𝐃𝐞𝐦𝐢 𝐀𝐥𝐚𝐬𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐬𝐞𝐡𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐄𝐩𝐢𝐬𝐨𝐝𝐞 𝟓

 


Beberapa lama kami bertiga terdiam dengan sesekali mengobrol ringan. Lelaki tua itu kemudian beranjak dari ranjang dan sepertinya menuju kamar mandi yang ada di kamar itu. “Handuk Kung? itu di meja” kataku. Seletah menghabiskan sebotol air mineral ia pun langsung masuk ke ruangan yang ada di pojok kamar itu. 

Sesaat kemudian terdengar suara pancuran air dari dalamnya. Kulirik jam di dinding, sudah hampir jam setengah sepuluh. Setengah jam lagi si Bayu keluar dari sekolahnya. “Inah… kamu cepet mandi sana.. hari ini kamu aja yang jemput Bayu ya.. biar Kung istirahat, santai dulu” perintahku pada pembantuku itu. “Baik Bu” kata wanita itu mengiyakannya kemudian ia beranjak memakai pakaiannya. Lalu aku pun segera mandi di kamar mandi utama rumahku.

Jam 09.45 aku keluar dari kamar mandi sambil hanya memakai handuk sebagai penutup tubuhku. Sekilas kulihat ayah mertuaku ternyata sudah ada di ruang tamu. “Aku jemput Bayu ya Nuk” katanya saat melihatku menjelang. “Nggak usah kung. Inah sudah berangkat jemput. Kung dhahar dulu aja. Memang gggak lapar ta? Habis olah raga tadi” tanyaku sambil tersenyum. 

“Oh gitu ya.. iya lapar Nuk” jawabnya kemudian berjalan menuju ruang makan. aku pun masuk ke kamarku. Setelah memakai baju aku segera menyusul laki-laki itu di meja makan yang ternyata ia sudah memulai sarapannya. Waktu itu aku memakai tanktop dress yang panjangnya sampai di atas lutut warna biru tua tanpa bra dan CD. Kalau istilah di daerah kami, namanya androg, biasa juga dipakai sebagai daleman baju resmi. Salah satu baju favoritku di rumah selain daster. 

Handuk yang tadi kupakai sebagai penutup tubuh, kini kugunakan sebagai penutup kepala agar sisa-sisa air di rambutku tidak menetes di tubuhku.

Sesaat tampak mata ayah mertuaku itu melotot seperti mau keluar ketika melihatku dandan seperti itu. Memang itu kali pertama aku berpenampilan seperti itu di hadapan ayah mertuaku. Sebelumnya memang aku tidak pernah, bahkan tiap kali beliau datang, aku segera memakai bra ku agar putingku tidak tampak tersembul. “Biar ajalah, toh dia kan dah liat semuanya, ga cuman itu, malah udah menjamahnya” pikirku santai.

“Heh Nuk, kamu kok pake baju kayak gitu sih? Kata lelaki tua itu pas ketika aku mau menyendok makananku. “Emangnya kenapa kung?” sahutku singkat. Ya ga papa sih… tapi… ah… “ dia tidak melanjutkan kata-katanya. “Kenapa sih” desakku. “Bikin pusing, hehe” jawabnya singkat tapi dapat sesaat membuaiku. “Kamu tau nggak Nuk… “ kata lelaki itu yang kayaknya terhenti karena masih mengunyah nasi di mulutnya. 

“Laki-laki, kalo liat kamu… lebih-lebih kayak sekarang ini… kalo ga tertarik, berarti dia ga normal” lanjutnya sambil terus melahap makanannya. Entah gara-gara masakan si Inah enak atau memang dia nya yang lagi kelaparan.

Kata-kata yang cukup membuat hatiku berbunga. Kata-kata yang sudah lama sekali tidak pernah kudengar, kalau nggak salah dulu selagi aku pacaran sama mas Hendra. Sambil makan kamipun ngobrol santai. Hal yang secara, belum pernah kulakukan dengan lelaki itu sebelumnya. Lelaki itu terlihat sangat dingin kepadaku. 

Bahkan sampai waktu selesai berhubingan badan pun, kata-kata yang keluar dari mulutnya hanya, iya, tidak, baik. Itu-itu saja. Entah kenapa, kok hari ini dia berubah dan itu membuatku semakin nyaman.

“Sini kung piringnya” kataku sambil mengambil piring tempat dia makan tadi. Lelaki itu tampaknya menungguku selesai makan meski sekitar 5 menitan lalu dia sudah mengakhiri sarapannya. “Mau dibuatin kopi lagi?” tanyaku sambil berjalan ke dapur. “Nggak usah Nuk, yang tadi masih banyak” jawabnya sambil berlalu ke depan. Setelah menaruh piring, aku pun menyusulnya ke ruang tamu.

Kulihat lelaki itu menyalakan rokoknya setelah menyeruput kopi yang tinggal separuh cangkir. “Sehari berapa bungkus kung” tanyaku membuka pembicaraan sambil duduk di hadapannya. “satu Nuk, kadang juga lebih. 

Apalagi kalo pas nongkrong ama orang-orang, pas giliran jaga lingkungan” jawabnya. Kamipun terjebak dalam obrolan santai, mulai pelerjaan, bahkan sampai masalah pemilihan umum juga. Sebenarnya kala itu ada yang ingin kutanyakan tetapi aku masih ragu untuk mengutarakan.

“Kung… “kataku terputus. “Apa Nuk” jawab pria itu sambil menaruh puntung filternya di asbak. “Nggak jadi kung..” jawabku. “kamu ini… tak pikir ada apa” sahutnya kemudian. “Tadi… kayaknya kung juga jilatin lubang belakangnya Ninuk ya… emang ga jijik kung?” tanyaku memberanikan diri. “Oalah Nuk, Ninuk… kalo yang namanya lagi nafsu, ga ada lah yang namanya jijik itu. “Emang ‘itu’ mu ga pernah dimasukin ya ama Hendra” tanyanya. “Anal sex kung?” tanyaku balik. “Iya itu entahlah apa namanya, pokoknya dimasukinnya ke lubang yang itu” jawabnya kemudian. 

“Emang kung pernah??” tanyaku penyasaran. “Ya pernah lah Nuk… ya enak sih, lain rasanya. Tapi gimana-gimana, ya enak ke bawuk lah. Apalagi punyamu” ujarnya sambil tersenyum. “Ihh kung ini” jawabku yang merasa terbuai.

“Ya kapan-kapan kalo kamu mau, cobain ya” ujarnya lagi yang sama sekali tidak kurespon. Pikiranku langsung terbayang ke film-film porno yang pernah kutonton yang ada adegan anal sex nya. Aku ga bisa bayangin rasanya, penis orang-orang barat yang segede itu bisa masuk, padahal pernah kucoba masukkan jariku ke lubang anusku sendiri sudah terasa sakit.

“Eh Nuk, kok Inah ama Bayu ga dateng-dateng.. sudah jam setengah sebelas ini” kata lelaki itu yang menyadarkanku kalo pembantu dan anakku belum pulang. “Oh iya kung… hp mana hp” tanyaku ke diriku sendiri bingung. “Oh iya di kamar tamu” gumamku lalu beranjak menuju kamar yang tadi menjadi saksi hubungan terlarangku dengan ayah mertuaku itu, bahkan pembantuku pun ikut juga. “Iya Nuk, punyaku paling disana juga. Tolong ambilin juga ya” pinta lelaki itu. “Iya Kung” sahutku.

Kamar itu masih berantakan, hasil olah raga tadi. Bau amis air mani juga. “Biar si Inah aja deh nanti yang bereskan” gumamku lalu beranjak keluar sambil membawa HPku dan HP ayah mertuaku yang ternyata juga masih disana. Tak lupa kumatikan AC dan sengaja meninggalkan kamar itu dengan pintu terbuka. Biar udaranya ganti, pikirku.

“Ini kung HPnya” kataku sambil menyerahkannya ke lelaki itu. “Oh. Iya Nuk, terimakasih” jawabnya kemudian langsung membuka-buka gadgetnya, pun aku juga melakukannya setelah duduk.

“Bu, mas Bayu langsung saya ajak jalan-jalan, nanti pulang pas jam 1. Biar ibu sama kung punya waktu lagi. Mungkin mau nambah” bunyi pesan si Inah lengkap dengan emoticon tersenyumnya. Aku pun tersenyum membacanya. 

Terus terang aku merasa lega membaca pesan dari pembantuku itu. “Kenapa Nuk” tanya ayah mertuaku yang melihatku senyum-senyum sendiri. “Oh ini loh kung, ternyata Bayu diajak jalan-jalan sama si Inah, nanti jam 1 baru balik” jawabku. “Biar Ninuk sama kung ada waktu kalo mau nambah lagi katanya, hehe” lanjutku.

“Hehehe…nggak udah Nuk… cukup dah… habis wis habis” kata ayah mertuaku itu sambil menyalakan rokoknya lagi. “Iya Nah. Kalo nanti Bayu Lapar, belikan makanan dulu, nanti uangnya aku ganti. Kamu bawa uang kan?” pesanku membalas wa pembantuku itu. Beberapa saat kemudian Inah mengirimiku Foto anakku sedang sibuk di salah satu tempat bermain anak di Mall pusat kota. “Aman bu” captionnya singkat yang membuatku lega. “Ini kung, lagi di Mall ama Inah” kataku sambil menunjukkan foto yang dikirim pembantuku itu tadi. “Oh… ok, berarti nanti tinggal jemput Doni ya” kata ayah mertuaku itu.

Sejenak kupandangi lelaki tua itu yang menghisap rokoknya dalam-dalam dan kemudian mengeluarkannya. Ada sebagian asap yang keluar lewat lubang hidungnya. Waktu menunjukkan hampir jam sebelas. Masih ada sekitar 2 jam an sebelum anak-anakku pulang. Jujur saja penolakan halus dari mulut mertuaku itu malah membuatku penasaran. 

Membuat pertanyaan aneh di benakku. “Masak sih ga mau kalau dia kuajak berhubungan intim lagi… katanya tadi siapa yang melihatku tidak tertarik, berarti tidak normal” pikirku. Bingung antara iya atau tidak.

Kesempatan ada, waktu juga sangat-sangat cukup. “aaahh” bingung juga akhirnya. “Biarlah…. kan lain waktu juga bisa, kesempatan nggak hari ini saja.” gumamku dalam hati. Memang salahku sendiri juga kenapa tadi harus berbagi sama si Inah, apalagi setelah itu kulihat lelaki itu menyelonjorkan kedua kakinya dan matanya mulai terpejam di atas sofa tamu. 

Mungkin saja dia kelelahan. Aku pun kemudian memutuskan untuk melakukan hal yang sama, lumayan kan, sejam dua jam sebelum anak-anakku pulang. Aku lalu berdiri dan menaruh handuk yang dari tadi masih kupakai di kepalaku dan menaruhnya di jemuran kemudian langsung berjalan menuju ke kamarku dan merebahkan tubuhku di atas kasur.

Ada pembelajaran yang menurutku lumayan penting aku dapat kala itu. Yaitu aku tidak dapat memaksakan ego dan keinginanku apalagi kalau itu juga sangat bergantung atau terkait pada orang lain. Tapi kalau mertuaku yang memintanya, sesuai janjiku, aku akan tetap melayaninya asalkan kesempatan itu ada.

