Mumpung istirahat, setor Ustazah Leni dan nyicil proyek berbayar. Selamat membaca.
***
Khandiq duduk berhadapan dengan Fahmi. Wajahnya dengan cepat memberi tahu Fahmi perihal apa yang hendak dia bicarakan. Tidak ada suara apa pun untuk beberapa waktu, keduanya hanya saling berpandangan, yang satu dengan pandangan marah, satunya membalas dengan pandangan tidak peduli.
“Jadi Ustazah Leni sudah menceritakan rahasia kami?” tanya Fahmi sambil mengambil sebatang rokok dari bungkusnya yang tergeletak di tengah meja. Dia tidak menyulutnya, hanya mengendus-endus aroma dari rokok itu yang dia selipkan di antara hidung dan bibir atasnya yang dimonyongkan.
“Bahkan ana gak tau harus bagaimana mendengar pengakuan istri ana,” tukas Khandiq disambut senyum simpul Fahmi yang terasa begitu menyebalkan.
“Hehehehe ... padahal udah ana bilangin sama lonte itu buat jadi rahasia aja lo,” kata Fahmi tanpa merasa bersalah.
“Pasti antum yang bikin Leni jadi gitu! Ngaku!” seru Khandiq sambil menggebrak meja kerja Fahmi. Fahmi hanya tersenyum-senyum saja mendengar tuduhan itu.
“Ya jelas! Istri antum itu mualaf teladan ... dulu. Eh sekarang juga masih, kok. Pas dulu itu ana ngeliat foto kegiatan kantor cabang Batam ada foto istri antum. Ana langsung tergila-gila sama dia,” kata Fahmi menceritakan.
“Kalau tergila-gila kenapa gak antum jadikan istri?” cecar Khandiq.
“Eh? Jadi istri? Antum gila apa? Masa setiap ana tergila-gila sama akhwat, ana harus nikahin? Cukup ana jadiin simpenan aja kan cukup, toh?” jawab Fahmi sambil menatap keheranan kepada Khandiq.
“Jadi simpenan? Jadi selama ini Leni antum jadiin simpenan? Gila antum!” seru Khandiq melotot kepada Fahmi yang tertawa saja menanggapinya.
“Ayolah, Ustad Khandiq! Kita tau sama tau, setiap dari kita punya pegangan. Antum punya pegangan, ana punya pegangan. Meskipun ana gak tau pegangan antum fungsinya apa, tapi biar ana kasitau kalau pegangan ana itu sifatnya cuci otak alias hipnotis,” kata Fahmi menjelaskan dengan santai seolah hal itu bukan sebuah rahsia yang harus disembunyikan.
“Sesat antum!” sergah Khandiq terkejut mendengar penjelasan Fahmi.
“Sesat? Sumbernya dari kitab suci kita lo, Ustad. Saya gak bohong, sumbernya dari situ. Ada ayatnya, ada cara ngamalinnya, tapi ana gak akan ngasitau yang mana dan gimananya. Yang jelas mujarab,” kata Fahmi sambil menjepitkan jempol tangannya dengan jari telunjuk dan jari tengah.
Khandiq terdiam mendengar ucapan Fahmi. Diam-diam terbitlah rasa iri akan amalan yang dimiliki oleh Fahmi. Dia menyesali hanya mengetahui amalan untuk bisa mengobati baik penyakit fisik maupun penyakit non fisik. Itu pun tidak benar-benar hebat.
Di dalam diam, Fahmi mengambil tabletnya dan menekan nomor seseorang. Dia membiarkan Khandiq terhanyut entah ke dalam apa di pikirannya. Nada dering terdengar keras, Fahmi menyalakan speaker untuk berbicara.
“Assalamualaikum, Ustad Fahmi!”
Khandiq terkejut mendengar suara orang yang ditelpon Fahmi. Tidak bukan adalah Leni Tan, istrinya. Ketika hendak mengamuk, Fahmi mengarahkan kamera belakang tebletnya ke arah Khandiq yang langsung terkaget-kaget.
