𝐃𝐞𝐦𝐢 𝐀𝐥𝐚𝐬𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐬𝐞𝐡𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐄𝐩𝐢𝐬𝐨𝐝𝐞 𝟐𝟓

 


Waktu berjalan terasa sangat lambat. Kulirik jam di dinding, belum menunjukkan jam sebelas. Sempat terpikir olehku untuk ke lahan sawah milik suamiku untuk menghilangkan penat, tapi yang jelas jam segini mungkin para pekerja juga sudah pulang. “Pak Kandar” gumamku. Tapi gimana mungkin untuk melakukannya dengannya. Terbayang sesosok lelaki berusia sekitar 40 an. Kulitnya coklat tua karena sering terbakar matahari.

Fetish ku sendiri memang orang-orang yang berkulit gelap, bukan seperti cowok-cowok artis korea an gitu. Dari beberapa orang yang pernah main sama aku, hanya pak dokter yang kulitnya putih, lainnya lebih gelap dari kulitku. Entah mungkin kalo pak dokter itu ada yang lain, status mungkin, hehe. Tapi yang jelas laki-laki berkulit gelap buatku, seperti lebih macho saja.

Nah pak Kandar ini sebenarnya juga masuk kriteria, tapi ya masak tiba-tiba aku datang terus minta dia gituan sama aku. Ya kan ga lucu juga. Meskipun kira-kira 99,9 persen pastinya dia ga bakal menolak. Lalu juga masih kepikiran dia bersih apa nggak, terkait statusnya yang duda beberapa tahun. tidak menutup kemungkinan kalau dia sudah sering “jajan” PSK atau apa sebutan lainnya untuk memenuhi kebutuhan seksualnya.

“Kondom”… ya kondom lah, meskipun memang tidak seenak yang polosan, tapi pengaman itu perlu ketika kita tidak yakin akan pasangan kita, terlebih itu pasangan baru. Kalau resiko hamil aku masih percaya dengan spiral yang kupakai. Sperma-sperma fresh punya Aldo, Faris dan yang lain terbukti tidak bisa menembusnya.

Rasanya seperti tidak kuat lagi kalau harus menunggu nanti malam. Akhirnya aku pun bersiap dan segera berangkat menuju daerah tempat lahan suamiku berada. Saking tergesanya aku sampai lupa untuk membeli karet pengaman. Untunglah di dekat belokan jalan besar ke jalan kecil yang aku tuju masih ada swalayan bercat merah.

Jalanan kecil beraspal rusak yang berada di tengah-tengah area persawahan itu terlihat sepi. Barulah disitu aku memikirkan bagaimana kalau aku bertemu dengan dua pemuda yang dulu pernah menggangguku. Tanpa menghentikan laju sepeda motorku, aku langsung menuju ke rumah pak Kandar setelah mengetahui di sawah suamiku tidak ada orang.

Rumah itu tampak sepi meski pintu ruang tamunya sedikit terbuka. Kulihat sepeda motor matic yang dulu pernah digunakan pak Kandar mengantarku, terparkir di samping bangunan. Barulah disitu keraguanku muncul. Gimana aku bisa senekat ini sampe datang ke rumah pak Kandar. Entah lah apa yang kurasakan kala itu, semuanya bergejolak jadi satu.

Aku segera mengetuk pintu kayu yang sebagian catnya mengelupas dengan memanggil nama pemiliknya. “Oh, bu Hadi mari silahkan bu” sapa seorang laki-laki yang tak lain adalah Wanto, yang juga merupakan pekerja suamiku. “Pak Kandar baru saja berangkat ke sawahnya sendiri yang ada di dusun sebelah. Saya baru bereskan rumah bu” kata laki-laki yang kuperkirakan usianya masih di bawahku dan memang masih ada hubungan saudara dengan pak Kandar. Keponakannya kalo nggak salah.

“Ada apa ya bu? Kok tiba-tiba kesini?” tanyanya ketika aku duduk di kursi panjang yang ada di ruang tamu rumah itu. Ia pun menempatkan dirinya duduk di kursi plastik di depanku. “Oh, nggak ada Wan. Hanya mampir. Tadi dari sawah nggak ada orang, makanya langsung kesini” jawabku. “Oh.. saya kira mau ngapain” jawabnya. “Maksudnya?” tanyaku, seperti nggak paham, kata-kata yang keluar dari mulutnya tadi seakan seperti meledek, seolah dia anggap aku ada main sama pak Kandar.

