleh mamaku. Kemaudian lelaki itu beranjak ke ruang tengah.
Mamaku akhirnya menceritakan kalau tadi sore pak Hadi dengan adiknya ke rumah Malang. Beliau menceritakan kalau ternyata selama ini suamimu punya istri lagi, dan sudah mempunyai punya anak. Kayaknya juga sudah lama, mungkin waktu dia dinas di Surabaya. Pak Hadi bilang, kalau dia sendiri yang membuktikannya. Dia sampai rela ke jawa tengah untuk itu, dan kebetulan saudaranya tetangganya pak Hadi, ada yang tinggal di daerah sana juga, kalau ga salah di daerah Ungaran. Dikiranya itu kamu yang tinggal dengan Hendra, ternyata bukan. Selidik punya selidik, wanita itu anak buah Hendra waktu di Surabaya. Aku akhirnya mengingat ketika ayah mertuaku pamit ke solo jogja waktu itu, mungkin itu ayah mertuaku mencari informasi tentang mas Hendra.
“tapi kenapa Kung kok baru cerita sekarang ma? Padahal inget Ninuk, udah lama Kung pemit keluar kota, beberapa bulan yang lalu, tapi ke jogja solo sih” tanyaku. “Iya Nuk.. tadi pak Hadi juga bilang itu. Sengaja katanya untuk tidak memberitahu dulu. Resiko yang paling buruk adalah kalian berpisah. Nah pak Hadi melihatmu belum siap untuk menghadapi itu, dimana kamu nggak punya penghasilan, nggak kerja. Malah bisa-bisa hak asuh anakmu nanti bakal diambil Hendra” jelas mamaku. Terjawablah sudah kenapa ada perubahan sikap pada lelaki itu ketika dulu pulang dari Jawa Tengah dan kenapa lelaki itu benar-benar ingin aku membuka usahaku ini.
“Ini sekarang pak Hadi perjalanan ke jawa tengah, besok rencananya mau ngelabrak anaknya. Nuk… “ kata mamaku terhenti. Aku pun hanya diam, pikiranku langsung kalut. Tak kusangka mas Hendra begitu. Tapi yang ada di pikiranku hanya gimana nasib anak-anakku kalau umpama aku dan suamiku bercerai. Mereka masih membutuhkan sosok ayah di usia pertumbuhannya. Nuk…” kata mamaku lagi yang membuyarkan anganku.
“Iya mah” jawabku. “Kalau menurutku, kalau hanya masalah selingku, soal kebutuhan bathin, itu masih bisa dimaafkan. Tapi kalau sudah punya keturunan, itu juga yang akan membuat perempuan itu juga menangis, anaknya juga tidak bakal terurus” lanjut mamaku yang mengingatkanku bagaimana cerita mama dengan papa yang pernah disampaikannya. “Tapi semua terserah kamu Nuk. Kamu yang menjalaninya. Kalau mama ama papamu, ingin kamu pisah” katanya lagi.
“Gimana nasib anak-anakku ma? Tanyaku. “Itu bisa dipikarkan nanti Nuk… ya giman lagi, memang anak-anak yang akan jadi korban bila orang tuanya berpisah” jawab mamaku. “Papa tau antara aku sama Kung?” tanyaku. “Nggak Nuk… mama nggak cerita. Tapi kalo kamu dengan pak Zen, papa tau.” jawab mamaku. “Papa nggak marah” tanyaku. Wanita itu menggeleng.
“Iya Nuk, nanti kita pikirkan sama-sama. Sambil nunggu pak Hadi pulang dari Jawa Tengah. Jangan sampai anakmu tahu dulu” kata mamaku kemudian mengajak istirahat dan tidur. Setelah ada kepastian kalau ayah mertuaku datang di minggu pagi, aku pun disuruh utnuk meminta Inah datang pagi juga dari Pare. Biar nanti bisa ajak anak-anakku keluar ketika kita membicarakan masalah besar yang ada di rumah tanggaku.
Ayah mertuaku dan adiknya, pak lik Bambang sekitar jam 8 sudah sampai di rumahku. Inah yang baru saja datang dari rumahnya langsung kusuruh untuk ajak Bayu dan Doni keluar, kalo bisa sampe jam makan siang. Terserah kamu mau kemana. Kebetulan juga kalau minggu olshopku libur.
“Gimana Nuk?” tanya ayah mertuaku memulai pembicaraan pagi itu. Tampaknya mereka juga baru datang dan langsung kerumahku. Pembicaraan itu berakhir sekitar jam 11 siang dengan keputusan aku harus berpisah dengan suamiku. Pak Lik Bambang juga mengatakan bahwa Mas Hendra sudah dicoret dari keluarga besarnya dan bahkan dilarang keras pulang ke rumahnya Kung sekalipun atas kelakuannya. “Pak Eko, kami atas nama keluarga besar kami, mohon maaf, kami tidak bisa membimbing Hendra” kata ayah mertuaku mengakhiri pertemuan kali itu. “Iya pak. Tidak apa-apa, semua pasti ada solusinya. Biar nanti selama proses, saya akan tinggal disini menemani Ninuk, takutnya Hendra tiba-tiba datang” jawab papaku.
Hampir 2 bulan proses itu berlangsung. Dan di waktu itu pulalah, aku dan ayah mertuaku kesulitan untuk mencari waktu berdua. Meskipun dia sering juga menginap di rumahku, tapi ada papaku yang belum tahu hubungan kami. Bahkan sering aku ke rumah mertuaku itu hanya untuk menyalurkan hasrat, dengan agak tergesa dan was was. Maklum ayah mertuaku itu tinggal di perkampungan padat.
