๐ƒ๐ž๐ฆ๐ข ๐€๐ฅ๐š๐ฌ๐š๐ง ๐Š๐ž๐ฌ๐ž๐ก๐š๐ญ๐š๐ง ๐„๐ฉ๐ข๐ฌ๐จ๐๐ž ๐Ÿ๐ŸŽ

 


 Setelah ngedrop si Inah pembantuku di rumahnya, perjalanan sesungguhnya pun dimulai. Jalan yang menghubungkan dari kota tempat aku tinggal menuju kota kelahiranku dihiasi pemandangan yang sangat menawan karena melewati kawasan pegunungan. 

Jalanan yang berliku membuatku harus ekstra hati-hati. Sekitar jam empat mobilku pun sudah memasuki batas kota yang langsung disambut dengan kemacetan. Bukan apa memang sepertinya itu jam-jamnya orang pulang kantor. Ditambah volume kendaraan yang memang sepertinya sudah tidak bisa ditampung oleh jalanan kota. Walhasil baru jam lima aku baru sampai di depan rumah orang tuaku.


Rumah itu tampak sepi, tapi lampu-lampunya sudah dihidupkan. Aku segera membuka pagar dan memarkir mobilku di dalam. Tak lama kemudian pintu utama rumah terbuka dan keluarlah sesosok wanita setengah baya yaitu bi Asih, ART di sana. “Eh, mbak Ninuk. Tak pikir ibu yang datang” sambut wanita itu. “Lho emang pada kemana bi?” tanyaku. Anak-anakku pun langsung berhamburan masuk ke dalam rrumah.

“Kalau bapak ke Blitar mbak, berangkat tadi pagi, tapi kayaknya nggak nginep. Kalau ibu, barusan aja keluar. Nggak tahu kemana” jawabnya sambil membantuku menurunkan barang bawaanku yang lumayan banyak, maklumlah, kalau ngajak bocil-bocil ini bawaannya seperti mau pergi lama. “Emang Mbak ga ngabarin kalau mau kesini? Apa perlu bi Asih telponkan?” tanya wanita itu sambil membawa tas terakhir yang kukeluarkan dari mobil. “Memang nggak bi… rencana mau buat kejutan. Biar sudah nggak apa-apa” palingan habis ini ya pulang” jawabku.

“Lho kok pada makan? nanti kalau nasinya uti habis gimana. Kan tadi udah maem di mobil” kataku ketika menemukan anak-anakku di meja makan. “Biar mbak Ninuk… habis ini biar Bi Asih masak lagi. Nggak apa-apa” sahut bi Asih.

Karena ibuku nggak kunjung pulang meski maghrib sudah menjelang akhirnya aku memutuskan untuk ke rumah pak RT, untuk memperoleh surat pengantar urusanku besok pagi. Mengingat besok juga hari jum’at yang banyak orang menyebutnya hari pendek.

“Kalo rumah pak RT tetep yang kapan hari itu kan bi? Aku mau kesana, minta surat pengantar” tanyaku. “Iya mbak Ninuk, tetep pak Zen yang kapan hari itu. Kalo RT biasanya lama gantinya. Kalau nggak meninggal ya pindah, baru lah RT nya ganti.” Jawab bi Asih panjang. “Anak-anak sama bi Asih dulu ya, aku mau ke pak RT dulu” pamitku kemudian keluar rumah.

Kususuri jalanan yang becek mungkin bekas hujan deras siang tadi. Temaramnya lampu-lampu menambah kesahduan suasana petang itu. Dulu di sekitaran rumahku ini masih banyak pekarangan kosong, tapi sekarang sudah penuh dengan bagunan-bangunan rumah. Tempat Tinggal pak RT ini di kompleks sebelah yang harus menyebrangi sungai kecil. Kalau berjalan kaki bisa agak dekat, tapi kalau naik motor harus agak jauh karena jembatan besar yang ada pas di deket jalan raya.