Sejenak kami terdiam. Perasaan nggak enak tiba-tiba muncul menyelimuti suasana siang itu. Tiba-tiba laki-laki itu langsung mendekat ke arahku dan langsung berusaha menciumku. Tangan kirinya berusaha meremas buah dadaku. “Aku ya mau bu… bukan hanya pak Lik Kandar” gumamnya. Aku yang berusaha menghindar, malah tertekan oleh tubuhnya yang kekar dan ya ampun, bau badannya menyengat. “Eh, apa-apaan kamu.. jangan.. apa-apaan kamu!” jeritku seadanya berusaha melawan aksi lelaki itu.

Memang sebenarnya kala itu aku sedang nafsu-nasfunya, tapi ya bukan begitu caranya. Dan kedatanganku kesana pun memang kalau ada kesempatan aku ingin mengajak pak Kandar berhubungan badan, tapi ini malah si Wanto yang dengan paksaan ingin aku melakukannya. Aku pun berontak, tapi apa daya kekuatan lelaki itu sungguh tidajk mampu aku atahn. “jangan, tolo…” jeritku yang kemudian ditahan oleh tangan kanannya. Untunglah tiba-tiba terdengar suara mesin motor 2 tak yang kupastikan itu adalah pak Kandar.

Wanto pun sadar kalau pak liknya datang. Ia segera menghentikan aksinya dan langsung masuk ke dalam rumah tepat ketika pak Kandar memarkir sepeda motornya di depan rumah yang tidak berpagar itu. “Loh bu Hadi.. sudah lama bu?” mana Wanto?” sapa pak Kandar ketika memasuki rumah. Aku hanya diam dan berusaha menata perasaanku yang kacau saat itu. “Kenapa bu?” tanya pak Kandar ketika melihatku seperti orang yang ketakutan.

Tiba-tiba terdengar suara sepeda motor matic yang dihidupkan dan dijalankan dengan kencang. Ternyata si Wanto sudah kabur lewat pintu belakang rumah. Pak Kandar sejenak tampak terkejut tapi dia akhirnya mengerti apa yang terjadi meski aku tidak memberitahunya. “Wanto bu??” apa ibu di..” tanya pak Kandar. Aku hanya mengangguk. “Bangsat! Sialan anak itu. Ga tahu malu. 

Sebentar bu. Saya cari dia!” kata pak Kandar kemudian berjalan agak tergesa keluar dan langsung menstart sepeda motornya dan pergi. “Nggak usah pak” kataku tapi tidak dihiraukannya. Gimanapun aku juga khawatir nanti kalau pak Kandar benar-benar emosi dan tidak bisa mengontrolnya.

Pikiranku semakin kalut ketika sampai sekitar setengah jam pak Kandar belum kembali. Aku ga tahu apa yang harus kulakukan. Hingga kemudian terdengar suara motor pak Kandar mendekat, yang membuatku agak lega. “Sudah bu, sudah saya hajar anak itu. Ga tahu malu. 

Mohon jangan bilang ke pak Hadi ya bu… atau melaporkan ke polisi. saya mohon, mewakili keponakan saya, saya minta maaf” katanya yang sebenarnya membuatku lega adalah mengetahui pak Kandar dan Wanto tidak apa-apa.

“Iya pak… tapi suruh dia minta maaf sendiri ya. Jangan pak Kandar yang begitu” jawabku. “Baik bu” sahutnya kemudian mengeluarkan telpon genggam bututnya. “Ayo kamu kesini! Minta maaf sendiri ke bu Hadi” katanya dengan suara yang agak keras.

Beberapa saat kemudian Wanto pun datang, terlihat bajunya compang camping. Ada bercak darah di tepi bibirnya. Mata kirinya pun merah. “Ayo le.. minta maaf ke bu Hadi” sambut pak Kandar. “Ini tadi habis saya hajar bu” kata pak Kandar lagi. “Bu… maaf, saya tadi khilaf” kata Wanto pelan dengan wajah tertunduk. 

Suasana kemudian hening. Menunggu apa jawabanku. “Iya sudah, ga papa…” kamu mandi dulu sini.. jangan pulang dengan keadaan seperti itu. Nanti istri anakmu bertanya-tanya” kataku. “Iya sana mandi” perintah pak Kandar.

Tanpa kata-kata lelaki itu pun masuk ke dalam rumah. “Sekali lagi maaf bu.” Kata pak Kandar. Aku pun mengangguk. “Terima kasih bu” lanjutnya. “Gimana kabar ibu pak? Tanyaku kemudian, menanyakan keadaan ibunya pak Kandar yang memang ada di dalam rumah itu. “Ya seperti itu bu. Memang sudah tua, mungkin tadi ada keributan pun beliau nggak akan denger. Mungkin itu juga yang membuat Wanto tadi berani macam-macam ke ibu” balas pak Kandar.

