𝐃𝐞𝐦𝐢 𝐀𝐥𝐚𝐬𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐬𝐞𝐡𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐄𝐩𝐢𝐬𝐨𝐝𝐞 𝟓

 


Beberapa lama kami bertiga terdiam dengan sesekali mengobrol ringan. Lelaki tua itu kemudian beranjak dari ranjang dan sepertinya menuju kamar mandi yang ada di kamar itu. “Handuk Kung? itu di meja” kataku. Seletah menghabiskan sebotol air mineral ia pun langsung masuk ke ruangan yang ada di pojok kamar itu. 

Sesaat kemudian terdengar suara pancuran air dari dalamnya. Kulirik jam di dinding, sudah hampir jam setengah sepuluh. Setengah jam lagi si Bayu keluar dari sekolahnya. “Inah… kamu cepet mandi sana.. hari ini kamu aja yang jemput Bayu ya.. biar Kung istirahat, santai dulu” perintahku pada pembantuku itu. “Baik Bu” kata wanita itu mengiyakannya kemudian ia beranjak memakai pakaiannya. Lalu aku pun segera mandi di kamar mandi utama rumahku.

Jam 09.45 aku keluar dari kamar mandi sambil hanya memakai handuk sebagai penutup tubuhku. Sekilas kulihat ayah mertuaku ternyata sudah ada di ruang tamu. “Aku jemput Bayu ya Nuk” katanya saat melihatku menjelang. “Nggak usah kung. Inah sudah berangkat jemput. Kung dhahar dulu aja. Memang gggak lapar ta? Habis olah raga tadi” tanyaku sambil tersenyum. 

“Oh gitu ya.. iya lapar Nuk” jawabnya kemudian berjalan menuju ruang makan. aku pun masuk ke kamarku. Setelah memakai baju aku segera menyusul laki-laki itu di meja makan yang ternyata ia sudah memulai sarapannya. Waktu itu aku memakai tanktop dress yang panjangnya sampai di atas lutut warna biru tua tanpa bra dan CD. Kalau istilah di daerah kami, namanya androg, biasa juga dipakai sebagai daleman baju resmi. Salah satu baju favoritku di rumah selain daster. 

Handuk yang tadi kupakai sebagai penutup tubuh, kini kugunakan sebagai penutup kepala agar sisa-sisa air di rambutku tidak menetes di tubuhku.

Sesaat tampak mata ayah mertuaku itu melotot seperti mau keluar ketika melihatku dandan seperti itu. Memang itu kali pertama aku berpenampilan seperti itu di hadapan ayah mertuaku. Sebelumnya memang aku tidak pernah, bahkan tiap kali beliau datang, aku segera memakai bra ku agar putingku tidak tampak tersembul. “Biar ajalah, toh dia kan dah liat semuanya, ga cuman itu, malah udah menjamahnya” pikirku santai.

“Heh Nuk, kamu kok pake baju kayak gitu sih? Kata lelaki tua itu pas ketika aku mau menyendok makananku. “Emangnya kenapa kung?” sahutku singkat. Ya ga papa sih… tapi… ah… “ dia tidak melanjutkan kata-katanya. “Kenapa sih” desakku. “Bikin pusing, hehe” jawabnya singkat tapi dapat sesaat membuaiku. “Kamu tau nggak Nuk… “ kata lelaki itu yang kayaknya terhenti karena masih mengunyah nasi di mulutnya. 

“Laki-laki, kalo liat kamu… lebih-lebih kayak sekarang ini… kalo ga tertarik, berarti dia ga normal” lanjutnya sambil terus melahap makanannya. Entah gara-gara masakan si Inah enak atau memang dia nya yang lagi kelaparan.

Kata-kata yang cukup membuat hatiku berbunga. Kata-kata yang sudah lama sekali tidak pernah kudengar, kalau nggak salah dulu selagi aku pacaran sama mas Hendra. Sambil makan kamipun ngobrol santai. Hal yang secara, belum pernah kulakukan dengan lelaki itu sebelumnya. Lelaki itu terlihat sangat dingin kepadaku. 