Sekitar sepuluh menit kemudian aku sudah tinggah beberapa puluh meter saja dari rumah yang aku tuju. Langkahku terhenti ketika kulihat sepeda motor matic yang jenis dan warnanya tak asing buatku terparkir di sebelah rumah pak RT dekat pekarangan tempat onggokan mobil-mobil angkot yang rusak parah. Dulu pak Zen ini pernah jadi juragan angkot ketika masih jaya-jayanya. Sekarang angkot nggak seberapa laku, kalah sama ojek online yang semakin menjamur.

“Sepeda Motor mama??” gumamku kemudian aku pun mendekat dan memastikan bahwa itu memang benar-benar sepeda motor ibuku. “Oh mungkin mama juga ada urusan di Pak RT, lumayan kan biar nanti pulangnya aku bisa sama-sama” pikirku tanpa menaruh curiga meski pintu utama rumah yang sudah bisa dibilang tua itu tertutup, tapi lampu nya tampak menyala.

Niatku untuk mengetok pintu rumah itu terhenti ketika kulihat ruang tamu nya kosong, tidak ada orang, baik tuan rumah atau ibuku tidak ada disana. “Mungkin ibuku sama istrinya pak Zen keluar bersama, sepeda motornya ditinggal disitu” pikirku mencoba menghalau kecurigaanku yang mulai muncul.

Setelah berpikir aku akhirnya memutuskan untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi. Aku kemudian berjalan kembali memutar untuk bisa mencapai bagian kiri rumah itu. Jalannya tidak mudah, harus menyebrangi sungai lagi dan melewati sekumbulan pohon bambu. Memang rumah pak RT itu pas di sebelah sungai kecil, pagar nya pun terkesan seadanya, memang untuk mencapainya agak sulit.

Sekitar lima menit kemudian dengan susah payah akhirnya aku sampai di bagian pinggir belakang rumah itu. Tampak dua kamar yang bersebelahan, yang satu terlihat lampunya mati, yang satu lampunya hidup meski tidak begitu terang. Dengan berjalan agak merayap di dinding aku pun mendekati kamar yang bercahaya dan memang yang terdekat dariku. Samar terdengar suara orang yang sedang berhubungan badan yang makin lama makin jelas ketika kumendekat.

Desahan, rintihan, nafas yang memburu dan suara “plak…plak…plak” semakin jelas terdengar ketika aku semakin mendekat yang makin membuatku penasaran. Untungnya kain gorden yang ditutup ada yang tersangkut sedikit di kaca krepyak yang rusak. 

Sehingga memudahkanku untuk melihat isi kamar itu. Benar saja, kulihat jelas dua orang berlainan jenis sedang memacu birahi di kamar itu. Hanya saja kasur tempat mereka bertempur terletak di sebelah kiri dempet dengan tembok. Yang laki-laki bisa kupastikan kalau itu pak Zen ketua RT wilayah situ. 

Terlihat dari kulit tubuhnya yang coklat kehitaman karena memang orang ini keturunan orang indonesia timur. Usianya mungkin awal 40 an. Kalau lawan mainnya yang memang tidak terlihat olehku karena tertutup badan lelaki itu yang kekar. Yang terlihat hanya kedua betisnya yang putih bersih yang ditopangkan di pundak lelaki itu.

Jujur adegan itu membuatku panas dingin, pun juga aku masih penasaran siapa lawan main pak Zen kala itu. Beberapa saat kemudian rupanya pak Zen mencapai klimaksnya. Sesaat setelah terdiam kemudian lelaki itu berdiri dan betapa terkejutnya akau ketika mengetahui wanita yang terkulai disitu adalah ibuku sendiri. Jantungku seakan berhenti mengetahui kenyataan bahwa ibuku ada main gila di belakang ayahku dengan pak Zen.

