𝐃𝐞𝐦𝐢 𝐀𝐥𝐚𝐬𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐬𝐞𝐡𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐄𝐩𝐢𝐬𝐨𝐝𝐞 𝟏𝟏

 


Siang itu setelah Doni pulang sekolah aku pun berniat tidur siang. Ayah mertuaku juga tidak mampir sejenak meskipun hanya untuk makan siang . “Mah, nanti sore antar Doni beli barang keperluan untuk besok kemah ya?” kata anakku yang langsung kuiyakan. “Tapi Mama mau tidur dulu ya mas” kataku kemudian lalu masuk ke kamarku.

Perlahan kubuka mataku, rasa dahaga memaksaku bangun dari mimpiku siang itu. Aku pun duduk di ranjang. Samar terdengar suara percakapan di luar kamarku yang memang sengaja tidak kututup pintunya. Suara dari seseorang dengan logat yang sangat tidak asing bagiku. Aku pun segera keluar untuk memastikan dugaanku kalau ada mamaku di rumah ini. “Heiii… itu mamamu bangun Don” kata ibuku ketika aku mendekat.

“Mama… kapan datang?” tanyaku kemudian salim ke ibuku yang sedang ngobrol di ruang tengah bersama anakku. Kalau kuamati dandanannya, nggak mungkin kalau beliau baru datang. Terlihat wanita itu sudah mengenakan daster, pakaian kebesaran emak-emak kalau dirumah. 

Dan sangatlah tidak mungkin juga kalau perjalanan dari Malang memakai itu di badannya. Ibuku ini termasuk orang yang sangat memperhatikan penampilan, modis istilahnya. Bahkan untuk urusan rambutpun, sering beliau semir sehingga uban yang mulai menjalar dapat disamarkan meskipun dalam kesehariannya diluar rumah tetap tertutup hijab. Tak ayal di usianya yang baru 50 tahun februari kemarin, ia masih tampak jauh lebih muda.

“Libur kah? Kok njanur gunung datang di hari Kamis mama uti datang. Tadi naik apa ma?” tanyaku. “Iya Nuk.. ini mama sudah terlanjur ambil cuti hari ini ama besok. Rencananya mau ikut papamu ke Jogja, eh ternyata papamu yang acaranya cancel, soalnya harus ke jember tadi siang. Ya udah, daripada dirumah sendiri, mama kesini. Lagian juga lama mama nggak kesini.” jawab ibuku panjang lebar. “Cuma, ternyata jagoan mama uti besok kemah sampe minggu ya. 

Oh ya, tadi naik kereta, kesininya nge-Grab. Habisnya nelpon kamu nggak diangkat-angkat” lanjutnya lagi. “Ya ga papa ma.. kan bisa nemenin Ninuk sampe minggu. Biar Inah yang rencananya tak suruh nggak pulang minggu ini, biar tetep bisa pulang” jawabku. Memang cucu dimata kakek neneknya ini sungguh spesial, yang pertama kali dicari ketika datangpun ya cucunya, bukan anaknya lagi.

“Don, jadi keluarkah sore ini? Katanya mau cari keperluanmu besok?” tanyaku. “Iya ma, ini Doni sudah mandi. Tunggu mama” jawabnya. “Oke, mama uti kalo ga capek, ikut ya. Ninuk mandi dulu” kataku kemudian beranjak ke kamar mandi.

Sekitaran menjelang maghrib, kami bertiga sudah sampai dirumah lagi. Sehabis makan malam aku dan ibuku juga ikut sibuk menyiapkan keperluan Doni selama 3 hari kedepan di acara kemah pertamanya. Setelah itu ibuku dan anakku pun masuk ke kamarnya untuk tidur, meninggalkanku sendiri di ruang tengah tempat TV berada. Semua pintu sudah kukunci termasuk pagar depan yang tergembok.

Bisa kupastikan rencanaku dengan ayah mertuaku minggu ini gagal total. Oh iya, aku belum memberitahu ayah mertuaku itu kalau ibuku datang, aku pun segera mengambil Gadgetku. Tapi belum sempat aku membuka pesan, tiba-tiba ibuku keluar dari kamar anakku dan duduk di sebelahku. “Sudah lama Nuk?” tanya ibuku pelan, pandangannya tertuju ke acara TV yang tidak jelas yang membuatku langsung berpikir untuk mencerna pertanyaan yang menurutku sangat menjebak. 

