𝐃𝐞𝐦𝐢 𝐀𝐥𝐚𝐬𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐬𝐞𝐡𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐄𝐩𝐢𝐬𝐨𝐝𝐞 𝟔

 


Sekilas kulihat ayah mertuaku masih di ruang tamu menikmati nikotin melalui kreteknya saat aku keluar dari kamar mandi dan masuk ke kamarku. Lima menit kemudian aku pun selesai memakai baju dan pembalut yang kurangkapi dengan mini pants warna gelap. Daleman yang biasa kupakai ketika sedang haids. Untuk bagian atas, sengaja aku hanya memakai tanktop pendek warna krem tanpa bra yang apabila ketarik dikit aja, sebagian perutku sudah terlihat.

“Aduuuhhh… kamu kok pake baju gitu Nuk?” kata ayah mertuaku saat aku mendekatinya. “Sengaja” jawabku dengan senyuman centil yang kulukis di wajahku. Tidak hanya itu, aku lalu duduk pas di sebelahnya sampai-sampai tangan kanannya berhimpitan dengan tangan kiriku. “Ninuk…” gumam lelaki itu. “Kenapa Kung?” tanyaku balik sambil melihat perbedaan warna kulit yang sangat mencolok antara aku dan lelaki itu. “Takut pengen lagi…. Tuh ada Inah” kataku sambil pengusap-usap tangan lelaki itu yang ditumbuhi bulu yang beberapanya sudah memutih. “Nggak Nuk” sahutnya. “Kenapa Nuk, aku item ya” tanya lelaki itu ketika melihatku memperhatikan tangannya. “Emang kenapa kok ga mau lagi ama Inah Kung?” tanyaku, sebenarnya aku sudah paham jawabannya tapi aku masih berharap ada sanjungan lagi padaku keluar dari mulutnya. Kemudian kusandarkan kepalaku di dada lelaki itu ingin bermanja dengannya. Dengan sigap tangan nya kemudian dilingkarkan di pundakku dan mengelus-elus rambutku.

“Ya kan udah ada kamu Nuk… sangat cukup dah… bahkan lebih dari cukup” katanya pelan yang membuatku sangat nyaman dalam dekapannya. Nggak sampai 5 menit terdengar suara orang membuka pagar yang lansung membuatku meloncat duduk menjauh dari lelaki itu. “Ohh… Inah Kung” makanya mulai tadi ga keliatan, dari pasar kayaknya” kataku lega ketika mengetahui yang datang adalah pembantuku. Wanita itu tampaknya juga nggak lewat pintu utama, tapi lewat garasi yang bisa tembus sampe belakang. Mungkin dia ga mau ganggu aku dengan ayah mertuaku. Sesaat kami berdua sepakat untuk sama-sama tersenyum lebar karena hal itu. “Masih belum jam 8 kung” gumamku pelan kemudian melonjorkan kedua kakiku dan menaruhnya di atas pada lelaki tua itu.

Lelaki itu terlihat tidak keberatan sama sekali, bahkan ia pun mengelus-elusnya. Terkadang ia juga memijat-mijat ringan telapak kakiku yang putih mulus itu, persis kayak kulit orang keturunan tionghoa. Hanya ada bercak kecil bekas kena knalpot sepeda motor waktu jaman SMA dulu. Aku ini juga tipe wanita yang berbulu. Betis, tangan bahkan di atas bibirku pun ada bulu tipis. Kalau ketiak ama kemaluan, jangan ditanya deh. Hutan belantara, hehe. Dulu di awal nikah pernah sih mencukur habis bulu di sekitar bagian kewanitaanku. Tapi itu malah diketawain sama mas Hendra, kayak anak kecil, katanya. Eh, tapi pernah juga sih bahkan 2 kali, karena terpaksa juga. Sewaktu operasi cesar kedua anakku.

“Auuw… sakit kung” jeritku pelan saat pijatan tangannya mengenai bagian bawah jempol kakiku. “Ohh kalo ini kamu kurang minum air putih Nuk.. coba kamu perhatiin, air pipismu pasti kuning… iya” tanya ayah mertuaku yang membuatku memaksa mengingat warna urine ku yang memang ga pernah kuperhatikan. “Nggak tau Kung… Nggak pernah liat” hehe” timpalku.

