Leni memutar tubuhnya menghadap Khandiq yang duduk di kanannya. Dari jarak sebegitu dekat, Khandiq dapat melihat dengan jelas kecantikan sang istri nmeskipun masih dibalut cadar. Aura keseksian Leni begitu kental meracuni udara di sekitar tubuhnya sehingga pria mana pun yang bernapas di dekatnya pasti akan terkena racun syahwat.
“Cepetan bilang, Len! Ana udah sange!” kata Fahmi sambil mencubit pantat Leni.
“I-i-iyaa, Ustad,” jawab Leni sambil menepis tangan nakal Fahmi. Namun, hanya setengah hati. Terlihat dari gerakan tangannya. Khandiq malah lebih tertarik melihat betapa rona merah telah memenuhi wajah Leni. Tangan Khandiq bergerak perlahan memebuka cadar sang istri, memenuhi keingintahuannya apakah rona merah itu akibat marah atau lainnya.
“Abi ... mmmh ... Ummi izin khidmat sama Ustad Fahmi ...,” kata Leni meminta izin. Khandiq terhenyak mengetahui betapa wajah istrinya merona seperti ketika dia melihatnya sedang menahan syahwat ketika sedang berjimak. Tidak ada keterpaksaan di wajah cantik itu.
“Khidmat ngapain, Umm?” tanya Khandiq. Betapa dia luluh melihat wajah penuh syahwat istrinya yang cantik itu.
“Mmmh ... anu, Abi ... ituuu ...,” jawab Leni terbata-bata. Meskipun sudah dikuasai Fahmi, nyatanya ustazah itu masih memiliki sedikit pikiran jernih untuk malu kepada suaminya.
“Jawab yang jelas! Ana udah sange, nih!” gerutu Fahmi. Tangannya kini tidak lagi mengincar pantat Leni, tetapi dari belakang meremasi kedua tetek Leni.
“Fahmi! Anjing antum, ya!” seru Khandiq memuncak amarahnya melihat perbuatan Fahmi. Namun, sebelum dia hendak memberi pelajaran kepada junior-nya itu, kedua tangan Leni menangkap tangannya dan menariknya kembali duduk tanpa memedulikan gerayangan tangan Fahmi di teteknya.
“Abi ... Ustad Fahmi itu murabbi-nya Ummi. Wajib bagi murid untuk khidmat kepada murabbi-nya. Mau disuruh apa, Ummi harus nurut ... mau masak, hapalin surat, diminta ... jimak. Wajib, Bi! Abi mau Ummi dosa bantah murabbi Ummi?” kata Leni penuh kelembutan. Pandangan matanya menatap Khandiq penuh permohonan untuk dimengerti. Sedangkan di belakangnya, Fahmi menyeringai penuh kemenangan dan kedua tangannya bertindak lebih jauh dengan mempereteli kancing gamis Leni. Khandiq hanya bisa menelan ludah ketika tetek istrinya dipaksa keluar oleh kedua tangan jahanam Fahmi.
“Antum dengar sendiri sendiri, kan? Ustazah Leni yang mau sendiri jimak sama ana,” kata Fahmi melakukan aksi berikutnya, mengeluarkan tetek-tetek Leni dari dekapan beha-nya di depan mata sang suami.
“Ummi sadar, Umm! Ummi tu dihipnotis sama dia,” kata Khandiq sambil menahan diri tidak menepis tangan Leni yang masih memegangi tangannya.
“Ummi tau kok, Bi. Ummi kan hafizah, Ummi dengar apa yang diamalin Ustad Fahmi dan Ummi tau itu dari kitab kita. Bukankah itu artinya Ustad Fahmi adalah orang soleh, yang hanya berkiblat kepada kitab untuk segala urusan? Mmmh ...,” kata Leni membela Fahmi dan ditutup oleh lenguhan erotis ketika pentil teteknya mendapat giliran dipermainkan oleh kedua tangan si ustad durjana.
“Tapi ini salah, Umm! Ummi jadi mengkhianati suami,” tukas Khandiq masih berusaha menyadarkan Leni.
“Nggak, Bi! Malah Ustad Fahmi yang nyuruh ana terima lamaran Abi, harusnya Abi makasih sama beliau,” kata Leni yang menyandarkan punggungnya ke dada Famhmi akibat teteknya dipermainkan di depan suaminya.
