𝐌𝐚𝐲𝐚, 𝐈𝐬𝐭𝐫𝐢𝐤𝐮 𝐄𝐩𝐢𝐬𝐨𝐝𝐞 𝟎𝟓

 


Kupacu terus Honda W175 ini menuju tempat Frieska berada dari pesan singkat yang dia berikan. Selama perjalanan ini aku lagi-lagi memikirkan perilaku istriku. Apakah selamanya dia akan begitu? Bahkan bertambah lagi 1 orang yang menikmati tubuhnya. Dari Pak Bogo, Pak Bazam, dan sekarang Pak Komar. Aku tak bisa berpikir jernih dalam perjalanan ini. Aku hanya tak siap saja apabila semua pria yang ada di desa itu ‘MENYANTAP’ istriku jika hasrat seksual istriku terus-terus menerus kambuh.

“Apa aku.... harus kembali menjadi yang dulu?”​

Untuk mengatasi masalah itu sebenarnya gampang. Yaitu aku kembali menjadi yang dulu. Menjadi sebuah ‘SOSOK’ yang bahkan istriku sendiri tidak tahu sebelum aku bekerja di Jakarta dan mengenalku.

Tapi tak bisa...... Aku masih mencintainya......

Aku tak siap ketika Maya melihat ‘SOSOK’ diriku yang dahulu. Sebuah ‘SOSOK’ yang akan membuatnya tak bisa mengenal siapa itu Gio, suaminya sendiri. Aku juga sudah lama memenjarakan ‘SOSOK’ itu di dalam tubuhku. Agar hidupku bisa lebih baik dan tenang saat menjalani hidup. Aku juga berharap.... ‘SOSOK’ ini masih bisa aku kurung dalam diriku. Walau aku tak tahu sampai kapan ‘SOSOK’ itu masih bisa aku tahan.

Akhirnya aku sampai di tempat yang kutuju. Sebuah pangkalan angkutan umum disertai begitu banyaknya pasar dan warung-warung kecil di tepinya.

“Besar juga ya,” batinku takjub melihat tempat ini.

Setelah turun dari motor, aku berjalan mencari tempat di mana Frieska menungguku. Menurut pesan singkat yang diberikannya, dia menyuruhku menunggu di salah 1 warkop (Warung Kopi) saja dulu dan dia memintaku menyebutkan nama warkop apa yang kusinggah agar dia bisa menyusul nanti.

“Memangnya kau di mana? Lebih cepat lebih baik bukan?” tanyaku lewat pesan singkat.

Tak ada balasan, dan aku cuek saja. Aku berjalan sambil melihat-lihat dagangan yang ada di sini. Aku terus berjalan sampai ke ujung pangkalan, di mana begitu banyak bus-bus tua terbengkalai dibiarkan di situ. Aku hendak kembali karena tempat ini sepi dan hendak mencari warkop yang nanti kugunakan untuk menunggu.

“Uuuuuuuuuuuuhhhhh.....”

Aku terdiam, alisku naik sebelah, aku menoleh ke belakang karena sepertinya aku mendengar suara lenguhan wanita.

“Suara apa itu?” batinku.

“Nghhhhhhhhhh....”

Dan suara itu keluar lagi di antara bus-bus dan truk yang terbengkalai ini. Penasaran, maka aku berjalan pelan menuju sumber suara. Aku terus mencari di mana tepatnya asal suara itu berasal.

“Terus desahnya, biar saya cepat keluar!” lalu ada suara pria.

Aku terdiam saat mendengar suara permintaan itu. Dan ada suara lenguhan wanita yang menuruti permintaan itu. Aku menoleh ke belakang dan dari bus sekolah tua itulah sumber suara itu berasal. Mengendap-endap aku berjalan ke belakang, dan melihat ada tumpukan semen usang memepet di belakang. Perlahan aku menaiki tumpukan semen itu untuk melihat dari kaca belakang bus ini. Dan saat aku melihat.... Ternyata di situlah sosok yang sedang menungguku tadi.

Di dalam bus ini sudah tak ada kursi-kursinya lagi seperti dilepas, dan di tengah bus itu terbentang karpet atau permadani kecil. Dan di atas benda itu..... ada sesosok wanita bertelanjang bulat dengan seorang pria yang kondisinya sama dengan dirinya.

Ya, itu Frieska.