“Kok bisa sih kung… pejuhnya buanyak kayak gitu… padahal baru dua hari kemarin di tab” tanyaku yang memang dibuat takjub dengan itu. Bahkan di film-film porno yang pernah aku tonton, ga pernah ada yang sebegitu banyak dan muncratnya jauh. Bahkan tadi, di kamar mandi, ada juga yang sampai menempel di tembok yang jaraknya semeter lebih dari tempat dia berdiri.

“Ga tau juga sih Nuk… Cuma kata dokter, hormon apa gitu.. aku lupa namanya, itu yang berlebih.. nah hormon itu yang mempengaruhi produksi sperma, katanya” jelasnya. “Itu kalo Ninuk ga pakai spiral, pasti banyak jadi nya tuh Kung” lanjutku. “Iya Nuk, makanya minggu lalu, waktu pertama kali, kan nggak tak keluarin di dalem. Aku masih belum tahu kamu pake kontrasepsi apa nggak” jawab lelaki itu yang mengingatkanku saat pertama kali aku dan ayah mertuaku itu berhubungan badan di sofa ruang tengah. Ia mengeluarkan air maninya di atas perutku. Barulah di ronde kedua, yang di dalam kamar ia melepaskan spermanya di dalam tubuhku.

Aku kemudian menarik kakiku dari pangkuan lelaki itu dan duduk normal. Lelaki tua itu pun lalu menyeruput kopinya kembali kemudian menyalakan rokoknya lagi. Entah GR atau apa, yang jelas kalaupun dia menginginkannya tadi, dia bakal ganggu posisi kakiku yang ada di atasnya. Barulah setelah aku menarik diri, dia melakukan apa yang diinginkannya.

“Gimana Kung?” tanyaku membelah keheningan. “Apanya yang gimana Nuk? Jawabnya santai. “Nggak jadi ama Inah??” tanyaku lagi. “Sini-sini tak bisikin” katanya lagi sambil mengarahkan wajahnya padaku. Aku yang penasaran lalu mengarahkan telingaku kepadanya. Tapi ia malah mencium pipi kiriku. “Ihhhh… Kung ah… nakal” gumamku sambil mencubit manja pinggang lelaki itu. “Kamu sih… dah dibilangin… aku nunggu kamuu…” jawabnya sambil mengusap pinggangnya yg tadi ku cubit. “Kung…. yang kanan belum. Nanti iri loh” kataku sambil menunjuk pipi kananku. “Besok aja Nuk, hehe” jawabnya santai. “Huh… awas ya sampe besok Ninuk ga disun” kataku agak ngambek manja. “Eh iya.. senin… senin wis… jangan besok” jawabnya seakan tersadar bahwa besok hari Sabtu.

Aku kemudian merebahkan badanku lagi dan menggunakan paha laki-laki itu sebagai alas kepalaku. “Eh… eh, Nuk… nanti kalau ada yang bangun, tanggung jawab lo ya” kata lelaki itu. “Biarin… kan ada Inah” jawabku santai. “Kamu ini” balasnya sambil menyentuh hidungku. Kemudian si Inah pun datang menghampiri kami berdua. “Bu, nanti masak apa ya?” tanyanya sopan. “Terserah kamu dah Nah… apa aja boleh” jawabku agar perempuan itu cepat Kembali ke dapur. “Oh… baik bu” jawabnya kemudian beranjak pergi. “Tuh Inah Kung… siap… tinggal bilang” kataku begiti pembantuku itu pergi. Ia tidak menjawab, hanya sekilas senyumnya tersungging di bibirnya. “Bentar ya Nuk.. ehh..”gumamnya. ia lalu berusaha menaruh rokoknya di asbak. “Loh kok ditaruh Kung? kan masih panjang” tanyaku agak heran. “Kan ada kamu” jawabnya singkat yang sangat-sangat cukup menyentuh nuraniku..

