๐‹๐ž๐ง๐ข ๐“๐š๐ง ๐”๐ฌ๐ญ๐š๐ณ๐š๐ก ๐๐ข๐ง๐š๐ฅ ๐„๐ฉ๐ข๐ฌ๐จ๐๐ž ๐Ÿ

 


 Khandiq terengah-engah usai tetes peju terakhirnya berpindah ke rongga mulut Leni dan dia hendak menarik napas barang satu atau dua berusaha mengumpulkan tenaga kembali untuk menu utama. Namun, sepertinya ide itu tidak sejalan dengan Leni yang masih saja menyedot kontol sang suami dengan rakusnya. Jadilah kedua insan itu sibuk dengan pencarian kepuasannya masing-masing.

Usai kontol di mulutnya menyusut, Leni membiarkan benda itu keluar dari mulutnya. Kemudian dengan erotis dia pamerkan panen peju di mulutnya kepada Khandiq sebelum kumpulan peju itu dia telan. Khandiq merinding akibat begitu terangsangnya dia terhadap aksi Leni. Namun, kontolnya masih tertidur meskipun diberi tontonan sepanas itu.

“Ummi ke kamar mandi dulu ya, Bi, mau kumur,” kata Leni setelah melirik kontol Khandiq. Sedikit khawatir akan nasib syahwatnya, Leni beharap lima menit jeda dapat membuat kontol Khandiq kembali bertenaga untuk dapat memuaskan memeknya yang telah basah dan gatal.

Khandiq yang mendapatkan angin mulai kembali waras. Otaknya kembali mengambil alih kendali dari kontolnya. Perlahan-lahan semua terasa janggal dan mengganjal tentang Leni istri barunya. Oh, tentu dia amat menyukai sisi liar akhwat yang dia tahu faseh berbahasa Arab dan Mandarin itu, bahkan melantunkan kitab suci seperti mainan untuknya. Leni adalah panutan bagi setiap akhwat mualaf dan sering diminta bantuan untuk membina lewat workshop menjahit dan memasak oleh Mualaf Centre Batam.

Khandiq tidak menyangka setiap kata-kata dan perbuatan binal Leni tadi keluar dari tubuh, mulut, dan bibir yang dikenal begitu suci dan alim. Pemikiran hatinya sebagai ustad mengatakan ada sesuatu yang gelap tentang istri barunya. Timbul ketakutan di dalam hati Khandiq, apakah dia telah salah memilih istri? Namun, hanya sekejapan saja sebelum dia teringat betapa nikmatnya pelayanan Leni tadi.

“Abi … capek?” tanya Leni yang telah kembali dari kamar mandi. Sebetulnya telah satu menit kurang lebih dia keluar dan berdiri diam memandangi Khandiq, tetapi melihat sang suami terpejam membuat wanita itu sebentar diam meskipun kecewa karena merasa akan terpadamkan syahwatnya dengan paksa.

“Eh … nggak, Um! Sini! Abi udah gak sabar jimak sama Ummi,” tukas Khandiq tergagap. Pemandangan indah di depan matanya berhasil menjadi doping tambahan di samping istirahat beberapa menit sehingga membuat kontolnya tegak kembali meskipun belum maksimal.

“Kalau lagi berduaan bilangnya ngentot, Bi! Gitu ajaran Ustad Fahmi dulu pas pembinaan,” sergah Leni meralat perkataan Khandiq.

Mendengar istri barunya itu menyebut nama Fahmi dari Mualaf Centre membuat hati Khandiq mencelos. Batam kota kecil dari segi luas, dan siapa pula yang tidak kenal Fahmi dari Mualaf Centre? Bagi yang tahu-tahu saja, nama itu terkenal akan kesesatannya bila berkenaan dengan para akhwat cantik mualaf dan jelas Leni adalah seleranya juga.

“Kenal dengan Ustad Fahmi? Yang gendut, yang sekarang pembina di Mualaf Centre?” tanya Khandiq ketar-ketir. Dia berharap tidak sebagai jawaban pertanyaannya.

“Memang yang mana lagi, Bi? Ummi gini kan karena diajarin Ustad Fahmi lima tahun lalu sewaktu Ummi memutuskan aktif di sana bantu-bantu para mualaf setelah cerai kedeua kalinya,” kata Leni menjelaskan. Amoy itu dengan ceria naik ke ranjang dan mengangkangi kontol Khandiq. Wajahnya berbinar-binar ketika dilihatnya kontol Khandiq semakin mengeras dan menjulang.