Apa maksud kata-kata yang keluar dari bibir ibuku itu. Hanya saja aku seakan tak punya bahan lain untuk mengalihkannya. “Apanya ma” tanyaku balik. “Mama inget dulu ini pertanyaan yang kamu berikan waktu kamu tahu mama ada main dengan pak Zen” jawab ibuku.

Sebuah rangkaian kata yang sungguh sangat mampu membuatku terdiam kala itu, tidak tahu harus menjawab apa. Yang jelas ibuku pastinya sudah tahu ada apa denganku. Persis sama dengan pertanyaan yang kulontarkan kala itu di Malang. Dan pastinya ini tentang ayah mertuaku. 

Tapi kok bisa ibuku tahu sebegitu cepat. Apakah Inah yang cerita. Ahh!. “Yang penting, anak-anakmu jangan sampai tahu ya Nuk” katanya lagi. Mungkin diamku sudah cukup baginya untuk menjadi jawaban atas pertanyaannya tadi. Beberapa lama ibuku terdiam, begitu juga aku yang terus membisu dan pasrah. Siap kalaupun ibuku akan memarahiku habis-habisan.

“Ihhh… anak mama sekarang yaaa” kata ibuku sambil tersenyum dan tiba-tiba mengucek-ucek rambutku. “Ayo ceritakan semuanya ke mama!” kata mamaku sambil mencubit pinggangku. “Nggak ma… malu ah… mama ihhh” jawabku. Entah kenapa ternyata ibuku ternyata tidak marah sama sekali. Setelah mengancamku, meskipun dengan nada bercanda sih, akan menceritakan ke suamiku katanya, akhirnya aku pun buka suara.

Kuceritakan detailnya dari awal, mulai dari niatku yang hanya ingin membantu masalahnya sampai dengan tercebur bahkan tenggelam jauh ke dalam. “Itu yang sebaiknya jangan Nuk.. sedikit banyak perasaanmu ke ayah mertuamu itu yang akan mempengaruhi sikapmu ke Hendra. Trus yang paling penting, jangan sampai anak-anakmu tahu” kata ibuku lagi serasa merestui hubunganku dengan ayah mertuaku sendiri. “Iya ma” jawabku pasti.

“Emangnya pak Hadi masih kuatkah Nuk? Hehe” tanya mamaku sambil tersenyum. Oh iya, nama ayah mertuaku itu Hadi Tjahjono, biasa dipanggilnya Hadi. “Mantap ma. Malah lebih dari mas Hendra” jawabku. “Hah… iya kah ? masak sih?” tanyanya seperti penasaran. Aku pun menceritakan kalau ada waktu banyak, dia seringnya 2 kali. Itupun jeda nya nggak lama, bahkan bisa dibilang langsung. “Oooo…ternyata pak Hadi ya…” gumam ibuku. “Tapi, gimana mama bisa tahu sih??” tanyaku penasaran atau mungkin aku barusan terjebak kata-katanya sampai-sampai aku membeberkan rahasiaku dengan ayah mertuaku.

Ibuku itu pun tersenyum. “Kelakuanmu mulai dulu itu tetep Nuk… sembrono. Mama tadi itu nelpon kamu, ga kamu angkat, sampe mama kesini naik grab. Ternyata HP kamu di-silent, kamu taruh di deket TV. Kamunya lagi ngorok di kamar. Waktu kulihat, pak Hadi WA, ya mama baca lah… eh ternyata isinya…” jelas ibuku panjang.

“Nuk, besok mama pagi antar ke terminal ya. Mama pulang aja ke Malang” kata mamaku kemudian. “Loh kok pulang sih ma?? Kan rencananya sampe minggu disini” tanyaku. “Trus kalo mama disini kan mama ganggu waktumu sama kekasihmu hehe..” sahutnya. “Ihhh… apaan sih ma… Ya ga gitu juga, kan lain waktu bisa ma” jawabku. Kembali ibuku tertawa. “Ya nggak lah Nuk… mama tetep disini sesuai rencana, sampe minggu. Moga-moga bisa intip orang lagi pacaran, hehe… Untuk rencanamu ya terserah kamu Nuk… ” kata ibuku yang kembali membuatku agak kesal karena terus saja menggodaku.