“Kung, kapan-kapan kalo malem, kung tidur sini ya” pintaku masih dengan mata terpejam. “Lho kan sering Nuk… aku tidur disini” jawabnya. Memang sering sih ayah mertuaku itu bermalam disini. Apalagi kalo anak-anakku yang minta. Pasti bakal diturutinya. “Iya bukan itu maksud Ninuk… tapi… nanti ya Kung… kalo mens Ninuk sudah selesai” kataku. “Iya Nuk” jawabnya.

Lama kami berdua diam di posisi itu. Tangan lelaki itu tidak hentinya mengusap-usap kening dan rambutku dengan belaian mesra. Sebuah keadaan yang entah kapan terakhir kali aku rasakan, sangat nyaman bagiku. Biarlah meskipun hal itu kudapat dari lelaki yang usianya hampir 2 kali umurku, bahkan beliau ini adalah mertuaku sendiri.

“Nuk… Nuk… ayo bangun… udah jam setengah sepuluh.. aku mau jemput dulu” kata lelaki itu yang langsung menyadarkanku. Aku pun kemudian duduk sambil merapikan rambutku. “Hah… iya..Jemput siapa kung?” tanyaku setengah sadar. “Ya jemput anakmu Nuk..” katanya sambil tersenyum lalu berdiri merapikan bajunya. Ia lalu memakai jaket yang biasa dikenakan waktu naik motor.

“Berangkat dulu ya Nuk… “katanya lalu berjalan menuju pintu utama rumah. “Kung… saliim” kataku lalu berdiri menghampirinya dan mencium punggung tangan kanannya. Padahal aku sangat jarang sekali cium tangan ke mertuaku itu. Paling hanya di momen-momen tertentu aja, misal Lebaran atau kalau aku habis liburan lama di Malang. “Ehh bentar…” gumamnya kemudian lelaki itu sepertinya akan menciumku. Mendapat serangan tiba-tiba, aku hanya pasrah dan memejamkan mataku. Ternyata laki-laki itu mengecup pipi kananku. “Udah ya Nuk.. aku ga punya hutang… eh udah.. kamu ga usah antar sampe depan. Enak tukang becak di pojok an itu kalo liat kamu pake baju kayak gitu” kata lelaki itu meninggalkanku berdiri sambil tersenyum. Bukan hanya wajahku yang tersenyum, hatiku pun serasa berbunga-bunga.

Setelah mendengar motor ayah mertuaku berangkat, aku segera beranjak ke dapur. “Jadi masak apa Nah?” tanyaku saat mendekat ke pembantuku yang sepertinya sedang mengulek sambil duduk di dingklik. Oh ya, dingklik ini kursi kecil, istilah di daerah kami. “Oh, ini bu… sayur asem sama tongkol bumbu merah” katanya menjawab pertanyaanku. “Wah, kesukaan bapak ya” gumamku. Memang tongkol bumbu merah ini makanan favorit mas Hendra, suamiku.

“Ibu ini… ama Kung kayak pacaran ajah” gumam si Inah kemudian berdiri menuju kompor. “Hush… apa’an si Nah? Kataku menyela. “Emang kenapa?” tanyaku lagi. “ya ga papa sih.. tapi” gumamnya. “Udah udah, ga usah dibahas… lanjut masak sana” perintahku. “Iya bu” jawabnya. Aku kemudian ke ruang tengah dan menikmati siaran TV. Sekitar jam 11, ayah mertuaku mengirimiku pesan kalau anak-anakku ikut ke rumahnya. “Iya Kung” jawabku singkat.

“Nah..sini dulu bentar… aku mau ngobrol” kataku. “sebentar bu… tinggal sedikit” jawab wanita itu dari bagian belakang rumah. Beberapa saat kemudian pembantuku itu pun datang dan duduk di hadapanku. “Tetep aku minta kamu untuk jaga rahasia ini ya Nah” kataku memulai pembicaraan. “Iya bu… aman… Inah janji” jawabnya. “Nggak gitu, tadi kamu kayaknya ngeledek gitu ke aku” kataku lagi. “Ohh.. Inah tadi bercanda bu.. maaf bu… maaf” jawabnya. “Ohh.. gitu… ya udah ga papa. Cuma lain kali kalo masalah yang sensitive gitu jangan bercanda ya. Aku juga hanya mau memastikan” jelasku kemudian.