Dan sekarang tertampang jelas tubuh seksinya itu di depan mataku. Tubuhnya benar-benar terbentuk dan berlekuk, 11/12 dengan tubuh istriku. Kulihat Frieska hanya berbaring, dan pria tua yang ada di sampingnya terus menggenjot vagina Frieska.

Tapi tunggu, sepertinya aku salah lihat.

Benar! Aku tidak salah lihat!

Pria tua itu tidak menggenjot vaginanya. Justru dia yang mengocok penisnya sendiri di hadapan vagina Frieska yang kulihat memiliki bulu-bulu kelamin yang cukup lebat.

“Ayooo, desah lagi, dek, mau crooot!!” pinta pria tua itu, tangan kanannya meremas-remas payudara Frieska, sedangkan tangannya mengocok penisnya sendiri.

Dan aku melihat wajah Frieska tampak biasa saja, tak ada ekspresi. Dengan malasnya dia mendesah dengan ekspresinya itu.

“Aaaahhh ahhhhh ahhhhh!”

“Oohh!! Bentar lagi!!!” pria tua itu merem melek, seolah sedang membayangkan menyetubuhi Frieska dengan sempurna.

Kulihat pria tua itu bergetar hebat tubuhnya dan tangan kanannya semakin kuat mencengkeram payudara Frieska.

“Uuuuhhhh!!” Frieska merintih karenanya.
“Ooooooohhhh!!! Keluaaaaar!!”

Cairan putih kental keluar dari penis tua itu dan menyirami dinding vagina Frieska begitu banyak.

“Mantaaap!!” pria tua itu lalu tidur terlentang di samping Frieska, dadanya naik turun seolah habis melakukan seks yang luar biasa.

Dada Frieska juga naik turun, dia bangun sedikit untuk melihat sperma yang membasahi dinding liar vaginanya itu. Agak kurang jelas kulihat, karena kulihat vaginanya itu begitu rapat. Frieska lalu berdiri menghampiri tasnya. Ia keluarkan air botol dan disiramnya vagina itu dari sperma. Dia juga mengeluarkan tisu dan botol penyemprot, kurasa itu botol parfum.

“Enak banget, terima kasih ya dek. Ngomong-ngomong nama adek siapa?” tanya pria tua itu. Loh? Dia tidak mengenal Frieska?

“Tak perlu tahu,” Frieska mengelap vagina dengan tisu yang sudah disemprot parfum, “Lebih baik anda bergegas. Bukankah tadi anda bilang mau pulang kampung?”

“Oh iya, tapi tunggu sebentar dulu. Capek.”

“Terserah,” Frieska hendak memakai pakaian dalamnya lagi.

“Adek sering mangkal di sini?”

“Tidak,” Frieska memakai BH-nya.

“Lalu di mana? Siapa tahu bapak mau kesini lagi, lalu mau ngentot lagi sama adek.”

“Tidak perlu tahu, dan percuma. Saya juga mau pindah dari kota ini.”

“Sayang sekali, haaaah,” Pak Tua itu kembali berbaring, “Terima kasih sekali lagi dek, sumpah badanmu enak banget! Meski tidak sampai ngentot.”

“Ya ya ya ya,” balas Frieska begitu cuek.

“Uangnya udah bapak taruh di saku seragammu.”

Kulihat Frieska melihat uang yang dimaksud, ia memasukkan kembali uang itu ke dalam saku seragam SMA-nya dan hendak lanjut memakai celana dalamnya. Aku yang melihat itu segera turun dari tumpukan semen dan menjauhi tempat itu, karena Frieska sudah selesai dan pasti mencari akan mencariku di tempatku menunggu. Buru-buru aku mencari warkop untuk dia menghampiriku.

*****************​

“Apa?” tanyanya karena aku terus melihatnya.

“Bukankah kau tadi memakai baju SMA?”

“Apa urusannya denganmu?”

“Penasaran saja.”

“Penasaran dengan bajuku atau tubuhku?” matanya menyipit curiga.

“Ga gitu juga,” kulihat jam, “Jadi kau tak sekolah hanya untuk ini?”

“Untuk apa juga aku sekolah?”

“Maksudnya?”

“Aku sudah lulus 2 tahun yang lalu,” dia melihat kertas menu.

“Apa?”

“Aku memakainya karena pria hidung belang di sini doyan cewek SMA,” jawabnya santai.