Bisa saja aku memaksa laki-laki itu untuk berhubungan badan denganku lagi tapi akan jauh lebih menyenangkan bila keduanya sama-sama pas. Atau malah bisa ada dampak lain yang timbul. Horni? Ya Iya lah. Masturbasi? No, toh juga semalem sampai tadi pagi aku masih melakukannya. Bahkan dengan orang yang berbeda, renungku sesaat sebelum mataku terlelap.
Waktu pun terus berlalu, pagi menjadi siang, kemudian berganti ke malam lalu kembali ke pagi lagi. Tiap detik yang berdetak, mengantarkan apa yang kita lakukan sekarang menjadi masa lalu, terus mengiringi rutinitas keseharianku seperti biasanya.

Hari jum’at pagi, aku menyadari kalau tamu bulananku datang ketika aku bangun tidur. “Ohh ini rupanya, terjawab sudah kenapa aku selalu horni seminggu ini” gumamku. Biasanya memang beberapa hari sebelum menstruasi, gairahku selalu meningkat.

Pukul setengah 5 pagi, suasana masih lumayan gelap. Hanya saja lampu-lampu dalam rumah sebagian sudah menyala. “Si Inah pasti sudah bangun”. Benar ternyata, pembantuku itu sudah menyibukkan dirinya di dapur. “Inah… nanti kamu siap-siap lho ya” kataku ketika berjalan mendekatinya. Ia tampak agak terkejut dengan kehadiranku. “Siap-siap apa bu? Mau kemana?” jawabnya sambil terus mengupas bawang. “Siap-siap Nah… nih aku mens” kataku sambil tersenyum. “Ihhh… ibu ah… tak pikir mau ajak Inah kemana” katanya masih terus sibuk dengan bumbu-bumbunya. Sambil terus tersenyum aku kemudian ke kamar mandi hanya untuk cuci muka dan memakai pembalut.

Pagi itu kedua anakku sudah siap ketika ayah mertuaku datang untuk mengantarkan mereka ke sekolah. “Aku habis ini sarapan disini ya Nuk” kata lelaki itu sesaat sebelum memacu sepeda motor maticnya. “Iya Kung” jawabku lalu kembali masuk ke dalam rumah.

Saat aku membereskan kamar anak-anakku, terdengar suara pagar rumah dibuka dan suara motor masuk yang bisa kupastikan itu adalah ayah mertuaku. “Ayo Kung kalau mau dhahar.. Ninuk juga belum makan… ayo sama-sama” kataku sambil mengikat rambutku saat menghampiri lelaki tua itu yang tampak baru saja duduk di kursi ruang tamu. “Bukan sarapan yang itu Nuk” jawabnya. “Lha terus?” tanyaku ganti, agak penasaran dengan maksud lelaki itu, akhirnya aku pun duduk di depannya.

“Sarapan yang itu loh Nuk…” katanya lagi. “oalahh… iya iya, Ninuk paham” jawabku sambil tersenyum kala aku mengerti apa yang dimaunya. Kupikir tadi memang bener-bener mau sarapan, ternyata pagi itu ia ingin berhubungan intim denganku. Ia pun terlihat tersenyum. “Masak, tadi aku harus bilang kalo aku mau gituan… di depan Bayu ama Doni. Mumpung masih jum’at pagi.. nanti malem kan Hendra datang” katanya panjang.

“hehe, Iya Kung… tapi ga bisa Kung… mulai tadi malem Ninuk mens Kung…” Jawabku. “Tapi ada Inah Kung…. “ Lanjutku. “Naaah…. Inaaah” aku panggil pembantuku yang sepertinya sedang mencuci pakaian. “Iya bu… sebentar” jawabnya dari kejauhan. “Nggak usah Nuk… Nggak usah” kata ayah mertuaku.

“Iya bu” kata si Inah Ketika mendekat. “Ini Nah, kung….” kataku tapi langsung terpotong oleh lelaki itu. “Buat kopi Nah… tolong buatin kopi” kata ayah mertuaku pada Inah. “Iya Kung… sebentar” jawab pembantuku itu kemudian berlalu. “Kenapa Kung? kan Kung bisa ama Inah?” tanyaku. “ga papa Nuk… aku maunya ama kamu aja” jawab lelaki itu santai kemudian menyalakan rokoknya. “Ihhh… Kung ini… ada-ada aja” sahutku sambil tersenyum. “Biar wis, nunggu… berapa hari biasanya Nuk?” tanya laki-laki itu. “Kadang seminggu… kadang kurang… kadang juga lebih kung…. nggak mesti” balasku.

Kamipun terdiam Ketika si Inah datang membawa segelas kopi dan menaruhnya di meja tepat didepan ayah mertuaku duduk. “Makasih ya Nah” kataku sesaat sebelum pembantuku itu beranjak yang hanya dibalasnya dengan anggukan. “hati-hati kung… masih panas” kataku ketika melihat lelaki itu menuangkan wedang kopinya di lepek. “Iya Nuk… makanya ini ditaruh lepek dulu” sahutnya.

Sesaat kupandangi lelaki itu yang sedang menikmati kopinya. Anganku menerawang dengan perubahan sikapnya padaku dua hari ini. Dulu kami bisa dibilang jarang sekali ngobrol, sekarang suasana jauh menjadi lebih santai, lebih akrab.

Bahkan hari rabu malam lalu, sekitaran jam 9 malam ia menyempatkan meneleponku hanya sekedar mengingatkanku untuk menyuruh Inah mengunci semua pintu rumah termasuk pagar depan. Hal yang sama juga dilakukannya lagi tadi malam. Aku yang berpikiran ngeres, mengira kalau dia akan mengajakku berhubungan badan waktu dia menghubungiku, hanya tersenyum kecil ketika tahu maksud lelaki itu menghubungiku. Perhatian-perhatian kecil yang sama sekali tidak pernah kudapatkan dari ayah mertuaku sebelumnya

“Atau mau Ninuk kocokin Kung?” tanyaku kemudian. “Emangnya kamu mau Nuk?” tanyanya balik. “Ga gitu.. Setahuku, kalo kamu lagi dapet gini kamu ga mau ngapa-ngapain dan ga mau diapa-apain… inget kamu dulu sampe bernah bertengkar sama Hendra trus kamu pulang sama anak-anak ke malang” lanjutnya panjang lebar.

“Iya Kung… sampe mas Hendra akhirnya buang hajatnya ke Inah” jawabku. “Loh… kamu tahu itu Nuk?? Trus… kamu ga papa? Kamu ga marah” tanya ayah mertuaku terkejut. Aku pun tersenyum. “Inah yang cerita dulu Kung… kalau Ninuk umpama mergoki dulu, mungkin ceritanya jadi lain” jawabku. 

“Oh gitu ya… sebenarnya itu aku yang suruh… aku tahu laki-laki kalau sedang pengen tapi ga dapet, bawaanya emosi” jelasnya yang sebenarnya sudah kuketahui dari si Inah sendiri. “Oh sukurlah kalau begitu” kata lelaki itu sambil mematikan rokoknya yang memang sudah habis.

Kemudian laki-laki itu berdiri lalu duduk pas di sebelahku. “Nuk, bantuin keluarin ya… “ katanya dengan suara yang agak berbisik. Sungguh kata-kata itu sangat menusuk hatiku, membuai perasaanku pada sebuah romantisme antara pria dan wanita. Melupakan sejenak kalau lelaki itu adalah ayah mertuaku sendiri bahkan itu berhasil memposisikan diriku untuk pasrah menuruti keinginannya. “It’s all yours Sir… Whatever you want, I’ll do it for you”.

Tanpa kata-kata lagi aku lalu mengusap bagian depan celana baggy hitam yang dikenakan lelaki itu, ia pun yang langsung membuka sabuk dan resletingnya. “Sebentar Nuk” gumamnya lirih lalu melorotkan celana sekaligus CD biru tua yang dipakainya. Ia tidak melepasnya, hanya sampai di lutut saja. Tapi hal itu sudah cukup. Kemaluan lelaki itu masih terlihat masih tertidur. Sentuhan magis tanganku langsung membuat penis coklat tua itu berdiri tegak, siap menyalurkan bilur-bilur kenikmatan birahi kepada tuannya.

Perlahan tanganku mulai mengelus-elus batang kemaluannya sambil sesekali kukocok-kocok yang membuat mulut lelaki itu mulai mendesis, nafasnya pun mulai tak beraturan. Tangan lelaki itu mulai menjamah payudaraku yang masih terbungkus daster dan singlet di dalamnya. Tak puas dengan itu ia mencoba menyelipkan tangannya ke dalam tapi sepertinya itu sangat sulit karena posisi tubuh kami berdua.

Sadar akan hal itu kemudian sambil duduk aku melepas daster yang kupakai menyisakan bra krem dan celana boxer hitam yang melekat di tubuhku. Aku lalu mengulum batang kemaluannya yang semakin membuat lelaki itu menggelinjang keenakan. Tangan lelaki itu melepas klip bra ku lalu tangannya pun dengan leluasa meremas-remas susuku. Kemudian aku menghentikan cengkraman mulutku di penisnya tapi tanganku langsung meraihnya lagi untuk mengocoknya lagi. “Beneran Kung ga mau ama Inah” tanyaku sambil menatapnya. “Iya Nuk” jawabnya masih dengan mata terpejam.

Tiba-tiba terdengar suara kendaraan berhenti, yang sepertinya truck, karena mesinnya terdengar sangat ranying yang segera menghentikan aktivitasku dan ayah mertuaku itu. Sejenak kami terdiam dan kemudian suara truck itu terdengar menjauh. “Di kamar mandi aja kung” ajakku kemudian beranjak ke belakang.

Sesaat kemudian kami berdua pun sudah berada di kamar mandi utama rumahku. Aku kemudian duduk di tepian bathub sambil melepas ikatan rambutku yang rusak Ketika aku melepas dasterku tadi. Tanpa dikomando, lelaki tua itupun berdiri pas di depanku seolah menyuruhku mengulum penisnya lagi. “Ayo Nuk… ini mau tak keluarin” katanya dengan suara parau.

Belum lima menit aku menjilati kemaluan lelaki itu, tangan yang tadinya hanya mengusap-usap rambutku kini memegangi kepalaku dan menggerakkan pinggulnya maju mundur.”ooohhh…. nuk,,, aku mau keluar…nim au keluarrr….”rintihnya. aku panik juga kala itu, maklum aku sama sekali belum pernah menelan sperma laki-laki meski punya suamiku sendiri. Tapi ternyata lelaki itu menaruk penisnya keluar dari mulutku lalu mengocoknya sendiri dan mengarahkannya ke payudaraku. “Aaaaaacccchhh…. Aaaaccchhhh….. accccchhhhh” jeritnya. Kulirik sebentar wajah mertuaku itu yang sedang menatapku tajam penuh nafsu tapi akhirnya pandanganku kualihkan ke penisnya.

Kulihat cairan putih mulai menetes melalui lubang kecil di kepalanya penisnya yang terlihat memerah. Sangat kental sekali disusul tetesan yang kedua yang sama kentalnya. Tiba-tiba.. “Cret… Cret… Cret… Cret… Cret… Cret… Cret… Cret… Cret…” lebih dari sepuluh kali penis tua menyemburkan spermanya. Banyak sekali. Ada yang kental, ada yang agak kental bahkan yang encerpun juga ikut keluar. Muncratanya pun sangat keras sampai kemana-mana tapi Sebagian besar menghantam payudaraku yang menimbulkan sensasi tersendiri bagiku. Adegan yang sebelumnya hanya pernah kulihat di film-film saja. Kuusap-usap sendiri payudaraku hingga tampak mengkilat terkena cairan hangat itu. Wangi sabun dan pengharum kamar mandi pun tak kuasa menahan aroma khas air mani ayah mertuaku itu.

