𝐋𝐞𝐧𝐢 𝐓𝐚𝐧 𝐔𝐬𝐭𝐚𝐳𝐚𝐡 𝐁𝐢𝐧𝐚𝐥 𝐄𝐩𝐢𝐬𝐨𝐝𝐞 𝟑

 


“Ummi ... terima ya, akhirnya?” tanya Khandiq. Sebuah pertanyaan yang sia-sia sebetulnya karena istrinya itu tersenyum sambil mengangguk. Senyumnya seperti sebuah senyum yang terbit karena ingatan-ingatan yang amat berkesan terhadap seseorang yang amat istimewa.

“Gimana ya, Bi ... mau gak mau Ummi terima. Ummi susah nolak, lagipula ... mmm ... ada honornya, Bi. Lumayan gede, Bi. Kan waktu itu Ummi udah gak kerja dan Cuma ngandalin ngajar jait buat calon karyawan pabrik sama jualan jasa jait dan jualan kue buat hari raya,” jawab Leni menjelaskan.

“Emang dikasih berapa Ummi waktu itu?” tanya Khandiq penasaran.

“Sehari tiga ratus, Bi, dari Mualaf Centre di luar makan siang. Belum ... dari Ustad Fahmi pribadi ...,” jawab Leni sambil tersenyum malu-malu lalu menundukkan kepala sambil mengigit bibir bawahnya. Sebuah jawaban dan gestur yang semakin membuat Khandiq terbakar api cemburu, tetapi efeknya malah hangus terbungkus syahwat.

Malamnya pukul delapan, Leni memandangi nomor Whatsapp yang dia dapatkan dari sang senior. Foto profil-nya menampilkan gambar sebuah keluarga harmonis yang terdiri dari sepasang suami istri yang duduk di sofa dan diapit oleh lima orang anak dengan beragam rentang usia. Semuanya berbusana muslim dan muslimah dengan corak yang sama. Senyum mereka mengembang dan ada kutipan hadits tentang keutamaan setia terhadap pasangan.

Akhwat amoy itu gelisah kebingungan bagaimana memulai percakapan pesan untuk mengordinasikan jadwal penjemputan serta akomodasi. Dia tidak pernah nyaman bila harus berinteraksi dengan lawan jenis semenjak berpindah keyakinan. Dengan adiknya sendiri pun yang masih berbeda agama dia amat menjaga diri dari sentuhan, apalagi dengan pria lain meskipun satu agama. Terbit penyesalan telah menerima tugas itu, tetapi dia juga tidak menemukan cara untuk membatalkan penugasan.

“Dengan Ustazah Leni Tan? Afwan, saya Fahmi dari Jakarta. Saya hendak berkordinasi tentang kunjungan kerja ke Batam. Apakah saya mengganggu?”

Di tengah kebingungannya, sebuah pesan masuk ke ponselnya. Rangkaian kalimat yang sopan, lugas, dan tidak bertele-tele itu membuat Leni sedikit lega karena membayangkan seorang ikhwan yang taat aturan dan mengerti adab. Sepertinya dia tidak perlu mencemaskan hal-hal yang tidak diinginkan bila berurusan dengan Fahmi, pikirnya.

“Ya, Ustad. Panggil saja ana Leni, Ustad. Tidak mengganggu sama sekali. Justru ana hendak bertanya soal jadwal kedatangan Ustad besok agar bisa dijemput tepat waktu,” balas Leni dengan formal.

“Syukron, Ustazah. Besok saya berangkat pagi dari bandara, sampai sekitar pukul tujuh pagi. Afwan, yang menjemput ana adalah Ustazah Leni sendiri, betul?” tanya Fahmi lagi.

Pertanyaan itu membuat Leni berpikir keras. Apa arti ‘sendiri’ yang dimaksud Fahmi? Apakah menunjuk kepada dirinyakah, atau malah berkonotasi dirinya sendiri tanpa orang lain yang harus menjemput ustad itu? Untuk penugasan itu dia hanya mendapatkan bantuan sebuah kendaraan Kijang Innova beserta supirnya, tidak ada rekan sesama akhwat.