Bahkan sampai waktu selesai berhubingan badan pun, kata-kata yang keluar dari mulutnya hanya, iya, tidak, baik. Itu-itu saja. Entah kenapa, kok hari ini dia berubah dan itu membuatku semakin nyaman.

“Sini kung piringnya” kataku sambil mengambil piring tempat dia makan tadi. Lelaki itu tampaknya menungguku selesai makan meski sekitar 5 menitan lalu dia sudah mengakhiri sarapannya. “Mau dibuatin kopi lagi?” tanyaku sambil berjalan ke dapur. “Nggak usah Nuk, yang tadi masih banyak” jawabnya sambil berlalu ke depan. Setelah menaruh piring, aku pun menyusulnya ke ruang tamu.

Kulihat lelaki itu menyalakan rokoknya setelah menyeruput kopi yang tinggal separuh cangkir. “Sehari berapa bungkus kung” tanyaku membuka pembicaraan sambil duduk di hadapannya. “satu Nuk, kadang juga lebih. 

Apalagi kalo pas nongkrong ama orang-orang, pas giliran jaga lingkungan” jawabnya. Kamipun terjebak dalam obrolan santai, mulai pelerjaan, bahkan sampai masalah pemilihan umum juga. Sebenarnya kala itu ada yang ingin kutanyakan tetapi aku masih ragu untuk mengutarakan.

“Kung… “kataku terputus. “Apa Nuk” jawab pria itu sambil menaruh puntung filternya di asbak. “Nggak jadi kung..” jawabku. “kamu ini… tak pikir ada apa” sahutnya kemudian. “Tadi… kayaknya kung juga jilatin lubang belakangnya Ninuk ya… emang ga jijik kung?” tanyaku memberanikan diri. “Oalah Nuk, Ninuk… kalo yang namanya lagi nafsu, ga ada lah yang namanya jijik itu. “Emang ‘itu’ mu ga pernah dimasukin ya ama Hendra” tanyanya. “Anal sex kung?” tanyaku balik. “Iya itu entahlah apa namanya, pokoknya dimasukinnya ke lubang yang itu” jawabnya kemudian. 

“Emang kung pernah??” tanyaku penyasaran. “Ya pernah lah Nuk… ya enak sih, lain rasanya. Tapi gimana-gimana, ya enak ke bawuk lah. Apalagi punyamu” ujarnya sambil tersenyum. “Ihh kung ini” jawabku yang merasa terbuai.

“Ya kapan-kapan kalo kamu mau, cobain ya” ujarnya lagi yang sama sekali tidak kurespon. Pikiranku langsung terbayang ke film-film porno yang pernah kutonton yang ada adegan anal sex nya. Aku ga bisa bayangin rasanya, penis orang-orang barat yang segede itu bisa masuk, padahal pernah kucoba masukkan jariku ke lubang anusku sendiri sudah terasa sakit.

“Eh Nuk, kok Inah ama Bayu ga dateng-dateng.. sudah jam setengah sebelas ini” kata lelaki itu yang menyadarkanku kalo pembantu dan anakku belum pulang. “Oh iya kung… hp mana hp” tanyaku ke diriku sendiri bingung. “Oh iya di kamar tamu” gumamku lalu beranjak menuju kamar yang tadi menjadi saksi hubungan terlarangku dengan ayah mertuaku itu, bahkan pembantuku pun ikut juga. “Iya Nuk, punyaku paling disana juga. Tolong ambilin juga ya” pinta lelaki itu. “Iya Kung” sahutku.

Kamar itu masih berantakan, hasil olah raga tadi. Bau amis air mani juga. “Biar si Inah aja deh nanti yang bereskan” gumamku lalu beranjak keluar sambil membawa HPku dan HP ayah mertuaku yang ternyata juga masih disana. Tak lupa kumatikan AC dan sengaja meninggalkan kamar itu dengan pintu terbuka. Biar udaranya ganti, pikirku.

“Ini kung HPnya” kataku sambil menyerahkannya ke lelaki itu. “Oh. Iya Nuk, terimakasih” jawabnya kemudian langsung membuka-buka gadgetnya, pun aku juga melakukannya setelah duduk.

