Suara hujan masih terdengar deras di luar sana. Namun tak bisa mengalahkan suara Frieska yang kudengar sampai terngiang-ngiang dikepala. Kedua kening kami masih beradu, menggoyahkan situasi menjadi tak menentu.
“A...a....a...apa...” aku mulai gagap, “Apa...apa yang kau katakan?”
Dia menarik mundur kepalanya, ke 2 tangannya itu lalu memegang kupingku, dilihatnya kupingku bolak-balik.
“Telingamu bersih,” ucapnya, “Apa suaraku tadi terdengar samar karena suara hujan?”
“Kau......”
Frieska kemudian duduk di depanku, sebelah kakinya ditekuk di atas, lalu dagunya dipangku di atas lutut kakinya itu. Dia terus menatapku dengan raut wajah tanpa ekspresinya itu. Aku hendak berbicara lagi, namun dia lebih dulu yang mengeluarkan suaranya.
“Aku mencintaimu, budek!”
Aku terdiam. Dan ini sudah ke 2 kalinya dia mengatakan kalimat itu untukku. Aku tak siap apabila dia akan mengatakannya untuk ke 3 kali karena aku belum mempersiapkan piring cantik! Tunggu.... kenapa harus piring cantik? Aaah!!! Ini benar-benar membingungkan! Mana dia terus memandangku lagi.
“Kau bercanda?”
“Menurutmu?” dia tersenyum.
“Bagaimana bisa?”
“Sederhana. Kau mirip mendiang pacarku, yang aku maksud, sikapnya.”
“Hanya karena itu?”
“Masih ada. Coba tebak.”
Aku terdiam lagi. Tentu saja aku tidak tahu jawabannya, tapi aku juga ingin menebak. Kukeluarkan HP-ku dan kugunakan mode kamera selfie untuk bercermin.
“Aku mencintaimu bukan karena tampangmu! Narsis!” ucapnya.
“Oh....” aku menurunkan HP-ku, sial! Bukan ya? Padahal aku sudah percaya diri tadi, kupikir wajahku super ganteng sampai-sampai bisa dicintai wanita seperti dia!
“Alasannya sederhana kok,” dia tersenyum.
“Apa?”
“Kau telah menyelamatkanku. 2 kali.”
“2 kali?”
“Yang pertama dari 4 orang yang mau memperkosaku itu. Dan yang kedua, menyelamatkanku untuk mengurungkan niatku menjual diri lagi.”
“Jadi kau.....”
“Tentu saja aku jera waktu itu, bodoh!”
“Oh.... jadi itu alasannya?”
“Ya,” dia tersenyum manis, astaga, dia benar-benar manis kalau begini!
Aku kembali terdiam. Meski dia sudah mengatakan alasannya, aku masih bingung. Aku baru kenal dengannya beberapa hari, seminggu saja tak sampai. Dan sekarang dengan gamblangnya dia mengatakan kalau dia mencintaiku??
“Apa kau mengada-ngada? Okelah, kalau kau mengatakan kalau kau mudah jatuh cinta. Tapi bukankah ini terlalu cepat? Kau bahkan belum mengenal diriku seperti apa.”
“Hm,” wajahnya datar lagi dan mengangguk, “Kau benar.”
“Benarkah?”
“Benar, aku tidak mencintaimu.”
“Nah!” senyumku melebar, “Sudah kuduga itu tak mungkin.”
“Aku memang tidak mencintaimu,” dia lalu tersenyum, “Tapi aku menyukaimu.”
Aku lagi-lagi terdiam. Sepertinya hobiku bertambah 1 untuk kepribadianku, yaitu suka terdiam saat berbicara dengannya.
“Bukankah itu sama saja?”
“Beda ah,” bantahnya.
“Apa bedanya?”
“Cari tahu aja sendiri,” dia memeletkan lidah untuk mengejek.
Sudah mulai kacau nih kondisinya! Aku harus mencari cara agar perasaannya itu berubah untukku.
“Mpris, kau kan tahu kalau aku sudah punya istri?”
“Tentu saja aku tahu. Terus?”
“Terus? Hei, bukan berarti kalau aku mempunyai masalah ini, maka aku berniat berselingkuh!”
Dia tiba-tiba menahan tawanya dan berkata dengan suara tawa kecilnya itu.
“Bodoh.”
“Kali ini aku tak paham kenapa aku dibilang bodoh.”
“Oke. Sekarang jawab, apa tadi aku memintamu untuk berselingkuh denganku?”
“Kenapa jadi....”
“Jawab saja!” potongnya.
Aku menghela nafas,
“Tidak.”
“Hm. Lalu, apakah aku ada memintamu untuk menceraikan istrimu?
“Tidak....”
“Apa aku ada memintamu untuk menjadi pacarku atau menikahiku setelah kau bercerai dengan istrimu?”
“Aaa......”
“Apa aku juga ada meminta diriku untuk menjadi istri keduamu?” Frieska tersenyum.
Dan hobiku kembali lagi, aku lagi-lagi terdiam dan dia terus tersenyum kepadaku.
“Aku hanya mengungkapkan perasaanku saja. Tidak memintamu untuk menghancurkan rumah tanggamu sendiri. Aku tidak salah kan?”
“Iya sih....” benar juga sih yang dia bilang, tapi ya..... Ah! Pusing!
“Jadi kau tak perlu khawatir,” sekarang dia menekuk 2 kakinya dan kepalanya ditaruh di atas lutut, “Lagi pula....”
“Hm?”
Dia tersenyum, “Aku bersedia, menjadi selingkuhan, menjadi pacarmu atau pun menjadi istri keduamu, kalau kau sendiri yang meminta hal itu padaku.”
Lagi-lagi aku terdiam! Barusan dia bilang apa? Dia tak masalah menjadi selingkuhanku asalkan aku sendiri yang meminta? Dia kurang beruntung, karena aku belum mempunyai hobi poligami.
“Bukankah itu artinya kau menjadi Pelakor (Perebut Laki Orang)?”
“Kau tidak mau aku menjadi Pelakor?”
“Tentu saja tidak!”
Dia tersenyum lagi dan sayu matanya memandangku, “Bodoh.”
“Sekarang itu untuk apa?”
“Aku tahu kau berusaha agar aku tidak bisa menerima perasaan yang kumiliki ini bukan?”
“Terus?”
“Tapi saat kau mengatakan kau tidak mau aku menjadi pelakor....”
“Apa?” nih cewek tampaknya sengaja memotong ucapannya agar aku penasaran.
Dia tersenyum dan berkata.
“Aku menjadi semakin menyukaimu.”
Lagi! Lagi! Dan lagi! Lagi-lagi aku terdiam! Aku benar-benar tak mengerti kenapa dia semakin menyukaiku?!
“Kenapa?”
“Gelar pelakor itu terlalu rendah dan tidak terlalu bisa dibanggakan bagi kaum wanita. Dan kau tidak ingin aku mendapatkan gelar itu, bagaimana bisa aku tidak senang dan tidak semakin menyukaimu?”
“Emmm.....” aku tak bisa berkata apa-apa.
“Hihihi bodoh, kau justru menambahnya. Hati-hati, udah mau masuk ke dalam tahap ‘Menyayangi’-mu loh.”