“Atau….” Gumam ibuku terhenti. “Kenapa ma?” tanyaku. “kalo cuma untuk urusan kesehatannya pak Hadi, seperti yang kamu cerita tadi, mama juga bisa bantu kok Nuk..” kata ibuku dengan senyum tersungging di bibirnya. “Ihhh mamaaa… tak bilangin papa lho!” jawabku. “Biarin… tapi kamu juga bakal tak bilangin…” sahut wanita itu lagi. Anganku langsung menerawang, gimana jadinya kalau misalnya aku, ibuku dan ayah mertuaku main bareng, seru mungkin ya. Pikiran nakalku kemudian muncul.

“Ehh.. kamu ini malah melamun… gimana? Tinggal nunggu keputusan dari yang punya nih…” kata ibuku yang langsung membuyarkan khayalanku. “Loh emang siapa yang punya ma?” tanyaku bingung. “Ya kamu lah Nuk… gimana sih” sahut mama sambil tersenyum. Memang tadi ibuku sempat menyimpulkan hubunganku dengan ayah mertuaku itu sudah bukan hanya sekedar berhubungan badan untuk memenuhi kebutuhan seksual saja, tapi lebih dari itu. Sampai ibuku mengingatkanku tadi tentang perasaanku jangan sampai mempengaruhi hubunganku dengan mas Hendra.

“Iya ma” jawabku singkat. “Ihh… kok kamu kayak ga ikhlas gitu sih” sahut ibuku. “Iya mamaku sayang… iyaaaa” jawabku sambil menggelitik pinggang wanita itu kemudian kami pun tertawa terkikik. “Tapi gimana caranya ma… secara, kalo inget mama atau papa ngobrol sama Kung, kayak formal gitu. Terus tiba-tiba ini malah mau main seru-seruan bertiga. Gimana ma?” tanyaku. “Udah. Biar nanti mama yang pikirin, yang penting kamu pastiin Inah besok pagi-pagi pulang ke Pare. Ayo bobok Nuk. Dah mau jam 10” ajak mamaku. Kamipun akhirnya tidur bertiga di kamar anakku.
Pagi harinya , ibuku menyuruhku untuk menaruh barang-barangnya Doni di mobil saja. Kasihan nanti kalau Kung membawa segitu banyak barang pakai sepeda motor. Aku pun menurutinya karena si Inah setelah masak tadi langsung berangkat pulang. Sebelumnya, ketika ibuku mandi dan Doni sedang siap-siap memakai baju, aku sempatkan untuk menelepon ayah mertuaku untuk memberitahu keberadaan ibuku dan rencana edan pagi ini setelah Doni berangkat.

“Maksudmu, sama bu Eko juga Nuk?” tanya ayah mertuaku itu. “Iya Kung, kenapa. Seneng ya… huuuuu” jawabku. “Nggak… nggak gitu Nuk.. kaget aja Nuk.. kalo kamu nggak bolehin ya sekalian aja aku ga mau” jawabnya yang cukup menyenangkanku. Nah inilah yang aku takutkan sehingga aku berinisiatif menghubungi lelaki itu dulu. 

Nanti rencana yang disusun bakal buyar kalau ayah mertuaku itu tidak mau melakukannya atau bahkan memilih pulang. “Iya Kung, nanti ikuti alur aja deh gimana rencananya mama. Ninuk juga nggak tau, tadi malem cuma bilang, apa kata mama dah Nuk, gitu” kataku yang diiyakan oleh lelaki itu. “Nanti kalo sudah ada waktu berdua bakal Ninuk ceritakan semua kung” kataku kemudian menutup telponku.

Sekitar jam setengah 8, ayah mertuaku datang dan langsung memasukkan motornya ketika tahu pintu pagar rumah terbuka lebar. “Ngantarnya naik mobil aja Kung, bawaan Doni banyak” kataku menyambut lelaki itu ketika berjalan mendekat kearah dimana aku dan ibuku berdiri. Kata-kataku tadi sepertinya tidak begitu dihiraukannya, perhatiannya tertuju pada sesosok wanita yang ada sekitar semeter di sebelah kananku. “Lho bu Eko, kapan datang? Gimana kabarnya?” kata ayah mertuaku kemudian bersalaman dengan ibuku. Kulihat mereka pun ngobrol dengan bersahaja.