Aku terdiam. Benarkah itu? Itu berarti seragam SMA-nya hanyalah ‘SERAGAM KERJA’-nya dong? Aku lalu memperhatikan wanita ini. Dia benar-benar cantik dan tampak cuek, tapi kenapa dia bisa menjual dirinya seperti ini?

Dia memesan minuman dan memandangku.

“Oke. Jadi mana uangnya?” pintanya.

“Ah. Ini yang mau kubicarakan.”

“Bukankah kau tadi mengambil dompetmu yang ketinggalan di rumah?”

“Ya..... ketinggalan lagi,” alasanku, tak mungkin aku memberitahunya kalau aku tak bisa mengambil dompetku karena istriku sedang melakukan threesome di kamar.

“Loh? Lalu?” dia tampak kesal.

“Tenang-tenang! Aku punya uang elektronik!” kukeluarkan HP-ku.

“Dan aku butuhnya uang fisik!” matanya melotot. Sial! Bahkan melotot saja dia begitu cantik!

“Aku tahu. Nanti bisa kucairkan uang ini di ATM, jadi santai saja.”

“Awas kalau ga!”

“Tenang, banyak kok,” kutunjukkan saldo e-Wallet milikku.

Dia memandang saldoku dan memandangku datar, “300 ribu dipamerin?”

“Ga gitu juga maksudku....”

“Haaah,” dia menumpu kepalanya dengan tangan dan menghela nafas panjang.

“Ngomong-ngomong kau nekat juga ya.”

Frieska memandangku, bertepatan juga dengan pesanannya yang datang. Dia mengaduk sejenak minumannya sambil berkata.

“Maksudmu?”

“Tadi kau melakukannya lagi bukan? Di bus sekolah tua di belakang pangkalan yang sepi itu?”

Frieska memandangku dan tersenyum kecil.

“Aku rasa aku memang tak salah lihat. Tadi aku melihat bayangan seseorang sewaktu aku memakai baju. Jadi itu kau?”

“Siapa pria tua tadi?”

“Hanya orang luar yang mau pulang ke kampungnya lewat pangkalan ini,” Frieska menyedot minumannya.

“Begitu.... tapi bagaimana dia tahu kalau kau....”

“Aku yang menawarkannya,” ucapnya memotong.

“Kau menawarkannya?”

“Bukankah untuk mencari uang kita harus bergerak duluan?”

“Iya sih.....”

“Hm, 60 ribu.”

“60 ribu?” alisku mengerut, “Apanya yang 60 ribu?”

“Bayaranku, sekarang naik. Menjadi 60 ribu,” Frieska memandangku tenang.

“Kenapa?”

“Siapa suruh mengintipku? Itu berarti kau melihat tubuhku kan?”

“Tapi kan..... tak sampai.... Errr.... coli...”

“Tetap. Bayarannya 60 ribu.”

BUJUBUNEEENG! Tahu begini tak kuungkit masalah tadi. Tarifnya naik, COK!!!!

“Ya sudahlah,” aku berkata pasrah.

“Berarti masih ada sisa di saldomu dong?” dia bertanya sambil melihat ponselku.

“Kenapa memangnya?”

Frieska mengeluarkan secarik kertas dari dalam tas, dan memberikannya padaku.

“Apa ini?”

“Baca saja,” Frieska menyeruput minumannya.

Aku bentangkan kertas itu dan membaca isinya. Dan wajahku datar saat melihat apa yang ada di dalamnya.

1. Ciuman = 25 ribu.
2. Pegang Tete = 30 ribu.
3. Di coliin = 30 ribu.
4. Paket A : Ciuman + pegang tete + dicoliin = 70 ribu.
5. Coli pakai tete = 40 ribu
6. Remas tete = 30 ribu
7. Isep tete = 30 ribu
8. Paket B : Remas/isap tete = 65 ribu.
9. Pegang memek = 50 ribu.
10. Sepong = 50 ribu.
11. Paket C = Pegang memek + sepong + dicoliin = 80 ribu.
12. Paket D : Ngentot tanpa dimasukin ke memek = 100 ribu.​

Aku menatapnya, dan dia menatapku. Lantas aku bertanya.

“Apa ini?”

“SD ga lulus? Masa harus kuajarin cara membaca?” dia malah bertanya balik.

“Maksudku kenapa memberikannya padaku?”

“Bukankah saldomu masih ada sisanya, siapa tau mau menggunakan jasaku.”