“Gimana bu Eko? Lanjutkah ini?” terdengar suara pak Zen dengan logat khasnya sambil meletakkan gelas teh yang habis diminumnya di meja tempat dia berdiri bersandar. Yang menjadi perhatianku juga adalah alat vital pak Zen yang ukurannya lebih besar dari dua penis yang aku tahu, milik mas Hendra dan ayah mertuaku. Sebuah latex masih menyelimutinya dengan ujung yang penuh dengan sperma lelaki itu. Rupanya mereka melakukannya dengan kondom.

“Iya lah lagi. Masak Cuma sekali” sahut ibuku kemudian duduk di tepian kasur. “Siap bu Eko. Kalau untuk bu Eko, saya selalu siap” sahut lelaki itu kemudian melepaskan kondom dari penisnya sendiri, mengikatnya dan membuangnya di tempat sampah yang ada di bawah meja. Terlihat juga kalau penis lelaki itu tidak disunat. Kulupnya ikut tertarik menutupi bagian kepala penisnya yang berwarna merah marun tua ketika dia melepas kondomnya tadi.

Kemudian pak Zen melangkah menuju tempat ibuku duduk. Tangannya mencoba membuka latex baru dan tampak kesulitan. Mungkin karena tangannya licin. Ibuku langsung mengulum penis lelaki itu yang sudah mulai turun ketika dia sudah pas di hadapannya. Momen blowjob ini sempat kuabadikan dalam foto dan video singkat di HPku. 

“Makanya sunatlah kau ini. Tak perlu pakai kondom kan” kata ibuku dengan logat yang seperti meniru lelaki itu ketika melihat pak Zen kesulitan membuka kondom dari bungkusnya. “Malu lah bu Eko.. sudah tua” sahut pak Zen ketika akhirnya berhasil membuka bungkus plastik itu. Oh ternyata pak Zen memakai kondom gara-gara penisnya pak Zen nggak disunat. 

Akhirnya ronde kedua atau yang keberapa aku nggak tahu itupun dimulai dengan posisi ibuku yang diatas. Beberapa saat kemudian aku pun memutuskan untuk pulang kembali ke rumah orang tuaku.
Waktu menunjukkan pukul 8 malam barulah ibuku pulang, namun anehnya beliau datang bersama ayahku. “Loh… hei…Halo cucu-cucu” sambut ibuku agak terkejut ketika anak-anakku berhamburan menghampirinya. “Sebentar ya… mama uti mandi dulu ya” kata ibuku. “lho kok tumben Nuk. Anak-anak libur tah? Biasanya kalau datang sabtu. Kejutan nih… kejutan” tanya ayahku ketika aku salim kepadanya. Kalau ke ibuku, aku masih agak canggung. Masih teringat jelas di ingatanku apa yang dilakukan ibuku tadi di rumah pak RT. Aku kemudian mengutarakan alasan kedatangan kami yang memang mendadak kepada mereka.

Setengah jam kemudian, ayahku, ibuku dan anak-anakku pun sudah berada di kamar utama, bi Asih entah kemana sedang aku masih sendiri duduk di teras menikmati dinginnya udara malam.

“Oh disini kamu rupanya” kata ibuku ketika melihatku melamun di kursi teras. Ini mungkin saatnya aku bercerita. “Mama tadi darimana?” tanyaku sesaat ketika ibuku duduk di kursi teras bersebelahan denganku. “Jemput papamu” jawabnya santai. “Sebelum jemput papa kemana?” tanyaku dengan nada serius. “Kamu ini kenapa sih Nuk? Kok pertanyaannya nadanya kayak interogasi aja” tanya mamaku agak heran dengan mimik mukaku yang serius. Beliau belum menjawab pertanyaanku hingga akhirnya pertanyaan keduaku terlontar.