“Terserah,” aku lalu memandang HP-ku.
“Mencoba mengalihkan nih?”
“Dari pada mendengar hal yang canggung dari mulutmu secara gamblang seperti itu.”
“Huh!” dia sebal dan mencubit lutut kakiku.
Dan memang benar. Aku melihat HP ini hanya untuk pengalihan, aku sendiri bingung mau melihat apa di benda komunikasi ini. Tapi aku teringat rumahku, maka aku mau memantau rumah dengan CCTV di sana. Aku tertegun saat melihat Maya ternyata sudah pulang ke rumah. Dari kamera CCTV di teras, aku bisa tahu kalau dia menggunakan taksi, kukira nanti dia akan pulang dengan salah 1 orang yang tadi mencicipi tubuhnya di gudang. Maya lalu masuk dan segera mengambil handuk di belakang karena dia sedikit terkena imbas hujan di luar. Lalu kulihat istriku masuk kamar dan mencari sesuatu. Kurasa dia mencariku, tapi dia sendiri sudah tahu kalau aku masih di luar.
“Cantik ya istrimu.”
Aku kaget dan menoleh, ternyata Frieska sudah berada di sebelahku dan melihat rekaman CCTV bersamaku lewat HP ini.
“Keturunan chinese ya?”
“Ya...”
Kulihat rekaman lagi dan melihat Maya menyalakan keran air mandi. Setelah itu Maya masuk ke kamar untuk membuka baju. Langsung kumatikan HP-ku karena aku tidak ingin Frieska tahu kalau Maya tidak memakai BH dan celana dalam sepanjang hari ini. Setelah itu kami sama-sama terdiam. Frieska menekuk kakinya lagi dan bergoyang kanan kiri, tak jarang sampai mengenai lengan kiriku.
“Dia cantik, manis....andai saja dia tidak ya, kita tahu,” ulasnya.
Aku menghela nafas, “Boleh aku merokok di sini?”
“Boleh. Asal korek apinya kupegang.”
“Untuk?”
“Mau merokok tidak?”
Kuiyakan saja. Kuberikan korek api Zippo ku dan ternyata dia yang ingin menyalakan rokokku. Setelah rokokku nyala, kuambil air kaleng tadi untuk asbak dan Frieska asyik memainkan penutup korek api Zippo ku.
“Kau masih mencintainya?”
“Entahlah.”
Bunyi penutup korek berbunyi, Frieska memandangku.
“Entahlah?”
“Sekarang aku tidak tahu lagi perasaanku seperti apa untuknya....”
“Begitu.....”
Frieska lalu mendekat dan menaruh dagunya di pundakku. Aku menoleh dan dia terus memandangku.
“Sabar ya.....”
“Terima kasih.”
“Semoga di seminar nanti kau bisa menemukan solusinya.”
“Semoga.”
“Apa kau pernah terlintas untuk membalas dendam?”
“Dendam?”
Frieska menarik kepalanya lagi dan kembali asyik memainkan korek api zippoku.
“Maksudku melakukan apa yang seperti dia lakukan, di depan matanya.”
“Berarti tak akan ada bedanya aku sama dia.”
“Ya kan kalau kamu mau.”
“Itu terlalu klise. Lagi pula, wanita mana yang melakukan itu denganku di depan matanya?”
“Pelacur banyak.”
“Ya iya sih.....”
“Atau cari saja wanita yang mau melakukan itu cuma-cuma denganmu.”
“Mana ada wanita seperti itu.”
“Ada kok.”
“Mana mungkin.”
“Ada.”
“Siapa?”
Aku lalu memandang dirinya, dan dia juga memandangku. Saling memandang ini akhirnya aku menyadari wanita mana yang dimaksud, dan wanita itu adalah ya, DIA SENDIRI!!
“Aku tak punya uang 50 Milyar,” aku kembali menghisap rokok dan ingat kalau dia punya daftar untuk itu dengan nominal fantastis.
“Masih ingat rupanya,” dia tertawa.
“Kau mau menjebakku ya?”
“Enggak. Aku mau saja kok melakukannya kalau kau mau.”
“Apa?”
“Sekarang juga bisa. Rumah kan sepi begini,” ajaknya.
“Tidak! Tidak! Tidak! Jangan bahas itu lagi!”
“Kenapa?”
“Kau masih perawan! Apa kau mau semudah itu juga memberikannya? Lagi pula.....” aku menghadap ke depan dan menghisap rokokku, “Tak sopan rasanya membicarakan keperawanan.”
“Hmm.”
“Jangan diungkit lagi.”
“Hihihihi.”
Dia tertawa terus yang membuatku bingung, aku melihatnya dengan raut wajah tak mengerti, sedangkan dia menahan tawanya dan melihatku.
“Kamu jago deh.”
“Jago?”
“Iya. Jago.”
“Maksudnya?”
“Sekarang aku tidak menyukaimu lagi.”
“Oh, baguslah.”
“Karena aku sudah memasuki tahap menyayangimu.”
Lagi dan lagi aku terdiam. Wajahku datar memandangnya dan sepertinya dia mengerti maksudnya.
“Kau tidak mau membicarakannya, yang mengungkit masalah keperawananku. Sekarang sudah bertambah, aku tidak dalam tahap menyukaimu lagi, tapi sudah naik level ke tahap menyayangimu. Karena kau menghormatiku sebagai wanita.”
“Aaaa.....”
“Jago deh, hihihihi.”
“Kau tak canggung mengatakan segamblang itu?”
“Canggung sih, tapi dari pada aku tahan? Lagian hanya kita berdua saja di sini.”
“Kau bercanda?”
“Tidak.”
“Aku punya istri!”
“Aku tak peduli.”
“Aku punya anak!”
“Aku suka anak-anak.”
“Aku punya anak dan istri!” pikiranku kacau, “Aku juga punya mertua!”
“Kau sudah mengatakannya tadi, kecuali yang mertua.”
“Aku punya hutang di warung!” makin kacau, kenapa hutang kubawa-bawa?
“Biar kulunasi hutangmu.”
Benarkah itu? Wah boleh nih! Mumpung dia ini anak orang kaya! Coba ah.
“Aku punya hutang kredit motor yang harus kubayar cash dari tanganku sendiri ke penjualnya!” ucapku untuk hutang fiktifku.
“Lalalala,” dan dia berpura-pura bernyanyi, seolah tidak mendengarkan kata- kataku tadi. Gagal! Sial!
“Apa sebenarnya maumu?”
“Mauku kau melakukan sesuatu untuk istrimu!!”
Hobiku yang baru lagi-lagi kulakukan. Aku terdiam dan bingung dengan kata- katanya itu. Tapi tanpa perlu aku bertanya sepertinya Frieska mengerti, karena itu dia lanjut berbicara.
“Aku memang menyayangimu, walau aku tidak menjadi milikmu. Tapi aku ingin membantu masalah yang dihadapi olehmu, untuk orang yang kau cintai, yaitu istrimu.”
“Kau....”
“Itu buktiku untukmu. Bukti kalau aku menyayangimu.”
Ah sial! Suasananya semakin memanas! Lama-lama aku bisa ke bawa perasaan kalau terus berada di sini! Tapi di luar hujan, gimana mau pulang jadinya?
