Sesuai yang dijanjikan, Kamis malam itu Khandiq Siraj datang menunaikan maksudnya bertaaruf. Ustad kondang di Batam itu didampingi hanya oleh satu orang, yaitu seorang pria anggota majelisnya yang memperkenalkan dia dengan sang calon. Meskipun bukan pengalaman pertamanya, ustad empat puluh lima tahun itu gelisah bukan kepalang seperti perjaka baru kenal gadis. Bahkan dia berjuang habis-habisan menutupi kontolnya yang bergolak liar di dalam celana. Bukan sembarang sebab, tetapi semenjak pertama melihat Leni Tan, ustad yang lama menduda setelah bercerai untuk kedua kalinya itu benar-benar berhasrat akan kecantikan dan kemolekan tubuh sang wanita.
Wanita itu seorang mualaf dari usia dua puluh lima. Mengabaikan ketidaksetujuan keluarganya yang notabene China asli dan beragama Budha, Leni bahkan nekat keluar rumah dan tinggal sendiri di kosan dekat kantornya. Kini usia Leni tiga puluh limaan, aktif di majelis asuhan Khandiq lengkap dengan cadar dan jilbab lebarnya. Ukhti itu pun bukan perawan, melainkan juga dua kali gagal berumah tangga.
Pertemuaan taaruf itu dilakukan di tempat netral, rumah teman pengajian Leni. Meskipun telah berbaikan dengan keluarganya, tetapi sang ibu tidak sanggup melihat anaknya itu kembali berjudi dengan pernikahan. Namun, apalah dayanya karena sang anak kesayangannya itu begitu taklid buta terhadap anjuran menikahi pria yang tergolong mapan harta dan ilmu seperti Khandiq meskipun terasa mengganjal baginya mengetahui siapa yang akan menjadi menantunya.
Khandiq gemetar ketika bertukar pandang dengan Leni. Mata wanita itu sipit sesuai rasnya, menggaungkan sensualitas penuh misteri akibat cadar yang menutupi dari bagian atas hidungnya. Oh, tentu saja Khandiq pernah melihat wajah Leni tanpa cadar, bahkan ustad itu hapal benar lekukan tubuh sintal Leni dari foto candid yang diambil diam-diam oleh istri pria yang memperkenalkan mereka. Kala itu Leni sedang beraktivitas di gym khusus akhwat bersama teman-teman pengajiannya. Outfit-nya ketat memamerkan bentuk tubuh Leni. Teteknya 34 D masih padat membulat, pantatnya semok, dan yang paling diingat Khandiq adalah belahan memek yang tercetak jelas di celana legging putih ketat yang dikenakan Leni.
“Ustad … kok liatin Ukhti Leni gitu amat? Gak sabar, ya?” ledek teman pengajian Leni, Fitri namanya.
“Kalau dah paham, Ukhti Leni langsung terima sajalah biar cepet dan sama-sama enak,” balas teman pria Khandiq disambut tawa semua yang ada. Kecuali Khandiq yang mati kutu, tentunya.
“Mana enak kalau cepet-cepet, Ustad,” goda Fitri sekali lagi membuat Khandiq semakin salah tingkah.
Leni hanya tersenyum-senyum saja di balik cadarnya. Pengalaman pernikahan membuatnya mudah beradaptasi dengan candaan-candaan mesum. Apalagi kedua mantannya bukanlah orang-orang baik.
“Kalau itu biarkan calon mempelai yang bicara, deh. Balik ke urusan khitbah. Saya berasumsi Ukhti Leni berkenan dengan Ustad Khandiq Siraj. Tinggal Ustad perlu melihat wajah Ukhti agar yakin sama dengan yang ada di foto data diri. Ukhti bersedia?” tukas pria pendamping Khandiq.
Leni mengangguk lalu kedua tangannya membuka ikatan cadar. Sebelum cadar itu tersingkap utuh, si pria pendamping Khandiq memalingkan wajah. Tinggallah Khandiq terpesona melihat kecantikan Leni.