“Bu, mas Bayu langsung saya ajak jalan-jalan, nanti pulang pas jam 1. Biar ibu sama kung punya waktu lagi. Mungkin mau nambah” bunyi pesan si Inah lengkap dengan emoticon tersenyumnya. Aku pun tersenyum membacanya. 

Terus terang aku merasa lega membaca pesan dari pembantuku itu. “Kenapa Nuk” tanya ayah mertuaku yang melihatku senyum-senyum sendiri. “Oh ini loh kung, ternyata Bayu diajak jalan-jalan sama si Inah, nanti jam 1 baru balik” jawabku. “Biar Ninuk sama kung ada waktu kalo mau nambah lagi katanya, hehe” lanjutku.

“Hehehe…nggak udah Nuk… cukup dah… habis wis habis” kata ayah mertuaku itu sambil menyalakan rokoknya lagi. “Iya Nah. Kalo nanti Bayu Lapar, belikan makanan dulu, nanti uangnya aku ganti. Kamu bawa uang kan?” pesanku membalas wa pembantuku itu. Beberapa saat kemudian Inah mengirimiku Foto anakku sedang sibuk di salah satu tempat bermain anak di Mall pusat kota. “Aman bu” captionnya singkat yang membuatku lega. “Ini kung, lagi di Mall ama Inah” kataku sambil menunjukkan foto yang dikirim pembantuku itu tadi. “Oh… ok, berarti nanti tinggal jemput Doni ya” kata ayah mertuaku itu.

Sejenak kupandangi lelaki tua itu yang menghisap rokoknya dalam-dalam dan kemudian mengeluarkannya. Ada sebagian asap yang keluar lewat lubang hidungnya. Waktu menunjukkan hampir jam sebelas. Masih ada sekitar 2 jam an sebelum anak-anakku pulang. Jujur saja penolakan halus dari mulut mertuaku itu malah membuatku penasaran. 

Membuat pertanyaan aneh di benakku. “Masak sih ga mau kalau dia kuajak berhubungan intim lagi… katanya tadi siapa yang melihatku tidak tertarik, berarti tidak normal” pikirku. Bingung antara iya atau tidak.

Kesempatan ada, waktu juga sangat-sangat cukup. “aaahh” bingung juga akhirnya. “Biarlah…. kan lain waktu juga bisa, kesempatan nggak hari ini saja.” gumamku dalam hati. Memang salahku sendiri juga kenapa tadi harus berbagi sama si Inah, apalagi setelah itu kulihat lelaki itu menyelonjorkan kedua kakinya dan matanya mulai terpejam di atas sofa tamu. 

Mungkin saja dia kelelahan. Aku pun kemudian memutuskan untuk melakukan hal yang sama, lumayan kan, sejam dua jam sebelum anak-anakku pulang. Aku lalu berdiri dan menaruh handuk yang dari tadi masih kupakai di kepalaku dan menaruhnya di jemuran kemudian langsung berjalan menuju ke kamarku dan merebahkan tubuhku di atas kasur.

Ada pembelajaran yang menurutku lumayan penting aku dapat kala itu. Yaitu aku tidak dapat memaksakan ego dan keinginanku apalagi kalau itu juga sangat bergantung atau terkait pada orang lain. Tapi kalau mertuaku yang memintanya, sesuai janjiku, aku akan tetap melayaninya asalkan kesempatan itu ada.

Bisa saja aku memaksa laki-laki itu untuk berhubungan badan denganku lagi tapi akan jauh lebih menyenangkan bila keduanya sama-sama pas. Atau malah bisa ada dampak lain yang timbul. Horni? Ya Iya lah. Masturbasi? No, toh juga semalem sampai tadi pagi aku masih melakukannya. Bahkan dengan orang yang berbeda, renungku sesaat sebelum mataku terlelap.
Waktu pun terus berlalu, pagi menjadi siang, kemudian berganti ke malam lalu kembali ke pagi lagi. Tiap detik yang berdetak, mengantarkan apa yang kita lakukan sekarang menjadi masa lalu, terus mengiringi rutinitas keseharianku seperti biasanya.