“Lebih baik...... jangan dibahas lagi.”
“Oke.”
“Oke?”
“Bukankah tadi kamu bilang jangan membahasnya lagi? Ya oke, aku nurut,” dia tersenyum.
Sial! Serangannya semakin menjadi! Apa dia tak sadar kalau itu adalah sebuah ‘SERANGAN’ di mana pria akan merasa dihargai saat permintaannya dituruti? Gila nih cewek! Daya tariknya lama-lama semakin kuat!
“Aku pulang dulu!”
“Kan hujan.”
“Maksudku, pas reda nanti.”
“Buru-buru amat.”
Untung aku ada alasan. Yang di mana nanti ada ibu-ibu panitia festival berkumpul di rumahku, jadi aku ada alasan untuk cepat pulang. Mengembalikan mobil dulu, pulang dengan motor sambil membawa belanjaan istriku, dan pulang ke rumah sambil membawa gorengan untuk camilan mereka semua.
“Hm, gitu,” dia kelihatannya mengerti.
Sedikit demi sedikit hujan pun reda. Maka niatku tadi tak akan kutunda. Aku segera berdiri untuk berpamitan, tapi dia dengan cepat menarik bajuku.
“Ke sini lagi ya...”
“Kenapa?”
“Ke sini aja.... lagian rumahmu ramai nantinya, jadi istrimu tidak akan mungkin melakukan hal itu di rumah... jadi kamu bisa tenang...”
“Aku tidak menanyakan itu, maksudku kenapa aku harus ke sini lagi?”
“....Temani aku....”
“Apa?”
Dia menunduk dan berkata, “Temani aku.....”
Aku menghela nafas. Sebenarnya idenya itu bagus-bagus saja, aku ke sini sampai malam tiba jadi bisa langsung pergi ke seminar itu. Dan memang benar katanya, aku bisa tenang meninggalkan Maya di rumah kalau ada orang seramai itu di rumah. Masalahnya kalau aku di sini terus dan menerima ‘SERANGAN PSIKOLOGI’-nya, lama-lama aku ke bawa perasaan dan suasana nanti!
“Ke sini lagi ya....” ucap Frieska penuh harap.
Tapi sayang sekali Frieska! Aku tidak akan luluh semudah itu! Aku terkenal tega dan kejam dulunya! Menerima permintaanmu yang mampu menggoyahkan diri ini tentu saja aku akan dengan TEGA MENOLAKNYA!
“Aku....”
“Nnnnng,” Frieska memelas wajahnya saat mengangkat kepalanya.
“Habis pulang, mandi, aku akan ke sini lagi.” BANGSAT!! MANA TEGANYA!! KENAPA AKU JADI LULUH SEPERTI INI!! DIMANA KAU RASA TEGA? TEGA-TEGANYA KAU MENINGGALKANKU DI SITUASI SEPERTI INI! SUNGGUH TEGA ENGKAU, WAHAI TEGA!!
Frieska tampak senang dari raut wajahnya, dia berdiri dan menggenggam tangan kananku dengan ke 2 tangannya.
“Bener! Kamu ga bohong kan???”
“Aku tidak akan menarik kata-kataku,” ucapku dengan nada tenang, HEI DIRIKU! KENAPA KAU MALAH MENGATAKAN KALIMAT SOK KEREN DISITUASI INI?
“Kok omonganmu jadi sok keren gitu?” Frieska tersenyum, JANGAN DISEBUTIN BISA KALI!!
“Aku pulang dulu.”
“Iya.”
Frieska mengantarku ke depan dan sialnya satpamnya yang pernah kukibuli ini bangun dan kaget melihatku.
“Hei! Kau yang dulu nilep uang 400 ribu itu kan?”
“Aku?” aku berpura-pura tak tahu, “Siapa anda?”
“Jangan pura-pura tidak tahu! Kau kan dulu pernah ke sini memakai motor!”
“Oh! Aku mengerti!”
“Jangan gitu dong, Mas! Saya kena damprat ayahnya non Frieska kemarin sebelum beliau pergi liburan!”
“Kayaknya ada salah paham di sini!”
“Salah paham gimana? Gara-gara, mas! Saya dimarahi! Dan gara-gara itu,” matanya melotot, “Gaji saya naik!!”
Aku terdiam dan suasana menjadi tenang. Tunggu. Apa aku tadi salah dengar? Kena marah bos.... tapi gajinya malah naik..... ITU SKEMANYA GIMANA COBA???
“Kok naik?”
“Ya gara-gara mas! Saya kesannya mudah ditipu sama tuan besar! Tuan besar marah dan gaji saya dinaikkannya! Melebihi UMR!”
“Bukankah....... seharusnya mas senang gaji mas naik?” tanyaku dengan wajah datar.
“Saya sedih kalau gaji saya melebihi UMR!”
“Hah?” aku lalu melihat Frieska dan melihat Frieska menahan tawa saja mendengar percakapan kami.
“Jangan gitu dong, mas. Gara-gara mas gaji saya jadi naik. Saya kan bingung menghabiskan uangnya gimana.”
Oke. Ini memang aneh, baru kali ini ada orang yang tak senang gajinya naik dengan alasan yang aneh pula. Jangan-jangan saking banyak uangnya maka ayah Frieska ini bingung mencari cara untuk menghabiskannya, makanya dinaikkannya gaji nih satpam. EMANG BANGSAT CARA ORANG KAYA KALAU URUSAN BIKIN DENGKI DAN IRI ORANG BAWAH!! Tapi aku juga tak mau disalahkan walau aku tahu aku memang salah.
“Mas salah paham. Itu bukan saya.”
“Kok bukan mas? Saya masih ingat wajah mas!”
“Saya tahu. Karena itu adalah saudara kembar saya.”
“Saudara kembar?”
“Iya. Itu saudara kembar saya.”
“Mas jangan bohong!”
“Saya tidak bohong, buktinya ada di sini.”
“Mana buktinya?”
“Saya ke sini memakai mobil,” kutunjuk mobil sewaanku, “Saya suka memakai mobil, sedangkan saudara kembar saya itu suka memakai motor. Dia pasti kesini memakai motor bukan?”
“Iya sih.... tapi masa sih?”
“Kalau tidak percaya tanya saja dia,” kutunjuk Frieska, “Itu saudara kembarku kan?”
Frieska tidak menjawab karena dia sibuk menahan tawa melihatku.
“Itu artinya iya,” kataku kepada satpam.
“Jadi itu saudara kembar, mas?”
“Iya. Saya lebih ganteng 70% dari saudara kembar saya.”
“Ga ada bedanya mas....”
“Ada dong. Coba lihat, lubang hidung saya ada berapa?”
“Dua, mas.”
“Tepat!”
“Memang lubang hidung saudara kembar mas ada berapa?”
“Hanya dia dan Tuhan yang tahu. Kalau masih tak percaya, tanya saja sama majikanmu.”
“Beneran, Non? Kemarin itu saudara kembarnya?” tanya satpam itu kepada Frieska.
Sedangkan Frieska masih menahan tawanya. Dan beruntung bagiku, karena aku rasa itu dianggap ‘IYA’ oleh sang satpam.
“Kalau begitu saya minta maaf, mas. Saya kira itu mas, ternyata itu saudara kembarnya, mas.”
