𝐃𝐞𝐦𝐢 𝐀𝐥𝐚𝐬𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐬𝐞𝐡𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐄𝐩𝐢𝐬𝐨𝐝𝐞 𝟐𝟎

 


 Pagi itu, hari sabtunya, setelah sarapan, suamiku pamit untuk menuju ke lahan sawahnya hari itu. Aku kemudian memutuskan untuk ikut karena memang selama dia mengurus sawahnya aku belum pernah menemaninya atau sekedar melihat-lihat. 

Beberapa menit kemudian akupun sudah berada di jok belakang sepeda motor lelaki itu. Perjalanan menuju tempat itu membutuhkan waktu kira-kira 20 menitan. Deket batas kota yang dulunya terkenal dengan area pabrik kertas.

Pemandangan yang sangat menyejukkan mata. Warna hijau terhampar dimana-mana. Tak terasa waktu bergerak begitu cepat. Kulihat lelaki itu kemudian berjalan menuju tempat aku duduk. “Ayo Nuk… sudah jam 12, habis ini sudah harus jemput anak-anak” ajaknya. “Kenapa mas?” tanyaku sambil berdiri ketika melihat lelaki itu memijat-mijat pundaknya sendiri. “Agak pegel Nuk. Lama nggak pijet juga” jawab lelaki itu, kemudian kita berjalan menyusuri pinggiran sawah mengarah ke tempat sepeda motorku terparkir.

“Kenapa nggak sekarang aja pijetnya aja mas?” tanyaku sambil memakai helm dan bersiap menaiki motor. “Lha kan harus jemput anak-anak” jawabnya. “Anak-anak kan bisa diurus Inah mas” kalau memang penting ya ayo” jawabku lagi. “Oh gitu ya. Coba kamu telpon Inah dulu gih” katanya.

“Iya mas, Inah bisa jemput” kataku setelah mematikan teleponku dengan pembantuku. “Oke kalo gitu. Ayo” ajaknya. “Pijat dimana mas?” tanyaku. “Udah, nanti kamu bakal tau” sahutnya kemudian melajukan sepeda motor yang kami tumpangi. Perjalanan siang itu menyusuri jalanan dekat pusat kota, dekat alun-alun.

Setelah melewati beberapa belokan akhirnya kami masuk di sebuah gang kecil yang padat dengan bangunan yang tidak beraturan, rumah yang dituju terletak di pojok gang itu yang ebrbatasan dengan tembok gudang tua yang sepertinya lama tidak digunakan. Depan rumahnya ada pekarangan sempit yang dipakai untuk menjemur pakaian.

Beberapa saat kemudian pintunya terbuka dan munculah sesosok laki-laki berusia sekitaran 40 tahunan. “Eh, pak Hadi… gimana kabar… mari-mari silahkan masuk. Bu… mari masuk” sapanya. Aku dan suamiku pun masuk dan duduk di ruang tamu yang meski sederhana tapi tampak bersih dan tertata rapi. “Niiis… buat minuman untuk pak Hadi dan bu Hadi” katanya dengan suara agak keras, sepertinya dia menyuruh istri atau anaknya mungkin yang ada di belakang.

“Ini loh Man, badan ini kayak mau mrotol semua. Kayaknya butuh service” kata suamiku membuka pembicaraan. “Oh siap” jawab lelaki itu. “Pak Maman ini dulu sekantor sama aku” jelas suamiku mengenalkan orang itu bernama Maman. “Iya bu, saya dulu anak buahnya pak Hadi sebelum beliau pensiun” sahut lelaki itu yang dari penampilannya terlihat agamis. Bebrapa saat kemudian muncul seorang wanita yang membawa nampan berisikan dua buah cangkir, yang satu teh untukku dan yang satu kopi buat suamiku.