“Saya jemput bareng supir Mualaf Centre Batam, Ustad. Tidak ada yang lain lagi,” balas Leni.

“Supirnya bisa jaga rahasia, kan?” tanya Fahmi lagi.

Pertanyaan itu semakin membuat Leni kebingungan. Rahasia apa yang dimaksud oleh Fahmi? Di samping keraguan timbul pula penasaran di hati Leni. Keingintahuannya membesar dan mendongkrak keberaniannya untuk mengikuti alur Fahmi asal dia dapat mengetahui apa yang seharusnya dirahasiakan. Leni merasa seperti sedang bermain film mata-mata.

“Kalau Ustad keberatan, ana bisa pakai mobil pribadi buat jemput Ustad. Tapi ....”

“Begitu saja! Biar saya yang kasi tau kantor Batam agar uang transport, perawatan mobil, dan honor supir dialihkan ke Ustazah Leni,” tukas Fahmi cepat tanpa memberikan celah untuk dibantah.

Leni hanya bisa pasrah setelah sempat menyesali tawarannya. Namun, setelah mendengar perkataan Fahmi, akhwat amoy itu langsung saja berterima kasih. Dia sudah dapat mengira-ngira berapa banyak yang akan dia dapatkan dalam satu hari saja. Apalagi sebulan? Setelahnya Fahmi berpamitan untuk menyiapkan segala sesuatunya dan beristirahat lebih cepat agar besok dapat bangun tepat waktu.
Keesokan harinya Leni sudah duduk menunggu di bandara dengan gelisah. Saat itu pukul tujuh lebih hampir sepuluh menit, lewat lima belas menit dari yang dikabarkan pihak bandara tentang kedatangan pesawat yang ditumpangi Fahmi lewat papan pengumuman elektronik. Akhwat Amoy itu seperti hendak menyerah dan pulang andai saja dia tidak berpikir jernih.

“Ustazah Leni?”

Sebuah sapaan membuat Leni memalingkan wajah ke belakang. Tidak sulit bagi Leni mengenali Fahmi. Dengan terburu-buru akhwat amoy itu bangkit dari duduknya lalu mengatupkan kedua telapak tangannya di depan dada sambil mengucapkan salam. Namun, Leni membeku ketika Fahmi erat memeluknya, bahkan disertai dengan acara cium pipi kiri dan kanan.

“Ustazah Leni cantik banget! Jauh lebih cantik dari pada fotonya!” puji Fahmi masih sambil memeluk Leni. Tangannya kuat mengunci dengan menangkup kedua bongkahan pantat Leni yang sekal dan padat.

“Yukl! Langsung ke hotel!” kata Fahmi menyela protes Leni dengan ajakan setengah memaksa. Pelukannya dia tutup dengan sebuah kecupan ringan di bibir Leni.

Leni yang tidak pernah menyangka akan mendapat perlakuan seperti itu benar-benar seperti kehilangan jati dirinya. Perasaan terhina bercampur dengan ketakutan membuatnya kehilangan kemampuannya untuk menolak ajakan Fahmi. Otaknya terasa tumpul akibat mencerna semua kejadian yang terlalu aneh itu.

“Ummi dipeluk dan dicium Fahmi?” tanya Khandiq berharap telinganya salah mendengar. Dia memang tahu Fahmi adalah seorang ustad mata keranjang kalau berurusan dengan wanita cantik, tetapi dia tidak pernah menyangka bahwa selain sesat Fahmi juga bejat.

“Mmmh ... Ummi juga di ... mmmh ... Ummi ...,” jawab Leni sambil tersipu malu-malu. Wajahnya memerah menambah kecemasan di hati Khandiq.

“Diapain? Ummi diapain?” cecar Khandiq terdengar marah. Namun, bahkan tanpa dia sadari kontolnya malah menegang.