“Oh iya, untuk nanti malem, seperti biasanya ya… kalo umpama mas Hendra ‘minta’ ke kamu… jangan merubah pola yang ada. Buat seperti biasanya aja biar ga menaruh curiga” kataku lagi. “Atau…” ucapanku terhenti karena berpikir. “Kalo umpama aku pura-pura mergok’i kamu ama mas Hendra gimana? Biar akhirnya tahu semuanya” ujarku. “Waduh, kalo itu, mending jangan dulu bu… jangan terburu-buru. Harus dipikirkan semua resiko yang bakal terjadi. Juga nanti malam masalahnya. Terlalu cepat” jawab pembantuku itu Panjang. “masuk akal juga.. pinter juga kamu Nah… ok deh… lanjut seperti biasanya aja ya..” kataku mengambil keputusan. Aku kemudian menuju kamarku untuk tidur.
Malam pun menjelang. Anak-anak sudah diantar kakeknya tadi selepas maghrib. Mas Hendra pun tiba jam sekitar setengah delapanan tadi. Ia tampak kecewa ketika mengetahui kalau aku sedang datang bulan. Maklum lah, beberapa hari ngempet, pas waktunya tiba, eh salurannya malah ga bisa dipakai.

Belum jam 9, anakku yang pertama pamit tidur lalu 15 menit kemudian si Bayu juga mengajak ayahnya bobok. Akhirnya akupun menyusul Doni masuk ke kamar. Formasi seperti biasanya ketika suamiku pulang.

Anakku sudah terlelap ketika aku masuk kamar dan mematikan lampu, menggantinya dengan cahaya 5 watt untuk tidur. Mataku terpejam tapi aku masih belum terlelap. Pikiranku berkecamuk. Antara cemburu, penasaran, nggak terima, semuanya tumplek blek di kepalaku sampai akhirnya sekitar jam 11, kudengar pintu kamar tempatku dan Doni tidur dibuka pelan. Sesaat kemudian kembali ditutup dan terdengar seperti dikunci dari luar. Inilah saatnya. Meski tak melihat, tapi bisa kupastikan itu adalah suamiku, mungkin untuk memastikan aku dan anakku sudah tidur kala itu.

Tak ada yang berbeda sebenarnya. Hanya saja saat itu aku telah mengetahui apa yang akan mereka lakukan di belakangku. Tapi herannya semua perasaan dan pikiran tadi hilang dengan sendirinya. Akhirnya aku pun melamun meski tidak jelas apa yang aku bayangkan. Sekitar 10 menit kemudian terdengar suara kunci kamarku berbunyi lagi. Sepertinya sudah selesai. “Loh kok cepet amat” pikirku. Iya sih, mas Hendra jarang sekali mau main lama. Paling 10 atau 15 menit biasanya. Kadang 5 menit pun dia sudah dapet. Entah jam berapa malam itu itu saat aku tak kuasa lagi menahan kantukku hingga akhirnya aku pun terlelap.

Hari sabtu dan minggu nya pun seperti biasanya. Si Inah sabtu siang pulang ke Pare dan baru balik di minggu malam. Aku juga tahu kalau di minggu malam mereka melakukannya lagi. Saat itu rupanya agak lama, setengah jam an lebih bahkan hampir 45 menit malah, baru kudengar pintu kamar dibuka lagi kuncinya. Malam itu aku juga sempat wa an dengan ayah mertuaku. Aku memberanikan diri mengirimkan untuk pesan kepadanya ketika mengetahui laki-laki itu baru saja membaca status yang kulempar sore tadi.

Pagi harinya, pukul lima lebih sedikit mas Hendra sudah berangkat lagi ke kota tempatnya mencari nafkah. Setelah menutup pintu pagar aku segera menuju ke dapur, tempat pembantuku biasa berada pada jam-jam segitu.

