𝐃𝐞𝐦𝐢 𝐀𝐥𝐚𝐬𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐬𝐞𝐡𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐄𝐩𝐢𝐬𝐨𝐝𝐞 𝟐𝟏

 


Sesampainya di rumah pun pembicaraan itu tetap tidak bisa terlaksana.. baru lah di malam hari setelah anak-anakku tidur aku punya waktu berdua dengan suamiku. Sekitar jam 20.00 malam perlahan aku berjalan keluar dari kamar anak-anakku yang baru saja terlelap menuju suamiku yang duduk di sofa ruang tengah menikmati acara Quiz di TV.


Aku pun kemudian menempatkan diriku duduk tepat di sebelah kiri lelaki itu. Bahkan tubuhku sengaja kusandarkan pada lelaki itu. “Tadi sore itu gimana sih mas” aku ndak paham” tanyaku. Lelaki itu tersenyum. “Tadi itu aku pengen kamu main sama Maman, hehe” jawabnya. “maksudnya?? Ihhh… Mas kok gitu sih. Masak istrinya disuruh gituan sama orang lain??” sahutku. 

“Bukan gitu maksudku.. cuman tadi asli aku bener-bener bergairah pas waktu kamu disentuh sama Maman, trus makanya itu aku kasih tau kamu kalo punyaku berdiri tadi” jelasnya. “Berarti kan ga perlu mamamu kesini lagi.. Jujur aja aku ga enak sama kamu Nuk” lanjutnya.

“Ga enak gimana maksudnya mas?” Ninuk ga paham” tanyaku. “Bukannya mas seneng kan bisa main juga sama mama?” lanjutku. “Nah itu dia maksudku..” lanjutnya kemudian menyalakan rokoknya dan sepertinya pikirannya menerawang. Beberapa saat kami diam membisu. “Kamu ndak pengen tah sama yang lain?” tanyanya yang tidak kujawab.

Aku ga tahu ini pertanyaan jebakan atau apa. “Bukan gitu maksudku, tapi kamu kayaknya rela ketika aku main sama Inah, sama mamamu. Tapi aku ga pernah..” katanya terhenti lalu dihisapnya kreteknya dalam-dalam. Di hati aku tersenyum, mas nya aja ga tahu.. pak Zen, Faris sama yang kemarinan terakhir si Aldo, hehe.

“Kayaknya memang aku harus lebih terbuka ke kamu Nuk” katanya yang lagi-lagi membuatku bingung. “kamu ga usah telp mama lagi. Coba umpama kalau main bertiganya yang satu lagi laki-laki” lanjutnya yang membuatku terkejut. “Apa?? Yess!!” bakal jadi seru nih obrolan.

“Ooo… Iya iya.. Ninuk paham, jadi tadi waktu sama pak Maman, Ninuk…” jawabku. “Iya Nuk” sahutnya. “Ya jangan pak Maman juga kali mas” kataku. “Lha terus siapa lho? Pak Darto kah?, atau Herman, suaminya Inah? Atau brondong-brondong ta Nuk… oh ini… siapa itu… temannya Doni, si Irfan iya si Irfan, dia kan sering ngocok tititnya bayangin kamu tuh… buat mimpi dia jadi kenyataan, hehe” tanyanya. 

“Ihhh… brondong ya brondong mas… tapi jangan anak kecil juga… urusannya bisa panjang itu mas!.eeeehmmm.. Siapa ya?? Anu.. ini mas, Kim Seon Ho aja lah” jawabku. “Siapa itu?” tanyanya. “Artis Korea” jawabku yang membuat kami berdua tertawa.

“Hmmmmm… Kalo pak Maman… oke lah… tapi istrinya pak maman juga harus ikut, siapa tadi namanya? Ooh… Mbak Anis” kataku membuka pembicaraan setelah beberapa waktu kami terdiam. “Hah… trus main bareng gitu? Berempat?” tanya suamiku. 

Aku mengangguk sambil tersenyum. Sejenak suamiku tampak berpikir. “Kalo Maman sih pasti oke-oke aja… cuman kalo Anis ini ya ga tahu, bakal mau atau nggak” gumam lelaki itu. “Ya tanya pak Maman lah mas…masak mas yang mau ajak langsung mbak Anis… ya ga lucu ahh” sahutku.

