Keesokan harinya, aku tidak ikut suamiku yang akan pergi ke rumah dokter Mel*ni untuk meminta “jatah” . Tidak ada kegiatan juga dirumah, kantor juga baru buka nanti jam 1 an. Paling sekarang hanya ada si Herman yang lagi bersih-bersih. Suntuk juga. Akhirnya aku memutuskan untuk ke lahan tempat suamiku bercocok tanam. Mungkin pemandangan alami bisa membuat pikiran ini lebih tenang. Untung saja mas Hadi tadi membawa mobil, jadi motornya tidak terpakai dan bisa kugunakan.
Sekitar lima belas menit kemudian, aku pun sudah di atas motorku dan beberapa saat setelahnya, sampailah aku di tempat yang kutuju. Sawah itu tampak lengang, bahkan bisa dibilang sepi. Terlihat hanya ada satu orang di kejauhan dan itu bukan lahan suamiku. Entah kenapa juga tidak ada yang berkerja hari ini. Aku memang tidak seberapa paham, biar tetap jadi urusan suami. Yang penting ketika panen, pundi-pundi nya masuk ke aku, hehe. Aku pun segera duduk di tempat aku biasa menunggu suamiku kalau sedang bersama di situ. Memang pemandangan yang sangat menyejukkan.
Tak terasa sekitar satu jam sudah berlalu ketika tiba-tiba ada dua pemuda yang menghampiriku. Bahkan salah satu diantaranya, yang di kedua tangannya dipenuhi tato langsung duduk di sebelahku. Mengetahui hal itu, aku langsung menggeser tubuhku mepet ke balok bambu yang menopang atap pos gardu itu.
“Kok sendirian aja bu… tersesat atau mogok sepeda motornya?” tanya pemuda yang duduk di sampingku. “Iya nih, ga baik melamun, lebih baik ajak kita-kita senang senang” kata pemuda yang satunya lagi yang berdiri di depanku. Dari mulutnya tercium bau tape alias alkohol.
Aku rasa aku tidak perlu menjawab pertanyaan mereka. “Loh kok diam saja, bisu ya… wah cantik-cantik bisu ternyata” lanjut pemuda yang berdiri. “Iya, ga papa, boleh dong… mumpung sepi nih” kata pemuda yang duduk dan menggeserkan tubuhnya mendekatiku sehingga aku pun langsung berdiri untuk menghindarinya. “Apaan sih. Siapa kalian?” hardikku. Tapi pemuda yang berdiri seolah menghadangku dengan tubuhnya. “Tak perlu kenal lah” yang penting rasanya” kata nya. Aku semakin takut. “Jangan macam-macam ya, kalo nggak aku teriak” ancamku yang tampaknya tidak digubris oleh mereka.
“Nggak macam-macam, satu macam aja… teriak aja yang kenceng, ga ada orang di sekitar sini” kata pemuda yang bertato yang kemudian juga beranjak berdiri. “Rom, ada motor” kata salah seorang dari mereka yang sepertinya menghentikan aksi mereka padaku. Terdengar suara motor dua tak semakin mendekat dan bahkan berhenti di dekat kami berdiri. “Loh, bu Hadi… sendirian bu?” tanya lelaki berbadan gelap dan kekar. Aku bisa mengenali kalau dia ini salah sorang pekerja yang ikut suamiku, meski aku tidak pernah berbincang dengannya. “Rom, Jun.. kalian ngapain disini? Kalian jangan macam-macam sama ibu ini ya. Tak pacul ndasmu nanti!” kata lelaki itu dengan nada tinggi setelah melihat wajahku yang dipenuhi rasa ketakutan. “udah pergi sana! Awas kalo kamu ganggu bu Hadi lagi. Urusannya denganku!” lanjutnya. “Iya pak lik” jawab salah satu dari pemuda itu kemudian pergi meninggalkan kami dengan agak tergesa.
“Bu Hadi ga papa?” tanyanya. “Maaf bu, itu tadi anak-anak sini, pengangguran, ga jelas. Mereka ga ngapa-ngapain kan bu?” tanyanya. “Untung ada bapak… terima kasih ya pak” kataku lega. “Oh nama saya Kandar bu, Iskandar. Saya ikut kerja dengan pak Hadi” katanya mengenalkan diri, mungkin dia sadar aku ga tahu namanya. “Iya pak, saya tahu, saya cuma nggak tahu nama bapak. Terima kasih pak” kataku kembali megucapkan terima kasih.