“Gimana Nah?” tanyaku. “Oh.. eh ibu” jawabnya agak terkaget. Untung aja gelas yang sedang dicucinya tidak jatuh. “Iya bu.. jum’at malam, sabtu pagi sama tadi malam” jawab pembantuku itu. “Hah, sabtu pagi Nah?” tanyaku. Kalau yang jum’at malam sama tadi malam itu aku tahu, lah yang sabtu pagi ini yang aku baru tahu. “Iya bu, waktu ibu antar mas Doni sekolah” jawabnya. Memang khusus hari sabtu, antar jemput Doni tidak dilakukan oleh ayah mertuaku. Ada Mas Hendra, alasannya.

“Loh kan ada Bayu Nah, kok bisa?” tanyaku. PAUD si Bayu ini memang libur di hari sabtu.“Iya bu, mas Bayu kan belum bangun. Nggak lama kok bu. Paling lima menitan sudah selesai” jawab perempuan itu sambil menyelesaikan bilasan terakhir piring yang dicucinya. “Ati-ati loh Nah… jangan sampai anak-anak tahu” kataku lagi. “Iya bu, Inah sempet ga mau, tapi bapak maksa. Ga akan lama kok, katanya” jawab perempuan itu lagi. “Ohh..” sahutku. “Enak Nah?” tanyaku agak iseng. “Ya enak lah bu… gituan kok ga enak” jawabnya sambil tersenyum. “Maaf bu..” katanya lagi ketika melihatku terdiam. “Iya.. ga papa lagi Nah” sahutku. “Tapi bu… malah yang sabtu pagi itu, Inah malah bisa dapet. Ga tau. Apa mungkin gara-gara deg-deg an itu ya… takut ibu tiba-tiba pulang… takut mas Bayu bangun” lanjutnya.

“ihhhh.. kamu ini ya” jawabku kemudian beranjak ke kamat anak-anakku untuk membangunkannya. Ada perasaan aneh juga ketika mendengar cerita si Inah ini. Tapi ga apa apa lah. Hanya sekedar mengobati penasaranku aja. Biarlah semua seperti apa adanya.

“Nanti sarapan disini kung?” tanyaku seperti biasa sesaat sebelum ayah mertuaku itu berangkat mengantar Doni dan Bayu pagi itu. “Nggak Nuk, habis antar anak-anak ini aku mau langsung ke Bank, hari ini jadwal ambil uang pensiunan. Bank nya belum buka sih sebenarnya, tapi ya itu, harus datang agak pagi biar dapat antrian awal. Oh iya, nanti kalau umpama jam setengah sepuluh urusan di Bank belum selesai, kamu yang jemput Bayu ya. Nanti tak kabari” jawab ayah mertuaku itu panjang lebar. “Oh iya kung” kemudian aku salim cium tangan ke lelaki itu. “Hati-hati Kung” kataku ketika sepeda motornya mulai bergerak meninggalkan rumahku.

Kemudian aku masuk kembali ke dalam rumah dan menempatkan diriku duduk di sofa ruang tengah. Kulihat-lihat isi WA ku dan menjawab yang penting saja, seperti mas Hendra yang kasih kabar kalau dia sudah sampai Surabaya.

“Kung, kok tadi Ninuk ga disun lagi setelah salim?” kukirimkan pesan ke nomor ayah mertuaku, lengkap dengan emoticon sedihnya. Terlihat pesan itu terkirim tapi belum dibaca. Mungkin masih di jalan, pikirku. Beberapa menit kemudian HPku berbunyi tanda ada pesan masuk. “Ngawur aja kamu… ada anak-anakmu” oh ya, ini sudah di Bank, dapet antrian nomor 5, kayaknya nanti aku bisa jemput Bayu” balasan yang kuterima dari lelaki itu yang membuatku tersenyum geli.

Hari itu seperti hari senin-senin biasanya. “Anak-anak pulang sekolah langsung ke rumah Nuk” pesan ayah mertuaku. Siang itu. Aku harus membiasakan diri juga, dulu dia hampir tidak pernah text aku. Tapi sekarang sudah berubah. Seperti siang itu, biasanya kalau anak-anak dirumahnya ya langsung aja ke rumahnya. Palingan sore atau maghrib langsung diantar pulang.