Tadi aku sempet berpikir kalau si Faris sama si Aldo ini biarin di backstage ajah lah, tidak masuk di main circle. Aku masih ingin menikmati lebih lama burung-burung muda itu di kegelapan, bukan di keadaan terang benderang. Dan juga nanti masih bisa nambah satu lagi, meski itu adalah pak Maman, hehe.

“Cuma gimana cara ngomongnya Nuk” gumamnya. “Ya ajak omong-omong dulu lah mas… sambil guyon-guyon dulu kan bisa.. tapi terserah lah.. gimana caranya” sahutku. Lelaki itu tampak sejenak berpikir. “iya udah, nanti tak coba” katanya kemudian mengajakku tidur tanpa berhubungan badan dulu malam itu.

Keesokannya, kami sekeluarga menghabiskan hari minggu dengan jalan-jalan, ya sekitaran kota lah, nggak terlalu jauh. Si Inah pun juga kami ajak sorepun sudah pulangl Selepas isya’ mungkin karena kelelahan, anak-anak pun sudah tidur.

Sekitar jam setengah delapan, ketika akan menutup gorden ruang tamu kulihat ada sebuah mobil SUV putih berhenti di depan rumah. Terlihat sepasang laki-laki dan perempuan turun dan menuju pagar rumahku. 

Aku pun segera ke ruang tengah untuk meminta suamiku menemui mereka. Nggak enak juga karena aku masih hanya memakai daster tanpa lengan. “Siapa Nuk?” tanya suamiku kemudian berdiri dan berjalan keluar.

Beberapa saat kemudian suamiku balik ke ruang tengah. “Orang tuanya Irfan, temannya Doni.. ayo cepet ganti baju” kata suamiku. Setelah menyuruh Inah membuat minum, aku pun segera menuju ruang tamu. “Dik, ini pak Bambang sama bu Bambang” kata suamiku. 

Aku kemudian hanya bersalaman dengan bu Bambang saja. Kami pun ngobrol, bla bla bla… saling memperkenalkan diri.

“mas..” kata bu Bambang seperti mengkode suaminya. “Pak, maaf mungkin saya sama pak Hadi bisa ngobrol di depan? Ini istri saya ada perlu sama bu Hadi” tanya pak Bambang. “Oh iya pak… wah… ada rahasia rupanya” kata suamiku kemudian pindah tempat ke teras bersama pak Bambang.

Bu Bambang kemudian menggeser duduknya mendekatiku, mungkin agar nada bicaranya tidak perlu dengan volume besar. “Bu… maaf, mungkin ini aduh.. gimana ya cara ngomongnya” kata bu Bambang membuka pembicaraannya. 

Rupanya dia menceritakan tentang anaknya. Persis sama dengan yang pernah kuceritakan dengan suamiku masalah Doni. “Ooo.. jadi bu Hadi juga sudah tahu ya?” tanyanya. “Iya bu, kapan hari saya liat HP nya dan banyak foto-foto ibu, dikirim sama Irfan” kataku. Bahkan bu Bambang ini pernah mergok’i Irfan sedang mainin tititnya. “Trus gimana bu?” tanyanya.

“Iya itu bu, saya juga bingung.. konsul ke suami eh, jawabnya santai… biarin aja, yang penting saya lebih jaga penampilan meski dirumah. Anak-anak cowok juga begitu.” Jawabku. “Lah iya bu, sama waktu saya omongin dengan suami, jawabnya ya gitu itu. 

Makanya saya ajak kesini, mungkin bisa sharing sama bu Hadi” sahutnya. “Biar sudah bu, apa katanya cowok-cowok itu dah… mereka kayaknya yang lebih paham” kataku. Setelah saling tukar nomor HP, akhirnya mereka pun pulang.

“Ada apa Nuk” tanya suamiku setelah ganti baju santai kembali di ruang tengah. “Ya itu mas, masalah Doni sama Irfan. Tadi Bu Bambang bilang bahkan pernah lihat anaknya lagi ngocok, hehe” jawabku. “Suruh sini si Irfan… biar dia ngocok sambil liat kamu langsung, hehe” kata suamiku. “Ihhh… Apa’an sih mas!!” sahutku. 