Tidak ada yang mengenal Fahmi Basara sampai satu tahun terakhir sebelum pertemuan dengan Leni. Dia hanyalah seorang guru ngaji kampung di Jawa Tengah yang terkadang mengisi kajian ketika ada acara hajatan atau selametan. Itu pun hanyalah selevel acara RT. Hingga sampai pada satu titik hidupnya, Fahmi mengamalkan tirakat yang membuat ucapannya sulit sekali dibantah atau permintaannya sulit sekali ditolak oleh orang lain. Dari titik itulah kehidupannya mulai membaik hingga dia bisa berkecimpung di lembaga mualaf.

“Gila! Tetek Ustazah Leni gede banget!”

Belum mobil Leni bergerak satu centi pun dari tempatnya diparkir, bahkan mesin pun belum dinyalakan, Fahmi sudah melancarkan ilmunya. Leni tidak dapat menolak ketika Fahmi menyuruhnya merebahkan tubuh di bagian penumpang. Setelahnya, dengan buas Fahmi menggerayangi tetek Leni. Leni dapat dengan jelas melihat apa yang sedang menimpa dirinya, tetapi dia tidak dapat bersuara apalagi menolak. Akhwat amoy itu hanya dapat diam merasakan gelombang syahwat yang perlahan-lahan mengusir rasa terhina dan takutnya. Bagaimana pun Leni adalah wanita dewasa yang pernah merasakan nikmatnya jimak, jadilah sentuhan-sentuhan Fahmi perlahan-lahan membangkitkan segala kenangan tentang jimak yang cukup lama tidak dia dapatkan.

“Mmmh ... ooooh ... Ustaaad ...,” keluh Leni menandakan mulai runtuhnya pertahanan iman sang akhwat Amoy meskipun di matanya masih tersisa protes dan kemarahan.

Tentu saja erangan itu disambut Fahmi dengan gembira. Dirapalnya sebuah ayat tidak lengkap yang bersumber dari kitab suci agamanya itu seperti yang dia lakukan semenjak dia memulai interaksi dengan Leni lewat pesan Whatsapp. Dari satu kali menjadi dua kai lalu bertambah menjadi lima kali sampai dia berhenti setelah kesembilan kalinya ayat itu berulang. Fahmi dapat melihat di mata Leni tidak lagi tersisa apa pun selain kekosongan.

“Ustazah ... angkat kakinya ke kursi, tekuk lalu ngangkang,” kata Fahmi yang segera saja dituruti Leni. Usai Leni mengangkang, Fahmi langsung melolosi legging hitam dan kancut krem yang dikenakan Leni lalu juga melolosi celana dan sempaknya sendiri.

“Mmmmh ... afwan, Abi ... Ummi dientot Ustad Fahmi,” jawab Leni lirih sambil menutupi wajah membuat Khandiq merasa lepas nyawanya
Kontol Fahmi panjang. Selain panjang juga besar. Sebuah maha karya bagi mata Leni yang menatapnya penuh kagum. Di dalam diamnya, Leni hanya berusaha mempertahankan martabatnya dengan tidak mengemis rojokan kontol itu di memeknya meskipun rasanya sudah gatal sekali.

Namun, Fahmi tidak langsung mengeksekusi mangsanya yang telah dia incar semenjak lama. Sekali lagi potongan ayat dari kitab sucinya dia rapal sembilan kali. Bedanya kali itu di ujung rapalan terakhir dia semburkan air yang dia tenggak ke memek Leni.

"Abi ... abis memek Ummi disembur ... rasanya nikmaaat banget! Ummi ngecrot banyak banget sampai mobil Ummi bau pesing, padahal Ustad Fahmi belum nyentuh Ummi," kata Leni menceritakan dengan detail. Semakin lemas Khandiq mendengarnya, tetapi semakin tegak kontolnya berdiri.

Usai tetes squirt terakhir, bukannya kelegaan yang didapat Leni, melainkan sebuah rojokan kontol yang terasa sekali seret ketika membelah bibir memeknya. Matanya mendelik, menatap Fahmi yang berulang kali memuji betapa nikmat jepitan memeknya. Ustad cabul itu terus mendorong kontolnya perlahan sampai jembut-jembut mereka saling bertautan.