Aku ingat di hari selasa siang, pak Nur yang ditunjuk untuk menjadi pengacara ku datang. Hanya ada aku, papa dan ayah mertuaku. Sedangkan mamaku masih di Malang karena tidak Libur. “Pak Eko, Pak Hadi Mbak Ninuk. Ini Akta cerai mbak Ninuk sudah jadi, dan putusan pengadilan juga saya bawa, tentang harta gono gini nya. Ia juga menjelaskan kalau mobil masih milikku, rumah ini aku juga berhak kutinggali, sampai dengan anak-anakku dewasa karena hak asuh mereka jatuh ke tanganku. Dan itu memang yang kurasakan paling penting. Aku kemudian membawa masuk surat-surat itu dan menyimpannya di kamar.
Tak kusangka di usia yang baru menginjak 31 tahun aku telah menyandang status janda. Perpisahanku dengan mas Hendra sebenarnya tidak membuatku bersedih, dan bagaimanapun memang hatiku sudah ada di ayah mertuaku sendiri. Yang aku sedihkan yaitu anak-anakku yang akan kehilangan sosok bapaknya, itu aja. Tapi yang penting aku harus bisa membesarkan anak-anakku demi masa depan mereka. Itu yang paling penting.
Aku kemudian keluar kamar dan menemukan bahwa ayah mertuaku atau yang bisa kusebut mantan ayah mertuaku atau lebih enaknya aku panggil pak Hadi sudah pamit pulang. Papaku kemudian menyuruhku duduk, sepertinya mau ada yang dibicarakannya. “Nuk, duduk bentar” kata papaku kemudian duduk di depanku.
“Mungkin ini terlalu cepat tapi… pak Hadi melamarku Nuk” kata papaku yang membuatku kaget setengah mati. “Loh pa, kan ga boleh, mantan mertua menikahi mantan menantu.” Jawabku. “Iya ini juga yang kamu belum tahu” kata papaku. Kemudian papaku menjelaskan kalau pas pertama datang ke Malang dulu waktu melamarkan kamu untuk Hendra, ia menjelaskan kalau sebenarnya bilang sama papa kalau sebenarnya Hendra itu anak angkat, ada tetangganya dulu waktu masih tinggal di Kandangan ibunya meninggal enam bulan setelah melahirkan Hendra, sedangkan ayahnya kabur entah kemana akhirnya dirawat sama neneknya yang sebatangkara. Akhirnya sama pak Hadi dan alm Bu Hadi diambil anak. Dulu administrasi kependudukan masih sangat mudah untuk dirubah sesuai keinginan. Dan kemarin pak Hadi pun menunjukkan ke papa sama mama, akte kelahirannya Hendra yang asli, yang masih disimpannya baik-baik. Takut kalau Hendra mempermasalahkan hak warisannya” Jelas papaku panjang lebar.
“Trus kenapa dulu papa sama mama merestui aku sama mas Hendra?” protesku. “Ya kalian sepertinya saling sayang kan, apa boleh buat” kata papaku. “Gimana Nuk?” tanya papaku. “Entahlah pa… “ jawabku kemudian masuk ke kamar. Padahal dalam hatiku, aku senang sekali.
Aku lalu keluar menuju tempat tinggal mantan ayah mertuaku itu. Rumah itu masih terlihat sepi ketika aku masuk. “Eh kamu Nuk…” kata lelaki itu ketika aku menuju ruang tengah. Aku langsung memeluknya. “Kung ngelamar aku ya tadi??” tanyaku di dekapan lelaki itu. “Iya Nuk… kamu mau?” tanyanya yang tak kujawab. Aku hanya menenggelamkan diriku dalam dekapan lelaki itu.
“Eh.. Nuk… udah… nanti aku pengen lho ya” kata lelaki itu. “Kalo pengen ya ayo” kataku lalu sambil mendorong tubuh lelaki itu ke kamar. “Eh, Nuk… eh… pintu depan nggak ditutup” gumam lelaki itu. “Biarin!” jawabku. Kamipun berhubungan badan siang itu.
Setelah bebersih di kamar mandi, aku pun keluar. Mantan ayah mertuaku itu sedang duduk di kursi ruang tengah menikmati rokoknya. Sengaja aku duduk di pangkuannya. “Kung kenapa ya… padahal sudah dapet semua dari Ninuk, tapi ya tetep aja ngelamar Ninuk?” tanyaku dengan nada sedikit manja. “ya itu bentuk tanggung jawabku Nuk, sebagai laki-laki” jawabnya. “Eh, Kung enak mana rasanya, gini’in istri orang, atau janda?” tanyaku kali ini dengan agak centil. “kalo itu kamu ya sama-sama enaknya” jawabnya. Kulihat waktu sudah hampir jam 1, saatnya jemput Doni. “Biar Ninuk yg jemput kung… biar ada alasan tadi keluar ke papa” kataku kemudian pergi.
Singkat cerita, 5 bulan kemudian pak Hadi pun menikahiku secara resmi, karena dia benar-benar bisa membuktikan kalau Mas Hendra bukan anak kandungnya, melainkan hanya anak angkat, bahkan bukan dari jalur keluarga sendiri. Kamipun pindah tempat tinggal di rumah yang dibangunkan orang tuaku di atas tanah pak Hadi yang sudah dibalik nama menjadi milikku. Tanah seluas hampir 1000 meter persegi itu dibangun 2 bangunan, yang satu rumah inti yang satu tempat yang aku gunakan untuk bisnis online ku. Bagian belakangnya pun tersambung meski di depan pagarnya terpisah, alias sendiri-sendiri.