“Tapi kan....”

“Kalau mau kayak bapak tadi,” Frieska menunjuk kertas, “Dia tadi pakai paket D. Aku tinggal telanjang dan terserah kamu mau apakan tubuhku. Asalkan burungmu itu tidak masuk ke dalam memekku. Dia juga memakai paket B dan minta di sepong. Tapi karena baru pertama kali, mungkin kusaranin memakai jasaku yang ini saja, eh tapi untuk saldo sisanya, ini juga boleh. Eh tapi....”

Aku terdiam.

Sekarang Frieska bertingkah layaknya sales yang menjelaskan produk yang diperdagangkannya. Hanya saja yang diperdagangkan ini adalah bagian tubuhnya untuk hasrat seksual!

Aku tak mengerti jalan pikiran wanita ini.

“Oh, kalau memintaku menelan spermamu saat kusepong ada biaya tambahan.”

“Tunggu-tunggu,” potongku.

“Ada apa? Tidak ada diskon,” dia memandangku cuek.

“Aku tak masalah dengan daftar-daftar ini.”

“Terus?”

“Bukankah tarif yang kau berikan ini terlalu murah?” aku menepuk kertasnya pelan.

“Terus kenapa?”

“Kau tanya kenapa? Untuk wanita sepertimu kau bisa dibayar lebih dari ini kalau di kota!”

“Di sini bukan kota. Ini kampung, bentuknya aja yang kayak kota.”

“Bukan itu maksudku!!” kok jadi aku yang jengkel di sini.

“Tak masalah bagiku,” Frieska menyeruput minumannya lagi, setelah itu dia berkata, “Lalu apa maksudmu tadi?”

“Apa?”

“Wanita sepertiku. Maksudmu apa?”

“Kau tak sadar?”

“Apa?”

“Kau itu cantik! Putih! Bersih! Kau bisa memanfaatkan kelebihan kau itu untuk hal yang lain. Modeling, beauty vlogger! Atau mencari pria mapan untuk menyukaimu! Bukannya menjual diri seperti ini.”

Matanya membulat memandangku dan mulutnya berkata.

“Aku cantik?”

“Kau tak pernah bercermin?” kutanya saja balik.

“Pernah. Biasa saja bagiku.”

“Bagimu. Bagi pria-pria, sepertiku, kau itu cantik.”

Dia terus memandangku dalam diam. Aku juga memandangnya dalam diam. Sampai akhirnya dia berbicara.

“Tak ada pengurangan harga atas gombalan itu.”

“Aku tidak menggombal.”

“Udah tukang coli, tukang gombal pula.”

“Aku tidak menggombal.”

“Jelek begini dibilang cantik. Matamu buta?”

“Matamu itu yang buta!!” kok jadi darah tinggi begini ngomong sama nih anak muda.

“Kutambah tarifnya kalau masih membentakku.”

“Maafkan aku,” suaraku mendadak lembut, sial!! Mau tak mau dari pada tarifnya naik lagi!

Frieska cuek menyeruput minumannya lagi dan aku kembali hendak membaca daftar jasanya.

“Lagian ada yang mahal kok di daftarku itu,” ucapnya.

“Yang mana?”

“Lihat saja sendiri.”

Aku melihat dan memang ada daftar yang terlewat kubaca, segara kubaca daftarnya yang baginya mahal di situ.

13. Ngentot (Kontol masuk ke dalam memek) : 50 Milyar.

MAHAL AMAT! ANJEEEEENNG!!​

“Kenapa?” dia malah santai bertanya melihat ekspresiku.

“Mahal sekali untuk ini?” aku menunjuk daftar yang dimaksud.

“Tentu saja mahal.”

“Kenapa?”

Dia memandangku lagi dan menjawab.

“Karena aku masih perawan.”

Dan aku terdiam. Diam untuk mencerna jawabannya. Lalu aku bertanya.

“Serius?”

“Menurutku, aku berhak mengatur harga untuk keperawananku. Itu hakku bukan?”

“Ya.... iya sih.... Tapi.... mahal amat....”

“Itu kan hakku.”

“Iya sih....”

“Ya sudah, beres,” dia kembali minum.

“Kalau kau masih perawan..... kenapa kau.....”

“Bukan urusanmu,” selanya.