“Tuh, suami suami anti datengin ana,” kata Fahmi.
“Aduuuh! Afwan, Ustad Fahmi. Abi! Ngapain ke Ustad Fahmi?” tanya Leni setengah berseru kepada Khandiq.
“Udah, gak apa-apa, Len. Ustad Khandiq mau nanya banyak soal hubungan kita, anti jujur-jujuran aja ya,” kata Fahmi memberi kode kepada Khandiq untuk bersama-sama pindah ke sofa lalu meletakkan tabletnya menggunakan penyangga.
“Baik, Ustad. Lagian sama suami ana gak pernah bohong,” kata Leni.
Khandiq menatap istrinya yang terpampang di layar tablet sepuluh inchi itu. Istrinya itu cantik sekali, mirip artis lawas Rosamund Kwan. Dengan jilbab membalut kepala, kecantikannya itu seperti berkali-kali lipat jadinya.
“Biar ana yang nanya duluan. Kapan terakhir kali kita jimak, Len?” tanya Fahmi membuat Khandiq seperti mendapat serangan jantung.
“Sehari sebelum akad kami, Ustad,” jawab Leni membuat Khandiq merasa jantungnya berhenti berdetak. “Abis jimak tiga jam, Ustad Fahmi ngasih ana uang sejuta.”
“Gak usah disebut, Len. Semoga bermanfaat ya uangnya,” tukas Fahmi seolah sedang merendah.
“Syukron, Ustad. Bermanfaat banget,” jawab Leni.
Fahmi melirik Khandiq yang terdiam menganga mendengarkan dialog antara Fahmi dan istrinya seolah mereka sedang membicarakan hal yang biasa saja atau sekadar bertukar kabar. Dia tidak tahu harus merasa bagaimana, apakah marah ataukah sedih, tetapi yang jelas kontolnya malah berdiri tegak.
“Len! Ke kantor dong, sekarang! Ustad sange, nih,” kata Fahmi semakin membuat Khandiq kehilangan kesadaran, tetapi kontolnya semakin keras menegang.
Fahmi biasa saja ketika Khandiq menatapnya penuh amarah. Tidak ada perasaan bersalah di wajah ustad itu, bahkan tidak ada apa pun di wajahnya. Seolah apa yang dia perbuat adalah hal wajar saja. Dia melakukan pekerjaannya seolah Khandiq tidak ada di situ.
“Antum minum khamr, Tad?” tanya Fahmi lalu berjalan menuju lemari pendingin. Berjejer botol-botol minuman beralkohol yang asing sekali bagi Khandiq.
“Jadi sudah berapa akhwat yang jadi simpenan antum, Mi?” tanya Khandiq yang melepas segala tata krama terhadap Fahmi.
“Selain Leni? Banyak, Tad. Selama cantik dan seksi, ana gak mandang usia. Gak peduli juga udah punya suami atau belum. Semua ana embat dan ana belum pernah gagal. Tapi kalau yang rutin hampir tiap hari ana jimak-in ya Leni,” jawab Fahmi semakin membakar hati Khandiq.
“Permisi, Ustad. Ustazah Leni sudah datang.”
Sebelum Khandiq melanjutkan cercaannya, seorang akhwat mengutarakan maksudnya setelah mengetuk pintu dan Fahmi mempersilakannya masuk. Akhwat itu asisten Fahmi. Wajahnya cantik ditunjang tubuh yang cukup tinggi dan berlekuk ideal serta ukuran tetek yang lumayan.
“Iya, Cha. Suruh masuk aja langsung,” kata Fahmi.
“Baik, Ustad,” kata si akhwat.
Kedua ustad itu kembali saling beradu pandang. Sama seperti sebelumnya, yang satu penuh kemarahan, satunya jelas santai dan tidak peduli. Namun, jelas keduanya memiliki persamaan, yaitu kontol keduanya sama-sama telah tegak berdiri.
“Jangan antum berani sentuh istri ana, Mi!” kata Khandiq penuh ancaman.