“Sudah lama ma?” tanyaku. “Apanya sih Nuk? Kamu kok buat mama bingung. Ada apa?” tanya ibuku seakan tidak mengerti maksud pertanyaanku. Memang kala itu aku sengaja langsung menyakan langsung ke ibuku. Tidak seperti di hari biasanya ketika aku datang, aku selalu ngobrol santai dengan ibuku. Kadang curhat juga tentang kehidupan berumah tangga. Untuk urusan ini beliau kan memang jauh lebih perpengalaman. Ini langsung ke pembicaraan serius. Alih-aih mungkin saja aku masih bisa menghentikan perbuatan gila dan menyelamatkan perkawinannya.

“Ninuk tadi liat mama di rumah pak RT” kataku yang langsung membuatnya terkejut tapi kemudian ia bisa menguasai keadaan. “Kamu liat apa Nuk? Liat sepeda motor mama di rumah pak Zen tah?” tanyanya balik. Aku kemudian mengambil HPku dan menunjukkan foto ibuku yang sedang mengulum penis pak Zen. “Ihhh, Ninuk hapus Nuk, hapus!” perintah ibuku. “Nggak, selama mama ga menghentikan hubungan mama sama pak Zen, ini ga bakal tak hapus. Biar Ninuk kasih tau papa” kataku tegas dengan nada yang egak emosi.

Tapi ancamanku ini serasa tidak membuat arti apapun pada wanita itu, bahkan dia malah tersenyum yang semakin membuatku keheranan. “Mama… Ninuk serius ma… kalo nggak Ninuk kasih tau papa” sahutku. Tiba-tiba ayahku keluar dari dalam rumah sambil membawa kursi plastik. Mungkin beliau ingin ikut ngobrol dengan aku dan ibu tapi di teras hanya ada dua kursi. “Nah itu papamu” kata ibuku menyambut lelaki itu. “Ada apa ini… hayo ngomongin papa ya” eh iya anak-anakmu sudah tidur Nuk” kata ayahku sambil duduk di kursi yang dibawanya.

Aku terdiam, jujur aku bingung dengan keadaan itu. Ibuku tampak santai ketika kuancam akan memberitahu ayahku tentang aibnya dengan pak Zen. “Ini loh pa.. Ninuk tadi tahu kita ada di rumah pak RT” kata mamaku santai. Loh kok Kita?? Berarti ayahku tadi juga disana?? Gumamku. “Udah-udah… biar mamamu nanti yang cerita ke kamu ya Nuk. Aku capek, mau istirahat dulu. Oh iya, kalau besok, biar aku yang urus keperluanku ya Nuk, biar kamu dirumah aja. Ma, telp pak Zen.. mintakan surat pengantar. Biar papa besok pagi tinggal ngambil. Papa tidur ama anak-anakmu Nuk” kata ayahku panjang. Ibukupun menuruti perintah suaminya, ia segera menelepon pak RT untuk memintakan surat pengantar.

“Ayo Nuk, cerita-ceritanya di kamar aja. Disini dingin” ajak ibuku setelah ia menutup telponya dengan pak Zen, pak RT. Aku pun menyetujuinya. Setelah ganti baju ke pakaian kebesaran ibu-ibu, aku pun merebahkan tubuhku di samping wanita yang dulu melahirkan dan membesarkanku itu.

“Entah nanti gimana sudah penilainmu Nuk” pembukaan kata-kata dari ibuku. Aku hanya diam, semua yang ada di benakku dan kejadian tadi masih membutuhkan banyak penjelasan. “Sebentar. Ini belum pasti terjadi di semua rumah tangga ya Nuk” katanya kemudian. Hanya saja ini juga terjadi di rumah tangga papa sama mama” lanjutnya.