Aku terdiam lagi. Pantas saja 3 orang yang kulihat menggunakan jasanya tidak sampai ke tahap berhubungan badan yang sesungguhnya. Orang kampung mana juga yang punya uang sebanyak itu? Kalau pun ada, mereka tak mungkin tinggal di kampung ini lagi. Tapi ini masih menjadi rasa penasaran bagiku.

“Boleh kutebak?”

“Silakan.”

“Apa karena hutang?”

“Tidak.”

“Oh, atau ingin menabung untuk membeli barang yang kau inginkan?”

“Tidak.”

“Untuk biaya orang tuamu yang sakit?”

“Orang tuaku sehat walafiat.”

“Untuk biaya saudara kandung yang sakit?”

“Aku tak punya saudara.”

“Lalu untuk apa?”

“Bukan urusanmu,” dia memelet lidah untuk mengejek.

Aku menggerutu dan kulihat dia tersenyum seperti menahan tawa.

“Kau lucu juga,” komentarnya.

“Terima kasih,” balasku malas.

“Ya sudah. Lebih baik cepat bayar utangmu itu padaku.”

“Haaah,” aku meletakkan kertas itu di meja, “Ya sudah. Antar aku ke ATM.”

“Menuntunmu begitu?”

“Aku juga pendatang di kampung ini. Tidak hafal di mana letak-letak ATM.”

“Hm, 40 ribu.”

“Tarif lagi?”

“Yap. Totalnya 100 ribu, untuk jawabanku atas pertanyaanmu itu. 60 ditambah 40, 40 ribu adalah biaya jawabanku.”

“Kalau kau dokter mungkin wajar. Aku kan hanya bertanya mesin ATM di mana?” aku agak sebal.

“Ya sudah, cari sendiri. Kalau masih tak bisa bayar, hari ini juga aku ke rumahmu dan membeberkan ulahmu yang mengintipku,” cakep-cakep jago ngancem juga nih cewek.

“Baiklah,” aku mengiyakan saja, toh aku masih ada uang sebenarnya. E- Wallet ini sisa belanja online shop saja sewaktu aku di Jakarta.

“Sepakat ya?”

“Iya.”

“Hm,” dia melipat tangannya.

“Lalu di mana ATM-nya?”

Tangan kanannya itu lalu bergerak, dan dengan santainya jempol tangannya itu ia tunjuk ke arah kanan. Aku menoleh ke arah yang ia tunjuk dan aku melihat ada ATM BERSAMA tak jauh dari warkop ini.

BANGS*T!!!
NGAPAIN AKU BERTANYA KALAU ATMNYA ITU TEPAT BERADA TEPAT DI SAMPING WARKOP INI!!
KAN AKU JADI KENA TARIF OLEHNYA TADI!!​

“Jangan lupa janjimu,” dia melipat tangannya lagi dan cuek memandangku.

Dengan kesal aku berdiri dan berjalan menuju ATM. Kucairkan uang 150 ribu yang di mana 100 ribunya untuk dia. Dan 50 ribunya untuk membayar minumanku, hm, sepertinya minuman dia juga. Aku rasa dia tidak akan mau membayarnya.

“Nih!” kuberikan uang itu padanya.

“Lain kali jangan ngintip,” sindirnya dan memasukkan uang itu ke dalam tas.

Aku duduk sejenak untuk menghabiskan minumanku, baru habis itu aku membayar dan pergi. Sementara Frieska kulihat fokus sama ponselnya.

“Aku pergi dulu. Biar minumanmu yang kubayar.”

“Boleh aku ikut?” dia juga berdiri sambil menenteng tasnya.

“Kenapa?” aku tentu saja bingung.

“Antar aku.”

“Ke?”

“Tempat klienku selanjutnya.”

“Kenapa tidak pergi sendiri? Bukankah kau memakai sepeda tadi?”

“Itu bukan sepedaku.”

“Lalu punya siapa?”

“Polisi di pos jalan sana. Kuambil diam-diam.”

Wajahku datar bukan main mendengarnya.

“Tenang saja, sudah kukembalikan,” lanjutnya, kenapa juga harus aku yang tenang? Kan kau yang mencurinya! Seolah-olah dia ini menganggap aku komplotannya saja!!

“Kau kembalikan kepada polisinya?” tapi aku juga penasaran.

“Enggak, kubuang ke got yang ada, tak jauh dari posnya. Ya kali mengaku mengambil sepedanya diam-diam.”

Kalau ada kontes wanita tidak sopan se-Indonesia. Nih cewek juara satunya kali.