“Lho memang bapak kesini bu? Kayaknya nggak deh, baru besok janjian dengan saya untuk cari orang cabutin rumput liar” tanya lelaki yang bernama Iskandar itu. “Iya, nggak, tadi bapak ada urusan. Trus saya juga kebetulan lewat daerah sini, langsung aja mampir” jawabku beralasan. “Oh, hati-hati bu, mending kalo kesini sama bapak saja, takut ada yang ganggu kayak anak-anak tadi” katanya. “Loh ini pak Kandar mau berangkat kerja atau mau pulang?” tanyaku. Kulihat ada sebuah cangkul diikatkan di motor suz*ki RC yang sudah ga karuan bentuknya.
“Oh, ini mau pulang sebentar bu. Mari kalau mau mampir kerumah?” katanya. “Oh nggak pak, biar saya pulang saja, kejadian barusan buat deg-deg an juga” jawabku. “Oh kalau begitu, biar saya antar sampe jalan besar bu, eh maksud saya biar saya temani sampe sana. Takutnya anak-anak tadi masih nungguin” katanya. “Oh, gitu ya pak… baik. Pak. Terima kasih” jawabku kemudian segera naik ke sepeda motorku. Apesnya, ban motorku saat itu gembos.
“Waduh, bocor ya bu… gimana ya.. hmmm.. kalau ibu nunggu disini sendirian juga bahaya… sebentar bu” katanya kemudian sepertinya menelepon seseorang dengan HP tulalitnya. “Saya baru telpon teman bu biar susul kesini. Biar nanti dia yang bawa motor ibu ke tukang tambal. Saya nemani ibu disini. Atau, mungkin ibu mau mampir kerumah? Deket kok bu.. itu setelah belokan dikit” kata lelaki itu. “Iya udah, terserah pak Kandar, gimana baiknya” jawabku.
Sepuluh menit kemudian ada seseorang datang dengan motor matic juga. “Wan, ini sepeda motornya bu Hadi bocor. Biar bu Hadi tak ajak kerumah, kamu nunggu disini ya jagain motornya bu Hadi, pinjam motormu juga, punyaku ga bisa buat boncengan” kata pak Kandar ke seseorang yang entah sapa namanya, Iwan atau wawan atau Wanto, yang jelas ia memanggilnya “Wan”. “Oh iya pak.. bu….” Kata lelaki itu yang juga menyapaku. “Dia juga kadang juga ikut kerja dengan pak Hadi bu” jelas pak Kandar.
Sesaat kemudian aku sudah berada di atas motor, pak Kandar mengantarkanku ke rumahnya untuk menunggu sepeda motorku ditambalkan. “Kalau disini aman bu. Di rumah tinggal ibu saya, ada di dalam. Sudah jarang sekali keluar, sudah tua, usianya hampir 90 tahun” kata lelaki itu mempersilahkan aku masuk di ruang tamu rumahnya yang sederhana. Rumah itu terletak agak masuk ke pelosok, meski tidak terlalu jauh. Tapi sepertinya tetangganya pun tidak ada. Yang ada hanya kumpulan pohon bambu yang menggerumbul yang orang sini menyebutnya barongan.
“Oh iya pak, terima kasih. Ini uangnya untuk tambal ban, kalau umpama ban dalamnya sudah jelek sekalian diganti saja pak” kataku kemudian menyerahkan selembar uang merah kepadanya. Setelah itu ia pun meninggalkan aku sendiri di rumah itu. Eh nggak sendiri ding, ada ibunya katanya di dalam rumah.
Hampir sejam kemudian barulah pak Kandar datang kembali dengan membawa sepeda motorku. “Ini bu, kembaliannya. Tadi jadi ganti ban dalam, sialnya tambalannya sudah banyak. Trus sekalian saya belikan bensin” kata lelaki itu sambil menyodorkan beberapa lembar uang kepadaku. “Biar udah, buat bapak saja kembaliannya” jawabku. “Loh, sepeda motor bapak gimana? Ditinggal di sawah?” tanyaku. “Iya bu, kalo itu sih, ga ada yang bakal mau, aman” jawabnya sambil tersenyum. Kemudian aku pun diantarnya ke tempat sepeda motornya dan langsung pulang.