Kami lalu tidak membahasnya lagi karena memang dulu hal ini sudah pernah didiskusikan. “Oh iya mas, kapan jadwalnya kontrol lagi?” tanyaku. “Sebenarnya masih lama sih, tapi biarlah… gampang” kata lelaki itu kemudian masuk kamar.

===========

Hari pun berlalu, setelah kulihat jadwal kontrol, ternyata memang masih lama masih sekitaran 2 bulan lagi dari dari 6 bulan jadwal rutin yang seharusnya. Mungkin itu kenapa suamiku juga sepertinya enggan untuk melakukannya. Dan sampai lah di hari Kamis. Malam sebelumnya sebenarnya aku sempat meminta Faris sama Aldo untuk “lembur” dan menginap, tapi karena situasi dan kondisi tidak memungkinkan, “bonus” lemburnya tidak jadi kuberikan.

Untungnya kedua anak muda itu terlihat mengerti dan tidak begitu mempermasalahkannya. Iya mungkin buat mereka tidak masalah, tapi untukku lumayan membuat pusing menahan birahi yang tidak tersalurkan, hehe. Kabar tentang pak Maman dan isterinya pun belum juga ada kepastian dari suamiku. Entah bagaimana kelanjutannya, aku sendiri juga nggak enak mau menanyakan langsung ke suamiku lagi. Nanti diikiranya aku aja yang ngebet.

“Mas, nanti kontrol ya” kataku ke suamiku ketika dia baru datang antar anak-anak sekolah. Mungkin juga bisa dapat saran atau obat tentang masalahnya, agar tidak mengganggu di prostatnya lagi. Kemudian lelaki itu melontarkan berbagai macam alasan kalau hari ini tidak bisa. Yang waktunya mupuk tanaman lah, yang ini lah yang itu lah.

“Ya udah mas… gini aja, kan prakteknya pagi sama malem, biar pagi ini Ninuk yang mintakan pengantar dari dokter untuk ke lab, nanti mas tinggal ke lab, kalau langsung jadi kita tinggal konsultasi nya” tawarku. “Ya udah deh… apa kata kamu aja” katanya kemudian sarapan dan berangkat ke sawahnya. Memang jika menyangkut dengan kontrol ini, lelaki itu sepertinya enggan atau gimana, mungkin juga minder juga.

Sial juga buatku, kala itu motorku ternyata ban belakangnya bocor. Akhirnya terpaksa aku naik ojol untuk berangkat. Sekitar jam 9, aku sudah duduk mengantri di ruang tunggu praktek dokter langganan yang biasa memeriksa suamiku. “Haduh… mau minta surat pengantar lab aja antrinya gini” gerutuku dalam hati dan memang sepertinya aku mendapat giliran yang terakhir karena kayaknya setelah aku datang, tidak ada yang masuk kembali ke meja pendaftaran.

Beberapa menit sebelum jam 10 akhirnya namaku dipanggil. “Pagi dok…” sapaku ketika masuk di ruangan dan menutup pintunya. “Pagi bu… eh bu Hadi ya… ayo silahkan duduk. Apa yang di keluhkan?” sahut lelaki yang usianya kurang lebih mungkin sama dengan papaku Cuma nggak tau lagi, kepalanya yang agak botak dan sisa rambutnya yang banyak ubannya menambah kesan berumurnya. Aku juga heran kenapa dokter itu juga bisa inget ke aku, secara kan pasiennya kan banyak, dan aku juga nggak sering, hanya 6 bulan sekali kesana.

“Oh ini Dok.. hanya mau minta pengantar untuk periksa Lab, buat suami saya” jawabku. “Oh, iya iya” bagaimana perkembangannya?” jawabnya kemudian menulis sesuatu di kertas yang kuyakini itu adalah surat pengantar yang aku butuhkan. Kemudian pintu ruang praktek itu diketuk dari luar dan terbuka, ternyata petugas pendaftaran tadi yang masuk. 

“Sudah saya catat semua Dok. Untuk yang pesanan nanti malam juga, sudah ada 3 yang daftar” kata wanita berperawakan gemuk itu. “Oh, iya terimakasih. Bu Indah boleh pulang kalau begitu” jawab pak dokter. “baik Dok. Terimakasih, saya pulang dulu” pamit wanita itu kemudian keluar ruangan.