Birahiku yang tadi langsung raib dengan perlakuan Wanto, kembali muncul, perlahan tapi pasti. Meski begitu aku pun masih bingung gimana memulainya. Pak Kandar ini tampaknya sopan sekali dan dia bahkan rela menghajar Wanto yang tak lain adalah keponakannya sendiri. Terus aku tiba-tiba mengajaknya. Gimana caranya juga. Bingung.
“Ya memang mungkin saya juga salah pak. Tiba-tiba datang kesini, sendirian” kataku memecah keheningan yang beberapa saat tercipta. “Oh, nggak bu… bu Hadi nggak salah, bu Hadi boleh kapan aja datang kesini” jawab pak Kandar. “Emang kenapa ya, Wanto tadi kok sampe nekat gitu” kataku berusaha memancing di kolam yang ada 2 ikan besarnya. “Ya gimana ya bu…” jawab lelaki itu. “Kenapa pak?” desakku. “Ya memang, kalo bu Hadi siapa sih yang nggak tertarik” kata pak Kandar yang langsung membuaiku dan semakin memacu hormon-hormon kewanitaanku. “Maaf bu” katanya lagi.

“Ahh… masak sih… berarti pak Kandar juga tertarik?” tanyaku dengan tersenyum berusaha memancing laki-laki itu. “Ya saya masih normal bu” jawabnya dengan malu-malu. “Tapi saya ya ga berani lah bu” lanjutnya. “Kenapa pak?” tanyaku. “Ya saya sangat menghormati pak Hadi bu..” jawabnya. “Ya… pak Hadi jangan sampe tau lah” kataku santai. “hah, maksud ibu??” tanya lelaki itu seperti penasaran atau tidak percaya dengan apa yang barusan didengarnya. “Ya itu syarat utamanya… tapi masih ada sarat lainnya” sahutku lagi-lagi dengan santai. “A.. apa itu bu??” tanyanya dengan penuh semangat.

“Pertama… hmmmm… apa ya… Anu pak… anggap aja ini bonus, tapi buat pak Kandar agar lebih semangat kerja untuk suami saya” kataku memberi jawaban asal-asalan, padahal sebenarnya kala itu aku memang benar-benar ingin berhubungan badan untuk menuntaskan hasrat seksualku. “Iya bu, saya janji. Bakal lebih giat lagi” jawabnya yang membuatku tersenyum. “Kedua…” kataku terhenti dan memang benar-benar memikirkan apa yang harus kukatakan. “Iya bu, apa sarat yang kedua?” tanyanya.

“Harus pakai pengaman” sahutku. “Pengaman?” tanyanya. “Iya pak, kondom” timpalku. “Oh.. tapi saya nggak punya bu” kata lelaki itu. “Ya beli pak… nah itu Wanto sudah selesai mandi… sebentar” kataku kemudian mengambil selembar uang berwarna merah dari dompet dan menyerahkan ke Wanto yang baru saja selesai mandi. “Apa ini bu? Tanyanya. “ke Ind*mart ya. Tolong belikan kondom, terserah merk apa, tisu basah yang kecil aja sama poc*ri sw*at yang botol besar” kataku. “hah gimana bu? Tanya Wanto kebingungan. “Ke Ind*mart, beli kondom, tisu basah sama p*cari” kini pak Kandar yang menjawab. “Cepat, ga usah banyak nanya” lanjutnya. Wanto kemudian berangkat.

Sebenarnya aku sendiri sudah beli kondom tadi ketika berangkat, tapi agar tidak terlalu kelihatan kalau aku memang benar-benar menyiapkan hal ini, aku tetap menyuruh salah satu lelaki itu untuk membelinya. Toh juga pengaman itu kadaluarsanya juga lama, hehe.

“emang di sini ga papa pak? Ibu?” tanyaku. “Aman bu, ibu ga bakal denger” jawab pak Maman pasti. “Ya kalo gitu tolong bersihkan kamarnya pak. Trus pak Kandar mandi. Nanti satu-satu ya pak.. jangan sama-sama pak Kandar dengan Wanto. Terserah nanti siapa yang duluan” kataku. “Baik bu, saya siapkan kamar dan mandi dulu” katanya kemudian berlalu masuk ke dalam rumah. “Gila” gumamku. Malah kini aku akan berhubungan badan sama 2 orang pekerjanya suamiku gumamku ketika benar-benar sadar apa yang akan aku lakukan.