Sore harinya aku menceritakan pengalamanku tadi ke suamiku. “Untung aja ada Kandar, kalo nggak… kamu sih makanya, ngapain juga sendirian kesana” respon suamiku. “Udah lah, yang penting kamu ga apa-apa. Btw, kasian itu si Kandar. Istrinya meninggal, kena covid. Dua anaknya merantau ke ibukota. Dia tinggal sendiri sama ibunya yang sudah tua sekali, kayaknya hampir 100 paling umurnya, udah ga bisa aktivitas, pendengarannya pun sudah ga seberapa fungsi” jelas suamiku. “Tadi juga Kandar nelpon ceritanya gimana, kasih tahu aku kalo kamu kesana dan ada kejadian itu” lanjutnya lagi. “Iya mas” jawabku singkat.
Beberapa bulan kemudian, di suatu pagi, hari kamis kalau ga salah, aku sudah akan bersiap ikut suami ke lahan sawahnya, memang akhir-akhir ini aku sering ikut suamiku, tinggal menunggunya mengantar si Bayu sekolah, kalau si Doni sekolahnya sudah naik sepeda pancal sendiri. Pemandangan alam, meski hanya sawah yang membentang cukup luas itu sangat menarik keinginanku untuk terus datang dan datang lagi.
“Lho kamu mau kemana?” tanya suamiku. “Lah, kan mau ke lahan mas, ikut mas” jawabku. “hehe, iya aku lupa bilang ya Nuk, hari ini rencana aku mau ke Tulungagung, ada urusan dikit sama tanah sangkolan yang disana. Kalo kamu mau ikut ya ga papa, paling sore atau malam nanti dah pulang kok” kata lelaki itu. “owalah, ga mas, Ninuk ga enak kalo urusan sangkolan, biar mas sendiri aja. Takut dikiranya Ninuk ikut-ikut urusan warisan nanti” jawabku. Setelah itu lelaki itu pun sarapan, dan setelahnya ia pamit untuk berangkat. “Naik Mobil mas?” tanyaku. “Iya Nuk, nanti kan juga rombongan. Orang 4 sih” jawabnya.
Setelah suamiku berangkat, pikiran nakalku pun kembali menyeruak menyelimuti otakku, karena sudah tiga hari ini birahiku dibiarkan menumpuk oleh suamiku, tanpa disentuhnya sama sekali dan tiba-tiba kesempatan itu pun datang pagi ini. “Faris atau pak Dokter ya” gumamku langsung menimang-nimang siapa yang bakal menjadi partnerku hari ini. Tapi saat enak-enaknya memikirkan dan membayangkan apa yang akan kulakukan, tiba tiba pagar rumah terbuka yang lumayan mengejutkanku. Siapa kah gerangan yang datang sepagi ini.
“Oh, ternyata si Doni, anakku”. “Kok udah pulang mas?” tanyaku menyambutnya, agak aneh juga sepagi ini dia kok sudah pulang lagi. “Iya ma, ini juga mau balik lagi, ada pertandingan basket di SMP **, Doni mau ganti baju olah raga dulu. Ini temen-temen Doni juga mau mampir ke sini nanti berangkat sama-sama” katanya sambil melepas sepatunya. “Ikut main atau hanya suporter? Tanyaku lagi. “Suporter ma.. doni kan ga bisa Basket, tapi tapi semua siswa diwajibkan ikut jadi penyemangat” sahutnya.
“Hmmm… seragam olah raga ya? Anu, kayaknya masih belum disetrika deh, kan dua hari lalu baru kamu pake, tapi kayaknya sudah dicuci sama bi Inah. Ke bi Inah aja, minta setrikain dulu aja” kataku memberi solusi pada anak lelakiku. “Iya ma.. “ sahutnya singkat dan berlalu ke belakang. Kemudian terdengar pintu pagar terbuka lagi. Kulihat rupanya si Irfan dan satu lagi temannya Doni yang ga pernah kukenal datang.
Hati kecilku pun tersenyum. Tiba-tiba pikiran untuk menggoda teman-teman anakku pun hadir. Mungkin ini saatnya.. rencana ekshib ke teman-teman anakku kapan hari juga masih belum pernah terlaksana. Baru hari ini mereka datang ke rumah. Kebetulan juga kala itu aku hanya memakai tanktop panjang warna cokelat susu yang kugunakan sebagai daleman gamisku ketika tadi pagi mau berangkat tapi nggak jadi. Tapi tetep aku masih pakai CD dan BH. Rambutku pun tetap terikat sehingga leher dan sebagian pundakku yang putih mulus juga terpampang manis.