Sisanya adalah sebuah kemudahan. Mahar mudah, ijab mudah, pesta mudah, sampai bulan madu pun mudah. Leni hanya ingin melepas status janda, bukan ingin berkutat dengan hal-hal yang akan memusingkan. Sebuah keberkahan untuk Khandiq yang dalam waktu satu minggu akan sah menggauli Leni seliar apa pun imajinasinya
“Abi … mau langsung tidur atau … mmmh …?” tanya Leni usai tamu terakhir pulang. Rumah sederhana di Perumahan Taman Raya THP yang merupakan mas kawin dari Khandiq digunakan sebagai tempat resepsi sesuai kemauan Leni yang tidak mau boros.
“Ummi capek? Kalau capek langsung tidur aja,” jawab Khandiq. Ustad itu tidak merasa harus terburu-buru, toh keinginannya sudah tercapai, mendapatkan seorang amoy sebagai istri. Masalah malam pertama bisa kapan saja tidak harus malam ini dia pikir. Toh besok juga libur.
“Kalau boleh, Ummi mau bikin private party buat Abi. Boleh?” tanya Leni. Tidak tampak lelah di wajah cantik itu, yang ada malah binar yang tidak bisa diartikan oleh Khandiq.
“Party? Pesta? Bukannya tadi udah?” tanya Khandiq kebingungan.
“Bukan resepsi, Abi! Udah Abi duduk aja, nikmatin pestanya. Sebentar ya, Ummi siapin,” tukas Leni. Amoy itu menyambar ponselnya lalu masuk ke kamar mandi meninggalkan suami barunya yang patuh duduk di ranjang.
Tidak sampai lima menit kemudian, Khandiq terperangah ketika dari kamar mandi dalam kamar mereka terdengar lantunan musik Timur Tengah. Belum sempat ustad itu berkomemtar, pintu kamar mandi terbuka, lalu muncullah kepala Leni dari sela pintu. Tidak lagi terpasang jilbab lebar, rambut hitam legam Leni terurai sepanjang bahu.
“Abi sukanya model musik gini, house music, atau apa?” tanya Leni.
“Buat apa, Umm?” tanya Khandiq semakin bingung.
“Buat ini, Bi,” jawab Leni sambil membuka pintu kamar mandi.
Khandiq ternganga melihat apa yang disuguhkan wanita yang baru saja dia nikahi. Ternyata bukan hanya jilbab saja yang telah dilepaskan, tetapi kini hanya ada dua lembar pakaian dalam yang sebetulnya lebih tepat kalau disebut pakaian dinas istri. Beha ungu berupa kain yang melingkari tubuhnya hanya sanggup menutupi pentil tetekanya sementara sisanya bebas menjadi makanan yang membangkitkan syahwat Khandiq. Sedangkan kancutnya hanyalah berupa tali yang melingkari pinggul dengan jalinan benang yang membentuk tirai manik-manik menutupi memek berjembut tipis Leni.
“Ummi mau ngapain?” seru Khandiq. Matanya melotot dan jantungnya berdetak semakin cepat melihat Leni.
“Ummi cuma jalanin perintah murabbi pembina mualaf buat nyenengin pasangan,” jawab Leni sambil bergoyang tipis-tipis mengikuti irama musik.
Mata Khandiq terpaku kepada memek Leni yang seperti genit bermalu-malu di balik tirai kancut. Sementara tetek 34 D amoy itu bergoyang nakal.
“Ummi … seksi bangeeet!” puji Khandiq sambil menelan ludah.
“Seksi apanya Bi?” goda Leni. Goyangannya semakin kentara sedang memeragakan tari perut Timur Tengah.
“Ituuu … d-d-dada sama pipis Ummi,” jawab Khandiq tergagap saking bernapsunya. Leni terkikik mendengarnya.
