𝐃𝐞𝐦𝐢 𝐀𝐥𝐚𝐬𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐬𝐞𝐡𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐄𝐩𝐢𝐬𝐨𝐝𝐞 𝟏

 


Terdengar suara pagar rumahku terbuka yang membuatku penasaran siapakah yang datang di jam segini. Aku berdiri dari sofa ruang tengah yang baru saja aku duduki dan beranjak ke depan. Segera aku buka pintu utama rumah Ketika aku melihat bahwa yang datang adalah anakku yang kedua yang masih duduk di bangku PAUD. “Lho kok sudah pulang sayang” sambutku agak keheranan. 

Memang biasanya dia pulang sekolah dijemput oleh kakeknya. Biasanya baru pulang menjelang maghrib, atau kadang siang setelah kakaknya yang duduk di kelas 4 SD pulang. “Iya mah.. ngantuk” katanya langsung setengah berlari masuk ke kamarnya.


“Iya nggak tau tadi kok minta pulang, katanya ngantuk” kata seorang laki-laki berusia hampir 60 tahunan yang tidak lain adalah ayah mertuaku sambil menyerahkan barang bawaan Bayu, anakku kepadaku. “Oh ya, kung sudah sarapan? Itu ada sambal tumpang” tawarku. 

Aku memang memanggil ayah mertuaku “Kung” alih-alih untuk membiasakan panggilan anak-anakku yang merupakan cucunya.

Oh ya perkenalkan namaku Ninuk, seorang ibu rumah tangga biasa yang tahun ini usiaku menginjak 30 tahun. Dulu sebenarnya aku pernah bekerja di Bank Swasta yang cukup mentereng, tapi setelah anakku yang pertama masuk sekolah 4 tahun yang lalu aku memutuskan untuk berhenti dengan harapan bisa memberikan perhatian lebih pada anak-anakku. Kebetulan juga suamiku, mas Hendra juga promosi menjadi Kepala Cabang di sebuah Bank Nasional tapi 6 bulan lalu pindah tugas ke Surabaya. 

Dengan berbagai macam pertimbangan, aku akhirnya tetap memilih tinggal di Kota Tahu, tempat kelahiran suamiku sedangkan aku sendiri berasal dari Malang. Setiap akhir pekan dia pasti pulang plus kadang di pertengahan minggu pun pulang, hanya untuk “buang hajat” denganku hehe. 

Tugas antar jemput anak sekolah yang biasanya kulakukan, hampir 2 tahun ini digantikan oleh ayah mertuaku, tepatnya setelah ibu mertuaku meninggal. Untuk kesibukan katanya. Tak jarang anak-anakku diajak kerumahnya setelah pulang sekolah. Baru malam harinya diantar.

Aku kemudian masuk ke kamarku untuk hanya sekedar memakai BH ku. Nggak enak juga meskipun dia ayah mertuaku, aku nggak ingin puting susuku tersembul menembus kain daster marun yang aku pakai. Setelah menyisir rambutku yang baru saja kering setelah ritual mandi wajib tadi pagi. Maklum, tadi malam mas Hendra pulang. Setelah itu Aku segera keluar kamar.

“Lho kok sudah sarapannya kung?” tanyaku Ketika melihat ayah mertuaku duduk di ruang tamunya sambal menyalakan sebatang rokok. “Iya, sebenarnya tadi sudah sarapan, tapi berhubung ada sambal tumpang, jadi pengen makan… Cuma nggak banyak” jawabnya. “Mau dibuatkan kopi?” tanyaku yang langsung dijawabnya dengan anggukan. Aku segera mengerjakannya.

“Lho Inah Kemana Nuk?” tanya laki-laki itu Ketika aku menaruh secangkir kopi panas lengkap dengan lepeknya di meja. Ia mungkin bertanya-tanya kenapa aku yang membuatkan sendiri kopi untuknya, biasanya kan bi Inah, pembantu di rumah kami. “Oh, anu kung, bi Inah ke pasar, tapi katanya tadi juga mau pulang sebentar ke rumahnya di Pare. 

Oh ya, tadi malam mas Hendra pulang kung. Mungkin itu sebabnya Bayu tadi malem tidur telat” kataku. “Oh, mungkin. Lho kapan Hendra balik?” tanyanya. “Tadi pagi setelah subuh, takut telat ngantor” jawabku. Akhirnya kamipun ngobrol santai di sofa ruang tamu.

“Kapan jadwal kontrol lagi kung?” tanyaku. “Baru minggu lalu. Hasilnya baik kok, kata dokter” jawab lelaki itu sambal menaruh puntung rokok di asbak. “Syukurlah kalo baik” timpalku. Oh ya sekitar delapan bulan lalu ayah mertuaku ini baru saja operasi prostat. Ada penumpukan sperma yang akhirnya menjadi gajih. Kata dokter, ayah mertuaku ini hormon nya masih sangat besar sehingga produksi sperma nya juga masih sangat bagus. Saran dari dokter sih katanya disuruh nikah lagi, tapi sepertinya ayah mertuaku tidak mau.