“Ya seperti biasanya dok.. ini juga kontrol rutin kan..” jawabku sambil memperhatikan dokter itu yang menulis. “Loh… ini sebenarnya jadwal kontrol masih 2 bulan lagi… apa ada keluhan bu? Kenapa suaminya kok tidak ikut lagi?” tanyanya setelah melihat buku catatannya. Akhirnya aku pun menceritakan masalahnya. “Ya awalnya ketika pulang dari perjalanan jauh ke Sumenep. Malam harinya seperti hilang gairah sama sekali. Pertama saya pikir mungkin sedang kelelahan” kataku memulai ceritaku yang kulanjutkan sampai hal yang terjadi tadi malam.

“Ooo. Begitu ya… maaf bu Hadi.. sepertinya saya dulu pernah menyarankan sesuatu ke bu Hadi ya? Apa sudah dilakukan atau belum?” katanya. “Maaf sebelumnya, memang ini bukan spesialisasi saya, saya hanya urus kesehatan prostatnya pak Hadi saja. Tapi mungkin sebaiknya bu Hadi sama pak Hadi bisa mencari psikolog seks untuk mengkonsultasikannya lebih jauh. Sepertinya kalau di sini ga ada, mungkin di Malang atau Surabaya ada” lanjutnya panjang.

“oh begitu ya dok?” tanyaku. “Iya bu.. soalnya, kalau menurut hasil lab yang terakhir, saya ga tau dengan hasilnya yang besok, pak Hadi oke-oke saja seharusnya dan malah sepertinya tidak ada perubahan dari yang dulu… maaf juga bu Hadi, mungkin dilihat dari sisi psikologisnya yang memang butuh dikonsultasikan. Mungkin juga ada hal-hal lain yang kita tidak tahu, maaf saya memang bukan ahlinya di bidang ini, tapi menurut saya sebenarnya tidak ada yang menjadi kekurangan. 

Maksud saya, bu Hadi juga cantik, menarik bahkan dari sudut pandang laki-laki bu Hadi juga sangat sexy. Makanya itu, waktu bu Hadi kontrolkan pak Hadi yang terakhir itu, saya berani kasih saran “gila” itu bu” jelasnya panjang dan lebar.

Dokter itu dulu memang pernah menyarankan tentang fantasi-fantasi seks, yang akhirnya memang kita lakukan dengan salah satunya main bertiga sama mamaku. Dan memang hasilnya sangat mujarab. Aku kemudian menceritakannya juga ke dokter tersebut apa yang memang pernah kami lakukan. Pun juga rencana yang akan kami lakukan ke depannya, tapi belum kesampaian. 

“Oh iya monggo silahkan dicoba, tapi mohon bu… ini bukan saran ahli lho ya. Saya bukan expert di bidang itu” katanya. “atau mungkin itu juga yang harus rutin bu, tidak hanya dilakukan sekali atau dua kali di waktu yang sangat lama” katanya lagi.

“Eh eh, aku cantik, menarik dan sexy” kata-kata itu keluar dari mulut dokter yang ada di depanku, terasa membekas sekali di benakku. Tiba-tiba munculah ide gilaku bagaimana kalau umpama pak dokter ini bisa mambantuku. Tapi bagaimana caranya untuk bilang. Orang ini terlihat sangat sopan, pun ketika memberikan saran-saran gila itu.

“Mungkin kalau ibu berkenan saya juga bisa bantu kok bu?” kata dokter itu yang sangat mengagetkanku. Bagaimana tidak, aku yang bingung cara ngomongnya eh malah orang ini yang ujug-ujug menawari. Nyambung sekali, hehe. “Eeee… maaf bu Hadi, bukan maksud saya untuk sampai ke intercourse sex yang sesungguhnya.. mungkin bisa hanya dengan saya berpura-pura memeriksa bu Hadi atau bagaimana, seperti sambil melepas kancing baju, seperti dokter-dokter biasanya, tidak lebih” lanjutnya.

“Nggak ada maksud lain. Nanti bisa dilihat reaksi pak Hadi bagaimana.” Katanya mungkin mencegah untuk dianggap kata-katanya tidak senonoh kepadaku. “Oh… iya dok.. lagian juga ya mana mungkin pak dokter mau sama saya” jawabku sambil tersenyum. Entah kesambet setan dari mana sehingga aku bisa ngomong seperti itu.