“Tak apa, saya orangnya pemaaf,” kutepuk-tepuk pundaknya dengan wajah tak bersalah.
“Makasih, mas.”
“Biar saya marahkan saudara kembar saya itu! Gara-gara dia gaji mas malah naik! Biadab sekali saudara kembarku itu!” aku berpura-pura marah.
“Iya! Marahkan saja, mas! Gara-gara dia gaji saya naik!”
“Saya tampar dia nanti!”
“Iya, mas! Tampar saja nanti!”
“Mas juga mau saya tampar?” kutunjuk satpam.
“Jangan dong, mas!”
“Bercanda,” kutepuk-tepuk lagi pundaknya, “Dan katanya mas bingung ya mau menghabiskan gaji mas yang naik?”
“Iya mas. Mana bos bayar kontan lagi! Bingung saya! Saya traktir KFC 1 kos masih banyak sisa uangnya! Pening kepala saya!”
“Kasihan sekali. Bagaimana kalau saya bantu? Saya bantu menghabiskan gaji mas itu?”
“Serius, mas?”
“Serius. Saya ini baik hati, jadi saya mau membantu.”
“Wah! Tunggu sebentar, mas!”
Satpam itu lalu masuk ke pos dan kembali membawa uang berwarna merah. “Nih, mas!”
“900 ribu...” BUSET! BANYAK AMAT!
“Masih banyak di kos saya, mas. Mau saya ambilkan?”
“Tak perlu. Ini cukup. Terima kasih ya,” kutepuk-tepuk lagi pundaknya.
“Saya yang harusnya berterima kasih, Mas mau membantu menghabiskan gaji saya hehehehe.”
“Tenang. Kapan-kapan saya ke sini lagi, saya bantu mas menghabiskan gaji mas! Oke?”
“Oke, mas!”
Aku berpamitan lagi kepada Frieska dan masuk ke dalam mobil. Kuhitung lagi uang tadi, sepertinya lebih dari cukup untuk membayar sisa uang sewa mobil, bensin motor dan makanan untuk tamu-tamu istriku nanti.
Mungkin ini yang namanya, rezeki anak sholeh.
******************
Sesampainya di rumah aku sudah melihat begitu banyak ibu-ibu panitia di ruang tamu, yang di mana segala sofa dan meja disingkirkan di tepi sehingga mereka semua duduk lesehan dengan suasana yang luas.
“Dari mana Gio?” Farin, istri Pak RT yang pernah menyetubuhi istriku berbasa-basi.
“Jalan-jalan,” jawabku dengan senyum.
Kutanya keberadaan Maya dan Farin mengatakan kalau istriku ada di dalam. Aku masuk ke dalam dan melihat Maya sedang membuat teh dalam teko besar.
“Sayang, udah pulang,” sambutnya ceria.
“Ya, ini, untuk tamu,” kuberikan kantong berisi makanan.
“Banyaknya,” Maya kaget melihat isinya.
“Biar lama juga mengobrolnya,” jawabku.
“Hm,” Maya melihatku dengan saksama, “Papa kenapa?”
“Ng? Apanya?”
Maya menghampiriku dan terlihat cemas, “Papa ada masalah?”
“Masalah?”
“Papa seperti banyak pikiran.”
Aku terdiam. Dan astaga, bagaimana aku mengungkapkannya ya? Ya ini dia salah 1 alasanku menyayangi Maya. Kalau aku sedang ada masalah, banyak pikiran, stres atau apa, dia pasti akan tahu dan dia akan mencemaskanku layaknya seorang istri.
“Cerita sama Mama,” ucapnya meminta.
Tapi ya... gimana mau cerita. Aku memang ada beban pikiran, dan masalahnya ya kamu, Maya! Aku memang sudah mulai tak peduli dengan apa yang kau lakukan tadi namun melihatnya seperti ini, ada insting khusus untukku yang tak mau melihatmu cemas seperti itu. Aku memeluknya dan berkata dengan sedikit tawa.
“Papa ga ada masalah. Hanya capek saja.”
“Bener?”
Kalau sudah begini aku terpaksa berbohong. Ah! Dan kebohongan ini aku rasa juga pas untuk menepati janjiku kepada Frieska.
“Tadi papa diajak pemilik penyewaan mobil ke rumahnya nanti habis ini. Kami asyik mengobrol tentang mobil gitu.”
“Ngapain ke rumahnya?”
“Melanjutkan obrolan yang tertunda, dan sharing soal hobi. Papa kan hobi otomotif,” untung saja aku mempunyai hobi itu sewaktu di Jakarta, klop dah untuk kebohonganku.
“Oh gitu.”
“Mungkin sampai malam,” ucapku, “Dan papa mau mencari info mobil bekas, siapa tahu ada yang jual murah di sini.”
“Iih papa! Kita kan udah ada mobil di Jakarta, buang-buang uang aja! Kita juga ga tinggal lama di desa ini!”
“Kan hanya rencananya hehe. Tak apa kan papa sampai malam?”
“Awas ya kemalaman!”
“Kalau kemalaman papa telpon nanti. Dan kamu!” aku mendekatkan kepalaku, “Awas tidur di ruang tamu lagi!”
“Kamu bandel sih,” dia tertawa, begitu juga aku.
Dan kami berdua berciuman. Aku memeluknya erat dan merasakan tubuhnya yang seksi ini. Aku tak menyangka bukan hanya aku saja yang mencicipi tubuh Maya seperti ini. Karena selain aku, sudah berapa penis pria yang sudah mencicipi tubuhnya selama ini.
Mari kuhitung.
Pertama, mantan pacarnya sewaktu SMA.
Kedua, 8 orang anggota geng motor.
Ketiga, aku sendiri.
Lalu pak Bogo, pak Bazam, pak Komar dan pak RT. Kemudian pria gendut dan pria tua di bioskop tadi. Dan yang terakhir 3 orang di gudang tadi. Jadi totalnya ada 19 KONTOL yang berbeda sudah menyodok vaginanya.... bahkan anusnya. Dan aku tak siap apabila bertambah lagi penis untuk menyetubuhi istriku ini. Dia istriku! Dia milikku! Aku yang paling berhak!..... namun ini semua terjadi.
“Tunggulah Maya.... kuharap aku menemukan sesuatu di seminar itu.... tunggu ya, sayang....” batinku penuh harap.
Kulepas pelukan dan ciumanku, lalu aku tersenyum kepadanya.
“Kita terlalu lama, tamu menunggu.”
“Eh iya, papa siih,” dia mencubit pipiku.
Maya melanjutkan tugasnya dan aku berniat untuk mandi. Setelah mandi cukup lama + nyanyi-nyanyi tak karuan, maka aku berganti pakaian dan hendak pergi lagi untuk memenuhi janjiku. Tapi tentu saja aku harus berpamitan dulu dengan istriku. Aku mencoba memanggil Maya di ruang tamu namun tak ada keberadaan istriku, Farin mengatakan kalau Maya mau menjemur pakaian yang membuatku tahu di mana tempat yang harus kutuju.
Aku pergi ke lantai 2 karena di situlah Maya suka menjemur cucian baju. Dan benar, Maya ada di situ dan sepertinya dia sudah selesai. Karena sekarang dia asyik menikmati pemandangan desa dengan langit yang cerah sehabis hujan tadi. Angin sedikit berembus yang meniup rambutnya, sehingga dia bisa melihatku datang menghampirinya.
