Kembali ke laptop, eh kembali ke rumah. Sesampainya di rumah aku sempatkan untuk tidur, maklum lah, habis dihajar habis-habisan sama pak Kandar dan Wanto siang tadi. Malam harinya sekitar jam 11 suamiku datang, namun sebelum seperti biasanya sebelum tidur dia meminta jatah, aku pun yang menawari mengajaknya berhubungan badan duluan.
Salah satu cara untuk tidak menimbulkan kecurigaan pada suamiku kalau tadi aku dah “dipake” orang lain dan bahkan 2 orang itu di luar list yang pernah dibilang suamiku. Sebenarnya suamiku pun enggan karena capek katanya. “Ayo mas, dah 3 hari Ninuk ga disambangi” kataku berpura-pura.
Keesokan harinya seperti yang sering kulakukan aku pun ikut lelaki itu ke lahan sawahnya. Sekalian juga mau lihat reaksi dari 2 orang pekerja suamiku yang kemarin siang sudah main gila denganku. Untunglah semua tampak biasa saja. Hari itu bukan hanya pak Kandar dan Wanto saja yang sedang bekerja, ada beberapa orang lagi. Cuma si Wanto ini yang kayaknya agak salah tingkah, sampai-sampai ketika aku ada kesempatan ngomong dengan pak Kandar, aku juga minta tolong untuk memperingatkannya.
Suamiku kemdian duduk di sebelahku. “Eh, Nuk kamu liat tadi orang-orang..” kata suamiku membuka pembicaraan. “Kenapa mas?” tanyaku balik. “Kamu sih pake turun juga ke sawah, orang-orang jadi pada lirik in kamu semua” lanjut suamiku. “Ihh, apaan sih mas… emang ada yang salah sama Ninuk? Bajuku kah? Perasaan ya sama aja pake ginian kalo kesini, dan juga ini bukan yang pertama kali aku turun. Dulu bahkan pernah jatuh itu sampe harus pulang karena bajuku kotor” jawabku.
“Tak tahulah… apalagi liat itu si Wanto… kamu tahu kan si Wanto? Itu tuh yang pake baju putih” lanjut suamiku. “Yang pake baju putih kan ada dua mas” jawabku, aku semakin ga enak aja dengan pertanyaan-pertanyaan suamiku itu, entah kenapa juga, mungkin ada rasa bersalah paling. Padahal sering juga suamiku menggoda-goda seperti itu. Yang tukang becak lah, yang tukang parkir lah, sampe pemulung pun pernah dibilang ngelirik aku.
“Iya, yang satunya kan Kandar. Yang satunya lagi” kata suamiku. “Oh itu, iya tahu mas, oh namanya Wanto… dulu sepeda motornya pernah dipake pak Kandar waktu antar aku yang kesini sendirian itu” jawabku. “Emang kenapa mas?” tanyaku. “matanya nek liat kamu, kayak kucing lihat ikan pindang” gumam suamiku lalu tertawa. “Ihh.. emangnya Ninuk Ikan Pindang” jawabku.
“Nuk, aku pengen..” kata lelaki itu. “Ihh.. mas tadi malem kan udah” jawabku. “Iya tadi malem ya tadi malem, tapi ini liaten..” kata mas Hadi kemudian meraih tanganku untuk menyentuh bagian depan celananya. “Ihh apaan sih mas… ya ayo pulang, kalo pengen.. masak mau main di sini, hehe.. ga lucu ah” jawabku. “Ya nggak di gerdu ini juga lak… di rumah pak Kandar aja.
Kamu kan tahu sih rumahnya” kata suamiku. “Ihhh… masak mau main di rumah orang sih mas?? Trus pak Kandar gimana? Ibunya pak Kandar?” tanyaku. “Aman Nuk, ibunya ga mungkin tahu.. sik bentar” kata suamiku. Lelaki itu kemudian melambaikan tangannya seperti memanggil seseorang. Dan ternyata pak Kandar yang di panggilnya. Ia kemudian sempat berbincang pula dengan lelaki itu.