Beberapa saat setelah maghrib barulah ayah mertuaku mengantarkan anak-anak hari itu. Dengan setengah berlari si Baru langsung menghampiriku ketika membuka pintu. “Maaa.. mama.. kung nanti tidur sini… boleh kan maa” kata si Bayu. “Ya boleh dong sayang… emang pernah ga boleh ama mama?” tanyaku. “Hore… aku nanti tidur ama kung pokoknya… nggak ama mama” katanya sambil masuk ke dalam. Lain dengan si Bayu, Doni anakku yang pertama langsung nyelonong ke dalam rumah.

Setelah menggembok pagar rumah, aku kemudian menunggu lelaki itu yang sedang memasukkan sepeda motornya ke garasi. Dan setelahnya, kami pun masuk. Setelah makan malam kami bertiga pun ngobrol santai di ruang tengah. Si Doni rupanya masih mengerjakan tugas sekolahnya di kamar. Waktu belum jam 8 malam ketika si Bayu udah meminta kakeknya untuk tidur. Menyisakan aku sendiri di ruang tengah. Si inah paling juga sudah ngorok di kamarnya. Waktu memang berdetak terasa sangat lama ketika harus menunggu. Sambil lalu aku melihat HPku. Eh ternyata lelaki itu sore tadi mengirim pesan, bilang kalau dia akan tidur sini malam ini. Akhirnya kamipun ngobrol via chat WA.

Aku : “Anak2 blm tdr Kung?”

Kung : “Bayu belum. Doni sudah”

Aku : “Kung kok senin sekarang sih?? Maksud Ninuk senin depan. Skg Ninuk masih mens”

Kung : “Lho memang kamu pikir kalo aku datang cuma utk “itu” ya Nuk???”

Kung : “Nggak Nuk, nggak.. kamu salah!!”

Chat terakhir lelaki itu membuat semua kegalauanku hilang. Rasa penasaranku atas perhatian-perhatian kecil yang diberikan lelaki itu selama ini terjawablah sudah. Memang tidak semua orang mau dan mampu mengatakan perasaannya dengan verbal.

Akhirnya sekitar setengah jam kemudian ayah mertuaku keluar dari kamarnya anak-anak. Perlahan ia menutup kembalu pint kayu itu dan menguncinya dari luar. Mengetahui hal itu, aku segera berjalan ke arah lelaki itu dan segera memeluknya. Ia tampak sedikit kaget dengan tindakanku tapi rupanya dia masih bisa menguasai keadaan. “Kenapa Nuk?” tanyanya pelan sambil mengusap rambutku. Aku tidak menjawab pertanyaan itu akan tetapi semakin menenggelamkan tubuhku dalam dekapannya.

“Ayo tidur Nuk” bisik lelaki itu pelan. Aku menggelengan kepalaku yang masih dalam dekapannya. “Kamu nggak ngantuk ta?” tanyanya lagi. Aku menggelengkan kepalaku lagi. Entah berapa lama kami berpelukan hingga akhirnya aku mengajaknya ke kamar tamu. “trus kalo Bayu atau Doni bangun gimana?” di sini aja ya.. nanti kalo mereka bangun kan bisa kedengeran” kata lelaki itu. Aku pun menyetujuinya.

Memang ada benarnya juga, sekitar jam 11 si Bayu bangun untuk pipis. Sambil agak terhuyung, aku pun segera lari masuk ke kamarku. Baru lah sekitar jam setengah satu malam aku baru bisa berduaan kembali dengan ayah mertuaku itu. Kala itu kami saling menngungkapkan semua yang ada di pikiran dan hati masing-masing. Semua hal dari A sampai Z.

Tak terasa waktu pun menunjukkan pukul 3 pagi dan terdengar pintu kamar anakku dicoba dibuka dari dalam. “Nuk… nuk… anakmu bangun” kata ayah mertuaku dengan suara agak berbisik. “Iya Kung” sahutku pelan kemudian bangun dari pangkuannya dan segera masuk ke kamarku. Terdengar olehku kalau ternyata yang bangun adalah yang besar. Ga tau kenapa dia terjaga sepagi itu. Akhirnya aku pun merebahkan badanku di kasur dan tertidur.