“Kenapa juga harus aku,” keluhku sambil berjalan.

“Anggap saja kamu Germo-ku,” balasnya santai.

Lentis amat tuh mulut. Memangnya mukaku ini tipikal germo Indonesia kah? Haah, sudahlah. Kayaknya percuma diladeni terus. Wanita ini pandai membuat alasan. Setelah membayar, maka aku dengannya berjalan bersama menuju tempatku memarkirkan motor.

“Kau tadi melakukannya di pangkalan ini, apakah orang-orang di sini tahu kalau kau itu.....”

“Tidak,” ucapnya memotong.

“Kau tidak takut kalau orang-orang yang memakaimu tadi mengatakannya kepada orang lain? Yang bisa jadi, kemungkinan sampai di telinga orang tuamu? Atau tetanggamu?”

“Kalau terjadi, ya terjadilah,” nih cewek kayak ga punya beban gitu ya jawabannya. Santai sih santai, tapi ya kagak gini juga kali. Masa ga memikirkan resiko ke depannya?

“Kusarankan saja untuk berhenti, daripada amblas nantinya,” ucapku.

“Kau tak punya hak mengaturku.”

“Aku punya hak,” aku menoleh kepadanya, “Untuk mengingatkan sesama manusia.”

“Sesama manusia?”

“Ya.”

“Manusia tukang coli maksudmu? Manis sekali ternyata ucapan dari tukang coli kepada objek colinya.”

Aku menggerutu sejenak dan melanjutkan, “Aku mengatakan ini agar kau...”

“Apa?”

Aku tak bisa melanjutkan ucapanku. Karena nasehat yang mau kuberikan mengingatkanku kepada perbuatan istriku. Ini sama saja aku memberikan nasehat omong kosong, karena aku sendiri tak mampu mengubah kelakuan istriku. Kami akhirnya sampai di motorku, kunyalakan mesinnya dan dia duduk di boncengan. Saat motorku keluar dari pangkalan, dia mulai mengeluarkan suaranya.

“Agar apa tadi?” ternyata dia masih penasaran.

“Tidak, aku mengingat seorang wanita yang dengan mudahnya memberikan tubuhnya itu kepada orang lain.”

“Maksudnya? Dia sudah mempunyai pacar tapi nge-seks sama pria lain?”

“Lebih parah dari itu.”

“Maksudmu?”

“Wanita itu sudah bersuami.”

“Apa?” sepertinya dia kaget.

“Dan mempunyai 1 anak.”

“Gila! Wanita macam apa itu?”

“Hei, mengingat jasamu seperti apa. Aku rasa kau tak pantas berkata seperti itu,” aku menoleh ke belakang.

“Aku tak peduli! Meski aku begini, aku paham mengenai itu. Kenapa bisa- bisanya dia melakukan itu setelah mempunyai suami dan anak?”

“Aku tak tahu..... tapi menurut dugaan.... itu karena dia mengidap ekshibisionis.”

“Ekshibisionis? Maksudmu..... orang yang suka memamerkan tubuhnya kepada orang-orang, bahkan nekat bertelanjang di publik?”

“Begitulah. Dan katanya yang mengidap itu rela memberikan kepuasan seksual kepada korbannya, karena dia juga akan merasa puas karena itu.”

“Harus ke psikiater itu. Aku enggak yakin kalau itu hanya karena ekshibisionis, bisa jadi ke perilaku lain. Kasihan dong suami dan anaknya. Memangnya siapa dia itu?”

“Kuberitahu kau juga tak akan mengenalnya.”

“Kasihan..... apa suaminya tahu hal itu?”

“Ya. Sangat tahu.”

“Dan dia diam saja?”

“Katanya sih.... suaminya itu terlalu mencintai istrinya....”

“Itu bodoh namanya!”

Aku tersenyum tipis mendengar komentar Frieska. Dan memang benar, akulah manusia bodoh itu. Yang tak melakukan apa-apa, bahkan aku coli melihat istriku disetubuhi pria lain. Meski perbuatan istriku hina, aku juga bisa dibilang hina karena membiarkannya.

“Kau kenal suaminya?” tanyanya lagi.

“Tidak terlalu. Dan kau.”

“Apa?”

“Siapa klienmu?”

“Teman bapak-bapak tadi pagi.”

“1 orang?”

“Ya.”