Was-was juga sih, entah kenapa kok kayaknya hari ini semua seperti ingin memnunjukkan pada suamiku tentang kejadian kemarin. Moga-moga aja hanya kebetulan. “Ayo Nuk, ke rumah Kandar” ajak suamiku. “Beneran nih mas?? Kok ga pulang aja sih” kataku kemudian berdiri dan menyusul suamiku yang sudah di dekat motor. Perjalanan dari sawah menuju rumah nya pak Kandar memang sangat dekat, paling lima menitan kita sudah sampai.
Rumah itu masih terlihat lengang ketika kami datang. “Tenang Nuk, aku sering kesini kok, siang-siang, kadang juga istirahat bahkan sampe tidur disini” kata suamiku. Rumah itu memang sepertinya tidak pernah dikunci, dan mungkin gara-gara masih ada ibunya pak Kandar di dalam. Btw, beberapa kali kesana, aku masih belum pernah ketemu dengan ibunya pak Kandar. “Ayo Nuk, langsung ke kamar aja, tutup pintunya” kata suamiku setengah berbisik. “Beneran nih mas?? Serius?” kataku. “Iya lah… ayo” kata suamiku meyakinkanku.
Aku kemudian mengikuti suamiku masuk ke kamar tempat aku melayani pak Kandar dan Wanto kemarin siang. Deg-deg an juga sih. Terlihat sprei kasurnya masih tetap yang kemarin. Tapi sudah sangat tertata rapi, aku semakin was-was ketika melihat kresek putih bertuliaskan warna biru milik salah satu swalayan yang tersebar hampir di seluruh indonesia itu masih tetap ada di atas meja, botol poc*ri swe*at masih tampak, tapi ada di bawah meja. Kondom… iya, disana ada sisa satu kondom yang kemarin tidak dipakai. Waduh, gimana ini.
“Lho Nuk, eh liat sini… ada tisu basah.. ngapain juga Kandar beli tisu basah… eh.. Nuk ada kondom juga.. tinggal satu..” gumam suamiku ketika melihat isi kresek itu. “Iya mas, Ninuk tahu lha Ninuk yang beli itu semua kemarin” kataku dalam hatiku yang semakin tergerus perasaan nggak enak dan khawatir.
“Hehehe, pasti si Kandar habis bawa perempuan kesini.. “ gumam suamiku lagi. “Iya mas…. Itu aku kemarin yang beli” jeritku dalam hati. “Wah, wah ada perkembangan nih si Kandar” kata suamiku lagi.
“Ayo mas, gimana ini jadi nggak??” tanyaku pada lelaki itu yang sepertinya konsentrasinya sedang terpusat di barang-barang yang ada di kamar itu. “Ya iya Nuk… ayo” jawabnya kemudian melepas celananya. Tampak penisnya sudah separuh tegang, menandakan bahwa ia memang benar-benar menginginkannya, lain dengan demalam yang mengharuskanku mengulumnya untuk menjadikannya tegang.
Aku pun lalu melepas bajuku. Gimana-gimana, aku takut pakaianku lusuh. BH tetap kupakai, nahanya CD yang kemudian kutanggalkan. “basahin dulu mas” kataku. Suamiku lalu menjilat bagian kewanitaanku dan ketika sudah benar-benar basah, ia pun segera menyetubuhiku. Tak lama, sekitar lima menitan ia pun sepertinya akan keluar, tapi ia malah menghentikan aksinya. “Lho kenapa mas?” kayaknya tadi dah mau keluar” tanyaku.
Kulihat lelaki itu mengambil kondom dan memasangkannya di penisnya. “Lho mas, itu kan punya pak Kandar?” tanyaku. “Biar Nuk, nanti biar kuganti. Ntar juga biar kamu ga lama untuk bersihin punyamu kalo aku pake ini” katanya lalu kembali menyetubuhiku. Tak lama kemudian ia pun mencapai klimaksnya.
Sebenarnya kala itu aku tidak seberapa menikmatinya. Hatiku masih tidak tenang. Bayangkan saja, aku main dengan suamiku di rumah dan di kamar yang sama dengan tempatku berhubungan badan dengan pemilik rumah itu dan juga keponakannya kemarin siang. Iya baru kemarin siang.
Sekitar lima menit kemudian, suamiku menyusulku duduk di ruang tamu setelah dari kamar mandi. Ia kemudian tampak menelepon seseorang dan dari nada pembicaraannya rupanya dia menelepon pak Kandar untuk memintanya membeli makanan.
