𝐃𝐞𝐦𝐢 𝐀𝐥𝐚𝐬𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐬𝐞𝐡𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐄𝐩𝐢𝐬𝐨𝐝𝐞 𝟐𝟑


Keesokan harinya sekitar jam setengah sepuluh aku dan suamiku sudah berada di atas mobil meramaikan kondisi jalanan kota untuk menuju ke rumah dimana disana menunggu pasangan dokter sesuai dengan rencana yang disusun. Sekitar dua puluh menit kemudian kami pun sampai di rumah yang pagarnya masih tertutup itu. Terlihat beberapa kendaraan terparkir di dekat prakteknya.

“Lewat mana ini Nuk? Apa lewat tempat praktek itu kah? Coba kamu hub bu dokter” kata suamiku. “Oh iya bu, sebentar” jawab suara wanita kemudian menutup telponku. Beberapa saat kemudian kulihat pintu utama rumah ber cat hijau itu terbuka. “Itu mas, ayo” ajakku kemudian keluar dari mobil. “Ayo, mari silahkan masuk bu Hadi.. pak Hadi” sambut wanita yang masih memakai seragam kebesaran nakes. “Oh iya, pak Hadi, saya Mel*ni” kata wanita itu kemudian bersalaman dengan suamiku.

Ia mempersilahkan kami duduk di ruang tamu kemudian masuk ke dalam. Beberapa saat kemudian wanita itu pun kembali dan menempatkan dirinya duduk di hadapan kami. “Maaf, masih pakai baju begini. Baru datang. Trus mas R*ny masih ada satu pasien lagi” katanya membuka pembicaraan pagi itu.

Kami bertiga pun ngobrol panjang lebar. Suasana yang pertama nya agak kaku, akhirnya menjadi semakin akrab diselingi candaan dan guyonan. Ternyata juga kota kelahiran wanita itu sama denganku. Setengah jam kemudian, akhirnya suami wanita itu pun bergabung.

Pembicaraan kemudian berlanjut pada rencana yang tersusun. “Gimana bu Hadi, apa sudah cerita ke pak Hadi?” tanya wanita itu. “Sudah bu” jawabku. “Pak Hadi setuju?” tanya suaminya. “Ya jelas setuju lah dok” la bu dokter orangnya cantik begitu” jawabku yang langsung menerima cubitan ringan di tangaku. “Ah bu Hadi bisa saja… bu Hadi juga cantik kok… ” kata wanita itu tersipu.

“Iya, mungkin ini juga usaha yang kita lakukan karena kita juga mempunyai masalah yang sama. Tapi tolong, ini tetep jadi rahasia kita berempat” kata pak dokter. “Dan kayaknya kita sama-sama klik ya” lanjutnya yang mebuat kami semua tersenyum. “Kapan bisa mulai?” celetuk suamiku. “Tuh kan bu… ngebet” sahutku yang kembali mengundang tawa kami berempat.

“Ayo bu Hadi, kita ngobrol di ruang tengah. Biar sama-sama kayak pacaran lagi dulu, hehe” ajak lelaki itu. “Ijin ya pak Hadi” katanya kemudian berdiri yang segera kuikuti. Kamipun duduk di ruang tengah dimana kemarin aku dan dokter itu berhubungan badan.

“Biar mereka ngobrol dulu ya” katanya kemudian duduk pas di sebelahku. “Iya dok” jawabku. “Eh, hayo kalo lagi gini jangan panggil dok dong… panggil mas atau apa gitu..” katanya. “Iya mas… trus mas juga panggil Ninuk atau dik juga ga papa” jawabku.

Tidak sampai sepuluh menit, kemudian terlihat suamiku dan bu dokter berjalan berdua menuju sebuah kamar yang terletak di sebelah ruang tamu. Wanita itu sempat melambaikan tangannya pada kami sebelum menutup pintunya. “Eh, ayo mereka sudah masuk kamar” ajak lelaki itu kemudian kami pun masuk juga di kamar yang sama, tempat kami dulu pertama melakukannya.