“Papa, mau ke mana?”
“Kan udah dibilang mau pergi nanti.”
“Oh iya,” Maya menghampiri dan memelukku, “Gantengnya suamiku.”
“Masa?”
“Hihihi.”
“Pakai celana panjang, jangan itu saja. Kan ga enak dilihat ibu-ibu.”
“Iya bawel.”
“Ibu-ibu sampai jam berapa di sini?”
“Ga tahu, mungkin malam. Soalnya semua lagi menunggu 2 orang lagi datang, mau masak di sini, hehehehe.”
“Begitu,” aku tersenyum, “Kalau begitu papa pergi dulu ya. Bungkam mereka dengan masakanmu.”
“Hihi oke.”
Kami berciuman sejenak dan bersama turun ke bawah. Maya masuk ke kamar terlebih dahulu dan memakai celana panjang seperti yang kupinta. Lalu aku ke garasi, untuk mengendarai sepeda motorku, ke tempat lain yang kutuju.
**************
Akhirnya aku sampai di depan rumah Frieska. Dan satpamnya itu lagi-lagi ngorok di posnya, kulihat langit lagi-lagi gelap. Kurasa wajar karena sekarang lagi musim pancaroba. Kulihat Frieska keluar dari rumah dan berlari pelan untuk membuka garasi. Dan...... Aku sedikit terpesona melihatnya, dia terlihat lebih ‘WANITA’ dari biasanya. Rambutnya di ikat dan memakai baju merah muda.
“Ayo.”
Aku lalu masuk sambil mendorong ke dalam, tentu saja aku masih asyik melihatnya. Sampai akhirnya aku kaget karena dia tiba-tiba menoleh dan berucap.
“Kenapa liat-liat?”
“Aku melihat tanaman, bukan kau,” dia tertawa saat aku memberikan alasanku tersebut.
“Kukira kau melihatku.”
“Jangan ge-er.”
Dan akhirnya aku benar-benar menemaninya di rumah ini, tidak melakukan hal yang aneh-aneh. Normal-normal saja seperti membakar rumah tetangganya, memesan order fiktif di aplikasi ojol, melempar satpamnya ke kandang buaya dan menjadi duo Buzzer RP di sosmed untuk menjilat pemerintah agar menjadi komisaris.
Bercanda.
Benar-benar normal. Aku asyik menonton TV di ruang keluarganya yang besarnya bukan main! Ini kalau perabotan disingkirkan aku sama Frieska bisa bermain futsal kali. Sedangkan Frieska asyik menjahit di sebelahku dan mengikuti instruksi lewat Youtube.
“Kenapa kau menjahit?” tanyaku di saat menonton televisi.
“Karena aku suka menjahit,” ucapnya.
“Jago?”
“Lumayan.”
“Nah! Mending kau jual bakatmu itu dari pada menjual diri kemarin!”
“Emang itu rencanaku.”
“Bagus-bagus.”
“Coba deh diem!” tegurnya karena dia merasa terganggu saat konsentrasinya pecah.
Aku tertawa saja dan lanjut menonton film. Asyik-asyik menonton tiba-tiba aku mendengar suara.
“Aduuuuuuuh!!”
Mataku melirik ke samping dan melihat dia menggenggam telunjuk jarinya sambil menatapku.
“Aduuuhhh!” dan dia lagi-lagi mengaduh.
Tak kupedulikan karena aku masih mau menonton film.
“Aduuuuuuuhh!!” dia mengaduh lagi, dan tetap tidak kupedulikan.
Tiba-tiba televisinya mati dan ternyata Frieska yang mematikannya lewat remote. Dia taruh remote itu dan menggenggam jarinya lagi dan berkata.
“Aduuuuuuuuuuuuuuh!!” dia mengaduh lagi, hanya saja kali ini vokalnya lebih panjang.
Aku menghela nafas dan situasi ini sewajarnya aku akan melakukan pertanyaan ‘KENAPA?’. Tapi aku malas menanyakannya, maka aku menoleh dan langsung memberikan solusinya.
“Risiko menjahit, tertusuk jarum. Kasih salep, obat tetes. Beres.”
Setelah berkata seperti itu aku mau mengambil remote-nya lagi, tapi jaraknya semakin jauh karena ulahnya. Aku melihatnya dan dia terlihat sebal memandangku.
“Kenapa?” akhirnya aku terpaksa menggunakan pertanyaan klise ini.
“Sakiiit,” ucapnya sambil melihat jarinya yang digenggam.
“Kan tadi udah dibilang, kasih salep, beres.”
“Ga mau!”
“Terserah.”
“Iiih!’ tanganku dipukulnya, “Sembuhin!”
“Sembuhin gimana?”
Dia arahkan telunjuknya itu di depan mataku.
“Kulum!” pintanya, oke, mantap
“Ga!” tentu saja aku menolak.
“Kulum!!” dia mulai bertingkah manja.
“Ngapain dikulum segala?”
“Biar kayak di film!”
“Maksudnya?”
Dia menyalakan TV dengan remote yang berbasis digital ini. Dia memilih 1 film dan dicepatkannya ke sebuah adegan tertentu. Sebuah adegan romantis dalam film Drama yang di mana ada wanita tak sengaja telunjuknya tertusuk jarum dan sang pria dengan cepat tanggap mengulum untuk menghisap darahnya. Wanita itu tersenyum, begitu juga sang pria. Dan mereka terus memadu kasih, hingga habisnya cerita.
“Tuh! Kayak gitu!” tunjuknya, “Menurutmu gimana?”
“Mau kutendang kepala sutradaranya!!”
Ya iya bukan? Orang ****** macam apa yang membuat adegan seperti itu? Iya kalau darahnya steril, kalau tuh cewek punya penyakit menular mematikan gimana? Mati tuh mereka berdua! Cocok jadinya dengan judul filmnya, ‘CINTA MATI’. Kalah-kalah begonya dengan kematian Romeo dan Juliet! Tapi Frieska tak peduli kayaknya. Alisnya mengerut, mulutnya cemberut saat menatapku.
“Memangnya kenapa?”
“Pengen kayak gitu,” jawabnya dengan suara manja.
“Astaga kau ini.....”
“Nnng.....” dia menundukkan kepalanya.
Aku menghela nafas. Memang aneh-aneh saja nih anak, tapi mungkin karena dia ingin melakukan adegan romantis itu dengan orang yang disukainya? Ya, bisa dibilang aku orangnya. Hanya saja aku heran, kenapa itu dibilang romantis? Berarti para Vampir dan anggota Palang Merah Indonesia adalah sesuatu yang paling romantis di dunia ini dong? Kan mereka kerjaannya menyedot darah melulu.
“Ya sudah,” kuiyakan saja akhirnya, lagian ada air kaleng yang bida kugunakan untuk membilas.
Frieska mengangkat kepalanya dan terlihat senang memandangku.
“Bener?”
“Jangan sampai aku berubah pikiran.”
Dengan segera ia mengarahkan telunjuk kirinya, karena aku malas maka aku dengan cepat melakukannya tanpa melihat.
“Tuh.”