Hari jum’at pagi, aku menyadari kalau tamu bulananku datang ketika aku bangun tidur. “Ohh ini rupanya, terjawab sudah kenapa aku selalu horni seminggu ini” gumamku. Biasanya memang beberapa hari sebelum menstruasi, gairahku selalu meningkat.

Pukul setengah 5 pagi, suasana masih lumayan gelap. Hanya saja lampu-lampu dalam rumah sebagian sudah menyala. “Si Inah pasti sudah bangun”. Benar ternyata, pembantuku itu sudah menyibukkan dirinya di dapur. “Inah… nanti kamu siap-siap lho ya” kataku ketika berjalan mendekatinya. Ia tampak agak terkejut dengan kehadiranku. “Siap-siap apa bu? Mau kemana?” jawabnya sambil terus mengupas bawang. “Siap-siap Nah… nih aku mens” kataku sambil tersenyum. “Ihhh… ibu ah… tak pikir mau ajak Inah kemana” katanya masih terus sibuk dengan bumbu-bumbunya. Sambil terus tersenyum aku kemudian ke kamar mandi hanya untuk cuci muka dan memakai pembalut.

Pagi itu kedua anakku sudah siap ketika ayah mertuaku datang untuk mengantarkan mereka ke sekolah. “Aku habis ini sarapan disini ya Nuk” kata lelaki itu sesaat sebelum memacu sepeda motor maticnya. “Iya Kung” jawabku lalu kembali masuk ke dalam rumah.

Saat aku membereskan kamar anak-anakku, terdengar suara pagar rumah dibuka dan suara motor masuk yang bisa kupastikan itu adalah ayah mertuaku. “Ayo Kung kalau mau dhahar.. Ninuk juga belum makan… ayo sama-sama” kataku sambil mengikat rambutku saat menghampiri lelaki tua itu yang tampak baru saja duduk di kursi ruang tamu. “Bukan sarapan yang itu Nuk” jawabnya. “Lha terus?” tanyaku ganti, agak penasaran dengan maksud lelaki itu, akhirnya aku pun duduk di depannya.

“Sarapan yang itu loh Nuk…” katanya lagi. “oalahh… iya iya, Ninuk paham” jawabku sambil tersenyum kala aku mengerti apa yang dimaunya. Kupikir tadi memang bener-bener mau sarapan, ternyata pagi itu ia ingin berhubungan intim denganku. Ia pun terlihat tersenyum. “Masak, tadi aku harus bilang kalo aku mau gituan… di depan Bayu ama Doni. Mumpung masih jum’at pagi.. nanti malem kan Hendra datang” katanya panjang.

“hehe, Iya Kung… tapi ga bisa Kung… mulai tadi malem Ninuk mens Kung…” Jawabku. “Tapi ada Inah Kung…. “ Lanjutku. “Naaah…. Inaaah” aku panggil pembantuku yang sepertinya sedang mencuci pakaian. “Iya bu… sebentar” jawabnya dari kejauhan. “Nggak usah Nuk… Nggak usah” kata ayah mertuaku.

“Iya bu” kata si Inah Ketika mendekat. “Ini Nah, kung….” kataku tapi langsung terpotong oleh lelaki itu. “Buat kopi Nah… tolong buatin kopi” kata ayah mertuaku pada Inah. “Iya Kung… sebentar” jawab pembantuku itu kemudian berlalu. “Kenapa Kung? kan Kung bisa ama Inah?” tanyaku. “ga papa Nuk… aku maunya ama kamu aja” jawab lelaki itu santai kemudian menyalakan rokoknya. “Ihhh… Kung ini… ada-ada aja” sahutku sambil tersenyum. “Biar wis, nunggu… berapa hari biasanya Nuk?” tanya laki-laki itu. “Kadang seminggu… kadang kurang… kadang juga lebih kung…. nggak mesti” balasku.

Kamipun terdiam Ketika si Inah datang membawa segelas kopi dan menaruhnya di meja tepat didepan ayah mertuaku duduk. “Makasih ya Nah” kataku sesaat sebelum pembantuku itu beranjak yang hanya dibalasnya dengan anggukan. “hati-hati kung… masih panas” kataku ketika melihat lelaki itu menuangkan wedang kopinya di lepek. “Iya Nuk… makanya ini ditaruh lepek dulu” sahutnya.