Khandiq menatap Fahmi dengan perasaan campur aduk. Dia masih tidak rela istrinya menjadi peliharaan Fahmi, tetapi dia juga tidak mampu membuat sadar istrinya itu. Matanya tidak bisa melepaskan pandangan dari tetek-tetek Leni yang semakin kasar dipermainkan oleh Fahmi.
“Anggap aja saling tolong, Tad. Dari pada Leni diambil sama Yai Karim jadi istri keempatnya, mending ana suruh dia nikah sama antum. Masih bisa ana pakai kapan pun. Lah kalau sama Yai Karim, mana bisa? Bisa kapiran urusan syahwat ana nanti,” kata Fahmi menjelaskan sambil kedua tangannya kini melolosi kedua tangan Leni dari lengan gamisnya. Kini bagian atas gamis Leni teronggok di pinggangnya sendiri, membuat tetek indah Leni terpampang utuh di hadapan Khandiq yang hancur lebur hatinya.
“Abi ... Ummi khidmat dulu, ya?” kata Leni sambil melepaska tangan Khandiq dan menggantinya dengan kontol Fahmi yang masih terbungkus di dalam celana. Leni membalikkan tubuhnya lalu bersimpuh di antara kedua paha Fahmi. Dengan telaten dan lembut, akhwat amoy itu melolosi celana cingkrang Fahmi beserta sempak ustad durjana itu.
“Sini, Ustazah! Ada yang kangen sama Ustazah,” kata Fahmi sambil merengkuh kepala Leni dan mengarahkannya kepada kontolnya. Leni dengan patuh membenamkan wajahnya di area selangkangan Fahmi yang dengan antusias menggerak-gerakkan kepala Leni agar wajah cantiknya mengusap-usap seluruh bagian selangkangannya.
Khandiq jelas tidak tega melihat istri yang begitu dicintainya diperlakuakn tidak lebih baik ketimbang seorang lonte, tetapi dia juga tidak mampu memalingkan pandangannya dari apa yang dilakukan Leni dan nyatanya kontol Khandiq dengan jujur menyatakan pendapatnya lewat perubahan bentuk. Beberapa kali matanya beradu pandang dengan mata Leni yang tidak lupa melempar senyum manis meskipun bibirnya sibuk mengecupi setiap milimeter kulit daerah selangkangan Fahmi. Fahmi yang melihat itu semakin bersemangat menggosokkan wajah Leni kepada area selangkangannya.
“Abi ... bisa tolong lepasin gamis Ummi?” tanya Leni ketika sekali lagi pandangan matanya beradu dengan Khandiq.
Khandiq yang hatinya hancur lebur tidak lagi memiliki keinginan untuk melawan keinginan sang istri tercinta. Meskipun berat, dia bangkit dari sofa lalu turut bersimpuh di samping Leni dan melolosi gamis serta legging dan kancut yang dikenakan Leni sehingga hanya tersisa jilbab lebar dan sepasang kaos kaki yang menutupi kulit Leni.
Usai menunaikan tugasnya, Khandiq tanpa sadar turut melolosi celana dan juga sempaknya. Kedua tangannya lalu berbagi tugas yang satu mengocoki kontolnya sendiri, satunya mengobel memek Leni. Pikirannya sudah tidak bisa berjalan normal, yang ada hanya rangsangan syahwat yang membludak melihat perzinahan istri dan temannya.
“Abi ... jangan dulu, ya? Ummi lagi berkhidmat. Biar kontol Ustad Fahmi dulu yang masuk ke memek Ummi,” kata Leni sambil menepis kontol Khandiq yang ujungnya telah sedikit membelah bibir memek Leni. Fahmi yang disebut-sebut hanya tertawa kecil penuh kemenangan.
Tepisan ringan seperti itu sama sekali tidak meninggalkan sakit pada kontol Khandiq. Namun, hatinya semakin hancur dengan perlakuan Leni tadi. Belum lagi harga dirinya yang semakin hancur ketika mendengar tawa Fahmi.
Khandiq terjengkang dan duduk di lantai sambil mengocoki kontolnya. Dilihatnya Leni kini tanpa diarahkan telah membuat kontol Fahmi begitu mengkilap dengan liur lewat pelayanan prima bibir dan lidahnya. Di sofa, mata Fahmi terpejam meresapi pijatan dan urutan otot-otot mulut Leni yang menjepit kontolnya. Berkali-kali dia harus memadamkan keinginannya untuk segera meletupkan peju karena ingin lebih lama menikmati jimak dengan ustazah amoy itu.