“Dulu ada beberapa orang yang pernah singgah, baik di papamu maupun di aku…” “Kamu pasti tanya kok bisa..” nanti, kalau usia perkawinanmu sudah lebih dari 20 tahun, kamu akan merasakan itu. Setiap orang bakalan lain caranya menyikapinya. Dan ini yang kemarin papa sama mama kamu tempuh Nuk” “Pelarian mah? Atau suasana baru?” tanyaku. Sejenak wanita itu terdiam. “Keduanya kali Nuk” jawabnya. “Trus, kok bisa sampai ke pak Zen?” tanyaku.

“Sebentar Nuk. Biar kamu tau rentetan ceritanya. Nah ketika sama-sama punya diluar rumah. Seakan rumah ini bukan tempat yang enak lagi, sampai-sampai aku sama papamu dah mau pisah” jelas mamaku. “Untunglah waktu itu ada pak dhe Budi. Papamu dimarahi habis-habisan dan suruh kami untuk ngomong baik-baik. Masalahnya apa, dan harus bisa diselesaikan. Semuanya untuk masa depan anak-anak, terutama si Dito, adikmu. Kalo kamu waktu itu kan udah nikah” dan semuanya memang berawal dari pelarian sama cari suasana baru itu, seperti katamu tadi” jelasnya panjang.

“Dan mulai saat itu, kesepakatan pun terjadi diantara papamu sama aku. Kesepakatan itulah yang membuat kita baik-baik saja sampai saat ini. Malah tambah mesra” sambungnya. “Maksudnya ma?” tanyaku nggak mengerti. “Ya itulah Nuk… dengan pak Zen pun dengan persetujuan papamu” lanjutnya. “Hah… gila..” gumamku. Tapi nggak juga sih. Aku juga mengalaminya, ketika aku menyuruh ayah mertuaku berhubungan badan sama si Inah. Pun juga aku tidak melakukan apa-apa ketika tahu kalo mas Hendra pun rutin dengan si Inah itu tadi.

“Maksud mama tadi, orang-orang yang pernah singgah itu tadi berarti sampe…” aku menghentikan perkataanku, agak nggak enak juga ngomongnya. “Sampe apa Nuk? Seks maksudmu?” tanyanya. “Iya ma” sahutku. ‘ya iyalah Nuk.. apalagi yang dicari, ketika orang-orang dewasa, apalagi yang sudah nikah.. penasaran sama itu ajah. Masak Cuma kangen-kangenan, sayang-sayangan… kayak ABG” jawab mamaku.

“Untung dulu papamu memang bener-bener ga punya istri lagi atau yang sampe punya anak. Kalo nggak, dulu Pak Dhe Budi sendiri yang akan meyuruh kami bercerai” biar ga ada lagi yang tersakiti, katanya” lanjut mamaku. “Penjelasan mamaku ini membuat pikiranku terbuka. Dulu yang kukira di rumah ini baik-baik saja, ternyata juga pernah diterjang prahara. Meskipun cara yang mereka gunakan untuk mengatasinya termasuk aneh dan tidak masuk akal. “Maaf ya Nuk… mama papa bukan ortu yang baik” lanjutnya. “Nggak ma..” ga papa juga ma” malah Ninuk baru tau sekarang. Artinya dulu memang mama sama papa bener-bener menjaga itu biar anak-anaknya nggak tahu” jawabku.

“Iya Nuk, kamu juga harus begitu. Semua yang kamu lakukan hanya untuk anak-anakmu. Demi masa depan mereka” kata mamaku lagi. Sejenak kami terdiam. “Ma…” kataku pelan. “Iya Nuk” sahutnya. “Nggak papa ma” sahutku. Kemudian ibuku juga memintaku untuk tidak berdiam diri agar otakku berkembang katanya. Katanya dulu dia sempat agak kecewa ketika mendengar keputusanku keluar dari pekerjaan, eman-eman sekolahku katanya. Tapi karena semuanya menyangkut anakku, akhirnya beliau menerimanya. Kala itu sebenarnya aku ingin menceritakan hubunganku dengan ayah mertuaku, tapi setelah kupikir-pikir, lebih baik jangan. Biarlah ini tetap menjadi rahasiaku bertiga, aku Kung dan Inah.