Akhirnya aku kemudian memberanikan diri untuk menjilat lagi penisnya yang masih berlepotan sperma yang sedikit tertelan olehku. Terasa sedikit asin. Kemudian ia menarik tubuhnya dan mengarahkan kepalanya kepadaku dan mengecup keningku. “Makasih ya Nuk” katanya pelan dengan suara yang masih parau. Laki-laki itu benar-benar pandai menyanjungku. Memperlakukanku seperti orang yang sangat dicintai dan disayanginya. Bukan hanya sebagai tempat pelampiasan nafsu belaka.

“Sini kung, Ninuk yang bersihkan” kataku kemudian mengambil tongkat shower dan sabun. “Bentar Nuk” katanya. Ternyata ia kemudian kencing di wc duduk yang ada di sebelahnya. Baru kali itu juga aku melihat laki-laki pipis.. laki-laki dewasa maksudku. Kalau anak-anakku sering. Setelah semuanya selesai, aku minta lelaki itu untuk keluar karena aku akan sekalian mandi dan mengganti pembalutku yang kurasakan sudah akan tembus. Ia pun menurutinya.
Read More

𝐃𝐞𝐦𝐢 𝐀𝐥𝐚𝐬𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐬𝐞𝐡𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐄𝐩𝐢𝐬𝐨𝐝𝐞 𝟒

 


Malam harinya, semua masih sesuai rencana. Ayah mertuaku menjawab dia akan datang jam 8 an karena masih ada pertemuan RT di tempatnya. Si Inah pun sudah kusuruh pulang ke Pare sore tadi Ketika aku pulang. “Terserah nanti alasan apa. Yang penting kamu pulang” kataku. “Iya bu, kebetulan juga katanya tadi siang bapak juga ngabari kalau nggak enak badan” jawab pembantuku itu.

Menjelang Isya, setelah membatu anakku mengerjakan tugas rumahnya, aku segera menutup semua gorden dan pintu rumahku. Pagar depan sengaja tidak kugembok karena nanti ayah mertuaku akan datang.

Beberapa saat Ketika aku sedang mencuci piring dan gelas makan malam, terdengar sorak sorai kedua anakku. “Horee, papa pulang… papa pulang” teriak mereka yang terdengar olehku. “Hah, mas Hendra pulang?? Kok ga biasanya, ini baru hari selasa” pikirku agak bingung dan terkejut.

“Ndak jadi! Mas Hendra pulang” pesanku ke ayah mertuaku, segera kuambil tindakan. Setelah kupastikan terkirim, aku segera menghapus chat-chat dengan ayah mertuaku itu. Segera setelah menenangkan diri aku pun menuju ruang tamu. “mas… sapaku ke suamiku dan mencium tangannya.

“Kopi ya.. oh ya untuk makan malam, bentar ya aku masakin dulu. Tadi ga ada yang sisa” kataku. “Ga usah masak udah… kalo kopi iya. Biar nanti nunggu orang jual tahu tek telor lewat aja. Aku mandi dulu” jawab mas Hendra.

Menjelang jam 9 malam, aku pun masuk ke kamarku. Seperti biasanya kalau pulang, mas Hendra tidur dengan anak-anak. Baru sekitar tengah malam atau hampir subuh barulah mas Hendra pindah ke kamarku.

Sekitar pukul setengah 12, mas Hendra membangunkanku. “Iya mas, sebentar aku ke kamar mandi dulu” jawabku kemudian beranjak ke kamar mandi untuk bebersih dan menyiapkan diriku melaksanakan tugas sebagai istri malam itu.

Seperti biasanya pula, setelah subuh mas Hendra segera berangkat lagi. Expander putih yang sudah sekitar sepuluh menitan menunggu di depan rumah segera melaju menembus jalanan yang masih sepi. Aku segera masuk ke dalam rumah dan menghempaskan tubuhku di sofa ruang tamu.

Aku kemudian merenungkan semua kejadian yang kualami seminggu ini. Batinku pun berkecamuk. Sebenarnya apa yang sedang kucari. Kepuasan? Tadi waktu dengan suamiku aku juga bisa mendapatkan kenikmatan. 

Setelah lama aku berpikir, akhirnya aku putuskan, bahwa tetap semuanya hanya untuk Kesehatan ayah mertuaku, tidak lebih. Kalaupun aku menikmatinya itu pun bonus saja. Yang penting aku tidak akan berusaha mencarinya lagi bersama kakek anak-anakku itu atau bahkan memintanya seperti apa yang kulakukan kemarin. 

Biarlah semua seperti apa adanya. Rasa bersalahku juga sedikit tertutup dengan apa yang dilakukan mas Hendra ke Inah Ketika aku sedang datang bulan.

Lamunanku buyar Ketika si Bayu, anakku keluar kamar. “heyy… sudah bangun sayang?” tanyaku lalu menghampirinya. “Ayo mandi” ajakku. Dan dimulailah keriwehan pagi sebelum anak-anakku berangkat sekolah hari itu.
Aku masih memakaikan sepatu di Bayu ketika ayah mertuaku datang untuk mengantarkan anak-anakku ke sekolah, sedangkan anakku yang pertama langsung berlari keluar rumah. “Kung, habis ini sarapan disini ya. Setelah antar anak-anak” kataku sambil menyerahkan tas sekolah si Bayu. Seperti biasanya tanpa banyak kata-kata, lelaki itu hanya mengangguk mengiyakan. Belum sempat menutup pagar datanglah di Inah yang kemarin kusuruh pulang ke Pare dibonceng seorang ojek online. Biar si Inah aja udah yang tutup pagarnya, pikirku lalu masuk ke dalam rumah.

“Inah, duduk dulu sini” kataku Ketika pembantuku itu memasuki rumah. Ia lalu menaruh tas bawaannya dan segera duduk. Akhirnya aku mengobrol berdua dengannya. Aku menceritakan semua kejadian kemarin dan semua yang ada di pikiranku. “Ya kalo gitu, kasihan juga kung bu… kalo ibu nggak mau lagi” kata si Inah. “Lho nggak gitu juga Nah…” aku menyela omongannya. “tetep kok. Tapi semuanya benar-benar hanya untuk kesehatannya aja Nah. Nggak lebih dari itu Dan aku ga akan cari kepuasan dari kung seperti kemarin. Istilahnya sama kayak mas Hendra ke kamu. Pas aku lagi mens aja kan??” jawabku panjang. Ia pun mengangguk seperti mengerti dan menyetujuinya. “Ya udah. Yang penting mas Hendra ama anak-anak jangan sampe tahu ya!” kataku menutup pembicaraan itu. Kemudian wanita itu beranjak ke dapur.

Sekitar 5 menit kemudian, baru saja aku berdiri dari tempat dudukku, kulihat ayah mertuaku datang. “Inaah… buat kopi untuk bapak!” perintahku dengan suara agak keras, maklum si Inah sudah sibuk di belakang.

“lho Inah ada ta Nuk? “ tanya ayah mertuaku ketika masuk dan duduk di ruang tamu. “Iya kung. baru aja datang dari Pare. Sarapan ya kung? sambutku kemudian juga duduk. “Nggak. Tadi udah makan kok. Tak pikir tadi kamu suruh aku kesini ada apa..” jawab lelaki itu. Kemudian datanglah si Inah membawa secangkir kopi panas dan menaruhnya di meja.

“Gimana kung? Hari ini kung pengen dikeluarin nggak hari ini?” tanyaku sambil mengikat rambutku yang sebahu dengan karet sesaat setelah pembantuku berjalan masuk ke belakang. “kan ada si Inah” jawab lelaki tua singkat sambil menyalakan rokoknya. “Nggak apa-apa kung. si Inah sudah tahu kok. Bahkan waktu pertama kali hari kamis kemarin” jawabku. “Loh iya ta? kok bisa? Tanyanya balik, ia terlihat terkejut mendengar jawabanku.

“Sebenarnya Inah datang siang itu kung, dia kan punya kunci rumah. Tapi setelah masuk, ia akhirnya keluar rumah lagi” jawabku. “Tapi ga papa kan Nuk? Desak lelaki tua itu. “Aman kok kung” jawabku singkat. Kulihat raut wajah lelaki itu tampak lega. Beberapa saat kami pun terdiam. Kulihat dia masih menikmati sisa-sisa rokoknya yang tinggal sedikit.

“Gimana kung? kalau jadi, biar Ninuk mandi dulu” tanyaku memecah keheningan. “nggak usah mandi Nuk. Nanti aja mandi nya sekalian” kata lelaki tua itu sambil menaruh puntung rokoknya di asbak. Kucerna pelan-pelan kata-kata lelaki tua itu. Berarti benar ia ingin berhubungan badan denganku tetapi aku tidak perlu mandi dulu.

“Ninuk malu lah kung, bau kecut ini hehe” jawabku. “Ga papa” jawabnya singkat padat dan jelas sambil menyeruput wedang kopinya. “ya udah” sahutku kemudian aku menuju dapur. “Inah, siapkan kamar tamu ya!” perintahku kepada pembantuku. “Kung mau….” Tanyanya yang langsung kujawab. “Udah, jangan banyak tanya.. trus nanti kamu ke halaman depan ya… jaga-jaga kalo ada yang datang” kataku. “Baik bu” sahutnya lalu melaksanakannya. Aku kemudian kembali ke kamar untuk mengambil pelumas khusus pasutri dan sebuah handuk kecil. “Di kamar tamu aja ya kung” kataku ketika melihat ayah mertuaku masuk ke kamarku. “Oh.. iya” jawabnya singkat kemudian berlalu.

Beberapa menit kemudian aku sudah berada di depan pintu kamar tamu yang terletak di samping rumah, tembusan dari garasi. Kulihat ayah mertuaku duduk di tepian ranjang yang tampak rapi. Segera kututup pintu kamar dan menggerendelnya dari dalam. Lelaki tua itu tampak berdiri dan mulai melucuti pakaiannya. Sadar AC kamar masih belum hidup, aku segera meraih remote dan menyetelnya di suhu yang tidak begitu dingin. Kudapati lelaki itu sudah telanjang bulat ketika aku meletakkan remote AC di tempatnya.

Melihat penisnya yang masih lemas aku lalu jongkok pas di hadapan lelaki itu dan mulai mengulumbya. Sentuhan magis mulutku langsung membuat kemaluannya langsung berdiri tegak dan gagah. “Aaaahhhh… sttttssss…. Ooooccchhhh…” mulut lelaki itu meracau mengiringi kenikmatan yang kusuguhkan melalui permainan oralku. Kedua tangan lelaki iku kemudian membelai lembut rambutku yang masih terus menghisap-hisap kemaluannya. Kadang-kadang bijinya pun tak luput dari permainan lidahku. Jujur saja kala itu aku juga terangsang berat, cairan vaginaku tidak bisa kubendung, tapi aku masih berusaha untuk tidak menikmatinya.

Setelah beberapa lama kemudian lelaki itu memegang pundakku dan menarik tubuhnya kebelakang untuk melepaskan cengkraman mulutku di penisnya. Aku kemudian berdiri. “Dimasukin kung?” tanyaku pelan. Sebuah pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu kulontarkan dan hanya dijawabnya dengan sebuah anggukan.