Perlahan kubuka mataku yang masih agak berat. Kulirik jam dinding. “Hah… jam 7” teriakku panik dan segera bangun dan keluar kamar. Rumahku tampak sepi, hanya terdengar suara gemercik air dari dapur. Tanpa pikir panjang akhirnya aku kesana dan menemukan pembantuku yang sedang mencuci piring dan gelas.

“Nah, pada kemana semua?” tanyaku. “Eh, ibu… baru bangun… anak-anak barusan berangkat bu.. diantar Kung. tadi kung bilang ga usah bangunin ibu, katanya capek” jawab perempuan itu. “Ohh.. gitu ya” sahutku lega. Ternyata aktivitas pagi itu sudah dihandel oleh kung dan Inah. “Oh iya bu.. tadi Kung juga bilang kalau nanti nggak bisa jemput anak-anak. Kalau ibu belum bangun, Inah yang disuruh jemput” lanjut perempuan itu. “Lho emang Kung kenapa kok ga bisa jemput? Tanyaku balik. “bilangnya ada acara bu. Cuma nggak ngomong acara apa” jawabnya. Oh gitu.. ya udah, biar ibu aja nanti yang jemput” jawabku kemudian berlalu mencari HP ku. Kulihat ada beberapa pesan yang masuk, termasuk dari ayah mertuaku, dua pesan yang belum terbaca, sekitar 2 menit yang lalu.

Kung : “Nuk, ini aku pulang kerumah. Anak2 sudah tak anter sekolah. Aku mau tidur dulu. Semalaman nggak tidur. Ngantuk

Kung : “Makasih ya Nuk… untuk semalem tadi…

Aku tersenyum sendiri ketika membaca pesan itu.

Aku : iya kung.. maaf, Ninuk baru bangun, kung sudah sarapan?

Kung : “Sudah Nuk, tadi bareng sama-anak-anak. Ini tinggal ngantuknya.

Aku : “Iya kung. met istirahat. Makasih juga ya kung.

Pesan terakhirku hanya terkirim tapi tidak dibaca olehnya. Mungkin saja dia sudah tidur. Aku pun akhirnya tahu alasan kenapa nanti ayah mertuaku tidak bisa jemput anak-anak sekolah. “Inah… Inaaah” panggilku. Beberapa detik kemudian pembantuku itu muncul dengan agak tergesa. “Iya bu” katanya ketika sudah berdiri di dekatku. “Nanti tolong, yang jemput anak-anak kamu aja ya. Bayu jam 10, Doni jam 13.15. ga tau ini kok agak ga enak. Mungkin efek mens. Ya Nah? Perintahku. “Oh iya bu. Nanti Inah yang jemput” jawabnya kemudian berlalu.

Entah kenapa pagi itu terasa mager sekali. Mau mandi atau sarapanpun aku malas mengerjakannya. Isinya hanya pengen diam dan melamun saja. Aku kemudian masuk ke kamarku lagi dan merebahkan tubuhku di kasur, menerawang kembali kejadian tadi malam. Membawaku mengingat kata-kata ayah mertuaku semalam. Ada yang membuatku melo, ada yang membuatku geli. Seperti cerita kalau sebenarnya antar jemput anak-anak itu hanya alasan untuk tiap hari kesini. 

Katanya aku sudah membuat semangat hidupnya bangkit setelah kematian ibunya mas Hendra. “Paling nggak, lima hari kerja lah, senin sampe jum’at” katanya yang membuatku tertawa geli. “semua kunci ada di kamu Nuk.. kini kamu sudah membukanya. Nanti kalau kamu ingin menutupnya, kapan aja aku siap. Tapi tolong jangan korbankan keluargamu untukku. Kalau sampai itu terjadi, aku bakal menjauh” katanya yang sangat menusuk perasaanku.

Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Categories

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

BTemplates.com

POP ADS

Blogroll

About

Copyright © Cerita Panas | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com