“Ustad Khandiq tau, gak gampang bikin mulut suci ini ngomong jorok. Apalagi ngemut kontol,” ejek Fahmi sambil melihat Khandiq yang masih nanar mengocok kontolnya sendiri.
“Bahkan di bawah pengaruh hipnotis pun, lonte ini masih punya kekuatan iman yang kuat untuk menolak perintah-perintah yang bertentangan dengan logika akal sehat. Masih tau mana halal mana haram. Lonte ini adalah mangsa ana yang paling sulit ditaklukkan. Padahal cuma mualaf,” kata Fahmi lagi sambil mengingat-ingat pertama kali mencoba merusak Leni. Khandiq yang mendengarnya merasa bangga karena dugaannya kepada Leni tidak meleset andai Fahmi tidak merusaknya.
“Ana harus berkali-kali ngerapal amalan sambil perkosa ini lonte. Gak enak banget jimak sambil ngamalin, antum tau? Makanya biar kata ana gak akan nikahin Leni, tapi ana gak akan lepasin dia sampai kapan pun,” tutur Fahmi sambil membangunkan Leni dan menyuruhnya membalikkan badan dalam posisi tubuh masih menungging. Kini Leni dan Khandiq saling berhadapan wajah. Ustazah amoy itu tersenyum manis dan menggoda melihat Khandiq mengocoki kontolnya sendiri.
“Afwan, Usssstaaadh! Ngh! Ana boleh sambil sepong kontol suami ana?” tanya Leni berbarengan dengan kontol Fahmi membelah bibir memek Leni dan menancap sempurna.
“Sini, Bi! Masukin kontol Abi ke sini,” kata Leni lalu membuka rahang mulutnya setelah Fahmi mengiyakan sambil lalu tak peduli.
Khandiq dengan bergegas merangkak mendekati Leni. Namun, bukannya langsung memasukkan kontolnya, dia malah menciumi dan menjilati seluruh wajah istrinya itu. Tidak dia indahkan aroma apek kontol dan sedikit noda mazi di wajah Leni.
“I love you, Ummi!” bisik Khandiq.
Mendapat perlakuan seperti itu membuat Leni meneteskan air mata. Hatinya terasa hangat dan dari kehangatan itu secercah perlawana hadir melawan gelombang kenikmatan yang bersumber dari tumbukan kontol Fahmi pada memeknya. Namun, Fahmi seperti mengetahui adanya gelombang penolakan yang muncul di dalam diri Leni, sehingga terpaksa sambil mengentoti Leni dia pun merapal lagi amalannya. Meskipun tidak menyenangkan karena harus membagi fokus, tetapi efek amalan yang dilakukan dengan persentuhan alat kelamin terbukti lebih manjur. Seketika saja Leni kembali jinak.
“Ustad! Kalo mau disepong, cepetan! Gak usah sok romantis!” maki Fahmi menyadari sumber kekuatan penolakan Leni. Ditamparnya bongkahan pantat Leni sampai membuat ustazah amoy itu berteriak kesakitan meskipun dengan nada yang manja dan menggoda.
Khandiq yang tidak mengerti langsung mengikuti perintah Fahmi. Dia takut kalau juniornya itu membatalkan izin untuknya mengentoti mulut Leni. Direngkuhnya kepala Leni lalu dia masukkan kontolnya ke mulut berbibir merah tipis yang langsung merapat menjepit kontolnya. Pinggulnya dengan ritmis tetapi bergetar bergerak maju mundur mengentoti mulut Leni yang memberi pelayanan lebih dengan sedotan vakum-nya pada saat kontol Khandiq utuh bersarang di mulutnya.
“Ana jadi inget waktu ni lonte ana pake bareng Yai Karim. Persis macam ini. Nama doang besar, sekali kena Leni langsung muncrat tu aki-aki,” kata Fahmi lalu menutup kenangannya dengan tawa. Pada saat itulah bisa dikatakan Fahmi telah menguasai Batam setelah Yai Karim bisa diluluhkannya lewat tubuh Leni.