Tanpa ragu aku segera melepas daster warna fanta yang kukenakan. Ikatan rambutku sempat terkoyak sehingga aku pun melepas dan sekalian mengurainya. Kulihat lelaki tua itu tetap berdiri sekitar 2 meter di depanku. Tangannya mengocok-ngocok penisnya sendiri. Mungkin dia tidak ingin penisnya turun.

Tapi baru aja bra kremku terlepas, payudaraku sudah disosor lelaki itu. Putingku yang sudah mengeras dijilati bergantian dengan remasan tangannya. Kemudian mulut dan lidah ayah mertuaku itu mulai menjelajah ke atas menuju leherku. Memberinya keleluasaan, aku menengadahkan kepalaku. Beberapa kali ia berusaha mencium bibirku tapi seperti sebelum-sebelumnya, selalu kutolak. Aku tak ingin terjebak dalam romantisme dengan lelaki itu.

“Masukin kung” bisikku kemudian aku nerebahkan tubuhku di atas kasur dan mengakangkan kedua pahaku berharap ia langsung ke permainan inti. Akan tetapi lelaki itu malah menjilati vaginaku dengan liar. Tak hanya itu lubang anusku pun tak luput dari jilatannya yang memberiku sensasi tersendiri. Aku yang tadinya nggak PD karena belum mandi, akhirnya percaya perkataan lelaki itu kalau belum mandi bukanlah masalah baginya.

Aku yang masih berusaha untuk tidak menikmati permainan itu segera memegang kepala ayah mertuaku itu seakan menyuruhnya berhenti menjilatiku. “Masukin kung” perintahku yang kemudian diturutinya. Ia lalu merayap di atas tubuhku. Segera kuraih batang kemaluannya dan kuarahkan pas ke liang kewanitaanku sehingga dengan sekali dorong, penisnya langsung terbenam, maklum juga vaginaku sudah basah kuyub.

Ia lalu menyodok-nyodokkan penisnya melalui Gerakan pinggulnya yang berirama semakin lama semakin cepat. “Sttttsss…. Keluarin kung… keluarin” pintaku dengan suara serak. Kupandangi wajah ayah mertuaku itu. Ia lalu menghentikan gerakannya. “Kenapa Nuk?? Kamu ndak pengen dapet tah?” tanyanya sambil mengatur nafasnya yang tersengal. “Ga usah pikirin Ninuk kung… yang penting punya kung keluar” jawabku. “Oh… gitu” gumamnya kemudian masih berusaha mencium bibirku. Aku segera menolehkan wajahku ke kiri untuk menghindarinya sehingga ia pun hanya menciumi kuping dan leherku.

Sesaat kemudian ia pun mulai beraksi lagi. “Plak plak plak plak” suara benturan tubuh kami mengiringi jeritan per-per pegas spring bed yang jarang sekali dipakai itu. Hampir sepuluh menit ia terus menyetubuhiku dengan irama yang konstan tanpa jeda sekalipun bahkan ketika sesekali ia menghisap putingkupun, pinggulnya masih bergoyang maju mundur. Aku yang sedari tadi berusaha tidak menikmati permainan itu, tidak mampu lagi menahan birahiku lagi. Tak bisa kupungkiri, gesekan-gesekan benda hangat laki-laki tua itu begitu menyentuh saraf-saraf di dinding vaginaku terasa sangat nikmat sekali. Persetan dah denga napa yang kurenungkan tadi pagi. Aku tak kuasa lagi membendung gairahku untuk meraih puncak kenikmatanku. Kupegang erat tangan lelaki itu Ketika tubuhku mengejang hebat. “Oooooooooccccchhhh” jeritku Ketika orgasmeku tiba. Kepalaku sampai menengadah. Laki-laki itu pun menghentikan gerakannya. “terus kung… terus kung…” Pintaku agar ia tidak berhenti yang segera diturutinya.

Semenit lebih orgasmeku berlangsung hingga akhirnya tubuhku terasa Lelah. Laki-laki itu masih diatasku dengan penisnya yang tertancap di vaginaku. “Sebentar kung” kataku. Seakan mengerti ia lalu merebahkan tubuhnya di sisiku. Tidak pakai lama akupun segera menaiki tubuh lelaki itu. Dalam sekejab kamipun sudah beradu biragi lagi dalam posisi WOT. Goyanganku semakin liar dan cepat seiring birahiku yang kembali menggelora. Aku terus bersemangat apalagi kulihat dia sepertinya berkonsentrasi untuk mencapai klimaksnya. Sedetik kemudian ia membalikkan tubuhku Kembali ke posisi missionary. “Keluar kung??” tanyaku yang tidak dihiraukannya. Ia terus menyodok-nyodokkan penisnya di dalam vaginaku.

“enak kung…. keluarin kung…. enak tempikku kung??” entah kesambet setan darimana sehingga mulutku mengeluarkan kata-kata liar itu sambil mengusap-usap wajah ayah mertuaku. “Iya nuk ini mo keluar aku… ini mau keluaaaar….. ooooooooocccchhhh” teriaknya. “cret… crettt… crettt… crettt” air mani lelaki itu muncrat di dalam liang vaginaku. Kemudian ia ambruk di sebelahku sambil mengatur nafasnya yang tersengal.

Sejenak kami terdiam, masing-masing masih menikmati sisa-sisa kenikmatan yang kami rasakan. “Makasih ya Nuk” katanya pelan. “Hah” aku sempat terkejut mendengar kata-kata itu. Aku hanya tersenyum. “Dari 3 wanita yang pernah gini sama aku, kamu yang paling hebat” Katanya lagi. Entah kenapa di saat itu tidak seperti biasanya yang minim kata-kata, ia memulai pembicaraan. Padahal di dua kali kita berhubungan badan, selesai ya selesai. Seperti seseorang yang meminta pelayanan ke seorang PSK.

“Hah, 3 orang… aku Kembali terkejut” kok 3 0rang kung siapa aja? tanyaku. “Iya, ibunya Hendra, Jannah ama kamu ini” jawabnya. “Bulik Jannah?? Ibunya Inah? “ tanyaku. “Iya Nuk.. pas Ibunya Hendra datang bulan, dia yang melayaniku” jawabnya santai. “Ohh jadilah turun menurun… mas Hendra juga gitu ke Inah” pikirku.

“Itu juga yang buatku ga mau waktu Hendra tawarin Inah untuk gini sama aku. Masak habis ibuknya, anaknya. Lagian iya kalo Inah mau. Aku ga percaya ama Hendra” jawabnya. “Kamu tau nggak Nuk… ini kayak mimpi jadi nyata buatku” katanya lagi. Aku kemudian duduk di ranjang agar sperma laki-laki itu segera keluar dari rahimku. “Dulu, waktu Hendra awal-awal kawin sama kamu, aku sering bayangin kamu waktu aku gini sama ibunya Hendra” jelasnya Panjang. “Kok bisa sih kung? ibu gimana? Tanyaku agak geli mendengar perkataan lelaki itu.

“Habisnya kamu cantik… kayak Dona Harun” katanya pelan yang membuatku terbang setinggi langit. Aku tersenyum-senyum sendiri. Kamipun terdiam. “Kalo Inah mau kung?” tanyaku. “Ya nggak maksudku, kalo aku juga mens kan ga bisa kayak gini. Mungkin kung bisa sama Inah juga” kataku. Ia hanya tersenyum.

Entah mendapat ide darimana, kala itu tiba-tiba ingin lihat gimana kalau kung ini gituan ama si Inah ini. Mungkin kayak liat film porno live secara langsung. Kulirik jam dinding, masih menunjukkan 08.15. Masih lama si Bayu pulang sekolah. Kemudian kuambil HP ku. “Nah, kunci semua pintu, termasuk pagar depan. Gembok. Trus bawa air mineral yang ada di kulkas, 4 botol. Bawa kesini” kukirimkan pesan whatsapku.

Lama tidak ada balasan, Ketika akan mengambil androidku lagi ternyata terdengar pintu kamar diketuk dari luar. “Siapa Nuk?? “ tanya ayah mertuaku seperti terkaget. “Siapa lagi kung, ya si Inah. Kusuruh ambilkan air. Haus” jawabku kemudian membuka pintu kamar masih dalam keadaan telanjang bulat. Si Inah berdiri di depan pintu dengan sebaki yang penuh dengan air mineral botolan. “Taruh meja aja situ Nah” perintahku yang segera dilakukannya. Ayah mertuaku menutup bagian kemaluannya dengan dasterku, sepertinya dia malu karena ada si Inah ini.

Kemudian kututup pintu kamar itu lagi, menyisakan kami bertiga di dalamnya. “Nah itu loh, kung pengen juga ama kamu. Kamu mau kan??” tanyaku begitu Inah selesai menaruh barangnya di meja kamar. “Loh iya ta bu?” tanya inah. “Iya… ayo cepet lepas bajumu!” perintahku sambil meneguk air putih guna menepis dahagku.

“Apa-apaan kamu Nuk” kata ayah mertuaku sambil tersenyum. “Aman kung” jawabku. Aku dan ayah mertuaku memandangi pembantuku itu yang mulai melepas bajunya satu-persatu sampai telanjang bulat. “Kamu mau Nah” tanya kung akhirnya yang dibalas dengan anggukan. Sejenak kuamati tubuh Wanita yang usianya baru di awal 20 tahunan, 22 atau 23 mungkin. Masih padat meskipun dia sudah mempunyai anak 1. Tingginya agak lebih pendek dariku. Wajahnya juga nggak cantik tapi juga nggak jelek. Tapi itu juga penilaian dari seorang Wanita. Payudaranya jauh lebih besar dari punyaku. Pentilnya agak besar seperti kelereng yang berwarna coklat tua. Maklum juga kulitnya juga seperti wanita jawa pada umumnya, tapi si Inah ini juga mulus sekali rupanya. Pikiranku menerawang gimana kalo sewaktu mas Hendra buang hajat ke si Inah ini. Ketiakknya juga dibiarkan ditumbuhi bulu, persis sama sepertiku. Memang kalau setahuku sih, ibu-ibu rumah tanggaan, nggak seberapa memperdulikan urusan ketiaknya. Toh juga yang liat bakalan orang dalam semua.

Lamunanku terhenti ketika ternyata ayah mertuaku sudah mulai menindih tubuh si Inah. “The show begins… pikirku. Aku sangat menikmati live show pergumulan itu bahkan membuatku panas dingin. Berbagai macam gaya mereka lakukan. Tak sadar aku pun mulai mengucek pepekku sendiri di sebelah mereka. Si Inah ini terlihat sering memejamkan matanya. Nggak tahu kenapa.

Hampir setengah jam mereka beradu kelamin hingga akhirnya waktu di posisi WOT ayah mertuaku meminta si Inah untuk berhenti. “Aku mau keluar” gumamnya. Memang dia biasanya begitu, agar dia bisa konsentrasi untuk mencapai klimaksnya. Tapi bukannya ke Inah, ayah mertuaku malah merayap di atas tubuhku. Aku yang sudah sangat terangsang itu langsung mengakangkan kedua kakiku. Tak ayal, beberapa menit kemudian lelaki itu pun memuntahkan spermanya lagi di dalam tubuhku. “Gilaa… gilaaaa…” gumam ayah mertuaku sambil menghempaskan tubuhnya di kasur. Memang sebuah sensasi baru lagi buatku. Apalagi buat ayah mertuaku yang sekaligus bisa menikmati tubuh 2 wanita.