“Aku kok pengen lihat mereka ya… sebentar” katanya kemudian mengambil hp nya. Aku tertarik juga apa yang dilakukan lelaki itu juga melihat apa yang dilakukannya. “Aku sengaja pasang cctv bu, di kamar itu. Nah ini” gumamnya. “Sebentar… sebentar..” Katanya kemudian menghidupkan sebuah TV LED yang super besar yang ada di kamar itu. Entah berapa inch, 75 kali.

“Nah… bisa. Sini bu” gumamnya kemudian duduk di tepi ranjang. Kamipun melihat Live show yang ada di kamar sebelah. “Aduhh mamaaa… “ Gumam lelaki itu ketika melihat suamiku sedang menjilati buah dada istrinya yang tampak tidak begitu besar, masih besar punyaku, hehe. Baju wanita itu tampak sudah terlepas. “Andai ada suaranya, tambah greget ya mas” gumamku yang santai melihat adegan itu. Aku kan memang sudah beberapa kali melihat suamiku berhubungan intim dengan wanita lain, bahkan bersama di satu tempat.

Lelaki itu tampak panas dingin melihat istrinya sedang berhubungan badan dengan suamkiku, meski hanya lewat layar televisi. Lalu ia langsung berusaha melepas baju yang kupakai, ingin juga segera melakukannya denganku. “Mas, gimana kalo kita nanti aja, setelah mereka selesai” kataku. “Gimana maksudnya?” tanyanya. Aku kemudian berdiri melepas terusan lengan panjang yang kupakai. Aku sengaja memakai baju dinas malam sebagai daleman, tapi tetap menggunakan bra dan CD juga karena dalemannya terlalu tipis.

“Nanti kita mainnya pas bareng mereka, gimana? Kayaknya bu dokter ga mau kalo mainnya bareng-bareng, malu katanya. “ sahutku. “Oh gitu ya, aku juga ga pernah gitu, bisa nggak ya” katanya. “aku juga mas, coba aja” jawabku. Akhirnya kami menikmati live show antara suamiku dan istrinya kala itu. Tapi beberapa menit kemudian, lelaki itu pun menyetubuhiku juga. Ga kuat katanya nahan sampe nanti. Aku yang juga sebenarnya menahan birahi juga langsung melayani permainan lelaki itu hingga ia melepaskan spermanya di dalam tubuhku. Terlihat suamiku masih menggenjot tubuh bu dokter di posisi doggy style.

Sekitar lima belas menit kemudian suamiku tampak mencapai puncak kemikmatannya. Sebenarnya aku juga terbakar rasa iri, bagaimana tidak, beberapa waktu belakangan ini, ia tampaknya tidak bergairah sama sekali denganku. Tapi pas lihat dengan wanita itu, ia kembali seperti sedia kala.

“Ayo bu, mereka sudah keluar kamar” kata lelaki itu mengajakku. Kemudian ia terlihat hanya memakai singlet dan celana pendek ketika keluar. “Eh, sudah selesai juga ternyata” kata lelaki itu menyapa suamiku dan bu dokter yang duduk di sofa tengah. “Ahhh… papa kok ga pake baju… bu Hadi…” gumam wanita itu ketika melihatku bahkan memakai baju dinas malam. Sehingga bagian-bagian pentingku tampak samar. Kami kemudian membicarakan tentang apa yang kami lakukan. Pengalaman, dan sensasinya.

Terus terang obrolan tentang hubungan intim pagi itu kembali membuat birahiku muncul. Aku kemudian langsung menarik celana pendek pak dokter yang duduk di sebelahku dan mengulum penisnya yang masih lemas. “Ahhh… bu Hadi…” gumam istri lelaki itu yang tak kuhiraukan. Aku tetap menjilati penis suaminya sampai mengeras dan siap melaksanakan tugasnya lagi.

“Ayo dong maa” kata lelaki itu pada istrinya. “Kasihan tuh punya pak Hadi, nganggur” katanya lagi. “Ahhh… papa” gumam wanita itu. Beberapa saat kemudian ternyata wanita itu juga sudah menghisap penis suamiku yang hanya berjarak tidak sampai dua meter dengan posisiku. Wanita yang kemarin bilang tidak mau kalau main bersama-sama akhirnya luluh juga.