"Abis itu Ustad Fahmi genjot memek Ummi, Bi. Keluar masukin kontolnya sambil ciumin bibir Ummi. Mmmh ... afwan, Bi ... nikmat banget," kata Leni tanpa merasa berdosa.

Khandiq merinding mendengarnya. Meskipun peristiwa itu terjadi jauh sebekum mereka menikah, tetapi sakit hatinya setara dengan bila Leni melakukannya setelah mereka resmi menikah.

"Abi marah, ya?" tanya Leni menghentikan ceritanya.

"Menurut Ummi harusnya Abi marah atau nggak?" tanya Khandiq tajam.

"Marah, dong! Masa istrinya ngentot sama laki lain gak marah?" kata Leni.

"Tuh tau!" tukas Khandiq ketus.

"Marah sih marah, Abi ... tapi kok kontolnya malah ngaceng, sih?" goda Leni sambil meraih kontol Khandiq lalu mengocoknya dari balik celana pendek Khandiq. "Abi sangek ya bayangin Ummi dientot Ustad Fahmi? Hayo ngaku!"

Khandiq yang merasa seperti maling tertangkap basah hanya bisa terdiam. Wajahnya memerah karena malu. Hendak ditepisnya tangan Leni, tetapi dia amat menyukai bagaimana telapak tangan yang halus itu memanjakan kontolnya.

"Abi masih mau denger cerita Ummi apa udahan?" tanya Leni lagi sambil mengeluarkan kontol Khandiq dari dalam celananya. Khandiq tidak menjawab, berusaha mempertahankan harga dirinya sebagai seorang suami.

"Ya udah kalau gitu. Bobok yu, Abi Sayang," kata Leni lembut. Dikecupnya lubang pipis kontol Khandiq sebelum kembali memasukkannya ke dalam celana. Setelah itu Leni menyelimuti dirinya dan langsung terlelap meninggalkan Khandiq yang masih terjaga.

Di dalam kepala Khandiq berputar banyak sekali imajinasi-imajinasi tentang keliaran istrinya. Semakin lama semakin liar. Semakin liar imajinasinya, semakin tegang kontolnya. Dengan berhati-hati dia kocok kontolnya sendiri. Tidak butuh waktu lama, segera saja dia tarik selimut di tubuh Leni lalu menyingkapkan kancut yang dikenakan istrinya itu.

"Eeeh! Abi ngapain? Mmmh ... Abiiih ...," rengek Leni ketika tanpa aba-aba memeknya dirojok kontol Khandiq.

"Diem, Lonte! Dasar pelacur! Cuh!" bentak Khandiq ditutup dengan meludahi wajah Leni. Genjotan kontolnya tidak beraturan, kadang kuat dan kencang, kadang lemah dan perlahan.

"Uuuh ... Abi ngambek, ya? Kalau ngambek Abi jadi perkasa banget! Bikin Ummi klepek-klepek," kata Leni sambil menyeka ludah Khandiq dan menjilatinya.

Ucapan Leni itu seperti bensin yang disiramkan kepada api, membakar sisa-sisa ego Khandiq. Diludahinya seluruh tubuh Leni dan pada ludahan terakhir, ustad itu melepaskan kontolnya dari memek Leni lalu berlutut mengangkangi wajah sang istri. Tangan kanannya menjepit pipi Leni sehingga membuka, sementara tangan kirinya memegangi kontolnya dan mengarahkan ujungnya tepat ke mulut Leni.

"Telen ini, Lonte! Biar ilang semua pelet si Fahmi!" geram Khandiq. Kemudia bukannya peju yang muncrat, melainkan air kencing yang langsung tertampung di rongga mulut Leni.

BERSAMBUNG ...

Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Categories

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

BTemplates.com

POP ADS

Blogroll

About

Copyright © Cerita Panas | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com