Read More

𝐃𝐞𝐦𝐢 𝐀𝐥𝐚𝐬𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐬𝐞𝐡𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐄𝐩𝐢𝐬𝐨𝐝𝐞 𝟑

 


Setelah itu aku korek banyak informasi dari si Inah pembantuku itu, semua dia ceritakan sampai pernah juga diminta untuk melayani kung juga. Tapi kung nya yang ga mau. Entah kenapa padahal si Inah ini mau-mau aja, katanya. “Kamu kok gampang mau sih Nah?? Tanyaku. 

Ia juga bercerita kalau keluarga kami, mulai dari orang tuanya mas Hendra sangat berjasa kepada keluarga si Inah ini. Dulu ibunya Inah ini juga ikut Kung sebelum dia meninggal. Nah sebelum uti nggak ada, Inah ini ikut juga mennggantikan alm. ibunya.

“trus, kenapa kok kung ga mau ama kamu tapi kok mau sama aku ya Nah? Tanyaku. “Ya iyalah bu…ibu cantik, putih bersih sexy lagi… Inah?? Ya ga bisa dibandingin lah bu” jawab pembantuku itu. “Lha mas Hendra kok mau sama kamu?” tanyaku lagi. “Ya ga tau bu… kepaksa paling… ga ada lagi… atau bosen ama yang putih2… jadi ambil yang coklat-coklat” timpalnya sambil tersenyum. “Hush… sialan kamu” hardikku.

“Biarlah semua seperti biasanya Nah… aku akan tetep pura-pura nggak tau kalau waktu aku datang bulan, mas Hendra minta ke kamu” kataku sebagai penutup di pembicaraan itu. Aku juga tersadar dan dapat kujadikan bahan intropeksi, kuingat kalau sedang mens, jangankan disuruh apa-apa, kadang disentuh pun aku marah, sering juga aku tidur dengan anak-anakku di kamar mereka. Cemburu? 

Ia iyalah, aku sayang sama mas Hendra. marah? Ya gimana lagi, aku pun juga jadi penyebab semuanya. Dan lagi minggu kemarin aku juga main gila ama mertuaku sendiri. Anggap aja impas, hehe. Pikiranku pun kembali terbuka. Rasa bersalah dan penyesalan yang beberapa hari ini membebani benakku terasa longgar, bahkan aku bakal ga menolak kalaupun jung memintaku lagi. Toh juga akan berpengaruh baik ke kesehatannya.

Lelaki itu langsung pulang setelah mengantarkan anak-anakku pulang sekitar jam setengah 1. Seperti biasanya masih minim dengan kata-kata. “ma… ma aku anterin ke rumah kung maa” rengek Bayu ketika baru saja aku menaruh tubuhku di sofa. “Lho tadi kok kamu dianter pulang kalo mau dirumah kung. ada apa sih? Tanyaku. 

“Pokoknya anterin… sekarang… kalo nggak, Bayu jalan kerumah kung” paksanya. “Iya-iya sayang… bentar dulu.. mama ganti baju dulu”Jawabku sambil mengambil jaket dan hijab sebagai penambah penutup tubuhku yang dari tadi memakai daster tanpa lengan.

Lima menit kemudian aku dan si Bayu sudah di dalam mobil menyusuri jalanan kota yang sedang panas-panasnya. Belum juga aku turun Ketika kuparkir roda 4 ku di halaman rumah yang tampak sederhana tapi bersih itu, anakku sudah keluar dan pamit kalau dia mau kerumah temannya di dekat situ. “Wah… bakal kejadian nih” Langsunglah timbul pikiran ngeresku. Aku segera masuk ke rumah itu.

“Anter Bayu ya Nuk? Tanya mertuaku menyambut kedatanganku. “Iya kung. tapi tadi langsung keluar, ga tau kemana” jawabku. “oh iya kayaknya dia janjian sama temennya” sahut lelaki itu. Masih malu dengan kata-kata, akhirnya aku ambil HP ku dan mengirim pesan ke Ayah mertuaku. “Jangan nuk. 

Ga tau si Bayu nanti pulang jam berapa. Takut tiba-tiba pulang” jawab lelaki itu. Bener juga sih. Tiba-tiba sebuah mobil diesel berhenti tanpa mematikan mesin di depan rumah dan keluarlah seorang Wanita yang berjalan cepat masuk ke halaman rumah. “Bu Harjo” kata ayah mertuaku yang kemudian berjalan keluar rumah. Terdengar mereka bercakap-cakap. Mobil itu terdengar bergerak menjauh ketika ayah mertuaku masuk dan menutup pintu ruang tamu yang sejak tadi terbuka.

“Bayu diajak bu Harjo dan pak Harjo ke Ngancar, katanya ada obyek wisata baru disana. Pulang paling jam lima an sampe sini” kata lelaki itu sambil menutup pintu ruang tamu. Sebuah kode keras buatku. Tanpa basa basi aku langsung berdiri dan menuju kamar.

Satu-persatu pakaianku kulucuti sampai aku telanjang bulat. Lelaki itu ternyata juga sudah melepas bajunya. Sambil masih berdiri ia lalu menjilati payudaraku dan menghisap putingnya bergantian kanan dan kiri. Kupejamkan mataku menikmati permainan lelaki itu. 

Kemudian lelaki itu perlahan mendorongku ke atas ranjang. Kubuka kedua kakiku ketika tubuhku sudah terlentang di atas Kasur. Kupikir ia segera mengeksekusiku, tapi ternya nggak. Ia lalu menjilati vaginaku. Lidahnya bermain-main di bagian klirotisku yang membuatku menggelinjang keenakan. Permainan baru yang tidak kudapatkan waktu pertama kali ML dengan lelaki itu. Tak ayal beberapa menit kemudian aku pun mencapai orgasmeku hanya lewat permainan mulutnya. 

Seperti biasa, tanpa banyak kata-kata ia lalu mengarahkan batang kemaluannya kearah liang surgaku. “sebentar kung” kataku lalu aku pun menungging. Posisi bercinta favoritku, mas Hendra pun ga pernah bertahan lama di posisi ini.

Ia pun langsung menggenjotku dengan kecepatan tinggi dengan posisi masih berdiri di tepi ranjang. Aku pun menikmati permainan itu. Kadang-kadang lelaki itu meremas-remas payudaraku. Sekitar 10 menit kemudian aku rasakan ia mempercepat gerakannya. “ooooooocccchhh” jeritnya tapia gak tertahan. 

Air maninya muncrat dalam vaginaku. Sial. Padahal aku pun tadi sudah mau mencapai klimaksku juga tapi permainan sudah selesai. Aku kemudian berdiri di sebelah ranjang dengan kaki agak mengangkang, agar sperma yang keluar dari liang kewanitaanku tidak kena sprei. “Kung tolong ambilin pembalut di laci dashboard mobil” pintaku ke lelaki itu yang sudah selesai mengenakan pakaiannya. 

Aku pun segera ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Beberapa saat kemudian aku pamit. Biar nanti si Bayu diantar kungnya. “nanti malam harus lagi, kalau nggak, Ninuk ga bakal mau lagi!!” pesan yang kukirim ke ayah mertuaku sesaat sebelum meninggalkan rumahnya
Read More

𝐃𝐞𝐦𝐢 𝐀𝐥𝐚𝐬𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐬𝐞𝐡𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐄𝐩𝐢𝐬𝐨𝐝𝐞 𝟐

 


Hampir setengah jam aku masih terkulai di ranjang. Tubuhku masih lemas. Kepuasan seksual yang barusan aku dapatkan mulai berganti dengan penyesalan dan rasa bersalah. Bagaimanapun dan dengan alasan apapun, berhubungan intim dengan orang lain meskipun itu mertuaku sendiri adalah hal yang tidak dibenarkan. 

Pikiranku mulai berkecamuk seiring cacing-cacing di dalam perutku yang seakan meronta membelit rasa lapar dan haus. Maklum, permainan barusan sangatlah menguras energi. Dinginnya AC yang tadi tak mampu membendung keluarnya keringat, sekarang hawanya mulai menusuk tubuhku yang masih tidak terbalut apa-apa. Lelehan sisa-sisa air mani ayah mertuaku masih terasa meleleh keluar di vaginaku. Aku kemudian beranjak ke kamar mandi untuk bebersih.

Hari itu semuanya tampak seperti biasanya, setelah mengantarkan anakku pulang sekolah, ayah mertuaku pun pulang. Tak ada pesan atau kata-kata seolah-olah tidak terjadi apa-apa sebelumnya. “Iya” balasan wa ayah mertuaku Ketika aku memintanya untuk menghapus pesanku tentang mengocok penisnya tadi pagi yang menjadi awal semuanya. Singkat, padat dan jelas. 

Hanya saja ada hal yang janggal tetapi tidak begitu kurasakan. Si Inah, pembantuku, sebelum dating juga mengirim pesan kalau nanti dating jam 8 atau 9 malam. Hal yang tidak biasa dilakukannya. Biasanya dia kalau nginep di pare barulah bilang.

Pun keesokan harinya juga demikian. Semuanya tampak biasa saja. Hanya pikiranku saja yang masih dihantui perasaan bersalah. Mas Hendra, suamiku pun malah sepertinya merasakan Ketika berhubungan intim denganku jumat malam. Tetapi pertanyaanya bisa kutepis dengan aku berusaha melayaninya dengan sebaik mungkin.

Hingga akhirnya di hari selasa pagi, ayah mertuaku kirim pesan, tanya apa aku mau mengocoknya lagi. “Maaf kung, ga bisa ada Inah” jawabku dengan alasan ada pembantuku itu yang sebenarnya aku masih bimbang untuk melakukannya lagi. “Oh iya” jawabnya singkat padat dan jelas lagi. 

Dan setelahnya tidak ada pembicaraan lagi di pagi itu. aku masih saja memikirkan kejadian minggu lalu. Antara rasa bersalah dan keinginan melakukannya lagi. Bagaimanapun, permainan di hari kamis kemarin, sangatlah membekas dalam.

“Bu…. Buuuuuu…” panggil Inah yang membuyarkan seluruh lamunanku. “Eh, apa nah” jawabku seadanya. Kulihat Wanita itu tersenyum sambil menyapu lantai tepat di depanku. “Apaa Nah” kataku lagi dengan suara agak meninggi. “Ibu ngelamun aja… mikirin kung yaaaa” ledeknya yang sangat menusuk ulu hatiku. 

“Hah?? Apa maksudmu ? tanyaku. “Inah tau waktu hari kamis kemarin ibu ama akung. Makanya malemnya Inah bilang dulu Ketika mau balik kesini” jawab pembantuku itu yang membuat seluruh tubuhku lemas. “eee… duduk dulu sini…” kataku bingung juga mau ngomong apa. “Kok bisa kamu tau?” tanyaku.

“Ibu lupa ya, kalo Inah punya kunci rumah? Sempet bingung juga, ada motornya akung, tapi kok pagar rumahnya digembok. Ya tetep aja Inah masuk, eh ternyata ada pertarungan gaya bebas di kamarnya ibu, pintu ga ditutup juga… Inah ngintip sih bentar, eh ternyata sama kung, ya udah Inah keluar lagi. 

Takut ganggu hehe” jelasnya Panjang yang semakin membuatku tertunduk lesu. “Jangaan,,”kataku. “Iya buu… amaaan kok, soalnya sama kung. kalo ama yang lain, bakal Inah laporin ke bapak” potong pembantuku itu. “Janji ya nah??” tanyaku lagi meyakinkan. “Janji buuuu.” Ga papa lagi… “ sahutnya. “maksudmu?” tanyaku. Ia tampaknya berpikir. Agak lama kami terdiam sampai akhirnya si Inah menghela nafas panjang.