“Berarti sudah bisa dikeluarin sendiri dong kung, hehe?” tanyaku. “Tetep belum” jawabnya singkat sambal menyeruput kopinya yang tinggal sedikit. “Masak kung?” tanyaku. Ia hanya mengangguk menjawabnya. “iya sih, kata mas Hendra, harus cewek ya kung yang keluarin… hehe” kataku sambal tertawa kecil. “Lho Hendra cerita ta Nuk, he? Tanyanya balik. “Iya kung” jawabku singkat. 

Kemudian sesaat kami terdiam. Entah apa yang kupikirkan. Aku ingin sekali membantu lelaki itu. Mungkin saja kalau aku yang mengocok penisnya, dia bisa mencapai orgasme, dan itu sangat penting untuk kesehatannya. Kulirik jam di dinding, waktu masih menunjukkan jam 10 pagi. Masih ada waktu lama sebelum Doni, anakku yang pertama pulang dan bi Inah yang katanya akan pulang ke Pare paling nggak sore sampe sini atau bahkan bisa nginep.

Tapi bagaimanapun juga aku masih bingung untuk mengatakannya. Sebagai seorang wanita jawa, aku masih terbiasa diajak, bukan menawari dan sepertinya laki-laki tua itu juga masih menjagaku, menjaga menantunya sendiri. Meskipun mungkin saja dia sebenarnya juga kepingin. 

Kalaupun menawari, cara ngomongnya juga bingung bagaimana. Meskipun juga Mas Hendra sih pernah ngomong. Tapi dengan nada bercanda, tidak hanya ngocokin malah aku disuruh begituan ama bapaknya.

Agak lama aku berpikir dengan keras, akhirnya aku mengambil hp ku. “Kung, mungkin Ninuk bisa bantuin ngocokin” begitu pesan yang kukirim via whatsapp. “Kung, kayaknya ada WA masuk” kataku ketika kulihat laki-laki itu sepertinya tidak menghiraukan bunyi HP nya. 

Kemudian ia pun melihat Androidnya dan langsung menatapku. “Lho iya ta Nuk?” tanyanya pelan yang kujawab dengan anggukan. “Yang penting mas Hendra jangan tau ya kung…” jawabku. “Mungkin bisa kung… biar ga ada masalah ama prostatnya kung lagi” lanjutku.

“Kung, tolong pagar digembok dulu. Takutnya ada yang datang.. Ninuk ambil pelumas” kataku sambal berdiri dan berlalu. Sekembalinya dari kamar, kulihat ayah mertuaku itu baru aja mengunci pintu kamar tempat si Bayu tidur. 

“Takut Bayu bangun nuk” gumamnya kemudian ia melepas celana yang dipakainya. Mendadak dadaku bergemuruh, deg-degan juga. Pertama kali juga aku akan melihat bahkan untuk memegang kemaluan laki-laki dewasa selain punya suamiku, meskipun itu adalah ayah mertuaku sendiri. Anehnya juga lelaki itu sepertinya tidak segan atau ragu sedikitpun ketika melepas celananya.

Mataku tak berkedip ketika melihat penisnya yang masih lemas. Yang menjadi perhatianku adalah bentuk kepalanya yang agak bengkok dengan ukuran penisnya keliatannya sedikit lebih penjang dengan punya mas Hendra. “Merem aja ya kung” kataku kemudian meneteskan cairan pelumas yang biasa kupakai Ketika melayani suamiku tapi waktu aku kurang bergairah.

Penis coklat tua itu langsung mengeras Ketika tanganku mulai mengusapnya. “Gila, keras sekali” pikirku. Tidak seperti punya mas Hendra yang biasa aku tahu. Mulut mertuaku mulai mendesis saat tanganku mulai agak cepat mengocok kemaluannya. 

Dan perlahan namun pasti, birahiku pun mulai muncul, membuat aliran darahku seakan menjadi lebih cepat. Cairan vagina mulai membasahi kemaluanku. “Aduh nuk…. ssstttsss nuk… oohhhh…” mulut laki-laki itu meracau yang semakin membuatku bernafsu. Tanpa sadar tangan kiriku mulai meraba kemaluanku sendiri yang sudah basah kuyup apalagi beberapa menit kemudian tangan laki-laki itu mulai meremas-remas payudaraku. 

Aku membiarkannya agar dia cepat meraih puncak kenikmatannya tapi tanpa aku sadari itu semakin membuatku tidak kuat melawan gejolak birahiku yang tidak akan mungkin terpuaskan hanya dengan jari-jari tanganku sendiri.

Beberapa saat kemudian aku terkejut ketika tiba-tiba tangan lelaki itu memegang tanganku yang sedang mengocok penisnya seakan menyuruhku untuk berhenti. “Kenapa kung? tanyaku dengan suara parau. 

Tanpa menghiraukan pertanyaanku kemudian ia berdiri di hadapanku dan berusaha menyibakkan bagian bawah daster yang kukenakan dan meraih celana dalamku dan berusaha melepasnya. Aku sadar sesadar-sadarnya bahwa lelaki tua itu ingin menyetubuhiku. 

