Hampir setengah jam aku masih terkulai di ranjang. Tubuhku masih lemas. Kepuasan seksual yang barusan aku dapatkan mulai berganti dengan penyesalan dan rasa bersalah. Bagaimanapun dan dengan alasan apapun, berhubungan intim dengan orang lain meskipun itu mertuaku sendiri adalah hal yang tidak dibenarkan.
Pikiranku mulai berkecamuk seiring cacing-cacing di dalam perutku yang seakan meronta membelit rasa lapar dan haus. Maklum, permainan barusan sangatlah menguras energi. Dinginnya AC yang tadi tak mampu membendung keluarnya keringat, sekarang hawanya mulai menusuk tubuhku yang masih tidak terbalut apa-apa. Lelehan sisa-sisa air mani ayah mertuaku masih terasa meleleh keluar di vaginaku. Aku kemudian beranjak ke kamar mandi untuk bebersih.
Hari itu semuanya tampak seperti biasanya, setelah mengantarkan anakku pulang sekolah, ayah mertuaku pun pulang. Tak ada pesan atau kata-kata seolah-olah tidak terjadi apa-apa sebelumnya. “Iya” balasan wa ayah mertuaku Ketika aku memintanya untuk menghapus pesanku tentang mengocok penisnya tadi pagi yang menjadi awal semuanya. Singkat, padat dan jelas.
Hanya saja ada hal yang janggal tetapi tidak begitu kurasakan. Si Inah, pembantuku, sebelum dating juga mengirim pesan kalau nanti dating jam 8 atau 9 malam. Hal yang tidak biasa dilakukannya. Biasanya dia kalau nginep di pare barulah bilang.
Pun keesokan harinya juga demikian. Semuanya tampak biasa saja. Hanya pikiranku saja yang masih dihantui perasaan bersalah. Mas Hendra, suamiku pun malah sepertinya merasakan Ketika berhubungan intim denganku jumat malam. Tetapi pertanyaanya bisa kutepis dengan aku berusaha melayaninya dengan sebaik mungkin.
Hingga akhirnya di hari selasa pagi, ayah mertuaku kirim pesan, tanya apa aku mau mengocoknya lagi. “Maaf kung, ga bisa ada Inah” jawabku dengan alasan ada pembantuku itu yang sebenarnya aku masih bimbang untuk melakukannya lagi. “Oh iya” jawabnya singkat padat dan jelas lagi.
Dan setelahnya tidak ada pembicaraan lagi di pagi itu. aku masih saja memikirkan kejadian minggu lalu. Antara rasa bersalah dan keinginan melakukannya lagi. Bagaimanapun, permainan di hari kamis kemarin, sangatlah membekas dalam.
“Bu…. Buuuuuu…” panggil Inah yang membuyarkan seluruh lamunanku. “Eh, apa nah” jawabku seadanya. Kulihat Wanita itu tersenyum sambil menyapu lantai tepat di depanku. “Apaa Nah” kataku lagi dengan suara agak meninggi. “Ibu ngelamun aja… mikirin kung yaaaa” ledeknya yang sangat menusuk ulu hatiku.
“Hah?? Apa maksudmu ? tanyaku. “Inah tau waktu hari kamis kemarin ibu ama akung. Makanya malemnya Inah bilang dulu Ketika mau balik kesini” jawab pembantuku itu yang membuat seluruh tubuhku lemas. “eee… duduk dulu sini…” kataku bingung juga mau ngomong apa. “Kok bisa kamu tau?” tanyaku.
“Ibu lupa ya, kalo Inah punya kunci rumah? Sempet bingung juga, ada motornya akung, tapi kok pagar rumahnya digembok. Ya tetep aja Inah masuk, eh ternyata ada pertarungan gaya bebas di kamarnya ibu, pintu ga ditutup juga… Inah ngintip sih bentar, eh ternyata sama kung, ya udah Inah keluar lagi.
Takut ganggu hehe” jelasnya Panjang yang semakin membuatku tertunduk lesu. “Jangaan,,”kataku. “Iya buu… amaaan kok, soalnya sama kung. kalo ama yang lain, bakal Inah laporin ke bapak” potong pembantuku itu. “Janji ya nah??” tanyaku lagi meyakinkan. “Janji buuuu.” Ga papa lagi… “ sahutnya. “maksudmu?” tanyaku. Ia tampaknya berpikir. Agak lama kami terdiam sampai akhirnya si Inah menghela nafas panjang.
“Ibu pasti punya rasa bersalah ya… ke bapak… jadi galau dan ragu” kata si Inah yang kujawab dengan anggukan. Lama pembantuku itu terdiam. “bu… setelah saya cerita ini… terserah ibu mau apa… mau usir saya, mau pecat saya atau mau bunuh saya sekalipun saya pasrah.
Tapi tolong jangan sampai kenapa-kenapa di keluarga ini” katanya membuatku penasaran. Pikiranku sudah mulai macam-macam. Apa pernah mas Hendra ngentod si Inah ini.
“iya bu” pernah” jawab pembantuku seakan tahu apa yang akan kutanyakan. “Hahhh? Kapan?kok bisa?” tanyaku dengan pikiran yang semakin bergemuruh. “Ibu ingat dulu waktu ibu sama bapak bertengkar sampai-sampai ibu bawa anak-anak pulang ke Malang?” jawab si Inah yang membuatku menerawang mengingat Kembali kejadian beberapa bulan yang lalu.
“nah itu, kung datang dan memarahi Bapak habis-habisan, gara-gara ibu ga mau keluarin punya bapak waktu ibu mens aja kejadian seperti itu. Sampai bapak bilang mau kawin lagi atau apa. Inah ada dirumah waktu itu bu” jelasnya. “Terus?” tanyaku lagi. “inah dipanggil kung dan terang-terangan kung suruh bapak ginian sama aku” jawabnya sambil menunjukkan tangannya yang melambangkan hubungan suami isteri. “trus kamu mau?” tanyaku lagi.
“Saya pasrah bu” jawab pembantuku itu. “jadi setelah itu, kalau ibu waktunya datang bulan, bapak ya… tapi ga lama kok bu… kayak buang hajat aja” yang penting bapak juga ga emosi, ibu yang biasanya waktu mens juga emosian, tenang semua. Daripada bapak jajan diluar bu. Biar Inah yang bantu” jelasnya Panjang yang membuat pikiranku entah kemana. Menerawang berbagai kenyataan di dunia yang tak seindah cerita di sinetron. Semuanya terasa dihalalkan dengan apa yang dinamakan kebutuhan seks belaka