Khandiq bingung harus merasa marah atau malah berterima kasih kepada Fahmi, juniornya di majelis. Dia tahu reputasi Fahmi dan bisa menduga apa yang telah diajarkan kepada Leni sekaligus pasti juga dipraktekkan langsung. Rasa marah dan cemburu bersatu menjadi sakit hati, tetapi anehnya malah membuat syahwatnya berlipat ganda ketika dia membayangkan hal-hal tabu yang melibatkan Fahmi dan Leni.

“Abi perkasa ternyata ... hebaaat! Mmmh!” puji Leni ketika kepala kontol Khandiq membelah bibir memeknya. Desahannya semakin intens ketika dia semakin menurunkan tubuhnya, menelan batang kontol Khandiq bulat-bulat sampai jembut-jembut mereka bertautan mesra. Akhwat amoy itu dengan ritmis menaikturunkan tubuhnya, mengeluarmasukkan kontol Khandiq dari dan ke dalam memeknya. Dengan sengaja Leni memainkan teteknya sendiri tepat di hadapan wajah Khandiq.

Khandiq tidak menyangka memek Leni tidak selonggar yang dia bayangkan. Justru selain masih cukup sempit dan peret, istrinya itu begitu mahir mengontrol otot dinding memeknya untuk melakukan remasan-remasan lembut kepada kontolnya. Andai tidak malu, Khandiq hendak melolong keenakan, tetapi dia gigit bibir bawahnya dan meremas seprai kuat-kuat.

“Abi ngentotnya hebat, bikin Ummi ketagihan. Gak kalah sama Ustad Fahmi,” bisik Leni lirih tepat di telinga kanan Khandiq. Bisikan itu ditutup dengan jilatan Leni kepada telinga Khandiq.

“Leni lonte! Fahmi anjing! Aaargh!” teriak Khandiq seperti kesurupan. Tangannya menjambak rambut Leni dan memaksa istrinya itu untuk beradu bibir, sedang tangan satunya memeluk tubuh Leni, menekannya dalam-dalam hingga kontolnya tak lagi bersisa di luar sebelum menembakkan peju berkali-kali.

***

Khandiq menatap sosok istri barunya yang sedang melantunkan ayat suci usai solat malam. Merdu dan fasih sekali terdengar di telinganya. Sebuah keindahan yang menolak bulat-bulat perbuatan dan perkataan Leni pada persetubuhan malam pertama mereka. Semua pasti hanya candaan, pikir Khandiq menenangkan dirinya sendiri.

“Abi kebangun, ya? Maafin Ummi ya berisik ngajinya,” kata Leni usai mengaji dan menemui suami barunya itu terjaga dari tidur dan memerhatikan dirinya.

Khandiq tidak menjawab. Dia hanya diam memerhatikan istrinya melepaskan dan membereskan mukena. Di balik mukena tebal itu Leni hanya memakai beha dan kancut. Mata Khandiq tiba-tiba saja menjadi segar melihat pemandangan itu.

“Abi suka Ummi begini atau tertutup?” tanya Leni sambil menaiki ranjang dan bersandar di sebelah Khandiq.

“Kalau lagi berdua ya terbuka. Tapi kalau di luaran ya tertutup,” jawab Khandiq lugas.

“Mmm ... gitu ya, Bi?” tanya Leni lagi sambil tersenyum. “Alasannya?”

“Perintahnya jelas. Lagipula apa yang berharga buat kita, masa iya mau diumbar, dinikmati orang lain?” papar Khandiq dengan percaya diri.

“Kalau kata Ustad Fahmi ... berbagi itu pahalanya besar, Bi. Apalagi berbagi barang yang amat berharga buat kita. Semakin berharga semakin besar pahalanya kalau dibagi. Kata beliau juga itu artinya kita tidak mengikat diri dengan benda,” kata Leni memberi pandangan atas jawaban Khandiq.

Lagi-lagi Fahmi, rutuk Khandiq di dalam hati. Namun, meskipun begitu ucapan Leni dia akui mengandung kebenaran. Berbagi itu berpahala. Namun, Khandiq sedang tidak tertarik memperpanjang pembahasan itu. Dia ingin lebih mengenal istrinya lebih jauh.