Leni yang mendengar kisah itu hanya bisa tersenyum malu-malu dengan kontol Khandiq masih di mulut ketika pandangannya bertemu dengan Khandiq. Dia ingat betapa merasa terhormatnya dia ketika diminta untuk menari perut di hadapan kyai paling berpengaruh di lingkungan NU Batam. Segala sentuhan tangan kyai itu di tubuhnya seperti memberikan berkah bagi Leni. Namun, semua itu musnah ketika baru saja masuk setengah batang di memeknya, kontol kyai yang sebetulnya tidak istimewa itu langsung memuncratkan peju. Tidak ada ronde-ronde berikutnya karena kyai itu tidak berani menenggak obat kuat pemberian Fahmi akibat jantungnya yang melemah setiap tahunnya.
Khandiq dan Fahmi seperti berpacu menggunakan kuda yang sama. Meskipun dia amat membenci Fahmi, tetapi dia juga amat menyukai ketika junior-nya itu menghentakkan kontolnya ke memek Leni sekuat tenaga karena dengan begitu tubuh Leni jadi terdorong dan menelan kontolnya semakin dalam akibat dorongan pinggulnya yang mendorong kontolnya ke dalam mulut Leni.
Khandiq meremang mendengar cerita-cerita Fahmi, betapa seringnya ustad jahanam itu memanfaatkan tubuh istrinya untuk meningkatkan karir. Namun, sebenci apa pun dia kepada cerita dan yang menceritakan, tetapi dia justru lebih membenci dirinya sendiri yang justru semakin bergairah mendengarnya. Terbukti dari rahang Leni yang semakin lebar membuka akibat bertambahnya ukuran kontol Khandiq. Tangan Khandiq menggapai-gapai apa pun yang bisa membuatnya bertumpu agar tidak roboh saking enaknya pelayanan mulut Leni kepada kontolnya. Hingga tangan itu merengkuh pegangan tangan sofa yang ternyata sudah sedikit goyang karena bagian kayu yang dipaku telah lapuk.
Fahmi di sisi sana benar-benar memuja Leni meskipun dengan cara paling jahanam. Kecantikan dan kemolekannya membuat Fahmi benar-benar jatuh cinta. Namun, dia tidak ingin membatasi diri dengan cinta dan hanya hidup dengan Leni. Dia ingin menikmati semua akhwat yang dia inginkan tanpa harus bertanggung jawab. Dia merasa bahwa bila satu kali saja dia menikahi korbannya, maka dia akan terjebak kepada rasa kasihan yang akan menghambat karirnya.
Dibelainya kulit pantat Leni sambil terus mengentoti memek ustazah amoy itu. Bergeser terus tangannya ke punggung lalu akhirnya hingga di tetek Leni yang bergoyang liar akibat hentakan dari pinggulnya. Kemudian dia rebahkan tubuhnya di punggung Leni sambil terus menggenjot kontolnya dan meremasi tetek Leni. Ini adalah posisi favoritnya karena denagn begini rasanya Fahmi telah memiliki Leni dengan utuh.
“Ugh! Ugh! Len, ana mau keluar!” desah Fahmi yang tenggelam di dalam kenikmatannya sendiri. Genjotan pinggulnya semakin cepat menggasak memek Leni yang juga semakin keenakan dan mengencangkan otot-otot dinding relung memeknya, meremasi kontol yang telah memberinya banyak kenikmatan terlarang itu.
“Hamil, Len! Aaah!” geram Fahmi sambil memancurkan pejunya berkali-kali memenuhi relung memek Leni. Matanya yang terpejam tidak lagi dapat terbuka seiring bunyi tumbukan benda tumpul yang bergema di kepalanya.
***
Hari itu telah lima bulan semenjak kejadian di kantor Fahmi. Leni duduk berhadapan dengan Khandiq yang berbaju tahanan. Tangan keduanya bertaut di perut Leni yang membuncit.
“Abi ... makasih masih mau terima Ummi,” bisik Leni sambil meneteskan air matanya.
Di hadapan Leni, Khandiq tidak mampu menjawab apa-apa selain menahan tangis. Dia tidak menyesal telah melakukan apa yang harus dia lakukan meskipun harus menanggungnya dengan hukuman kurungan dua puluh tahun. Itu pun setelah adanya pembelaan dari banyak akhwat yang sadar kembali dari pengaruh amalan Fahmi.
Batam geger. Pembersihan pengurus NU dilakukan secara total dan tanpa pandang bulu. Bahkan kyai sepuh seperti Yai Karim hanya bisa selamat karena usia tuanya. Sisanya lenyap seperti tidak pernah ada jejaknya di jagat dakwah.
TAMAT