“Ibu pasti punya rasa bersalah ya… ke bapak… jadi galau dan ragu” kata si Inah yang kujawab dengan anggukan. Lama pembantuku itu terdiam. “bu… setelah saya cerita ini… terserah ibu mau apa… mau usir saya, mau pecat saya atau mau bunuh saya sekalipun saya pasrah. 

Tapi tolong jangan sampai kenapa-kenapa di keluarga ini” katanya membuatku penasaran. Pikiranku sudah mulai macam-macam. Apa pernah mas Hendra ngentod si Inah ini.

“iya bu” pernah” jawab pembantuku seakan tahu apa yang akan kutanyakan. “Hahhh? Kapan?kok bisa?” tanyaku dengan pikiran yang semakin bergemuruh. “Ibu ingat dulu waktu ibu sama bapak bertengkar sampai-sampai ibu bawa anak-anak pulang ke Malang?” jawab si Inah yang membuatku menerawang mengingat Kembali kejadian beberapa bulan yang lalu.

“nah itu, kung datang dan memarahi Bapak habis-habisan, gara-gara ibu ga mau keluarin punya bapak waktu ibu mens aja kejadian seperti itu. Sampai bapak bilang mau kawin lagi atau apa. Inah ada dirumah waktu itu bu” jelasnya. “Terus?” tanyaku lagi. “inah dipanggil kung dan terang-terangan kung suruh bapak ginian sama aku” jawabnya sambil menunjukkan tangannya yang melambangkan hubungan suami isteri. “trus kamu mau?” tanyaku lagi. 

“Saya pasrah bu” jawab pembantuku itu. “jadi setelah itu, kalau ibu waktunya datang bulan, bapak ya… tapi ga lama kok bu… kayak buang hajat aja” yang penting bapak juga ga emosi, ibu yang biasanya waktu mens juga emosian, tenang semua. Daripada bapak jajan diluar bu. Biar Inah yang bantu” jelasnya Panjang yang membuat pikiranku entah kemana. Menerawang berbagai kenyataan di dunia yang tak seindah cerita di sinetron. Semuanya terasa dihalalkan dengan apa yang dinamakan kebutuhan seks belaka


Read More

𝐃𝐞𝐦𝐢 𝐀𝐥𝐚𝐬𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐬𝐞𝐡𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐄𝐩𝐢𝐬𝐨𝐝𝐞 𝟏

 


Terdengar suara pagar rumahku terbuka yang membuatku penasaran siapakah yang datang di jam segini. Aku berdiri dari sofa ruang tengah yang baru saja aku duduki dan beranjak ke depan. Segera aku buka pintu utama rumah Ketika aku melihat bahwa yang datang adalah anakku yang kedua yang masih duduk di bangku PAUD. “Lho kok sudah pulang sayang” sambutku agak keheranan. 

Memang biasanya dia pulang sekolah dijemput oleh kakeknya. Biasanya baru pulang menjelang maghrib, atau kadang siang setelah kakaknya yang duduk di kelas 4 SD pulang. “Iya mah.. ngantuk” katanya langsung setengah berlari masuk ke kamarnya.


“Iya nggak tau tadi kok minta pulang, katanya ngantuk” kata seorang laki-laki berusia hampir 60 tahunan yang tidak lain adalah ayah mertuaku sambil menyerahkan barang bawaan Bayu, anakku kepadaku. “Oh ya, kung sudah sarapan? Itu ada sambal tumpang” tawarku. 

Aku memang memanggil ayah mertuaku “Kung” alih-alih untuk membiasakan panggilan anak-anakku yang merupakan cucunya.

Oh ya perkenalkan namaku Ninuk, seorang ibu rumah tangga biasa yang tahun ini usiaku menginjak 30 tahun. Dulu sebenarnya aku pernah bekerja di Bank Swasta yang cukup mentereng, tapi setelah anakku yang pertama masuk sekolah 4 tahun yang lalu aku memutuskan untuk berhenti dengan harapan bisa memberikan perhatian lebih pada anak-anakku. Kebetulan juga suamiku, mas Hendra juga promosi menjadi Kepala Cabang di sebuah Bank Nasional tapi 6 bulan lalu pindah tugas ke Surabaya. 

Dengan berbagai macam pertimbangan, aku akhirnya tetap memilih tinggal di Kota Tahu, tempat kelahiran suamiku sedangkan aku sendiri berasal dari Malang. Setiap akhir pekan dia pasti pulang plus kadang di pertengahan minggu pun pulang, hanya untuk “buang hajat” denganku hehe. 

Tugas antar jemput anak sekolah yang biasanya kulakukan, hampir 2 tahun ini digantikan oleh ayah mertuaku, tepatnya setelah ibu mertuaku meninggal. Untuk kesibukan katanya. Tak jarang anak-anakku diajak kerumahnya setelah pulang sekolah. Baru malam harinya diantar.

Aku kemudian masuk ke kamarku untuk hanya sekedar memakai BH ku. Nggak enak juga meskipun dia ayah mertuaku, aku nggak ingin puting susuku tersembul menembus kain daster marun yang aku pakai. Setelah menyisir rambutku yang baru saja kering setelah ritual mandi wajib tadi pagi. Maklum, tadi malam mas Hendra pulang. Setelah itu Aku segera keluar kamar.

“Lho kok sudah sarapannya kung?” tanyaku Ketika melihat ayah mertuaku duduk di ruang tamunya sambal menyalakan sebatang rokok. “Iya, sebenarnya tadi sudah sarapan, tapi berhubung ada sambal tumpang, jadi pengen makan… Cuma nggak banyak” jawabnya. “Mau dibuatkan kopi?” tanyaku yang langsung dijawabnya dengan anggukan. Aku segera mengerjakannya.

“Lho Inah Kemana Nuk?” tanya laki-laki itu Ketika aku menaruh secangkir kopi panas lengkap dengan lepeknya di meja. Ia mungkin bertanya-tanya kenapa aku yang membuatkan sendiri kopi untuknya, biasanya kan bi Inah, pembantu di rumah kami. “Oh, anu kung, bi Inah ke pasar, tapi katanya tadi juga mau pulang sebentar ke rumahnya di Pare. 

Oh ya, tadi malam mas Hendra pulang kung. Mungkin itu sebabnya Bayu tadi malem tidur telat” kataku. “Oh, mungkin. Lho kapan Hendra balik?” tanyanya. “Tadi pagi setelah subuh, takut telat ngantor” jawabku. Akhirnya kamipun ngobrol santai di sofa ruang tamu.

“Kapan jadwal kontrol lagi kung?” tanyaku. “Baru minggu lalu. Hasilnya baik kok, kata dokter” jawab lelaki itu sambal menaruh puntung rokok di asbak. “Syukurlah kalo baik” timpalku. Oh ya sekitar delapan bulan lalu ayah mertuaku ini baru saja operasi prostat. Ada penumpukan sperma yang akhirnya menjadi gajih. Kata dokter, ayah mertuaku ini hormon nya masih sangat besar sehingga produksi sperma nya juga masih sangat bagus. Saran dari dokter sih katanya disuruh nikah lagi, tapi sepertinya ayah mertuaku tidak mau.

“Berarti sudah bisa dikeluarin sendiri dong kung, hehe?” tanyaku. “Tetep belum” jawabnya singkat sambal menyeruput kopinya yang tinggal sedikit. “Masak kung?” tanyaku. Ia hanya mengangguk menjawabnya. “iya sih, kata mas Hendra, harus cewek ya kung yang keluarin… hehe” kataku sambal tertawa kecil. “Lho Hendra cerita ta Nuk, he? Tanyanya balik. “Iya kung” jawabku singkat. 

Kemudian sesaat kami terdiam. Entah apa yang kupikirkan. Aku ingin sekali membantu lelaki itu. Mungkin saja kalau aku yang mengocok penisnya, dia bisa mencapai orgasme, dan itu sangat penting untuk kesehatannya. Kulirik jam di dinding, waktu masih menunjukkan jam 10 pagi. Masih ada waktu lama sebelum Doni, anakku yang pertama pulang dan bi Inah yang katanya akan pulang ke Pare paling nggak sore sampe sini atau bahkan bisa nginep.

Tapi bagaimanapun juga aku masih bingung untuk mengatakannya. Sebagai seorang wanita jawa, aku masih terbiasa diajak, bukan menawari dan sepertinya laki-laki tua itu juga masih menjagaku, menjaga menantunya sendiri. Meskipun mungkin saja dia sebenarnya juga kepingin. 

Kalaupun menawari, cara ngomongnya juga bingung bagaimana. Meskipun juga Mas Hendra sih pernah ngomong. Tapi dengan nada bercanda, tidak hanya ngocokin malah aku disuruh begituan ama bapaknya.

Agak lama aku berpikir dengan keras, akhirnya aku mengambil hp ku. “Kung, mungkin Ninuk bisa bantuin ngocokin” begitu pesan yang kukirim via whatsapp. “Kung, kayaknya ada WA masuk” kataku ketika kulihat laki-laki itu sepertinya tidak menghiraukan bunyi HP nya. 

Kemudian ia pun melihat Androidnya dan langsung menatapku. “Lho iya ta Nuk?” tanyanya pelan yang kujawab dengan anggukan. “Yang penting mas Hendra jangan tau ya kung…” jawabku. “Mungkin bisa kung… biar ga ada masalah ama prostatnya kung lagi” lanjutku.

“Kung, tolong pagar digembok dulu. Takutnya ada yang datang.. Ninuk ambil pelumas” kataku sambal berdiri dan berlalu. Sekembalinya dari kamar, kulihat ayah mertuaku itu baru aja mengunci pintu kamar tempat si Bayu tidur. 

“Takut Bayu bangun nuk” gumamnya kemudian ia melepas celana yang dipakainya. Mendadak dadaku bergemuruh, deg-degan juga. Pertama kali juga aku akan melihat bahkan untuk memegang kemaluan laki-laki dewasa selain punya suamiku, meskipun itu adalah ayah mertuaku sendiri. Anehnya juga lelaki itu sepertinya tidak segan atau ragu sedikitpun ketika melepas celananya.

Mataku tak berkedip ketika melihat penisnya yang masih lemas. Yang menjadi perhatianku adalah bentuk kepalanya yang agak bengkok dengan ukuran penisnya keliatannya sedikit lebih penjang dengan punya mas Hendra. “Merem aja ya kung” kataku kemudian meneteskan cairan pelumas yang biasa kupakai Ketika melayani suamiku tapi waktu aku kurang bergairah.

Penis coklat tua itu langsung mengeras Ketika tanganku mulai mengusapnya. “Gila, keras sekali” pikirku. Tidak seperti punya mas Hendra yang biasa aku tahu. Mulut mertuaku mulai mendesis saat tanganku mulai agak cepat mengocok kemaluannya. 

Dan perlahan namun pasti, birahiku pun mulai muncul, membuat aliran darahku seakan menjadi lebih cepat. Cairan vagina mulai membasahi kemaluanku. “Aduh nuk…. ssstttsss nuk… oohhhh…” mulut laki-laki itu meracau yang semakin membuatku bernafsu. Tanpa sadar tangan kiriku mulai meraba kemaluanku sendiri yang sudah basah kuyup apalagi beberapa menit kemudian tangan laki-laki itu mulai meremas-remas payudaraku. 

Aku membiarkannya agar dia cepat meraih puncak kenikmatannya tapi tanpa aku sadari itu semakin membuatku tidak kuat melawan gejolak birahiku yang tidak akan mungkin terpuaskan hanya dengan jari-jari tanganku sendiri.