“Abi mau Ummi cerita masa lalu Ummi? Kan udah ada di biodata taaruf,” kata Leni.

“Ya udah, ceritain aja pas Ummi mulai aktif di Mualaf Centre. Kan gak ada tu di biodata,” bujuk Khandiq.

“Yang pas sama Ustad Fahmi?” tanya Leni sambil tersenyum menggoda.

Lagi-lagi Fahmi! maki Khandiq. Namun, dia memaksakan diri untuk tersenyum dan menganggukkan kepala. Padahal di dalam hatinya sedang berkecamuk perasaan aneh ketika mengartikan senyum Leni pada saat menyebutkan nama murabbi-nya pada waktu itu.

“Yakin Abi sanggup dengernya?” tanya Leni lagi sambil menatap Khandiq. Kali itu dia tidak tersenyum, tetapi tersirat kekhawatiran. Khandiq mengangguk meskipun ada ragu tumbuh di hatinya. Leni kembali tersenyum melihat anggukan itu.

“Lima tahun yang lalu Ummi memutuskan untuk mencari kesibukan. Entah bagaimana, Ummi ingat tentang drama pindah agama yang Ummi lalui dan merasa kok ya sayang aja gak diseriusi, padahal udah bikin kami sekeluarga berantem. Lagian Ummi kan juga udah dua kali cerai, jadi butuh pegangan spiritual,” kata Leni membuka kisahnya. Khandiq mendengarkan dengan seksama meskipun dengan hati yang berdebar semakin cepat.

Saat itu usia Leni tiga puluh tepat. Dengan tinggi badan semampai 165 centimeter, berat badannya kala itu hanya 55 Kilogram dengan banyak berkumpul di daerah dada membentuk tetek yang terlihat melampaui normal untuk ukuran tubuhnya. Begitu pun pantatnya yang sekal dan montok. Wajahnya yang cantik khas China benar-benar menonjol di antara rekan-rekannya sesama mualaf yang kebanyakan adalah ras Melayu Batak.

Entah bagaimana Leni selalu terpilih sebagai kepanjangan tangan para akhwat pengurus Mualaf Centre. Mungkin karena attitude-nya yang supel dan tidak pernah mengeluh. Kecerdasannya pun di atas rata-rata, apa pun tugas yang diberikan selalu dia selesaikan dengan baik. Leni yang kala itu belum bercadar tidak merasa kerepotan karena ketiga anak hasil dari dua pernikahan sebelumnya diambil oleh mantan-mantan suaminya.

“Ukhti Leni ... sanggup, kan?” tanya seorang akhwat senior kepada Leni. Setengah memaksa, akhwat itu jelas tidak menginginkan adanya penolakan dari juniornya itu.

“Menemani Ustad Fahmi dari Jakarta?” tanya Leni memastikan telinganya tidak salah mendengar tugas yang diberikan. Kata menemani terasa agak aneh di telinganya bila pun tidak salah dengar.

“Iya! Sekalian Ukhti Leni belajar langsung sama beliau. Dari fiqih sampai keorganisasian, soalnya jarang-jarang ada kunjungan istimewa seperti ini. Dan ... ini rahasia, ya ... Ustad Fahmi sendiri yang khusus meminta Ukhti Leni. Ini kehormatan besar, Ukhti!” cerocos si senior tidak memberi kesempatan kepada Leni untuk menemukan alasan menolak.

“Berapa lama saya harus menemani beliau, Ukhti?” tanya Leni menyerah.

“Rencananya sih Cuma sebulan. Tapi, kalau puas kata beliau mau extended,” jawab si senior membuat Leni mengernyitkan dahi mendengar kata puas. Namun, karena sudah enggan berpanjang-panjang dia hanya mengangguk saja membuat si senior tersenyum senang.

Khandiq menelan ludah ketika harapannya tidak terkabul, yaitu penolakan oleh Leni terhadap permintaan itu. Segala kemungkinan terburuk yang akan menimpa istrinya di masa lalu itu terbayang-bayang di benaknya. Sialnya hal itu malah membuat syahwatnya perlahan membumbung semakin tinggi. Semua itu karena dia tahu pada masa itu Fahmi bukan hanya memperpanjang masa tugasnya di Batam, tetapi malah menjadi pengurus cabang utama Batam. Artinya jelas, juniornya itu ... puas!

Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Categories

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

BTemplates.com

POP ADS

Blogroll

About

Copyright © Cerita Panas | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com