“sebelah mana kamarnya pak? Tanyaku pada pak Kandar yang baru muncul dari dalam rumah, ia tampak segar setelah mandi. “Oh, sini bu… maaf rumahnya jelek” jawabnya kemudian menunjukkan kamar yang pas di sebelah ruang tamu. Dan sepertinya rumah kecil itu hanya ada dua kamar. Dan mungkin kamar ibunya yang sebelah belakang.

“Itu kayaknya Wanto datang pak. Rundingan sana, siapa yang duluan dan bilang sarat-sarat saya tadi, kalo dia mau” kataku kemudian masuk ke kamar yang sederhana tapi tampak rapi dan bersih. Sprei yang membungkus kasur kapuk itu juga tampaknya sudah diganti dengan yang baru sesuai dengan petunjukku tadi.

Tak lama kemudian pak Kandar masuk kamar di mana aku berada. “Oh, pak Kandar dulu ya, hehe” sambutku. “Iya bu” jawabnya lalu menyerahkan tas kresek berisi belanjaan yang tadi si Wanto beli. Setelah mengambil kondom merk dur*x berwarna merah, aku meletakkan kreseknya di atas meja yang ada di kamar itu. “pinter juga milih” ini kan yang featherlite” Tipis” gumamku. “Pak, nanti saya ga mau ciuman bibir. Kalau bapak mau cium yang lain silahkan” kataku sambil berusaha membuka bungkus plastik pengaman, tapi karena kesulitan, aku serahkan ke lelaki itu untuk membukanya. “Iya bu” kata lelaki itu yang ternyata sudah telanjang bulat. Terlihat kemaluan lelaki itu sudah mengeras. Ukurannya biasa aja sih, seperti punya suamiku.

“ihhh kok udah ngaceng aja pak… padahal aku belum apa-apa. Eh Bisa pak? Hati-hati kebalik lho” sini-sini tak pasangkan” kataku ketika melihat lelaki itu akan memasang caps di penisnya. Aku lalu memakaikan kondom itu. Kemudian kuhisap sebentar penisnya. “Ohhh…” erangnya.

“Pak Kandar kan duda nih… biasanya ke mana kalo buang hajat?” tanyaku sambil berdiri dan melepas hijab yang kupakai. “Nggak bu… nggak ke sapa-sapa” jawabnya. “Masak sih… trus kalo pengen gimana?” tanyaku sambil melepas terusan panjang yang kukenakan. “Ya anu bu… eee… maninin sendiri” jawabnya dengan malu-malu. “Ihh… masak ngocok sendiri, kayak anak kecil ah” sahutku lalu melepas tanktop panjang yang melekat di tubuhku. “Iya bu Sumpah demi apa aja saya mau, saya ga pernah lagi setelah istri saya meninggal” kata lelaki itu berusaha meyakinkanku.

Aku kemudian melepas BH dan CD yang kukenakan sehingga aku benar-benar telanjang bulat. “Langsung masukin ya pak… punya ku sudah basah kok” kataku kemudian membaringkan tubuhku di atas kasur. Lelaki itu kemudian merangkak di atasku dan memasukkan penisnya dalam liang senggamaku. “Ohhhhh….” Mulut kami sama-sam mendesah ketika kedua kemaluan kami bertemu untuk memberikan kenikmatan masing-masing. Ia langsung menyodok-nyodokan kemaluannya yang semakin lama semakin cepat dan membuatku semakin menggelinjang keenakan. Tapi tak sampai semenit, lelaki itu sudah mencapai klimaknya. “Oooooccchhhh…..” jeritnya ketika spermanya keluar.

Sial, belum apa-apa dia udah keluar, pikirku. “Maaf bu… saya nggak tahan… nggak bisa kontrol” katanya sambil mengatur nafasnya. “Enak pak?” tanyaku. Ia mengangguk pasti. Ini juga meyakinkanku memang benar apa yang dikatakannya, ini yang pertama kali ia berhubungan intim setelah istrinya meninggal. Aku kemudian duduk di kasur ketika lelaki itu mulai memakai pakaiannya kembali da meninggalkanku sendiri. Sesaat kemudian Wanto pun masuk. “Kondomnya di meja” kataku. Ia lalu melucuti semua pakaiannya sampai telanjang bulat. Terlihat kemaluannya agak lebih besar sedikit dari pak Kandar, masih setengah tegang. Setelah memasang caps, ia pun langsung menyetubuhiku. Keponakan pak Kandar ini benar-benar bisa mengendalikan birahinya. Ia mampu membawaku ke puncak kenikmatanku, dua kali di posisi WOT dan misionary. Kecuali wajah, hampir tiap jengkal tubuhku dijilatinya, bahkan sampai ketiakku pun tak luput dari aksinya. Hingga akhirnya ia tak bisa bertahan di posisi doggy style setelah sekitar lima belas menit bergumul denganku. Ia juga tampak bangga beberapa kali membuatku orgasme.