“Aku minta Kandar beli lalapan Nuk” maem disini aja ya.. lapar” kata suamiku. Kekawatiranku masih belum berhenti disitu. Nanti ketika pak Kandar datang, suamiku bakal tanya tentang pengaman dan tisu basah yang ada di kamarnya.
Setengah jam kemudian pak Kandar datang dengan membawa pesanan suamiku lengkap dengan air mineral botolannya. “Ayo kamu kan beli 3 sih.. ayo makan sini juga” ajak suamiku. “Iya pak..” jawabnya lalu duduk di depan tempatku duduk bersama suamiku. “Nuk, Pak Kandar ini sudah mulai ada perkembangan” kata suamiku. “Maksudnya?” tanyaku pura-pura tidak tahu, padahal aku mengerti kalau dia akan membicarakan kondom dan tisu basah yang ada di kamarnya.
“ini Nuk, mulai dulu Kandar ini ga mau dan kayaknya seperti ga doyan ke perempuan, eh ternyata… ada kondom sama tisu basah di kamarnya” kata suamiku langsung tanpa basa-basi lagi. “Oh, itu anu mas.. eee” kata Pak Kandar seperti kebingungan, demikian juga aku yang akhirnya hanya bisa pasrah kalaupun pak Kandar sampai ngomong kalau yang beli kondom itu aku, kemarin siang.
Sebenarnya sih, kalaupun harus ketahuan aku ada main dengan orang lain, tidak seberapa fatal. Bahkan juga kan sering suamiku sepertinya ingin aku main dengan laki-laki lain, tapi kalau ketemu aku ada main dibelakangnya aku ga tahu bakal jadi apa. Katanya sih, yang penting bilang. Tapi buatku, malah lebih greng kalo memang main di belakang itu, sembunyi-sembunyi.
“Halah, ga usah bohong kamu Ndar. Aku tahu kok. Kamu sudah bawa perempuan kesini” kata suamiku. “Mas… jangan gitu ah… kan malu pak Kandarnya” kataku mencoba untuk mencegah pembicaraan lebih lanjut. “Ga papa Nuk” kata suamiku. “Siapa Ndar? Kalo boleh tahu” tanya suamiku lagi. Aku hanya bisa diam, pasrah.
“Jangan bilang-bilang tapi ya mas, bu…” kata pak Kandar buka suara. “Iya… aman Ndar” kata suamiku. Jantungku seakan berhenti berdetak ketika menunggu apa yang akan dikatakan pak Kandar, kata-kata yang menentukan nasibku kedepannya.
“Aman Ndar, istriku juga ga bakal kasih tahu siapa-siapa” lanjut suamiku sambil terus melahap makanannya. “Yanti pak” kata pak Kandar pelan. “Tapi tolong jangan bilang Wanto ya pak… bu…” lanjutnya cepat. “Hah, Yanti?? Gila kamu Ndar” hehehe…” sahut suamiku sampai tersedak karena terkejut dengan jawaban pak Kandar. Aku ga tahu siapa wanita yang bernama Yanti itu, hanya saja jawaban pak Kandar membuatku lega.
“Yanti itu istrinya Wanto Nuk” jelas suamiku. “Kok bisa Ndar?” tanya suamiku lagi. “Ihh mas ini, jangan cerita sudah pak Kandar…masak ada aku cerita-cerita gitu” kataku. “Iya-iya, nanti aja Ndar, ceritanya. Ga enak ada istriku” kata suamiku kemudian beranjak dan berlalu ke belakang setelah menyelesaikan makannya, mungkin dia mau mencuci tangan. “Makasih ya pak” kataku pelan pada pak Kandar yang menutupi rahasiaku dengannya. “Iya bu, aman” jawabnya pelan yang membuatku tersenyum lega.
===========
Karena hari itu hari Jum’at, sekitar jam setengah 12 aku dan suamiku pun sampai rumah sambil sekalian jemput si Bayu sekolah. Sekitar jam satu aku pun kembali beraktivitas di kantor tempat usaha online ku. Sebenarnya sudah berjalan dengan para pegawaiku saja, tapi hanya memastikan. Sambil juga berpikir tentang kejadian tadi pagi yang sangat banyak menguras otak dan perasaanku. Sampai-sampai aku tidak seberapa menikmati aktivitas seksualku dengan suamiku tadi pagi. Dan untungnya pak Kandar masih bisa memberikan jawaban yang membuat rahasiaku aman terjaga.