Aku kemudian berdiri dan melepas baju dinasku sehingga aku telanjang bulat dan langsung menaiki tubuh pak dokter untuk memulai permainan yang kuawali dengan posisi WOT. Kulihat wanita itu juga melakukan hal yang sama pada suamiku. Ia melepas dasternya dan langsung menaiki tubuh suamiku.

Akhirnya kami berempat pun terlibat permainan penuh nafsu dan kenikmatan. Sebuah hal baru yang belum pernah kami lakukan sebelumnya. Kadang pun kami bergantian. Kadang pak dokter yang menuyetubuhiku, kadang pula suamiku. Hingga sekitar hampir empat puluh lima menit pak dokter tak kuasa lagi membendung klimaksnya dan memintahkan air maninya di dalam tubuhku untuk yang kedua kalinya. Beberapa saat kemudian suamiku pun demikian, ia juga mencapai puncak kenikmatannya bersama bu dokter dan mengakhiri permainan gila itu. Sekitar jam satu siang, kami pun pamit untuk menjemput anak-anak pulang sekolah. Dan di malam harinya, suamiku mengajakku kembali berhubungan badan.

“Ahh. Dia sudah sembuh” gumamku.

Setelah pertama kali aku, suamiku, pak dokter dan istrinya melakukan tukar pasangan dan orgy itu, akhirnya kamipun rutin melakukannya dengan perjanjian tiap dua minggu sekali, bisa dirumah mereka, bisa di tempat kami. Tapi meski demikian, kadang-kadang aku juga datang menyamar sebagai pasien untuk bisa quickie sex dengan pak dokter seperti yang kulakukan kapan hari. Memang, menurutku sih, ketika main belakang itu terasa lebih greng. Ada bumbu deg-deg anya, keburu waktu. Malah di saat-saat itu aku sering cepat orgasme.

Kami pun juga sepakat apabila misal aku mens, suamiku boleh meminta bu dokter untuk melayaninya, demikian pula sebaliknya, ketika wanita itu halangan, suaminya pun boleh berhubungan badan denganku.

Untuk hubungan gelapku dengan Faris dan Aldo, masih tetap kujaga, meskipun secara kebutuhan biologisku sudah terpenuhi dengan suamiku bahkan dengan bantuan pak dokter, rutin aku tetap membagi dengan mereka. Bagaimanapun aku yang telah mengajari Faris mengenal apa yang namanya surga dunia. Tapi untuk si Aldo, aku sudah menghentikannya ketika dia sudah menikah dengan Vira sebulan yang lalu, dia pun memahami itu.

Di rumah juga demikian, anak-anakku juga sudah paham kalau kung nya ini yang menggantikan ayahnya. Dengan berjalannya waktu mereka pun sepertinya memahami. Tapi hal ini yang juga membuatku repot untuk mencari alasan, apalagi ketika si Doni sudah minta untuk punya kamar sendiri, tidak sama-sama adiknya. Kamar atas yang biasa jadi tempat berolah raga sama Faris dan suamiku, bahkan dengan pak dokter pun sekarang sudah dikuasai anakku yang pertama.

Hari-hari pun berganti, minggu pun berlalu, bulan pun terus berjalan hingga tahun pun turut mengikuti berputarnya waktu. Kehidupanku dan keluargaku pun berjalan biasa-biasa saja. Hubungan dengan keluarga pak dokter pun juga tetap berlangsung, si Faris pun juga tetap ku ”pelihara” sesuai janjiku sampai dengan dia menemukan wanita idamannya untuk dinikahi meskipun intensitasnya juga tidak sesering sebelumnya. Hanya saja si Vira dan Aldo beberapa bulan setelah menikah, ternyata mereka harus pindah ke kota asal si Aldo untuk menemani orang tuanya dan melanjutkan usaha keluarganya juga.