“Ayo Kung, berangkat… maa.. berangkat, mama uti, berangkat” kata Doni sambil salim ke aku dan ibuku. Tak lama berselang, mobil itupun bergerak meninggalkan rumah. Sekitar sejam an kemudian ayah mertuaku yang sudah kembali kemudian masuk ke dalam rumah. “Biar Ninuk yang tutup pagarnya Kung” kataku. Aku lalu menutup pagar, rolling door garasi yang hanya bisa dikunci dari dalam sehingga untuk ke ruang tengah aku harus lewat depan kamar tamu yang tembus ke dapur.

Butuh waktu tak lebih dari 10 menit buatku sampai di ruang tempat ibuku dan ayah mertuaku berada. Entah bagaimana cara ibuku tapi yang jelas kutemukan wanita itu sudah mengulum penis ayah mertuaku ketika aku tiba di ruang tengah. Kepala lelaki itu menengadah dan matanya terpejam, mulutnya agak terbuka. 

Kedua tangannya terlentang di atas sandaran sofa tang didudukinya. Loh, sudah mulai ternyata. Tanpa banyak kata, aku pun langsung duduk di sebelah kanan lelaki itu. Sadar akan kehadiranku, lelaki itu membuka matanya dan menoleh kearahku. Kemudian kucium bibir ayah mertuaku itu. Ia menyambut permainan bibirku dengan gentle. Tangannya kemudian mengusap-usap rambutku. Beberapa lama permainan itu berlangsung. Sesekali lelaki itu melepas cengkraman bibirnya di bibirku, sekedar mengatur nafas menikmati permainan oral ibuku di penisnya.

Kemudian ibuku berdiri dan melepas hijab yang dipakainya. Lalu gamis yang dipakainya pun ditanggalkan juga hingga menyisakan bra dan CD hitam yang kontras dengan warna kulitnya. Ayah mertuaku itu tampaknya menikmati pemandangan yang hanya semeter di depannya. 

Tanganku lalu mulai mengusap penis mertuaku menambah sensasi padanya sambil kuciumi leher dan telinga nya. BH dan celana dalam ibuku ternyata sudah terlepas dan kini ia telanjang bulat. Yang juga menarik perhatianku yaitu bagian bawah perut ibuku sama sekali tidak ada jembutnya, alias polos. 

Hanya tampak lipatan kulit seperti garis vertikal pas di pangkal kedua pahanya ketika ia masih berdiri, padahal dulu pernah kuingat, kemaluan mamaku juga ada pubic hair-nya.

Perawakanku dengan ibuku itu hampir sama. Kulitnya pun sama, tapi memang punya ibuku ada beberapa bagian yang terlihat sedikit keriput. Hanya badan ibuku agak lebih berisi sedikit, payudaranya juga agak lebih besar meskipun sudah turun karena usia, pun juga putingnya. 

Tapi kalau warnanya sama, coklat muda. Yang membedakan, ibuku ini bersih dari bulu, lain denganku. Mungkin aku nurun dari papaku yang memang banyak bulunya.

“Jilat punya mama Kung” bisikku di telinga lelaki itu yang segera dilakukannya. Ia bangkit dan jari tangan kanannya mulai menyentuh bagian kewanitaan punya ibuku yang sedang membetulkan rambutnya. 

Sentuhan itu secara reflek agak membuka kedua kakinya. Ayah mertuaku lalu berdiri dan melepas celana panjang sekaligus CD yang dipakainya. Kemudian ia memeluk tubuh ibuku dan seakan menuntunnya untu bersandar di sisiku. Terlihat wanita itu mendesah sambil terpejam ketika ayah mertuaku menjilati pentil payudaranya bergantian. 

Tak lama, jilatan lelaki itu kemudian turun menuju perut dan makin ke bawah. Ibu ku tanggap, ia lalu mengangkat kedua kakinya dan memeganginya dengan tangan sehingga lelaki itu dengan leluasa bisa menjilat vaginanya. Ibuku semakin mendesah, nafasnya tersengal. Mulutnya pun meracau yang membuatku semakin bernafsu juga.

Cepat-cepat aku melepas daster yang kupakai serta celana dalamku sehingga aku juga telanjang bulat dan kembali duduk di sebelah ibuku. Kumanjakan birahiku dengan permainan tanganku sendiri di kemaluanku sambil menikmati pertunjukkan live porno di sebelahku. 

Ayah mertuaku yang melihatku langsung berganti menjilat vaginaku yang sudah banjir lendir kenikmatan. Tak lama kemudian lelaki itu menghentikan jilatannya di kemaluanku dan mengarahkan penisnya. Aku pun menyiapkan vaginaku untuk menyongsong kemaluannya.