Ada kesimpulan menarik dari apa yang dilakukan suamiku tadi pagi dan memang itu pernah terjadi, ketika aku ingat dulu waktu pak Maman memijatku, suamiku begitu bergairah. Mungkin terbakar cemburu atau apa. Tadi pun demikian, hanya karena aku dilihatin oleh pekerja-pekerja nya, dia bahkan langsung mengajakku berhubungan intim bahkan sebelumnya seperti ingin menyuruhku main sama pak Maman tapi aku menolaknya. Entah kenapa memang, aku nggak seberapa klik dengan lelaki itu. Atau mungkin gara-gara ada istrinya juga, meski sempat juga aku terangsang berat.
Kalo umpama sampe aku ada kontak tubuh dengan pria lain, entah gimana reaksi suamiku. Tiba-tiba aku ingin membuktikan hipotesa yang kubuat sendiri. Tapi gimana caranya, sama siapa juga. Masak dengan pak Maman yang dulu pernah aku tolak meski disuruh oleh suamiku, bahkan sampe kita bertengkar karenanya. Pak maman… okelah, pak Maman.
Aku kemudian kembali ke rumah dan mendapati suamiku sedang membetulkan sepeda pancal Doni yang lama rencana akan dipakai Bayu untuk belajar. “Bisa mas?” tanyaku membuka pembicaraan. “Bisa Nuk, tinggal beli bannya saja, karetnya kayaknya sudah mati, ga bakal bisa dipake lagi” kata lelaki itu. “Oh ya dibelikan mas… daripada harus beli sepeda baru… toh juga bakal ga terpake lama, lha sepedanya kecil gitu” jawabku.
“Mas…” kataku. “Mas ga kepingin pijet kah ?” tanyaku. “Nggak, Kenapa Nuk? Kamu pengen pijet ta?” tanyanya. “Ya kalo mas pijet, ya sekalian ga papa, Ninuk juga pijet, tapi kalo mas nggak ya ga usah, kapan-kapan aja” jawabku seolah tidak begitu menginginkannya. “Ya ga papa kalo kamu mau, ke pak Maman tah? Eh sebentar… oh sekarang hari jum’at ya… dia sudah pulang jam 2, nanti habis ashar aja wis sekalian. Aku selesaikan ini dulu” kata suamiku sambil terus mengutak-atik barang di depannya. “Ok mas, Ninuk mandinya sekalian nanti aja ya” setelah pijat.” Kataku kemudian berlalu. Yes, rencana masuk.
Sekitar jam setengah tiga kamipun berangkat ke rumah pak Maman dan ternyata pas bareng dengan orangnya ketika kami sampai di rumahnya. “Lho baru pulang Man?” tanya suamiku. “Iya pak Hadi, ini tadi langsung sekalian antar istri ke stasiun, mau ke Malang, tilik anaknya soalnya ga bisa pulang lagi minggu ini” kata lelaki itu sambil membuka pintu rumahnya dan kemudian mempersilahkan kami masuk. Pas juga pikirku, istrinya ga ada di rumah. Semesta sepertinya mendukungku, hehe.
“Waduh kamu capek nggak Man? Ini istri saya mau pijat katanya” kata suamiku. “Oh nggak pak, ga papa, kalo pak Hadi juga nggak pijat? Sekalian juga ga papa” tanya lelaki itu. “Kalo aku nggak Man, kan kapan hari aku juga habis kesini, 2 minggu lalu kayaknya” kata suamiku santai. “Oh iya. Kalau begitu, saya mandi dulu ya pak. Sebentar kok. Gerah ini pake seragam” katanya kemudian berlalu ke belakang. “Eh, mas pak Maman ada handbody ga? Kalo ga, biar ninuk beli dulu. Lupa tadi mau bilang” tanyaku. “Ya nanti tanya dulu lah Nuk, ya mana tau aku” kata suamiku.