Untuk posisi Vira aku sudah menemukan gantinya, namanya Elly, baru lulus juga dari perguruan tinggi lokal di kotaku. Sedangkan tenaga packing, sementara dibantu Herman yang tak lain adalah suaminya si Inah, pembantuku. Karena itu pula akhirnya si Toni, anak mereka pun ikut di rumah kami. Si Toni ini yang kemudian sering diajak main ama si Bayu, anakku yang mulai ditinggal kakaknya yang baru menginjak SMP karena sibuk dengan urusannya sendiri.

Kehidupan ekonomi keluarga kami pun masih baik-baik saja bahkan bisa dibilang lebih dari cukup dengan tambahan usaha pertanian yang dilakukan suamiku. Ya mungkin kebutuhan juga masih belum terlalu besar, sekolah anak-anak masih sepenuhnya disokong bantuan pemerintah, entah nanti kalau mereka sudah kuliah, nggak tahu lagi bagaimana. Beberapa investasi tanah, yang memang cukup menjanjikan sudah kami lakukan, paling tidak ketika anak-anakku nanti dewasa, mereka sudah punya tabungan sepetak tanah.

Kebutuhan batin pun juga demikian, mungkin di akhir-akhir ini juga tidak se intens dulu, tapi menurutku juga masih cukup. Memang mungkin faktor usia juga yang sudah lebih dari 60 tahun. Kesehatan prostat mas hadi juga tidak ada masalah. Belum terpikirkan untuk menambah partner baru lagi dalam dosa yang menyenangkan. “Bantuan” mamaku juga sudah terhenti karena sudah ada pak dokter dan istrinya.

MMF yang dulu pernah menjadi impianku, sekarang juga sudah tidak lagi setelah kejadian dengan Faris dan Aldo dulu, boleh dibilang sangat menguras energi. Pernah juga terbayang pak Zen yang ada di Malang dengan penisnya yang oversize SNI, tapi juga ya hanya terbayang saja, entah tidak ada kesempatan atau gimana. Pak Maman juga belum kesampaian. Dan memang dari aku nya yang sepertinya tidak klik dengan orang itu.

“Mas… Doni kapan hari minta sunat. Katanya malu, temen-temnnya sudah banyak yang sunat” kataku pada suamiku di suatu malam setelah makan. “Lho iya, memang sudah waktunya Nuk… dah bisa ngaceng juga hehe… paling juga tititnya dah bisa keluarin mani. Jangankan Doni yang kelas 1 SMP. Toni anaknya si Inah aja yang masih kelas 3 SD kalo liatin kamu, hehehe, ga kedip” jawab suamiku sambil tersenyum. “Hush… apaan sih mas” sahutku. “Lha iya memang kan… ayo udah, kapan. Mungkin liburan cawu ini bisa. Nanti sekalian tak carikan tanggalnya” kata suamiku. Memang di tradisi jawa khususnya di tempat kami untuk acara-acara penting yang penting seperti sunat, nikahan, tasyakuran, untuk mulai merehab atau membangun rumah dan bahkan hanya untuk pindahan rumah pun harus ada hitungan hari baiknya. “Iya mas, nanti juga tak bilang ke si Doni” jawabku. “Nggak perlu acara yang mewah-mewah Nuk. Mungkin nanti dananya bisa dibuat tabungannya si Doni aja” sambung suamiku.

Kata-kata suamiku tadi sempat membuatku menerawang, mengingat momen ketika anaknya Inah itu saat melihat atau melirikku. Bener juga sih. Padahal aku kalo di rumah, sewaktu siang, pakaianku tidak pernah terlalu vulgar. Paling banter hanya daster tanpa lengan, itu pun aku selalu memakai BH. Ah, laki-laki kayaknya begitu semua, dari yang sudah berumur sampai bocah ingusan kayak si Toni itu. Tak jarang, mas-mas melijo yang sering mampir untukku dan Inah belanja, juga kalau melihat kayak menelanjangiku. Bahkan pernah ketika aku terpaksa naik becak untuk mengantarku ke minimarket, pak becaknya sampa mencari jalan yang memutar ketika mengarkan aku pulang. Katanya jarang-jarang bu Hadi naik becak saya. Ada-ada saja.