Ia seakan mengerti dengan apa yang sangat kuinginkan saat itu. Balutan birahi yang sudah di ubun-ubun membuatku malah membantu tangan lelaki itu melorotkan celana dalam warna hitam yang sudah basah oleh cairan vaginaku.

Aku lalu menyandarkan tubuhku dan langsung mengakangkan kedua kakiku sehingga kemaluanku siap untuk di masuki. Tetap tanpa ada sepatah katapun, lelaki tua itu lalu mengarahkan penisnya. “ohhhh…” desisku Ketika batang kemaluannya mulai menerobos masuk. 

Tanpa komando, kamipun membetulkan posisi masing-masing sehingga memang benar-benar pas. Sedetik kemudian iapun mulai menggoyangkan pinggulnya maju mundur yang membuatku semakin mendesah keenakan. Nafas lelaki itu juga terdengar tersengal, mulutnya meracau. 

Belum 5 menit, gerakan lelaki itu terlihat semakin cepat. Aku sadar kalau ia akan mencapai klimaksnya. Benar saja kemudian ia langsung mencabut penisnya dari cengkraman vaginaku dan mengocoknya tepat diatas bulu kemaluanku yang lebat. Takut spermanya tercecer kemana-mana, aku langsung menutupnya dengan daster yang dari tadi masih kupakai. 

“Ooooocccchhhhh….” Ia mengerang sampai kepalanya menengadah. “cret… cret….crett…crettt” penisnya menyemburkan air mani yang banyak sekali, terasa sangat hangat di bagian bawah perutku. Beberapa saat kemudian lelaki itu lalu duduk di sebelahku sambal mengatur nafasnya yang masih terengah. Bau khas air mani laki-laki menyerbak di seluruh ruangan.

“Kok dikeluarin di luar kung, di dalem kan enak...?” tanyaku pelan dengan suara parau sambil mengikat rambutku dan duduk di samping lelaki itu yang masih berusaha mengatur nafasnya. ia tidak menjawab pertanyaanku. Kulihat kemaluannya masih tegang meski tidak sekeras tadi. 

Perlahan kuusap penis tua itu dengan celana dalamku. Membersihkannya dari sisa-sisa spermanya yang tercecer. Lelaki itu masih memejamkan matanya sambil menengadah, masih menikmati sisa-sia orgasme yang sudah lama tidak dirasakannya.

“lagi ya kung? aku juga pengen dapet” ajakku. Kepalang tanggung juga, terlanjur basah sekalianlah. Aku yang sudah bernafsu juga pengen merasakan orgasme Lalu aku kulum kemaluannya yang sudah setengah berdiri. “Sebentar… sebentar Nuk…” aku kebelet pipis…” kata lelaki itu kemudian langsung beranjak ke kamar mandi meninggalkanku. 

“Di Kamar aja” ajakku Ketika dia keluar dari kamar mandi. Akhirnya ronde kedua pun dimulai. Kami pun bergumul dalam belutan birahi. Saling memanjakan nafsu, memberikan kenikmatan satu sama lain. Tak peduli berapa banyak energi yang terkuras, keringat yang bercucuran, semuanya demi apa yang dinamakan kenikmatan. 

Tak peduli etika yang membatasi antara mertua dan menantu. Berbagai macam gaya kami lakukan. Lelaki itu ternyata masih sangat prima, aku dapat mencapai orgasmeku sampai 4 kali. Hal yang belum pernah kualami ketika main sama suamiku sendiri.

Lelaki itu mulai menyodok-nyodokkan kemaluannya perlahan setelah memberiku kesempatan menikmati orgasme ke-4 ku. “Keluarin kung…” kataku pelan dengan suara yang serak. Cukup sudah buatku, 

kini saatnya dia yang mencapai puncak kenikmatannya. Lelaki itu menggangguk tapi bukannya tambah mempercepat gerakannya, ia malah mencabut penisnya dari liang kewanitaanku. “Nungging nuk” katanya pelan yang segera kulakukan. Ia segera menusukku dari belakang dan menghajarku dengan rpm yang semakin lama semakin tinggi. Kedua tangannya pun memegang bokongku dengan kuat. Segera kuketatkan otot-otot vaginaku. 

“ooooooccchhhhhh” jeritnya Ketika air maninya muntah di dalam rahimku. Sejenak kami terdiam, kemudian ia merebahkan tubuhnya di ranjang yang kemudian juga kulakukan. Sebuah permainan yang luar biasa. Masih minim dengan kata-kata, kami pun terdiam.

Perlahan kulirik jam yang menempel di dinding. “Gila hampir sejam setengah” gumamku. Iya hampir sejam setengah permainan itu berlangsung. “Aku jemput Bayu dulu” kata lelaki itu kemudian beranjak meninggalkanku sendiri di kamar.

Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Categories

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

BTemplates.com

POP ADS

Blogroll

About

Copyright © Cerita Panas | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com