Ada perasaan deg-deg an juga sih ketika aku memutuskan beranjak keluar untuk menemui mereka. Dan memang itu baru pertama kali aku lakukan dengan sengaja dengan penampilan seperti itu. “Eh Irfan, trus mas nya ini siapa?” tanyaku. Kulihat mata mereka melihatku tapi nampak seperti malu-malu. “Oh, ini Bejo tante…” kata Irfan mengenalkan teman yang duduk di sebelahnya. “Bukan tante, Bejo hanya panggilan, nama saya Johan, bukan Bejo” sahut anak laki-laki yang tampak duduk di teras, mungkin mereka enggan untuk membuka sepatunya. “Oh, belum pernah main kesini ya?. Kalo Irfan sering” jawabku. “Iya Tante, ini pertama kali kesini” jawab si Johan.
“Oh, iya… tunggu sebentar ya. Doni masih ganti baju. Ayo kalau mau masuk” kataku. “Biar tante, kami di sini saja. Habis ini juga berangkat lagi kok” jawab si Bejo eh Johan. “Ya udah, tante masuk dulu ya” kataku kemudian berjalan perlahan memasuki rumah kembali. Di bayangan yang tampak di jendela kaca depan terlihat kalau kedua anak itu terus memandangiku ketika berjalan yang membuatku tersenyum.
Tidak hanya tersenyum, juga seperti apa ya. Seperti aneh gitu, geli, lucu tapi yang jelas, hal itu juga mengundang syahwatku. Lalu aku mengambil 2 botol air mineral yang kugunakan sebagai alasan untuk kembali ke teras di mana dua teman anakku itu duduk menunggu. “Ini ada air mineral, mungkin nanti bisa untuk bekal, katanya ada pertandingan basket ya?” kataku sambil menyerahkan botol yang aku bawa ke mereka. “Eee.. nggak usah… tapi… terima kasih bu” kata Irfan. Entah apa yang mereka pikirkan tapi yang jelas kurasakan mata itu kembali terpusat padaku. Aku lalu berpura-pura menata sandal-sandal yang ada di teras lalu mengambil sapu dan mulai membersihkan teras yang sebanarnya sudah bersih.
“Sebentar ya, mau Tante sapu dulu.. jangan duduk di bawah situ. Kotor” kataku sambil terus menyapu. Sama sekali tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut kedua anak itu. Entah apa yang mereka lakukan. Tapi yang pasti mata mereka sesekali melirikku. Dan aku tahu itu. Tak lama kemudian si Doni muncul dari dalam garasi, tampaknya dia sudah siap berangkat. “Ayo Fan, Jo” katanya. “Ma, Doni berangkat..” pamit anakku kemudian salim dan cium tanganku. Hal yang kemudian berurutan dilakukan oleh Irfan dan Johan. “Tante, kami berangkat dulu.” Pamit Irfan. Kemudian terakhir si Johan dan tak sengaja kulihat bagian depan celana olah raga anak itu, ternyata benar. Ada gundukan. “Ngaceng kah?” tanyaku dalam hati.
Aku kemudian duduk di sofa tengah sesaat setelah Doni dan teman-temannya berangkat. Masih bingung juga di pikiranku. Semakin kalut ketika birahi sudah semakin menggebu. Kemaluanku pun basah merindukan sesuatu masuk di dalamnya.
Kulihat jam yang sudah menunjukkan hampir setengah sepuluh. Opsi dengan pak dokter pun segera kubuang karena biasanya jam 10 pasiennya habis dan bu dokter juga pasti sudah balik ke rumahnya, tinggal Faris kemungkinan yang bisa. Iya si Faris. Hanya saja ternyata kala itu si Faris pun tidak bisa karena pagi itu dia mengantarkan ibunya kontrol. “Maaf bu, sekarang Faris masih antar ibu ke RS. Tapi kalau nanti malam bisa” jawabnya di text WA yang menambah kesialanku pagi itu. Gagal total rencana pagi ini.
Kesempatan ada, eh orangnya yang ga yang bisa. Ahh, mungkin harus menunggu nanti malam memang. Akhirnya aku pun memutuskan untuk menanti suamiku saja. Atau mungkin kalau ada kesempatan ya si Faris yang katanya siap lembur juga. Tapi ya, gimana ini, birahi rasanya sudah tidak bisa kutahan lagi. Masturbasikah? Ahh, itu hal yang tak pernah kulakukan lagi semenjak mengenal seks yang sebenarnya setelah nikah dengan mas Hendra dulu.