Pun juga teman-teman sekolah si Doni ketika main-main kerumah. Apalagi si Irfan, yang memang satu sekolahan lagi dengan anakku. Sempat juga menggoda mereka, maksudnya ya hanya menyempatkan ngobrol lebih lama dengan mereka. Itupun sepertinya sudah membuat mereka gugup, tapi untuk ekshib, biarlah. Aku juga ga ingin mereka dewasa sebelum waktunya. Biarlah mereka tumbuh bersama fantasinya sendiri, seperti apa yang dikatakan suamiku.

Toh juga yang menjadi imajenasi anakku bukan aku, ibunya sendiri. Kata suamiku, kalau hal itu yang terjadi, sampai si Doni nafsu atau menyimpan birahinya padaku, itu hal yang sangat aneh dan tidak wajar mungkin bisa dianggap kelainan. Kalau dengan ibu temannya, atau kakak temannya, itu masih lumrah. Memang anak-anak cowok kadang juga suka yang lebih dewasa darinya bukan yang seusia dengan mereka. “Tetep dikontrol Nuk, HP nya di Doni” kata suamiku. Secara berkala aku pun melakukannya, secara diam-diam sih, kalau aku memintanya dari anakku, pasti dia sudah clear chat atau apa. Dan untung juga semua anakku cowok, entah bagaimana kalau punya anak cewek, harus lebih ekstra untuk proteksinya.

“Heh, kok malah ngelamun… bayangan apa hayo… titit-titit bocil ya??” kata suamiku sambil tertawa yang langsung mengagetkanku. “Ihhh… apa sih mas… nggak” jawabku. “Yang tua udah, yang seumuran udah, eh belum ya kalo seumuran. Yang muda belum, apalagi yang punya bocah” kata suamiku sambil tetawa kecil. “Apaan sih mas” sahutku. “Emang kamu ga pengen coba yang muda-muda ta Nuk?” tanya suamiku lagi.

“Emangnya boleh ya??” tanyaku dengan nada agak menggoda sambil mengikat rambutku. “Ya kalo kamu mau… tuh ama Toni atau teman-temannya Doni” jawab lelaki itu. “Itu ya kemudaan mas!” ga mau lah!” sahutku. Memang suamiku masih belum tahu hubunganku dengan Faris, atau si Aldo dulu. “Kenapa sih, kok mas malah kayak suruh aku ama bocil-bocil itu?” tanyaku. “Ya ga gitu Nuk.. dulu mas aku jaman kecil, ya bayanginnya ya itu-itu. Tapi ya cuman bayangin, hehe” jawabnya. “Terus?” tanyaku. “ya ga pernah kesampaian sih, sampe baru pertama ngerasakan ya waktu nikah. Kalo dulu itu, liat tetangga sedang netekin anaknya aja aku dah sueneng pol. Cerita ke taman-teman ga selesai-selesai” lanjutnya. “Ihh… itu sih mas yang dulunya ganjen. Masak liat orang netek’i anaknya aja udah ngaceng” jawabku.

Tapi kupikir-pikir, lucu juga sih.. eh asik juga sih, kalo sampe ekshib tipis-tipis ke mereka. Kata suamiku, bahkan liat orang nyusui aja sudah greng. Hehe. Kapan-kapan ah dicoba. Cuman ekshib aja, ga sampai ke yang lainnya. Ga boleh. Mungkin menambah bahan untuk imajenasi mereka saja.

“Anak-anak sudah tidur paling Nuk… ayo” ajak suamiku. “Kemana mas? Lupa ya, kalo tamuku dateng tadi pagi” jawabku. “Waduh, iya…” sahutnya. “Cepet sana hubungi bu dokter, minta jatah kesana” jawabku. “Huu, senengnya…” lanjutku yang membuat lelaki itu nyengir.


 

Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Categories

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

BTemplates.com

POP ADS

Blogroll

About

Copyright © Cerita Panas | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com