“Pak Kandar tanyain Wan… mungkin mau lagi, tak tunggu disini” kataku sambil minum Poc*ri sw*at yang tadi dibeli. “Iya bu” sahutnya. “Eh iya Wan, tolong belikan maem ya, terserah apa wis. Lalapan kah, nasi padang kah, beli 3 ya” kataku sambil memebrikan beberapa lembar uang kepadanya sebelum dia keluar kamar. “Baik bu” jawabnya singkat.

Tak lama kemudian, pak Kandar kembali masuk ke dalam kamar. “Gimana lagi pak?” tanyaku. “Ya kalo boleh bu” tanyanya. “Ya ayo lah” mumpung masih belum pake baju. Jawabku. Ia lalu kembali melepas baju yang dipakainya. “Pake kondom atau nggak pak?” tanyaku. “Terserah ibu, tapi kalo ibu ragu ya pake gpp” jawabnya. “Ga usah lah pak… lebih enak” kataku.

Kemudian ronde kedua bagi pak Kandar dan ketiga buatku siang itu pun dimulai. Disitu lelaki itu benar-benar sudah membuktikan kelelakiannya. Ia sudah mampu mengendalikan hawa nafsunya sehingga permainan pun bisa berlangsung lama. Bahkan dia juga mampu beberapa kali membuatku mencapai puncak kenikmatanku sebelum akhirnya dia memuntahkan spermanya di dalam rahimku di posisi Man on Top atau missionary. “Maaf bu, keluar di dalam” katanya dengan suara serak dan sambil mengatur nafasnya yang terengah. “Nggak papa pak… saya pake KB kok.. aman” jawabku sambil membiarkan lelaki itu menikmati sisa-sisa kenikmatannya. Penisnya masih menancap di dalam liang kewanitaanku. Keringat laki-laki itu menetes membasahi tubuhku yang juga basah mengkilap.

Kemudian lelaki itu perlahan mulai menggerakkan pinggulnya kembali. “Auw… sttss… auw…. “ ocehku merasakan gesekan penisnya yang sudah agak turun memberikan sentuhan kenikmatan di syaraf-syaraf dinding dalam vaginaku yang sudah banjir dengan cairanku sendiri ditambah air mani lelaki itu. Goyangan pak Kandar pun semakin lama semakin cepat. “errrgghhh… ooohhhh…. Oooohhh” mulutnya meracau. Aku pun tersadar kalau lelaki itu langsung memulai ronde berikutnya, tanpa jeda sedikitpun. Gila! Pikirku yang merasakan gairahku kembali muncul melalui ritme permainan lelaki itu. “Lagi paak?” tanyaku yang dijawabnya dengan hentakan-hentakan keras penisnya yang kembali mengeras seperti tadi di dalam liang vaginaku. “Iya bu… mumpung ibu mau… ga tau kesempatan ini bisa datang lagi besok atau nggak… ooocchhh” katanya.

Stamina lelaki itu benar-benar luar biasa, tak ayal dia kembali bisa membuatku meraih orgasmeku untuk kesekian kalinya. Sampai-sampai tubuhku lemas, seperti kehabisan energi. “Ayo pak, keluarin… aku capek” pintaku. “Iya bu. Ia kemudian menyruhku menungging untuk memulai posisi doggy style. Di situlah ia kembali mencapai klimaksnya untuk mengakhiri permainan itu.

Sekitar lima belas menit kemudian aku dan pak Kandar pun keluar kamar, kembali ke ruang tamu dimana Wanto sedang menunggu. Tampaknya dia sudah kembali dari membeli nasi. Kita pun makan bersama. “Bu, saya kok nggak boleh nambah?” tanya Wanto. “Jangan, kasihan istrimu nanti dirumah, kalo kuhabiskan disini” jawabku yang membuat kami tertawa. Sekitar menjelang ashar, aku pun pulang dengan dibarengi oleh kedua lelaki perkasa itu sampai di jalan besar, takut ada yang ganggu, katanya.

Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Categories

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

BTemplates.com

POP ADS

Blogroll

About

Copyright © Cerita Panas | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com