Sesaat kupandangi lelaki itu yang sedang menikmati kopinya. Anganku menerawang dengan perubahan sikapnya padaku dua hari ini. Dulu kami bisa dibilang jarang sekali ngobrol, sekarang suasana jauh menjadi lebih santai, lebih akrab.

Bahkan hari rabu malam lalu, sekitaran jam 9 malam ia menyempatkan meneleponku hanya sekedar mengingatkanku untuk menyuruh Inah mengunci semua pintu rumah termasuk pagar depan. Hal yang sama juga dilakukannya lagi tadi malam. Aku yang berpikiran ngeres, mengira kalau dia akan mengajakku berhubungan badan waktu dia menghubungiku, hanya tersenyum kecil ketika tahu maksud lelaki itu menghubungiku. Perhatian-perhatian kecil yang sama sekali tidak pernah kudapatkan dari ayah mertuaku sebelumnya

“Atau mau Ninuk kocokin Kung?” tanyaku kemudian. “Emangnya kamu mau Nuk?” tanyanya balik. “Ga gitu.. Setahuku, kalo kamu lagi dapet gini kamu ga mau ngapa-ngapain dan ga mau diapa-apain… inget kamu dulu sampe bernah bertengkar sama Hendra trus kamu pulang sama anak-anak ke malang” lanjutnya panjang lebar.

“Iya Kung… sampe mas Hendra akhirnya buang hajatnya ke Inah” jawabku. “Loh… kamu tahu itu Nuk?? Trus… kamu ga papa? Kamu ga marah” tanya ayah mertuaku terkejut. Aku pun tersenyum. “Inah yang cerita dulu Kung… kalau Ninuk umpama mergoki dulu, mungkin ceritanya jadi lain” jawabku. 

“Oh gitu ya… sebenarnya itu aku yang suruh… aku tahu laki-laki kalau sedang pengen tapi ga dapet, bawaanya emosi” jelasnya yang sebenarnya sudah kuketahui dari si Inah sendiri. “Oh sukurlah kalau begitu” kata lelaki itu sambil mematikan rokoknya yang memang sudah habis.

Kemudian laki-laki itu berdiri lalu duduk pas di sebelahku. “Nuk, bantuin keluarin ya… “ katanya dengan suara yang agak berbisik. Sungguh kata-kata itu sangat menusuk hatiku, membuai perasaanku pada sebuah romantisme antara pria dan wanita. Melupakan sejenak kalau lelaki itu adalah ayah mertuaku sendiri bahkan itu berhasil memposisikan diriku untuk pasrah menuruti keinginannya. “It’s all yours Sir… Whatever you want, I’ll do it for you”.

Tanpa kata-kata lagi aku lalu mengusap bagian depan celana baggy hitam yang dikenakan lelaki itu, ia pun yang langsung membuka sabuk dan resletingnya. “Sebentar Nuk” gumamnya lirih lalu melorotkan celana sekaligus CD biru tua yang dipakainya. Ia tidak melepasnya, hanya sampai di lutut saja. Tapi hal itu sudah cukup. Kemaluan lelaki itu masih terlihat masih tertidur. Sentuhan magis tanganku langsung membuat penis coklat tua itu berdiri tegak, siap menyalurkan bilur-bilur kenikmatan birahi kepada tuannya.

Perlahan tanganku mulai mengelus-elus batang kemaluannya sambil sesekali kukocok-kocok yang membuat mulut lelaki itu mulai mendesis, nafasnya pun mulai tak beraturan. Tangan lelaki itu mulai menjamah payudaraku yang masih terbungkus daster dan singlet di dalamnya. Tak puas dengan itu ia mencoba menyelipkan tangannya ke dalam tapi sepertinya itu sangat sulit karena posisi tubuh kami berdua.