Sejenak lelaki itu terdiam kemudian tersenyum lalu kemudian melepas stetoskop yang sejak tadi melingkar di lehernya serta meletakkannya di meja. Hatiku semakin berdegup kencang ketika ia lalu berdiri dan mendekat kepadaku yang dari tadi duduk di depannya. “siapa bilang tidak mau bu??” katanya pelan ketika sudah hanya berjarak setengah meter dari tempatku. 

“Cuma kalau boleh, sekarang saya mau latihan dulu bu… takut nanti grogi” katanya setengah berbisik kemudian tangan kiri nya mulai meremas dadaku. “ougghh…” rintihku lalu memejamkan kedua mataku menikmati rangsangannya.

Tangan kiri lelaki itu lalu perlahan turun ke bagian perut dan sepertinya ingin menyelipkan tangannya masuk ke dalam celana jeans yang aku pakai. “Boleh bu?” tanyanya pelan dengan suara agak serak. Aku tidak menjawabnya dengan kata-kata, tetapi langsung kubuka kancing celanaku dan reslitingnya. 

Mengetahui hal tersebut tangan lelaki itu lalu diselipkan ke dalam celana dalam krem yang aku pakai. Menerobos rerumputan hitam yang ada di bawah perutku dan sepertinya berusaha mencapai biji kacang yang aku punya. Jarinya lalu memainkannya dengan lembut yang semakin membuatku mendesah.

Tubuh lelaki itu terasa semakin mendekatiku kemudian tangan kanannya meremas buah dadaku lagi. Aku lalu membuka mataku yang sejak tadi terpejam menikmati petting nya lalu berusaha membuka sabuk dan klip celana baggy hitam nya. “di kamar saja ya bu. Jangan disini” katanya pelan dan beranjak keluar ruangan dan terdengar suara pagar besi yang berderit, ia lalu kembali masuk dan menutup serta mengunci pintu tempat prakteknya.

“Bu Hadi naik apa tadi?” tanyanya. “Naik ojol Dok” jawabku. “oh.. Nanti saya antar pulang.. ayo bu.. lewat sini” ajaknya kemudian berjalan melewati pintu yang menghubungkan ruang prakteknya dengan bangunan inti. Entah apa yang merasukiku aku kemudian berjalan mengikuti kemana langkah lelaki itu pergi.

Aku sempat terkagum-kagum dengan rumah orang itu yang sepertinya hanya pernah kulihat di rumah-rumah yang biasa dipakai syuting sinetron. Besar dan luas serta design interior nya tampak lux semua. Aku sempat bertanya-tanya dalam hati, apa lelaki ini tinggal sendirian di rumah sebesar ini, di mana kah istri atau anak-anaknya.

Kemudian sampai lah di salah satu kamar dan lelaki itu pun membuka pintunya dan mempersilahkan aku masuk. Setelahnya ia menutup pintu dan menghidupkan AC ruangan yang entah luasnya berapa, yang jelas mungkin 3 kali lebih lebar kamar utamaku di rumah. 

Tanpa kata-kata kemudian lelaki itu menuju meja dan tanpa ragu mulai melepas pakaiannya. Mulai dari baju sampai akhirnya telanjang bulat. Melihat itu, tanpa diminta aku pun juga mulai melepas penutup tubuhku. Mulai dari hijab, kaos semuanya sehingga aku benar-benar bugil juga tanpa sehelai benang menutup tubuhku. 

Mungkin ini bakalan langsung ke main sex, tanpa foreplay lagi seperti ciuman dan jilatan yang biasa kulakukan sebelum inti dari berhubungan badan. Tapi rupanya permainan tangan laki-laki itu tadi sudah sangat cukup membuat bagian kewanitaanku basah dan siap dimasuki. Hal yang belum kurasakan selama beberapa hari belakangan ini.

Lelaki itu terlihat mengamati proses undressing ku sambil mengocok-ngocok penisnya sendiri yang sudah tegang. Tampak kemaluannya itu juga standar, SNI lah, 11-12 dengan punya suamiku. Aku lalu merebahkan tubuhku di atas spring bed yang ukurannya mungkin cukup untuk satu keluarga. 