“Aku dulu mas….” kata mamaku dengan suara serak meminta lelaki itu untuk menyetubuhinya dulu. Ayah mertuaku sesaat melihatku seakan meminta persetujuanku yang langsung kubalas dengan anggukan pelan.

Tapi bukannya mulai menyetubuhi mamaku, lelaki itu menjulurkan tangannya seakan meminta mamaku bangkit. Wanita itupun berdiri dan sedetik kemudian ayah mertuaku itu langsung membopong tubuh ibuku dan berjalan menjauh. “Ke kamar tamu” kata lelaki itu. Tampak dia meletakkan mamaku lagi ketika pas di depan pintu karena kesulitan untuk membukanya. Kulihat mereka pun masuk. Aku yang sempat terbengong sesaat kemudian menuju kamar tempat mereka masuk tadi.

Ayah mertuaku sudah menggenjot mamaku dengan rpm tinggi di posisi missionari ketika aku masuk dan menutup pintu kamar itu. Segera aku menghidupkan AC ruangan juga. Tubuh mamaku menggeliat-geliat keenakan diiringi mulutnya yang meracau dengan keras. 

Kadang ayah mertuaku juga berhenti untuk sekedar mengatur nafas yang ia gunakan untuk menjilati leher, payudara bahkan ketiak mamaku yang memang putih bersih itu. Entah berapa lama kemudian mamaku mencapai puncak kenikmatannya. Tubuhnya menggelinjang hebat seiring orgasmenya pagi itu.

Beberapa saat kemudian ayah mertuaku mencabut penisnya dari liang kewanitaan mamaku dan mengarah kepadaku. Dengan sigap aku pun mengakangkan kedua kakiku dan laki-laki itupun langsung menyodok-nyodokkan penisnya di dalam vaginaku yang sudah basah. 

Dengan irama yang stabil, hanya beberapa menit saja pertahananku sudah akan jebol, mungkin karena rangsangan berat dan beban cemburu ketika ayah mertuaku itu menindih mamaku sendiri. Lelaki itu sadar ketika aku ingin menggapai klimaksku dan rupanya juga ia berkonsentrasi untuk mendapatkannya. Tidak perlu lama apabila bisa sama mencapai bersamaan, jauh lebih nikmat. Lebih lega.

Sesaat kemudian tubuh laki-laki itu pun terbaring di sebelahku. Mamaku kemudian langsung menghisap penis lelaki itu seakan tidak mau membiarkannya mengendur. Walhasil penis tua itupun kembali tegak dengan gagahnya. Menyadari itu mamaku langsung menaiki tubuh ayah mertuaku dan menggoyangnya, sebuah awal ronde kedua pagi itu. 

Di babak ini benar-benar seperti adegan threesome di film-film biru. Kadang aku dan mamaku nungging berjejeran dan lelaki itu bergantian menggenjot kami berdua. Kadang apabila lelaki itu terlalu lama menggoyangku, mamaku mengiba untuk segera menyetubuhinya. Begitu pula sebaliknya.

Dua kali aku dapat mencapai pincak kenikmatanku. Entah mamaku berapa kali mendapatkannya di permainan yang berdurasi hampir satu jam itu hingga akhirnya di posisi misionari dengan mamaku lelaki itu tampaknya akan klimaks juga. 

Tetapi bukannya menancapkannya lebih dalam di kemaluan mamaku, ia malah menariknya keluar dan dengan terhuyung mengarahkannya ke mulut mamaku sambil terus mengocoknya. Mamakupun tanggap, dibuka mulutnya lebar-lebar seakan ia ingin menelan sari pati laki-laki itu.

“Oooooooocccchhhhhhh….” Jerit ayah mertuaku ketika penisnya menyembur-nyemburkan maninya banyak sekali. Hampir memenuhi wajah mamaku. Wanita itu pun langsung menghisap batang kelelakian ayah mertuaku seperti ingin mengeluarkan sisa-sisa sperma yang ada. Sejenak kemudian mamakupun langsung ke kamar mandi seddangkan aku memposisikan tubuhku berdampingan dengan tubuh lelaki itu. Sebuah permainan yang luar biasa dengan sensasi yang luar biasa pula.

Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Categories

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

BTemplates.com

POP ADS

Blogroll

About

Copyright © Cerita Panas | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com