Segera setelah menaruh nampannya di bawah meja, ia menyalamiku dan mengenalkan namanya. “Anis bu..” gumamnya yang kubalas dengan menyebut namaku. Wanita itu tidak menyalami suamiku, ia langsung duduk di sebalah suaminya. “Sebenarnya dia ini ga buka praktek pijet, cuma bisa mijet, dulu pas dines aku sering dipijet pak Maman ini, eh cocok rupanya” kata suamiku lagi.

“Waduh pak, sebentar saya mau beli minyak dulu. Habis” kata pak Maman kemudian berdiri. “Wah, ga usah Man.. kalo ada pake handbody atau apa” sahut suamiku. “Kalau handbody ada mas, baru kok belum bukaan” sahut Anis istrinya pak Maman itu. “Ya udah, langsung aja ya mas?” tanya pak Maman. Kemudian suamiku masuk ke kamar yang pas ada di sebelah ruang tamu. “Dik, temenin bu Hadi ya” perintah pak Maman ke istrinya sebelum masuk ke kamar juga.

Jadilah aku dan bu Maman ngibrol ngalor ngidul, mulai dari bahas keluarga sampe gosip-gosip artis, khas emak-emak lah sambil menunggu suamiku yang sedang dipijat oleh suami wanita itu. “Kalo anak kami satu-satunya cewek bu. Sekarang kuliah semester 4 di Malang. Kebetulan minggu ini nggak pulang.. jadi ya gini ini, berdua. Kayak manten baru” Katanya kemudian melirik jam di dinding.

“Bu, maaf ya. Saya tinggal dulu. Habis ini ada giat kumpulan warga sini.. maaf ya bu. Saya mandi dulu” kata nya mengakhiri gibah sore itu. Kemudian ia berlalu masuk ke dalam rumahnya. Sekitar 20 menit kemudian ia pun keluar dengan menggunakan seragam PKK. 

“Saya tinggal dulu ya bu. Mas, aku berangkat” katanya pamit ke suaminya yang ada di dalam kamar. Terdengar lelaki itu menyahut mengiyakan. Tak lama kemudian suamiku keluar dari kamar. Rupanya pijatnya sudah selesai.

“Kamu nggak pijat juga dik?” tanya suamiku. “Hah… nggak mas” jawabku menolak. Takut kebablasan, kayak dulu dengan pak Zen, hehe. “Lho ga papa kalau mau” tanya suamiku lagi. “Mari bu, tidak apa-apa, ndak usah takut. 

Nanti biar pak Hadi juga nungguin di dalam juga atau biar pintunya dibuka saja” kata pak Maman meyakinkanku. “Iya ini mumpung masih jam 3, biar nanti ga kemalaman juga pulangnya” kata suamiku.

“Iya udah” kataku setelah berpikir kemudian berdiri bersiap. “Sebentar” kata pak Maman kemudian masuk. Tak lama ia muncul sambil menyerahkan sebuah jarik motif bunga kepadaku. “Dipakai ya bu.. kalau dalemannya nggak perlu dibuka” kata pak Maman persis sama dengan yang dikatakan pak Zen ketika akan memijatku dulu.

Suamiku pun masuk juga di kamar ketika pak Maman mulai memijat betisku. Ia menyalakan rokoknya. Untungnya pintu tetap dibiarkan dibuka kali ini, jadi asap rokoknya tidak begitu terasa pedih di mata. Pijatan lelaki itu enak dan membuatku nyaman. Kalau ditanya terangsang atau nggak, yang menjawab adalah bagian kewanitaanku yang basah.

“Bu… bu.. berbalik bu” kata pak Maman yang membangunkanku. Ternyata aku sempat terlelap entah berapa lama. Aku pun membalikkan badanku. Pak Maman kemudian menutup tubuh ku dengan jariknya yang tadi dari dada sampai ke pahaku. Kurasakan klip bra yang kupakai masih terlepas mungkin tadi saat lelaki itu memijat punggungku sehingga terasa kendor di payudaraku.