Beberapa saat kemudian aku terkejut ketika tiba-tiba tangan lelaki itu memegang tanganku yang sedang mengocok penisnya seakan menyuruhku untuk berhenti. “Kenapa kung? tanyaku dengan suara parau. 

Tanpa menghiraukan pertanyaanku kemudian ia berdiri di hadapanku dan berusaha menyibakkan bagian bawah daster yang kukenakan dan meraih celana dalamku dan berusaha melepasnya. Aku sadar sesadar-sadarnya bahwa lelaki tua itu ingin menyetubuhiku. 

Ia seakan mengerti dengan apa yang sangat kuinginkan saat itu. Balutan birahi yang sudah di ubun-ubun membuatku malah membantu tangan lelaki itu melorotkan celana dalam warna hitam yang sudah basah oleh cairan vaginaku.

Aku lalu menyandarkan tubuhku dan langsung mengakangkan kedua kakiku sehingga kemaluanku siap untuk di masuki. Tetap tanpa ada sepatah katapun, lelaki tua itu lalu mengarahkan penisnya. “ohhhh…” desisku Ketika batang kemaluannya mulai menerobos masuk. 

Tanpa komando, kamipun membetulkan posisi masing-masing sehingga memang benar-benar pas. Sedetik kemudian iapun mulai menggoyangkan pinggulnya maju mundur yang membuatku semakin mendesah keenakan. Nafas lelaki itu juga terdengar tersengal, mulutnya meracau. 

Belum 5 menit, gerakan lelaki itu terlihat semakin cepat. Aku sadar kalau ia akan mencapai klimaksnya. Benar saja kemudian ia langsung mencabut penisnya dari cengkraman vaginaku dan mengocoknya tepat diatas bulu kemaluanku yang lebat. Takut spermanya tercecer kemana-mana, aku langsung menutupnya dengan daster yang dari tadi masih kupakai. 

“Ooooocccchhhhh….” Ia mengerang sampai kepalanya menengadah. “cret… cret….crett…crettt” penisnya menyemburkan air mani yang banyak sekali, terasa sangat hangat di bagian bawah perutku. Beberapa saat kemudian lelaki itu lalu duduk di sebelahku sambal mengatur nafasnya yang masih terengah. Bau khas air mani laki-laki menyerbak di seluruh ruangan.

“Kok dikeluarin di luar kung, di dalem kan enak...?” tanyaku pelan dengan suara parau sambil mengikat rambutku dan duduk di samping lelaki itu yang masih berusaha mengatur nafasnya. ia tidak menjawab pertanyaanku. Kulihat kemaluannya masih tegang meski tidak sekeras tadi. 

Perlahan kuusap penis tua itu dengan celana dalamku. Membersihkannya dari sisa-sisa spermanya yang tercecer. Lelaki itu masih memejamkan matanya sambil menengadah, masih menikmati sisa-sia orgasme yang sudah lama tidak dirasakannya.

“lagi ya kung? aku juga pengen dapet” ajakku. Kepalang tanggung juga, terlanjur basah sekalianlah. Aku yang sudah bernafsu juga pengen merasakan orgasme Lalu aku kulum kemaluannya yang sudah setengah berdiri. “Sebentar… sebentar Nuk…” aku kebelet pipis…” kata lelaki itu kemudian langsung beranjak ke kamar mandi meninggalkanku. 

“Di Kamar aja” ajakku Ketika dia keluar dari kamar mandi. Akhirnya ronde kedua pun dimulai. Kami pun bergumul dalam belutan birahi. Saling memanjakan nafsu, memberikan kenikmatan satu sama lain. Tak peduli berapa banyak energi yang terkuras, keringat yang bercucuran, semuanya demi apa yang dinamakan kenikmatan. 

Tak peduli etika yang membatasi antara mertua dan menantu. Berbagai macam gaya kami lakukan. Lelaki itu ternyata masih sangat prima, aku dapat mencapai orgasmeku sampai 4 kali. Hal yang belum pernah kualami ketika main sama suamiku sendiri.

Lelaki itu mulai menyodok-nyodokkan kemaluannya perlahan setelah memberiku kesempatan menikmati orgasme ke-4 ku. “Keluarin kung…” kataku pelan dengan suara yang serak. Cukup sudah buatku, 

kini saatnya dia yang mencapai puncak kenikmatannya. Lelaki itu menggangguk tapi bukannya tambah mempercepat gerakannya, ia malah mencabut penisnya dari liang kewanitaanku. “Nungging nuk” katanya pelan yang segera kulakukan. Ia segera menusukku dari belakang dan menghajarku dengan rpm yang semakin lama semakin tinggi. Kedua tangannya pun memegang bokongku dengan kuat. Segera kuketatkan otot-otot vaginaku. 

“ooooooccchhhhhh” jeritnya Ketika air maninya muntah di dalam rahimku. Sejenak kami terdiam, kemudian ia merebahkan tubuhnya di ranjang yang kemudian juga kulakukan. Sebuah permainan yang luar biasa. Masih minim dengan kata-kata, kami pun terdiam.

Perlahan kulirik jam yang menempel di dinding. “Gila hampir sejam setengah” gumamku. Iya hampir sejam setengah permainan itu berlangsung. “Aku jemput Bayu dulu” kata lelaki itu kemudian beranjak meninggalkanku sendiri di kamar.

Read More

𝐋𝐞𝐧𝐢 𝐓𝐚𝐧 𝐔𝐬𝐭𝐚𝐳𝐚𝐡 𝐁𝐢𝐧𝐚𝐥 𝐄𝐩𝐢𝐬𝐨𝐝𝐞 𝟓 [ 𝐓𝐀𝐌𝐀𝐓 ]

 


Leni memutar tubuhnya menghadap Khandiq yang duduk di kanannya. Dari jarak sebegitu dekat, Khandiq dapat melihat dengan jelas kecantikan sang istri nmeskipun masih dibalut cadar. Aura keseksian Leni begitu kental meracuni udara di sekitar tubuhnya sehingga pria mana pun yang bernapas di dekatnya pasti akan terkena racun syahwat.

“Cepetan bilang, Len! Ana udah sange!” kata Fahmi sambil mencubit pantat Leni.

“I-i-iyaa, Ustad,” jawab Leni sambil menepis tangan nakal Fahmi. Namun, hanya setengah hati. Terlihat dari gerakan tangannya. Khandiq malah lebih tertarik melihat betapa rona merah telah memenuhi wajah Leni. Tangan Khandiq bergerak perlahan memebuka cadar sang istri, memenuhi keingintahuannya apakah rona merah itu akibat marah atau lainnya.

“Abi ... mmmh ... Ummi izin khidmat sama Ustad Fahmi ...,” kata Leni meminta izin. Khandiq terhenyak mengetahui betapa wajah istrinya merona seperti ketika dia melihatnya sedang menahan syahwat ketika sedang berjimak. Tidak ada keterpaksaan di wajah cantik itu.

“Khidmat ngapain, Umm?” tanya Khandiq. Betapa dia luluh melihat wajah penuh syahwat istrinya yang cantik itu.

“Mmmh ... anu, Abi ... ituuu ...,” jawab Leni terbata-bata. Meskipun sudah dikuasai Fahmi, nyatanya ustazah itu masih memiliki sedikit pikiran jernih untuk malu kepada suaminya.

“Jawab yang jelas! Ana udah sange, nih!” gerutu Fahmi. Tangannya kini tidak lagi mengincar pantat Leni, tetapi dari belakang meremasi kedua tetek Leni.

“Fahmi! Anjing antum, ya!” seru Khandiq memuncak amarahnya melihat perbuatan Fahmi. Namun, sebelum dia hendak memberi pelajaran kepada junior-nya itu, kedua tangan Leni menangkap tangannya dan menariknya kembali duduk tanpa memedulikan gerayangan tangan Fahmi di teteknya.

“Abi ... Ustad Fahmi itu murabbi-nya Ummi. Wajib bagi murid untuk khidmat kepada murabbi-nya. Mau disuruh apa, Ummi harus nurut ... mau masak, hapalin surat, diminta ... jimak. Wajib, Bi! Abi mau Ummi dosa bantah murabbi Ummi?” kata Leni penuh kelembutan. Pandangan matanya menatap Khandiq penuh permohonan untuk dimengerti. Sedangkan di belakangnya, Fahmi menyeringai penuh kemenangan dan kedua tangannya bertindak lebih jauh dengan mempereteli kancing gamis Leni. Khandiq hanya bisa menelan ludah ketika tetek istrinya dipaksa keluar oleh kedua tangan jahanam Fahmi.

“Antum dengar sendiri sendiri, kan? Ustazah Leni yang mau sendiri jimak sama ana,” kata Fahmi melakukan aksi berikutnya, mengeluarkan tetek-tetek Leni dari dekapan beha-nya di depan mata sang suami.

“Ummi sadar, Umm! Ummi tu dihipnotis sama dia,” kata Khandiq sambil menahan diri tidak menepis tangan Leni yang masih memegangi tangannya.

“Ummi tau kok, Bi. Ummi kan hafizah, Ummi dengar apa yang diamalin Ustad Fahmi dan Ummi tau itu dari kitab kita. Bukankah itu artinya Ustad Fahmi adalah orang soleh, yang hanya berkiblat kepada kitab untuk segala urusan? Mmmh ...,” kata Leni membela Fahmi dan ditutup oleh lenguhan erotis ketika pentil teteknya mendapat giliran dipermainkan oleh kedua tangan si ustad durjana.

“Tapi ini salah, Umm! Ummi jadi mengkhianati suami,” tukas Khandiq masih berusaha menyadarkan Leni.

“Nggak, Bi! Malah Ustad Fahmi yang nyuruh ana terima lamaran Abi, harusnya Abi makasih sama beliau,” kata Leni yang menyandarkan punggungnya ke dada Famhmi akibat teteknya dipermainkan di depan suaminya.

Khandiq menatap Fahmi dengan perasaan campur aduk. Dia masih tidak rela istrinya menjadi peliharaan Fahmi, tetapi dia juga tidak mampu membuat sadar istrinya itu. Matanya tidak bisa melepaskan pandangan dari tetek-tetek Leni yang semakin kasar dipermainkan oleh Fahmi.

“Anggap aja saling tolong, Tad. Dari pada Leni diambil sama Yai Karim jadi istri keempatnya, mending ana suruh dia nikah sama antum. Masih bisa ana pakai kapan pun. Lah kalau sama Yai Karim, mana bisa? Bisa kapiran urusan syahwat ana nanti,” kata Fahmi menjelaskan sambil kedua tangannya kini melolosi kedua tangan Leni dari lengan gamisnya. Kini bagian atas gamis Leni teronggok di pinggangnya sendiri, membuat tetek indah Leni terpampang utuh di hadapan Khandiq yang hancur lebur hatinya.

“Abi ... Ummi khidmat dulu, ya?” kata Leni sambil melepaska tangan Khandiq dan menggantinya dengan kontol Fahmi yang masih terbungkus di dalam celana. Leni membalikkan tubuhnya lalu bersimpuh di antara kedua paha Fahmi. Dengan telaten dan lembut, akhwat amoy itu melolosi celana cingkrang Fahmi beserta sempak ustad durjana itu.

“Sini, Ustazah! Ada yang kangen sama Ustazah,” kata Fahmi sambil merengkuh kepala Leni dan mengarahkannya kepada kontolnya. Leni dengan patuh membenamkan wajahnya di area selangkangan Fahmi yang dengan antusias menggerak-gerakkan kepala Leni agar wajah cantiknya mengusap-usap seluruh bagian selangkangannya.