“Kalau istri Ustad yang nyentuh kontol ana, gimana?” kata Fahmi meledek Khandiq.
Khandiq terdiam tidak berkutik. Dia paham efek hipnotis Fahmi punya daya lekat luar biasa, tidak mudah untuk dilunturkan. Apalagi dia juga yakin setiap kali meniduri istrinya, Fahmi tentu akan selalu mengulangi amalannya bukan cuma sekali atau dua kali.
“Antum pernah mikir gimana rasanya kalau istri antum dipake ikhwan lain, Mi?” cecar Khandiq mencoba menggerakkan sisi emosional Fahmi sebagai suami.
“Tad, emangnya dalam waktu lima tahun dari cuma anggota majelis biasa ana bisa jadi petinggi gini gimana caranya kalau nggak ngumpanin istri ana buat para pengurus pusat?” tanya Fahmi menatap Khandiq keheranan seolah Khandiq adalah makhluk aneh.
“Gila antum, Mi! Sarap!” cerca Khandiq terkejut. Lemaslah dia ketika senjata terakhirnya malah dikembalikan dengan cara paling tidak terduga.
“Terserah mau dibilang apa, Tad. Ana capek jadi orang kecil terus. Kalau ada kesempatan, bakalan ana ambil apa pun bayarannya,” kata Fahmi tidak memedulikan cercaan Fahmi. “Kebetulan para petinggi doyan akhwat, ya ana tinggal poles istri ana pake amalan. Beres!”
Khandiq melongo mendengar penuturan Fahmi. Dia tahu Titin Taniyah, ustazah asal Bandung istri Fahmi. Cantiknya bukan kaleng-kaleng mirip seperti Desi Ratnasari. Bahkan dia sendiri amat mengagumi tidak hanya kecantikan Titin, tetapi juga keilmuan Mojang Priangan itu. Perasaan Khandiq tiba-tiba menjadi tidak enak.
“Kalau istri antum aja antum umpanin ...,” Khandiq tidak dapat meneruskan ucapannya saking dia sendiri takut kalau jawabannya akan menyakiti dirinya.
“Tad ... setiap orang akan membayar dengan apa yang dia miliki berlebih. Uang jelas ana gak ada. Ilmu jelas tinggian mereka. Ana cuma punya barisan akhwat yang siap ngangkang demi tujuan ana. Termasuk Leni,” kata Fahmi santai membuat kepala Khandiq berkunang-kunang saking beratnya jawaban Fahmi.
Di ujung penjelasan Fahmi, pintu sekali lagi diketuk. Kali itu Icha sang asisten datang bersama Leni yang berpakaian set gamis dengan cadar serba hitam. Sikapnya takzim sekali seperti bertemu dengan kyai besar seperti kebiasaan di NU.
“Assalamualaikum, Ustad Fahmi,” sapa Leni menghampiri Fahmi yang duduk di sofa. Istri Khandiq itu menyambut uluran tangan Fahmi dan mencium punggung tangan sang ustad sesat, kemudian Fahmi balas mencium kedua pipi Leni dan diakhiri dengan adu bibir panas keduanya.
“Assalamualaikum, Abi,” sapa Leni kepada Khandiq yang duduk di sebelah Fahmi. Khandiq yang melihat adegan itu luar biasa mual sampai lupa menjawab salam dan mengulurkan tangannya kepada Leni.
“Duduk sini, Leni Sayang,” kata Fahmi menepuk dudukan sofa di antara dirinya dan Khandiq.
“Afwan, Ustad. Afwan, Abi. Leni permisi duduk,” kata Leni. Sofa tiga dudukan itu dengan cepat penuh sesak dengan hawa mesum ketika Leni dengan takzim mendudukinya. Posisi Leni lebih condong menempel kepada Fahmi.
“Len ... jimak, yuk! Bilang sama suami anti, anti mau khidmat sama murabbi anti,” pinta Fahmi membuat Leni tersipu malu-malu, tetapi sekaligus membuat Khandiq sekali lagi merasa jantungnya berhenti berdetak.