“Eh salah!”
“Apanya?”
“Telunjuk yang ini,” dia menunjukkan telunjuk jari kanannya.
“Kau ini.... yaudah cepat!”
Dia arahkan telunjuknya dan kulakukan lagi. Dengan cepat kulepas dan mengambil air kaleng untuk membilas mulutku.
“Tanganku ga kotor kok,” suaranya protes.
“Untuk jaga-jaga.”
“Huh, tapi terima kasih ya, hehehe.”
“Ya ya ya.”
“Padahal tanganku ga ketusuk jarum.”
Tanganku mendadak berhenti untuk minum. Wajahku datar dan aku menoleh. Kulihat Frieska tersenyum manis dan menari-narikan ke 2 telunjuknya yang memang tidak berdarah sedikit pun.
“Makasiihh, iiiii romantis deh jadi cowok,” ucapnya dengan nada mengejek.
Aku tak bisa berkata apa-apa. Dengan gampangnya aku dibodohi seperti itu dan dia menertawakanku dengan riang. Ah sudahlah, untung dia tuan rumah.
“Jadi geli bertingkah manja kayak tadi, ga mau lagi ah!” keluhnya padaku, dia yang melakukan, dia yang jijik!
“Terserah!”
Waktu terus berlalu dan lagi-lagi hujan turun membasahi daerah ini. Udara yang sejuk tentu saja menembus tulangku, sementara Frieska berdiri sambil membereskan kain dan alat menjahitnya.
“Aku mau tidur dulu.”
“Ya.”
Dia lalu pergi dan aku masih menonton TV. Tak lama kemudian dia kembali dan memberiku selembar selimut yang tebal.
“Thank you,” ucapku dan menyelimuti badanku.
Dia juga menyelimuti badannya dengan selimut, setelah itu dia berbaring di pahaku.
“Hei! Kenapa kau tidur di sini?”
“Aku takut tidur sendirian.”
“Bohong! Masa kau takut tidur di rumah sendiri?” kugoyang-goyangkan pahaku untuk mengganggunya.
“Kalau berani aku ga tidur di sini. Coba deh diem!” dia mencubit pahaku.
“Di kamar saja tidurnya.”
“Boleh, asal kamu temani aku tidur dikamar. Yuk?”
“Di sini saja.”
“Mau meraba-raba tubuhku saat aku udah tidur boleh kok.”
“Udeh! Tidur!”
“Hihihihi!”
Akhirnya kubiarkan saja dia tidur di pangkuanku. Lama aku menonton TV dengan suara hujan yang ada di luar, tiba-tiba ada suara lain yang membaur dalam semua ini. Aku menoleh ke bawah dan melihat Frieska sudah tidur dengan tidur yang pelan.
“Haha,” aku tertawa dan berpikir, “Seperti Maya saja.”
Itu karena Frieska tidur dengan mulut mengulum jempol tangannya, seperti yang sering Maya lakukan kalau istriku itu sudah keenakan tidur. Jempol yang dikulumnya itu lepas turun ke bawah dan tiba-tiba Frieska mengigau.
“Gio....”
Aku terdiam di saat dia memanggil namaku dalam igauannya. Aku melihatnya terus dan dia tersenyum manis dalam tidurnya dan lagi-lagi mengigau.
“Gio.....”
Dia benar-benar memanggil namaku.... apa benar dia ini menyukaiku? Bahkan aku saja sampai muncul dalam mimpinya sehingga dia mengigau seperti itu. Badannya kemudian bergerak seolah mempererat selimut yang dipakai, dia tersenyum dan lagi-lagi memanggil namaku dalam igauannya.
“Gio.....”
Aku menghela nafas. Meski aku tidak menerima perasaannya, tapi aku akan memberikan penghormatanku kepadanya karena sampai memimpikanku. Kuelus kepalanya dengan lembut agar tidurnya semakin nyaman dan benar, senyumnya semakin manis sampai akhirnya dia kembali mengigau.
“Gio, sini pusss....sini Gioo, nih ada ikan asin, Gio sini-sini, pussss-pussss..... Ikan asin menunggumu, sini-sini.”
Hm. Kugeplak pipinya ini kira-kira dia marah tidak ya?
***************
Malam akhirnya tiba dan kurasa akan hujan lagi nanti, soalnya sudah gerimis seperti ini. Ku pacu sepeda motorku dengan Frieska menjadi penuntunku di belakang. Mendekati alamat tempat seminar maka aku memarkirkan motorku di dekat pasar. Dan ternyata pasar ini ramai juga ya, banyak orang berlalu lalang. Bahkan banyak toko dan aneka jajanan disediakan di pasar ini. Sepertinya kapan-kapan akan kuajak Maya dan anakku kesini nanti.
“Di sana ada taman hiburan, kamu ajak aja anakmu nanti kesini,” Frieska menunjuk tempat yang dimaksud.
“Memang sudah masuk ke dalam rencanaku.”
“Kalau itu....”
Dia terus menunjuk toko, tempat, atau apa pun yang sekiranya perlu untuk kebutuhan dan juga hiburan. Ya, dia dadakan menjadi tour guide di pasar ini untukku.
“Kalau ini,” dia menunjukku.
“Apa?”
“Cowok bodoh yang pernah onani melihatku,” ucapnya sambil memeletkan lidah.
Tak kubalas dengan raut wajah kesal dan dia malah tertawa renyah melihatku.
“Kapan anakmu pulang?” tanyanya.
“Kata ayah mertuaku seminggu, katanya.”
“Kok pakai katanya?”
“Lihat saja, hasilnya bukan seminggu. Pasti lebih, bukan sekali ini saja dia begitu.”
Frieska tertawa, “Cucu pertama ya?”
“Iya.”
“Wajar hihi.”
“Kenapa kau menanyakannya?”
“Gak,” dia lalu menoleh, “Boleh aku bermain bersama anakmu?”
“Bermain?”
Frieska mengangguk dan tersenyum, “Aku suka anak kecil.”
“Boleh-boleh saja asal tidak kau jual saja anakku itu di pasar gelap.”
“Hiiih!” dia kesal dan menendang kakiku, aku mengaduh saja.
Kami terus berjalan sampai akhirnya ada suara tangisan yang menarik perhatianku. Aku menoleh dan melihat anak laki-laki menangis. Kurasa dia menangisi cream dari es krim yang jatuh di bawahnya dan hanya memegang kerupuk es krimnya saja.
“Kasihan,” kataku.
Tapi tak ada tanggapan dari Frieska. Aku menoleh dan gadis itu menghilang entah ke mana. Aku celingukan mencarinya dan berhenti ke 1 arah, yaitu di tempat anak kecil menangis itu tadi karena ternyata Frieska ada di sana. Kulihat dia berjongkok dan menawarkan 2 es krim kepada anak itu, anak itu berhenti menangis dan polos memandang Frieska. Dia sepertinya membicarakan sesuatu yang tak bisa kudengar dari sini, dan.... wajahnya begitu ramah dan lembut saat berbicara kepada anak kecil itu, sampai akhirnya anak kecil itu menerima es krim pemberian Frieska dan terlihat senang bukan main.