Khandiq jelas tidak tega melihat istri yang begitu dicintainya diperlakuakn tidak lebih baik ketimbang seorang lonte, tetapi dia juga tidak mampu memalingkan pandangannya dari apa yang dilakukan Leni dan nyatanya kontol Khandiq dengan jujur menyatakan pendapatnya lewat perubahan bentuk. Beberapa kali matanya beradu pandang dengan mata Leni yang tidak lupa melempar senyum manis meskipun bibirnya sibuk mengecupi setiap milimeter kulit daerah selangkangan Fahmi. Fahmi yang melihat itu semakin bersemangat menggosokkan wajah Leni kepada area selangkangannya.

“Abi ... bisa tolong lepasin gamis Ummi?” tanya Leni ketika sekali lagi pandangan matanya beradu dengan Khandiq.

Khandiq yang hatinya hancur lebur tidak lagi memiliki keinginan untuk melawan keinginan sang istri tercinta. Meskipun berat, dia bangkit dari sofa lalu turut bersimpuh di samping Leni dan melolosi gamis serta legging dan kancut yang dikenakan Leni sehingga hanya tersisa jilbab lebar dan sepasang kaos kaki yang menutupi kulit Leni.

Usai menunaikan tugasnya, Khandiq tanpa sadar turut melolosi celana dan juga sempaknya. Kedua tangannya lalu berbagi tugas yang satu mengocoki kontolnya sendiri, satunya mengobel memek Leni. Pikirannya sudah tidak bisa berjalan normal, yang ada hanya rangsangan syahwat yang membludak melihat perzinahan istri dan temannya.

“Abi ... jangan dulu, ya? Ummi lagi berkhidmat. Biar kontol Ustad Fahmi dulu yang masuk ke memek Ummi,” kata Leni sambil menepis kontol Khandiq yang ujungnya telah sedikit membelah bibir memek Leni. Fahmi yang disebut-sebut hanya tertawa kecil penuh kemenangan.

Tepisan ringan seperti itu sama sekali tidak meninggalkan sakit pada kontol Khandiq. Namun, hatinya semakin hancur dengan perlakuan Leni tadi. Belum lagi harga dirinya yang semakin hancur ketika mendengar tawa Fahmi.

Khandiq terjengkang dan duduk di lantai sambil mengocoki kontolnya. Dilihatnya Leni kini tanpa diarahkan telah membuat kontol Fahmi begitu mengkilap dengan liur lewat pelayanan prima bibir dan lidahnya. Di sofa, mata Fahmi terpejam meresapi pijatan dan urutan otot-otot mulut Leni yang menjepit kontolnya. Berkali-kali dia harus memadamkan keinginannya untuk segera meletupkan peju karena ingin lebih lama menikmati jimak dengan ustazah amoy itu.

“Ustad Khandiq tau, gak gampang bikin mulut suci ini ngomong jorok. Apalagi ngemut kontol,” ejek Fahmi sambil melihat Khandiq yang masih nanar mengocok kontolnya sendiri.

“Bahkan di bawah pengaruh hipnotis pun, lonte ini masih punya kekuatan iman yang kuat untuk menolak perintah-perintah yang bertentangan dengan logika akal sehat. Masih tau mana halal mana haram. Lonte ini adalah mangsa ana yang paling sulit ditaklukkan. Padahal cuma mualaf,” kata Fahmi lagi sambil mengingat-ingat pertama kali mencoba merusak Leni. Khandiq yang mendengarnya merasa bangga karena dugaannya kepada Leni tidak meleset andai Fahmi tidak merusaknya.

“Ana harus berkali-kali ngerapal amalan sambil perkosa ini lonte. Gak enak banget jimak sambil ngamalin, antum tau? Makanya biar kata ana gak akan nikahin Leni, tapi ana gak akan lepasin dia sampai kapan pun,” tutur Fahmi sambil membangunkan Leni dan menyuruhnya membalikkan badan dalam posisi tubuh masih menungging. Kini Leni dan Khandiq saling berhadapan wajah. Ustazah amoy itu tersenyum manis dan menggoda melihat Khandiq mengocoki kontolnya sendiri.

“Afwan, Usssstaaadh! Ngh! Ana boleh sambil sepong kontol suami ana?” tanya Leni berbarengan dengan kontol Fahmi membelah bibir memek Leni dan menancap sempurna.

“Sini, Bi! Masukin kontol Abi ke sini,” kata Leni lalu membuka rahang mulutnya setelah Fahmi mengiyakan sambil lalu tak peduli.

Khandiq dengan bergegas merangkak mendekati Leni. Namun, bukannya langsung memasukkan kontolnya, dia malah menciumi dan menjilati seluruh wajah istrinya itu. Tidak dia indahkan aroma apek kontol dan sedikit noda mazi di wajah Leni.

“I love you, Ummi!” bisik Khandiq.

Mendapat perlakuan seperti itu membuat Leni meneteskan air mata. Hatinya terasa hangat dan dari kehangatan itu secercah perlawana hadir melawan gelombang kenikmatan yang bersumber dari tumbukan kontol Fahmi pada memeknya. Namun, Fahmi seperti mengetahui adanya gelombang penolakan yang muncul di dalam diri Leni, sehingga terpaksa sambil mengentoti Leni dia pun merapal lagi amalannya. Meskipun tidak menyenangkan karena harus membagi fokus, tetapi efek amalan yang dilakukan dengan persentuhan alat kelamin terbukti lebih manjur. Seketika saja Leni kembali jinak.

“Ustad! Kalo mau disepong, cepetan! Gak usah sok romantis!” maki Fahmi menyadari sumber kekuatan penolakan Leni. Ditamparnya bongkahan pantat Leni sampai membuat ustazah amoy itu berteriak kesakitan meskipun dengan nada yang manja dan menggoda.

Khandiq yang tidak mengerti langsung mengikuti perintah Fahmi. Dia takut kalau juniornya itu membatalkan izin untuknya mengentoti mulut Leni. Direngkuhnya kepala Leni lalu dia masukkan kontolnya ke mulut berbibir merah tipis yang langsung merapat menjepit kontolnya. Pinggulnya dengan ritmis tetapi bergetar bergerak maju mundur mengentoti mulut Leni yang memberi pelayanan lebih dengan sedotan vakum-nya pada saat kontol Khandiq utuh bersarang di mulutnya.

“Ana jadi inget waktu ni lonte ana pake bareng Yai Karim. Persis macam ini. Nama doang besar, sekali kena Leni langsung muncrat tu aki-aki,” kata Fahmi lalu menutup kenangannya dengan tawa. Pada saat itulah bisa dikatakan Fahmi telah menguasai Batam setelah Yai Karim bisa diluluhkannya lewat tubuh Leni.

Leni yang mendengar kisah itu hanya bisa tersenyum malu-malu dengan kontol Khandiq masih di mulut ketika pandangannya bertemu dengan Khandiq. Dia ingat betapa merasa terhormatnya dia ketika diminta untuk menari perut di hadapan kyai paling berpengaruh di lingkungan NU Batam. Segala sentuhan tangan kyai itu di tubuhnya seperti memberikan berkah bagi Leni. Namun, semua itu musnah ketika baru saja masuk setengah batang di memeknya, kontol kyai yang sebetulnya tidak istimewa itu langsung memuncratkan peju. Tidak ada ronde-ronde berikutnya karena kyai itu tidak berani menenggak obat kuat pemberian Fahmi akibat jantungnya yang melemah setiap tahunnya.

Khandiq dan Fahmi seperti berpacu menggunakan kuda yang sama. Meskipun dia amat membenci Fahmi, tetapi dia juga amat menyukai ketika junior-nya itu menghentakkan kontolnya ke memek Leni sekuat tenaga karena dengan begitu tubuh Leni jadi terdorong dan menelan kontolnya semakin dalam akibat dorongan pinggulnya yang mendorong kontolnya ke dalam mulut Leni.

Khandiq meremang mendengar cerita-cerita Fahmi, betapa seringnya ustad jahanam itu memanfaatkan tubuh istrinya untuk meningkatkan karir. Namun, sebenci apa pun dia kepada cerita dan yang menceritakan, tetapi dia justru lebih membenci dirinya sendiri yang justru semakin bergairah mendengarnya. Terbukti dari rahang Leni yang semakin lebar membuka akibat bertambahnya ukuran kontol Khandiq. Tangan Khandiq menggapai-gapai apa pun yang bisa membuatnya bertumpu agar tidak roboh saking enaknya pelayanan mulut Leni kepada kontolnya. Hingga tangan itu merengkuh pegangan tangan sofa yang ternyata sudah sedikit goyang karena bagian kayu yang dipaku telah lapuk.

Fahmi di sisi sana benar-benar memuja Leni meskipun dengan cara paling jahanam. Kecantikan dan kemolekannya membuat Fahmi benar-benar jatuh cinta. Namun, dia tidak ingin membatasi diri dengan cinta dan hanya hidup dengan Leni. Dia ingin menikmati semua akhwat yang dia inginkan tanpa harus bertanggung jawab. Dia merasa bahwa bila satu kali saja dia menikahi korbannya, maka dia akan terjebak kepada rasa kasihan yang akan menghambat karirnya.

Dibelainya kulit pantat Leni sambil terus mengentoti memek ustazah amoy itu. Bergeser terus tangannya ke punggung lalu akhirnya hingga di tetek Leni yang bergoyang liar akibat hentakan dari pinggulnya. Kemudian dia rebahkan tubuhnya di punggung Leni sambil terus menggenjot kontolnya dan meremasi tetek Leni. Ini adalah posisi favoritnya karena denagn begini rasanya Fahmi telah memiliki Leni dengan utuh.

“Ugh! Ugh! Len, ana mau keluar!” desah Fahmi yang tenggelam di dalam kenikmatannya sendiri. Genjotan pinggulnya semakin cepat menggasak memek Leni yang juga semakin keenakan dan mengencangkan otot-otot dinding relung memeknya, meremasi kontol yang telah memberinya banyak kenikmatan terlarang itu.

“Hamil, Len! Aaah!” geram Fahmi sambil memancurkan pejunya berkali-kali memenuhi relung memek Leni. Matanya yang terpejam tidak lagi dapat terbuka seiring bunyi tumbukan benda tumpul yang bergema di kepalanya.

***

Hari itu telah lima bulan semenjak kejadian di kantor Fahmi. Leni duduk berhadapan dengan Khandiq yang berbaju tahanan. Tangan keduanya bertaut di perut Leni yang membuncit.

“Abi ... makasih masih mau terima Ummi,” bisik Leni sambil meneteskan air matanya.

Di hadapan Leni, Khandiq tidak mampu menjawab apa-apa selain menahan tangis. Dia tidak menyesal telah melakukan apa yang harus dia lakukan meskipun harus menanggungnya dengan hukuman kurungan dua puluh tahun. Itu pun setelah adanya pembelaan dari banyak akhwat yang sadar kembali dari pengaruh amalan Fahmi.

Batam geger. Pembersihan pengurus NU dilakukan secara total dan tanpa pandang bulu. Bahkan kyai sepuh seperti Yai Karim hanya bisa selamat karena usia tuanya. Sisanya lenyap seperti tidak pernah ada jejaknya di jagat dakwah.

TAMAT
Read More

Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Categories

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

BTemplates.com

POP ADS

Blogroll

About

Copyright © Cerita Panas | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com