Sadar akan hal itu kemudian sambil duduk aku melepas daster yang kupakai menyisakan bra krem dan celana boxer hitam yang melekat di tubuhku. Aku lalu mengulum batang kemaluannya yang semakin membuat lelaki itu menggelinjang keenakan. Tangan lelaki itu melepas klip bra ku lalu tangannya pun dengan leluasa meremas-remas susuku. Kemudian aku menghentikan cengkraman mulutku di penisnya tapi tanganku langsung meraihnya lagi untuk mengocoknya lagi. “Beneran Kung ga mau ama Inah” tanyaku sambil menatapnya. “Iya Nuk” jawabnya masih dengan mata terpejam.

Tiba-tiba terdengar suara kendaraan berhenti, yang sepertinya truck, karena mesinnya terdengar sangat ranying yang segera menghentikan aktivitasku dan ayah mertuaku itu. Sejenak kami terdiam dan kemudian suara truck itu terdengar menjauh. “Di kamar mandi aja kung” ajakku kemudian beranjak ke belakang.

Sesaat kemudian kami berdua pun sudah berada di kamar mandi utama rumahku. Aku kemudian duduk di tepian bathub sambil melepas ikatan rambutku yang rusak Ketika aku melepas dasterku tadi. Tanpa dikomando, lelaki tua itupun berdiri pas di depanku seolah menyuruhku mengulum penisnya lagi. “Ayo Nuk… ini mau tak keluarin” katanya dengan suara parau.

Belum lima menit aku menjilati kemaluan lelaki itu, tangan yang tadinya hanya mengusap-usap rambutku kini memegangi kepalaku dan menggerakkan pinggulnya maju mundur.”ooohhh…. nuk,,, aku mau keluar…nim au keluarrr….”rintihnya. aku panik juga kala itu, maklum aku sama sekali belum pernah menelan sperma laki-laki meski punya suamiku sendiri. Tapi ternyata lelaki itu menaruk penisnya keluar dari mulutku lalu mengocoknya sendiri dan mengarahkannya ke payudaraku. “Aaaaaacccchhh…. Aaaaccchhhh….. accccchhhhh” jeritnya. Kulirik sebentar wajah mertuaku itu yang sedang menatapku tajam penuh nafsu tapi akhirnya pandanganku kualihkan ke penisnya.

Kulihat cairan putih mulai menetes melalui lubang kecil di kepalanya penisnya yang terlihat memerah. Sangat kental sekali disusul tetesan yang kedua yang sama kentalnya. Tiba-tiba.. “Cret… Cret… Cret… Cret… Cret… Cret… Cret… Cret… Cret…” lebih dari sepuluh kali penis tua menyemburkan spermanya. Banyak sekali. Ada yang kental, ada yang agak kental bahkan yang encerpun juga ikut keluar. Muncratanya pun sangat keras sampai kemana-mana tapi Sebagian besar menghantam payudaraku yang menimbulkan sensasi tersendiri bagiku. Adegan yang sebelumnya hanya pernah kulihat di film-film saja. Kuusap-usap sendiri payudaraku hingga tampak mengkilat terkena cairan hangat itu. Wangi sabun dan pengharum kamar mandi pun tak kuasa menahan aroma khas air mani ayah mertuaku itu.

Akhirnya aku kemudian memberanikan diri untuk menjilat lagi penisnya yang masih berlepotan sperma yang sedikit tertelan olehku. Terasa sedikit asin. Kemudian ia menarik tubuhnya dan mengarahkan kepalanya kepadaku dan mengecup keningku. “Makasih ya Nuk” katanya pelan dengan suara yang masih parau. Laki-laki itu benar-benar pandai menyanjungku. Memperlakukanku seperti orang yang sangat dicintai dan disayanginya. Bukan hanya sebagai tempat pelampiasan nafsu belaka.

“Sini kung, Ninuk yang bersihkan” kataku kemudian mengambil tongkat shower dan sabun. “Bentar Nuk” katanya. Ternyata ia kemudian kencing di wc duduk yang ada di sebelahnya. Baru kali itu juga aku melihat laki-laki pipis.. laki-laki dewasa maksudku. Kalau anak-anakku sering. Setelah semuanya selesai, aku minta lelaki itu untuk keluar karena aku akan sekalian mandi dan mengganti pembalutku yang kurasakan sudah akan tembus. Ia pun menurutinya.

Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Categories

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

BTemplates.com

POP ADS

Blogroll

About

Copyright © Cerita Panas | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com