Lalu datang pria dan wanita yang cukup berumur, mereka terlihat panik dan tergesa-gesa menghampiri tempat Frieska dan si anak kecil. Frieska lalu berbicara kepada mereka yang kurasa adalah orang tua dari anak itu. Orang tua itu tampak lega dan mengucapkan kata-kata yang tak bisa kudengar. Frieska lalu menunjukku dan orang tua itu memandangku. Mereka berdua tersenyum dan mengangguk, yang membuatku juga melakukan hal yang sama. Frieska sepertinya berpamitan, dan benar, dia berjalan menghampiriku.
“Yuk.”
“Kenapa anaknya tadi?”
“Anaknya langsung lari saat dibelikan es krim saking senangnya, mereka kalap dan kebingungan mencarinya tadi, anak itu larinya cepat.”
“Oh,” aku tertawa, dan memang, anak kecil kalau sudah berlari memiliki kecepatan yang bukan main.
“Kenapa senyum-senyum?”
“Tidak, ayo,” aku kembali berjalan dan tentu saja aku tersenyum, karena Frieska sudah memberikan bukti kalau dia memang menyukai anak kecil dan mampu menenangkannya.
Tali sepatuku lepas dan kuikat dahulu. Dan saat aku berdiri, kulihat Frieska setia menunggu di depan dan tersenyum kepadaku.
“Ayo,” ucapnya mengajak agar aku cepat-cepat.
Kami terus berjalan menuju alamat seminar ini yang ternyata cukup jauh dari pasar. Kami lalu melihat sebuah bangunan 1 tingkat yang dimana ada beberapa orang masuk ke dalam tempat itu.
“Ini tempatnya?”
“Iya,” Frieska melihat HP-nya, “Alamatnya di sini, tuh, foto tempatnya sama kayak di brosur.”
Aku juga memastikan dan benar. Maka aku dan Frieska melanjutkan perjalanan kami untuk memasuki tempat itu. Di dalam tempat itu sudah cukup banyak orang, dan rata-rata mereka semua adalah pria, jadi bisa dibilang hanya Frieska satu-satunya wanita di sini. Kami memilih bangku yang dekat dengan pintu keluar.
“Hmm,” Frieska terlihat serius memandang seseorang di kejauhan.
“Kenapa?”
“Aku pernah melihat orang itu,” ucapnya, aku lalu melihat pria berewok di kejauhan.
“Di mana?”
“Pangkalan, dia menyewa lonte di sana.”
“Serius?”
“Iya.”
“Oh, apa dia pernah menyewamu?”
“Aku belum lama melakukannya. Aku yang menawarkan diri, dan baru 5 orang saja yang menyewaku selama ini. Jadi kemungkinan aman, orang-orang lain tak tahu aku pernah menjual diri.”
“5 orang?”
“4 orangnya sudah kamu kirim ke rumah sakit.”
“Oh iya,” aku tertawa, “Jadi sebenarnya kau baru-baru ini melakukannya?”
“Begitulah,” Frieska melipat tangannya.
“Oke. Jangan lakukan lagi.”
“Hmm,” dia tersenyum dan memandangku.
“Apa?”
Dia membaringkan kepalanya di pundakku, “Jadi tambah sayang.”
Kutolak kepalanya dengan pundakku dan dia menahan tawanya. Tak lama kemudian acara seminar ini dimulai. Ada layar gede di panggung dan muncul seorang pria botak berkacamata memasuki panggung.
“Selamat malam. Saya Konan Tolaga, akan tetap menjadi narasumber favorit kalian semua di sini.”
Aku tiba-tiba menahan tawa di saat pria botak itu memperkenalkan namanya dan sepertinya menarik perhatian Frieska.
“Kamu kenapa tertawa?”
“Namanya.”
“Kenapa?”
“Kalau disingkat namanya bakalan rancu itu.”
“Maksudnya?”
“Konan Tolaga, hapus ‘An’ pada ‘Konan’-nya, lalu hapus ‘Aga’ pada ‘Tolaga’-nya. Jadinya apa?”
“Pfffftt!!” Frieska akhirnya ikutan menahan tawanya.
Ya begitulah, makanya aku menahan tawaku. Pria botak bernama Konan Tolaga ini kalau disingkat namanya akan menjadi KONTOL. Gimana aku ga menahan tawa coba? Pak Kontol ini masih melakukan basa-basi tentang seminarnya. Sampai akhirnya nada suaranya begitu tegas.
“Kita tahu arti pernikahan! Tapi tentu ada suatu tujuan. Jadi, apa tujuan para pria untuk menikah?”
Tak ada yang menjawab sampai akhirnya Pak Kontol ini menunjukku.
“Anda!!”
Aku terkejut dan menunjuk diriku sendiri, “Saya?”
“Ya! Anda! Saya baru pertama kalinya melihat anda diseminar ini. Tolong berikan mik kepadanya.”
Lalu ada orang menghampiriku dan memberikanku sebuah mik. Pak Kontol ini memintaku berdiri dan aku melakukannya saja.
“Siapa nama anda?”
“Oskar,” jawabku dengan nama palsu, aku tak mau orang-orang di sini tahu nama asliku.
“Selamat datang di seminar ini, Sangkar.”
“Oskar,” ralatku.
“Beri tepuk tangan untuk pendatang baru kita, Pak Dangkar!!” dia tak mendengarkan dan makin melenceng aje tuh nama palsuku.
Semua orang-orang memberiku tepuk tangan. Setelah puas, pak Kontol kembali berbicara kepadaku.
“Santai saja. Dan anda bisa memanggil nama panggilan saya,” pak Kontol tersenyum, “Panggilan saya pak Kontol, anda boleh memanggil saya dengan nama itu. Tak usah sungkan.”
BENERAN ‘KONTOL’ NAMA PANGGILANNYA!!!!
“O-Oh...ya...ya,” ucapku dan Frieska sampai menahan tertawa dengan keras di sampingku.
“Jadi, pak Bongkar...”
“Oskar,” ralatku lagi.
“Hahaha saya tahu. Jadi pak Bujur Sangkar.”
“Oskar.....”
“Iya saya tahu! Kan hanya beda tipis!” dia malah sebal, lagian beda tipisnya dari mana wahai KONTOL?? ‘OSKAR’ sama ‘BUJUR SANGKAR’ itu beda jauh!!
“Jadi, Pak Saipul,” makin parah saja nih orang salah sebut namanya, dan dia melanjutkan, “Apa tujuan sejati pria untuk menikah bagi anda?”
“Tujuan pernikahan ya ”
“Ya! Beritahu kami! Beritahu kami apa tujuan pria untuk menikah, wahai Pak Yanto!” makin melenceng jauh saja itu salah sebut namanya.
Tapi menerima pertanyaan itu membuatku teringat saat aku mengajak Maya menikah. Dengan kepala menunduk maka aku menjawabnya.
“Tujuan pria menikah, bagi saya untuk menyempurnakan kebahagiaan diri sendiri, dan menyempurnakan wanita yang kita pilih.”
Agak sedikit hening, tapi aku melanjutkan.
“Aku sudah menikah,” aku lalu mengingat pengalaman tragis Maya sebelum menikah, “Meski istriku tidak sempurna (sudah tidak perawan), tapi aku ingin menyempurnakan dirinya dan membahagiakannya (Mencintai dia apa adanya). Aku juga tidak sempurna, tapi dengan pernikahan aku merasa kehidupanku sempurna bersama istriku.... hanya dari hal sederhana, yaitu kebahagiaan. Jadi.... tujuan pria menikah adalah kebahagiaan kecil dalam rumitnya kehidupan.”