Laki-laki itu pun mengikuti dan langsung merayap menaiki tubuhku dan langsung mengarahkan penisnya ke bagian kewanitaanku dan mencoba memasukkannya ke dalam liang senggamaku.

Kemudian mulut kami sama-sama mendesis ketika kedua alat vital kami bersatu untuk saling memberikan sensasi kenikmatan satu sama lain. Tidak pakai lama, ia pun mulai menggenjotku perlahan dan semakin cepat. Sebuah permainan penuh nafsu yang sangat nikmat.

Sekitar lima menit kemudian laki-laki itu kurasakan semakin mempercepat goyangannya. Sepertinya dia akan mencapai klimaksnya. “stttss…. Oooccchhh… ssstttsss…Dikeluarin dimana…. sssstttsss?” tanyanya dengan suara yang terengah. Lagi-lagi aku tak menjawab pertanyaannya, aku hanya mengapitkan kedua kakiku melingkar di pinggul laki-laki yang sedang menyetubuhiku itu seakan tidak memperbolehkannya menarik tubuhnya dari tubuhku. 

Ia pun sepertinya paham dengan keinginanku dan beberapa detik kemudian ia pun mencapai puncak kenikmatannya. Spermanya keluar di dalam cengkraman vaginaku diiringi tubuhnya yang mengejang, melepaskan birahinya.

Aku langsung beranjak ke kamar mandi yang ada di dalam kamar itu sesaat setelah laki-laki itu menarik tubuhnya dan ambruk di sebelahku. Beberapa waktu kemudian aku pun keluar dari kamar mandi dan memakai pakaianku satu per satu. 

Terlihat laki-laki itu masih terlentang di ranjang penisnya terlihat terkulai mengkilap karena basah oleh lendir kewanitaanku dan air maninya. Aku pun secara diam-diam berhasil mengambil beberapa gambar dan bahkan video ketika laki-laki itu beranjak dari kasur menuju kamar mandi waktu tubuhnya tidak terbalut apa pun. Aku pun duduk di pinggiran kasur sambil menunggu lelaki itu keluar.

Sekitar setengah jam kemudian aku pun sudah berada di jok belakang mobil mewahnya menyusuri jalanan kota. Ini juga pertama kalinya aku naik sebuah Mercedes Benz S Class entah keluaran tahun berapa. “Dok, tolong saya diantar ke Mall saja. Jangan langsung ke rumah. Nggak enak kalau umpama langsung diantar ke rumah” kataku. “oh Iya bu, baik” jawabnya sambil terus berkonsentrasi melihat jalanan di balik kemudi.

Sebelum turun ia memberiku sebuah amplop,. “Bu, ini pengantar lab nya untuk pak Hadi. Oh iya kalau bisa jangan besok bu, lebih baik lusa saja, hari Sabtu. Besok sabtu biar saya pesankan nomor terakhir saja, seperti tadi. Bu Hadi nggak perlu reservasi dulu” kata lelaki itu. Hehe, aku malah kelupaan tentang pengantar check lab yang tadi kuminta dan memang tujuan utamaku ke tempat praktek dokter itu. Untungnya lelaki itu ingat dan malah membawakannya.

Sesaat setelah dia meminta nomor wa, aku pun segera keluar dari mobilnya dan berjalan santai menuju sebuah resto fast food terkenal. Sedikit banyak, perut juga mulai melilit. Sekitar jam 12 siang aku sudah sampai di rumahku. 

Kuhempaskan tubuhku di atas sofa ruang tengah sambil pikiranku mengenang unexpected sex yang benar-benar tidak terduga yang baru saja kudapatkan dari orang yang sama sekali tidak terbayangkan di anganku, pun juga sambil berimajenasi dan membayangkan bagaimana dan apa yang terjadi di hari sabtu lusa nanti ketika aku berhubungan badan dengan dokter itu di depan suamiku sendiri. 

Kalau main bertiga sih aku sudah pernah melakukan sekali, sewaktu dengan Faris dan Aldo dulu. Tapi kalau saksikan suamiku sendiri dan atau bahkan main bertiga dengan suamiku sendiri, ini yang bakal jadi pengalaman baru buatku. Apa istilahnya? Cuckold ya??

BERSAMBUNG

Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Categories

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

BTemplates.com

POP ADS

Blogroll

About

Copyright © Cerita Panas | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com