Tak lama kemudian lelaki itu muncul, bahkan dia juga membawa secangkir kopi dan teh untuk kami. Terlihat dari rambutnya yang masih belum disisir, ia baru saja keramas. “Ya gini ini mas, kalo istri ga ada, buat kopi sendiri, hehe” katanya. “Eh Man, kamu punya handbody ga? Ninuk ga mau kalo pake minyak.” Tanya suamiku. “Oh ada mas, sebentar” jawabnya kemudian ia kembali masuk ke bagian dalam rumahnya. “Kayak gini bu.. ga papa?” tanya lelaki itu ketika kembali. Tampak ia juga membawa kain jarik seperti dulu, tapi ingetku itu bukan kain yang sama, terlihat dari corak dan warnanya.
“Ini bu.. seperti dulu itu ya, katanya sambil menyerahkan kain jarik yang dibawanya padaku. Aku kemudian masuk ke dalam kamar yang sama seperti dulu, tempat suamiku dan aku pijat. Tanpa ragu aku buka seluruh penutup tubuhku, bahkan aku sengaja melepas bra ku lalu membalutnya dengan kain jarik pemberian pak Maman. Kalau CD aku masih memakainya. Aku lalu membuka pintu kamar. “Sudah bu?” tanya pak Maman. “Aku disini aja ya” lagian Bu Maman ga ada” kata suamiku. Mungkin dia mau merokok. “lah, rencanaku nanti bagaimana kalo memang mas Hadi ga ada di kamar” mungkin dia masih ingat kalau aku ga mau dengan pak Maman ini jadi hari itu memang aku benar-benar kan pijat, bukan yang lain. Dan juga syaratnya kalau dengan pak Maman, harus dengan istrinya juga.
Betul juga apa yang aku khawatirkan, kala itu memang benar-benar hanya pijat. Dan aku pun tidak berani macam-macam lagi sampai sesi massage nya selesai. Tidak ada ekshib yang kusengaja. Kalaupun buah dadaku terlihat, itu pun gara-gara aku memang tidak memakai bra. Tak ada komentar atau gimana. Hanya saja suamiku tampak agak tergesa ketika perjalanan pulang. Tak banyak omong juga seperti dulu ketika pertama kali pijat ke rumah pak Maman.
Benar juga perkiraanku. Sesampainya di rumah suamiku langsung mengajakku berhubungan badan, padahal paginya sudah sewaktu di rumah pak Kandar. Hal yang persis sama sewaktu kalau kita ada jadwal dengan pasangan pak dokter dan bu dokter. Sepulangnya dia sepertinya sangat bergairah untuk melakukannya denganku. Entah kenapa karena memang hal tersebut tidak pernah kami omongkan juga sih.
Malam harinya setelah menemani si Bayu, anakku yang kedua tidur, aku mendapati suamiku sedang duduk di teras rumah sambil menikmati rokoknya. Setelah membuat kopi panas, aku kemudian bergabung dengan lelaki itu.
“Mikir apa mas? Tanyaku kemudian duduk di kursi yang ada di seblah lelaki itu. Dia tampak menghela nafas panjang. “Masalah warisan yang kemarin belum selesai Nuk” katanya pelan. “Besok minggu keluarga besar ngumpul. Di rumah mas Harjo. Yang dari Jakarta sama Makassar juga datang” lanjutnya. “Ninuk nggak ikut mas” kataku. “Iya Nuk, tapi kayaknya anak-anak tak ajak” sahutnya. Beberapa saat kamipun ngobrol tentang masalah yang ada di keluarga besarnya.
“Nuk, kamu seneng nggak sih… maksudku bahagia’” tanya lelaki itu. “Eh, kenapa sih mas… kok tanya gitu?” sahutku. Kemudian suasana kembali hening. Hanya ada beberapa sepeda motor yang lewat di depan rumah. Saat itu sekitar jam setengah sepuluhan, anak-anak kantor juga sudah pada pulang. Sebenarnya aku ingin menanyakan hal yang ada di pikiranku. Kenapa kok lelaki itu terasa lebih bersemangat ketika aku, misal ada yang ngelirik seperti tadi pagi, atau setelah pijat dengan pak Maman. Bahkan ketika habis main dengan pak dokter pun demikian. Tapi aku tidak tahu harus memulainya dari mana. “Ntar aja udah, biar langsung praktek, hehe” pikirku.