“Tidur kamu dik?” tanya suamiku yang ternyata masih disana. “Iya pak, bu Hadi tidur barusan” pak Maman yang menjawab. Tapi pertanyaan itu memaksaku membuka mataku dan yang pertama kulihat adalah gundukan di balik sarung yang dipakai pak Maman yang sedang serius memijat sela-sela jari tanganku. 

“Eh eh…ternyata” pikirku yang langsung menyapa hormon kewanitaanku yang barusan juga ikut terlelap. Muncul ide nakalku untuk sedikit ekshib ke pak Maman itu. Aku tau dia nafsu berat padaku saat itu, terlihat dari kemaluannya yang tegak berdiri.

Aku masih berpura-pura memejamkan mataku sambil sesekali membuka sedikit pengelihatanku, melirik laki-laki yang sedang memberiku massage. Aku lalu menggunakan tangan kananku yang juga ikut tertutup jarik, berpura-pura menggaruk perut, sambil menarik cup BH ku yang sebelah kiri sampai terlepas sehingga putingku terlihat menonjol meskipun masih tertutup kain. 

Mata pak Maman terlihat memandang tonjolan itu meskipun sedang memijatku. Ia juga terlihat sesekali melirik ke suamiku, mungkin untuk memastikan kalau suamiku tidak menyaksikan.

Melihat itu aku semakin berani. Aku memikirkan gimana caranya kalau orang ini melihat buah dadaku tapi bukan karena kusengaja memperlihatkan, tapi biar kesannya memang tidak sengaja terlihat. 

Aku lalu pura-pura menggaruk leherku sehingga lain jarik yang menutup dada sampai pahaku agak tertarik kebawah sehingga bukan hanya payudara kiriku yang terlihat, tapi dua-duanya. Hanya saja yang kanan masih tertutup cup BH. Mata lelaki itu sampai melotot melihat payudara kiriku.

Kemudian terdengar suara pintu rumah diketok dari luar. “Sebentar ya bu” kata lelaki itu lalu menata kembali jarik yang kupakai kemudian keluar kamar dan menutup pintunya. Kemudian suamiku duduk di sebelah tempat aku berbaring. “Nuk, asli aku…” katanya terputus. “Kenapa mas?” tanyaku. 

Kemudian tangannya meraih tangan kiriku dan menyentuhkannya ke kemaluannya yang tegak berdiri. “Ihh… apaan sih mas” tanyaku. “Ini kemarin-kemarin susah berdirinya, tapi liat kamu dipegang Maman barusan aku langsung ser.. ser.. eh tau ga… kamu tau nggak.. Maman ya tegang lo Nuk, itunya” katanya dengan nada agak berbisik. “Iya ta mas??” jawabku pura-pura tidak tahu sambil tersenyum tapi masih tidak mengerti dengan apa maksud suamiku itu. Tapi yang jelas, kemaluannya yang kemarin susah berdiri, ini langsung tegang.

Tak lama kemudian pak Maman pun kembali masuk ke kamar dan kembali tanpa menutup pintunya. “Maaf ya bu” katanya kemudian mengarah ke aku. “Siapa Man” tanya suamiku kepada lelaki itu. “Anu pak Hadi, tetangga mau pinjam pompa ban” jawabnya lalu melanjutkan pijatannya. Kemudian setelah menyelesaikan pijatan di tangan kananku, sesi massage itu pun selesai. 

“Sudah bu… semoga sehat. Kalau mau ke kamar mandi, ada di belakang” kata pak Maman. “Oh nggak usah pak. Biar nanti sekalian mandi dirumah. Lagian juga pakai handbody kan.” Jawabku. Lelaki itu kemudian keluar kamar.

Lima belas menit kemudian aku dan suamiku sudah berada di atas motor, menyusuri jalanan menuju rumahku. Sebenarnya aku ingin omong-omong dengannya, tapi suara ramai jalanan menunda keinginanku. “Nanti aja ngomongnya dirumah. Ga denger!, Ramai” kata suamiku setengah berteriak.

Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Categories

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

BTemplates.com

POP ADS

Blogroll

About

Copyright © Cerita Panas | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com