“Ma…” kataku lagi. “Iya Nuk” sahutnya. Aku terdiam sesaat. “Kenapa mama tadi pake pengaman?” tanyaku. “Ihhh Ninuk ah… apa’an sih. Kok malah bahas gituan” jawab mamaku agak kesal. “Kenapa ma?” desakku. “sebenarnya pak Zen bersih kok Nuk orangnya.. Cuma aja itu nya ga sunat” jawab ibuku akhirnya. “mama pernah anal sex” tanyaku lagi. “Ihhh, Ninuk sekarang tanyanya macem-macem… ya pernah lah… masak kamu ga pernah??” bohong kamu” jawabnya sambil tersenyum. “Udah udah, ayo tidur, besok mama kerja” kata ibuku.

Keesokan harinya semua masih sesuai dengan apa yang direncanakan. Urusan aktanya Doni juga selesai hari itu juga. Malam nya mas Hendra datang. Bahkan keesokan harinya kita sempatkan jalan-jalan alias rekreasi di seputaran kota dan hingga akhirnya di minggu malam kita pun balik menuju kota dimana aku sekeluarga tinggal.

Aktivitas sehari-hari pun seperti biasanya. Hanya saja hidupku kini sudah ada ayah mertuaku yang mengisi kekosongan waktuku. Untuk urusan bathin, harus kuakui memang kalau aku lebih sering terpuaskan oleh ayah mertuaku. Tadinya yang awal hanya untuk membantu menjaga kesehatannya saja, ujung-ujungnya malah aku yang ga bisa lepas dari lelaki tua itu.

Hingga akhirnya di beberapa bulan kemudian, kalau nggak salah di awal bulan agustus mas Hendra ditunjuk untuk mewakili cabang mengikuti gathering Nasional di Bandung hari jum’at s/d minggu. Berangkatnya hari kamis jam 2 siang. Karena rencana ikut semua, akhirnya di rabu malam mas Hendra pulang bawa mobil kantor.

“Gimana mas, ternyata Doni besok ada kegiatan Perjusami di sekolahnya. Kayaknya dia ingin sekali ikut itu” kataku pas makan malam berdua dengan mas Hendra, suamiku. Perjusami itu adalah Perkemahan Jumat Sabtu Minggu, salah satu kegiatan pramuka. “Yaitu.. kalaupun kita berangkat bertiga pun kayaknya aku juga ga tega. Meskipun Kung juga bisa urus sih semuanya, tapi kok ga enak juga” lanjut suamiku. “Coba deh Bayu ditanya, kalo umpama dia berangkat Cuma ama aku aja, mau apa nggak” perintah mas Hendra.

“Hei… mama ga ikut… mama ga ikut” kata anakku itu ketika diberitahu kalau hanya dia dan Ayahnya yang akan berangkat ke Bandung. “Bilang Inah untuk ga pulang minggu ini ya, biar nemani kamu” kata suamiku sebelum berangkat. Akhirnya sekitar jam setengah 12, expander putih itupun melaju menuju ibukota provinsi. Sekala itu juga aku langsung mengabari ayah mertuaku kalau mas Hendra sudah berangkat.

Aku : “Mas Hendra sdh brgkt Kung, barusan. Nanti mlm nginep sini ya?”

Kung : “Bsk aja Nuk, sekalian setelah antar Doni perjusami”

Aku : “Huu. dah lama lho Kung.mulai selasa kmrn mens nya Ninuk selesai,blm disambangi”

Kung : “Iya, besok Nuk”

Iya ada benernya juga sih, kalau besok setelah Doni berangkat Perjusami, tinggal aku sama Inah yang ada dirumah. “Ok deh. Sip” gumamku.

Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Categories

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

BTemplates.com

POP ADS

Blogroll

About

Copyright © Cerita Panas | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com