“Abi! Apaan coba dada sama pipis? Ini namanya tetek! Kalau ini memek!” tukas Leni sambil memelorotkan beha kembennya dan menyibakkan tirai manik-manik kancutnya.
Khandiq merasa kerdil. Dia yang ustad kenamaan di Batam dan memiliki majelisnya sendiri seperti bocah baru sunat kemarin sore di hadapan Leni. Ustad itu tidak pernah menyangka bibir tipis sensual Leni begitu faseh mengucapkan kata-kata jorok tadi.
“Abi keluarin aja kontolnya terus coli sambil nonton Ummi twirking. Kalo mau crot bilang ya Bi, biar Ummi sepong keluarnya di mulut Ummi,” kata Leni lagi semakin membuat kaget Khandiq.
Ustad itu menuruti anjuran istri barunya. Dia keluarkan kontolnya yang tegang maksimal lalu mengocoknya.
Leni tersenyum tipis setelah mengira-ngira ukuran kontol Khandiq. Sebuah kategori ukuran standar yang lumayan bila ditopang skill dewa dan stamina kuda, pikir Leni, membandingkan dengan kontol-kontol yang pernah singgah di memeknya.
Leni naik ke ranjang, memanjakan mata Khandiq dengan jarak yang intim, lalu mengganti musiknya dengan house music. Goyangannya pun berubah sesuai irama. Teteknya yang tanpa beha bergerak lebih liar, mencoba melepaskan diri dari gravitasi. Memeknya pun semakin agresif menampakkan wujud melintasi kancut tirai manik-manik yang bergerak mengikuti goyangan pinggul.
Tangan Leni pun tidak diam. Kiri dan kanan bergantian memberi tontonan yang membuat Khandiq meroket syahwatnya. Sesekali Leni merekahkan bibir memeknya lalu mengecupkan kepada bibir Khandiq. Lain waktu amoy itu meremasi tetek dan memuntiri pentil coklatnya sebelum dia jejalkan ke mulut Khandiq.
“Eeeh! Udah mau ngentot, Bi? Nanti, ya!” kata Leni sambil menepis tangan Khandiq yang liar menangkup bongkahan pantatnya.
Khandiq benar-benar mendapatkan apa yang dia mau, amoy cantik dan seksi ditambah bonus binal dan liar dalam hal jimak. Kedua mantan istrinya benar-benar tidak ada apa-apanya dibanding Leni. Kontol ustad itu menegang prima, menunjuki memek Leni.
“Uuum …,” rengek Khandiq ketika Leni membalikkan tubuh lalu membenamkan wajah suaminya itu di antara belahan bongkahan pantat. Leni lalu meraih kontol sang ustad untuk kemudia dia ludahi sebelum dikocok lembut. Amoy itu menggelinjang keenakan ketika dirasakannya lidah Khandiq menjelajahi bibir memeknya.
Khandiq hanya mengandalkan instingnya saja menghadapi permainan syahwat Leni. Dia yang begitu dominan terhadap dua mantan istrinya belum pernah mendapati adanya permainan syahwat sebinal yang Leni suguhkan kepadanya. Rasanya tidak ada yang haram selama memberikan nikmat kepada pasangannya, seperti yang ditunjukkan Leni.
“Abi ustad mau crot, ya? Kontolnya kedutan terus tuh,” kata Leni. Dia angkat pantatnya lalu bersimpuh di antara kedua pangkal paha suaminya.
Khandiq tanpa suara hanya bisa membuka mulut membentuk o tanpa suara sambil memejamkan mata ketika Leni juga memberinya apa yang tidak pernah dia dapat dari kedua mantan istrinya. Kontolnya raib masuk ke mulut Leni bulat-bulat sampai hidung mancung sang istri tertimbun jembut lebatnya.
“Uuum! Uuum!” desis Khandiq sambil meraih kepala Leni dan menekannya kuat-kuat sebelum lima kali pancutan peju memenuhi rongga mulut Leni.
BERSAMBUNG ...