Setelah mengatakan itu suasanya begitu senyap. Aku menoleh ke samping dan melihat Frieska tersenyum manis dan matanya begitu sendu memandangku. Tapi itu hanya sesaat, saat aku mendengar suara pak Kontol menahan ketawanya.
“Hahahahahaha!!! Apa tadi Pak Bejo? Kebahagiaan?”
“....Ya.....”
“Hahahahaha! Kalian dengar tadi? Tujuan pernikahan bagi pria adalah kebahagiaan? LUCU SEKALI!! HAHAHAHAHAHAHAHAHAHA!!!”
Dan tak hanya si KONTOL itu yang tertawa, tapi semua orang menertawakanku. Aku tentu saja bingung dan menoleh ke arah Frieska.
“Apa tadi aku ada salah ucap?”
“Ga tau....” Frieska juga terlihat bingung.
“Hahahaha! Anda lucu sekali, Pak Budi! Anda pasti pelawak ya dulunya?” makin parah saja asal sebut namanya.
“Saya tak mengerti....” jawabku, “Nama saya Oskar,” dan sempat meralat nama palsuku untuk terakhir kali.
“Baiklah! Akan saya berikan jawaban yang pasti untuk anda! Pak Nazar!” Oke, aku menyerah. Terserah dia mau memanggilku apa!
“Jadi apa, pak Kontol?”
“Lihat layar ini, Pak Jaenab!!”
Lalu layar di belakangnya itu menampilkan sebuah gambar. Sebuah gambar yang tak asing dan mampu membuat mataku membulat memandangnya.
“INILAH DIA TUJUAN PRIA MENIKAH!!” teriaknya sambil menunjuk gambar tersebut.
Kalau mau tahu gambar apa itu, itu adalah gambar VAGINA DENGAN BULU- BULU DIATASNYA!
“INI DIA TUJUAN KITA UNTUK MENIKAH!! MEMEK!!” pak Kontol menunjuk gambar itu dengan semangat.
“MEMEEEEEKK!!” yang lain ikutan.
“PEPEK!!” teriaknya lagi.
“PEPEEEEKK!!” peserta lain lagi-lagi ikutan.
Pak Kontol lalu berlutut di depan gambar, dengan tangan mengarah ke objek layar itu sambil berteriak.
“VAGINAAAAAAA!!!”
“VAGINAAAAAAAAAAAAAA!!!” semua nya pun menyahut dengan suka cita.
Aku terdiam tanpa kata. Seminar macam apa ini?? Bahkan ada peserta yang menangis tersedu-sedu memandang gambar vagina itu. Dari pada dibilang seminar, ini lebih cocok disebut sekte!
SEKTE PENYEMBAH VAGINA!!
“Mpris! Ini apa-apaan?”
“Aaaaa..” Frieska juga tak sanggup berbicara, kurasa dia juga syok.
“Kacau tempat ini!” aku menarik tangan Frieska, “Ayo! Pergi!”
“MAU KEMANA ANDA? PAK DONO!!” teriak pak Kontol padaku menggunakan mik.
“Pulang!!”
“Apa? Apa maksud anda pulang? Bahkan anda sudah membawa wanita kesini!! Itu berarti anda mau memuja vaginanya bukan!! Bawa dia ke sini! Kita puja vaginanya bersama-sama!!”
Frieska ketakutan dan memeluk erat tanganku. Aku juga tak mau berlama- lama di sinj, maka aku segera berkata.
“Dia bukan perempuan!!”
Dan....senyap.
“A...apa? Apa maksud anda, Pak Indro? Dia bukan perempuan?”
“Ya! Dia ini bencong!!!”
Semua kaget, begitu juga Frieska. Tuh, mata dan mulutnya membulat memandangku.
“Bencong.... cantik sekali.... apa dia....masih punya kontol?”
“Nanti dia mau operasi kelamin!”
“Menjadi vagina?”
“Ya!”
Mendengar itu membuat pak Kontol bertekuk lutut, wajahnya dramatis sekali dan berbicara dengan suara lantang.
“LUAR BIASAA!!! INILAH BERKAH DARI SEBUAH VAGINA!!!”
“.... Maksudnya?”
“BENCONG ANDA SAMPAI MAU MERUBAH KONTOLNYA MENJADI VAGINA! BERARTI DIA SADAR BETAPA AGUNGNYA VAGINA ITU! DIA LAH PEMUJA VAGINA SEJATI!!”
“APA???” Frieska sampai teriak karena kaget.
“DAN ANDA MENDUKUNGNYA BENCONG ANDA, PAK TITO!! ANDA SETUJU KALAU DIA MERUBAH KONTOLNYA MENJADI VAGINA! ITU BERARTI ANDA JUGA PEMUJA VAGINA SEJATI! ANDA TAHU KEISTIMEWAAN VAGINA!!”
Aku terdiam, begitu juga Frieska.
“MULAI SEKARANG! ANDA DAN BENCONG ANDA MENDAPATKAN GELAR!! RAJA DAN RATU VAGINA!!! BERI SELAMAT UNTUK RAJA DAN RATU VAGINA KITA!!”
“RATU VAGINA!!” teriak peserta kepada Frieska.
“RAJA VAGINA!!” teriak peserta kepadaku.
Aku sudah tak tahan lagi. Maka aku mau keluar, tapi masih di cegat, namun aku punya kuasa sebagai ‘RAJA VAGINA’ di tempat ini, maka mereka menuruti apa kata Raja.
“DATANGLAH LAGI KE KERAJAAN VAGINAMU! WAHAI RAJA DAN RATU!!” teriak pak Kontol sesaat sebelum aku dan Frieska pergi.
Bodo! Siapa juga yang mau kesini lagi! Dan gelar macam apa itu?? Aku tak siap apabila berjalan di tempat lain dan disembah-sembah sebagai Raja Vagina. Aku terus berjalan sambil menarik tangan Frieska yang tampaknya masih ketakutan dari tempat tadi.
“Astaga....” keluhku di perjalanan, “Kau membawaku ke tempat yang aneh, Mpris.”
“Aku kan ga tau!” belanya, tapi dia juga terlihat sedih, “Maaf...”
Aku juga tak mau menyalahkan Frieska, aku tahu dia sebenarnya juga tidak tahu seminar itu benar-benar melenceng. Aku dan Frieska akhirnya sampai di motor.
Sebelum pergi, aku ingin memberikan penghormatanku untuk pak Kontol. Orang yang memberiku dan Frieska gelar Raja dan Ratu Vagina. Serta orang yang sudah sekian kalinya salah menyebutkan nama. Untung saja aku tak memberikan nama asliku tadi.
Aku lalu melakukan penghormatanku, dengan cara mengeluarkan HP, menekan nomor, dan menunggu panggilan diangkat. Itulah penghormatanku dengan cara menelepon polisi untuk sekte sesat tersebut.
KAU SEMBAH TUH VAGINA DALAM PENJARA!! KONTOL!!
๐ฆ BERSAMBUNG