“Kau masih tetap ingin menjaga keperawananmu dengan tarif fantastis itu?”

“Kenapa?”

“Kuingatkan saja. Pria itu jauh lebih kuat dari wanita, apalagi kalau sudah dikendalikan nafsu. Apa kau tidak berpikir orang-orang yang menggunakan jasamu bisa nekat memecahkan keperawananmu?”

“Kurasa mereka tak akan melakukannya. Mereka akan sibuk dengan tete ku! Bukankah kaum kalian begitu tergila-gila dengan tete wanita?”

“Siapa juga yang tidak?”

“Jadi aku tak perlu takut.”

“Yakin?”

“100%.”

“Itu naif.”

“Pokoknya aku yakin!”

“Terserah,” aku lalu memikirkan hal lain, “Oh. Boleh aku meminta tarif untuk jasa mengantar ini?”

“Perhitungan sekali!”

“Terserah. Gimana?”

“Ck, ya sudah. Berapa?”

“Aku tidak meminta uang.”

“Lalu?”

“Aku meminta tarif sebuah jawaban. Apa kau tahu di mama toko elektronik yang menjual CCTV?”

“CCTV?”

“Ya.”

“Di dekat rumahku ada rasanya.”

“Di mana?”

“Memangnya untuk apa?”

“Kau tak perlu tahu. SMS kan saja alamatnya.”

“Tak baik membuat wanita penasaran!”

“Kau bahkan membuatku penasaran beberapa kali.”

“Tak boleh dendam sama wanita!”

“SMS aje cepat!” gerutuku, memang banyak alasan nih cewek!

Kudengar Frieska membuka tasnya, sepertinya dia mengambil HP untuk mengirim alamat toko elektronik itu. Dan ide ini terlintas tiba-tiba. Aku ingin memasang CCTV diam-diam di rumah. Untuk mengetahui kelakuannya selama aku tidak ada di rumah. Tentu saja CCTV ukuran kecil yang akan kupakai agar istriku tidak menyadarinya.

Aku memang masih bertahan saat ini.

Kalau pun tidak, aku bisa menggunakan rekaman CCTV itu untuk menggugat cerai Maya. Tapi aku rasa aku masih bisa bertahan, karena aku memang mencintainya, dan bisa dibilang juga, Maya adalah penolongku.

Karena kehadirannya.... mampu mengubur ‘SOSOK’-ku yang dulu.

Sebuah sosok diriku yang kubenci, dan aku yakin Maya juga akan membencinya apabila aku kembali menjadi sosok itu. Sebuah sosok yang akan menjadi mimpi buruk bagi pria-pria..... yang telah bercinta dengan Maya dibelakang-Ku.

********************​

Aku mengantar Frieska tak jauh dari tempat tadi pagi, yang di mana sekelilingnya dipenuhi hutan lebat yang asri. Frieska turun dan segera pergi tanpa berpamitan padaku.

“Hei,” panggilku.

Dia menoleh dengan raut wajah cueknya itu.

“Berhati-hatilah.”

“So sweet,” katanya sinis dan kembali berjalan.

Dia kemudian menghilang dalam rimbunnya hutan. Aku juga tak peduli dan hendak pergi. Namun nasehat yang kuberikan padanya tadi malah membebani kepalaku.

“Bukan urusanku.”

Aku pun mengendarai motorku. Semakin jauh maka aku semakin memikirkannya.

“Sial!!”

Dengan terpaksa aku membelok. Meski aku tak terlalu kenal dengannya, yang jelas aku tetap khawatir kepadanya. Kutepikan motorku dan segera menyusul arah yang ia lalui tadi. Awalnya aku bingung mau mencarinya di mama, tapi di dalam hutan ini aku melihat adanya pondok tua di sana. Aku mencoba menyelidikinya dulu tapi sepertinya tidak perlu. Karena samar-samar aku bisa mendengar suara pria tua di dalamnya sedang berbicara.

“Besar sekali susumu, dek!!”

Tanpa basa-basi aku segera berlari ke arah belakang pondok ini. Cukup tua seperti pondok yang ada di film-film horor, dan karena tua ini lah. Ada beberapa lubang karena kayu yang lapuk bisa membuatku melihat apa yang ada di dalam. Kulihat seorang pria tua memeluk Frieska dari belakang dan meremas-remas payudaranya. Dan dari sini, aku bisa melihat raut wajah Frieska begitu sayu. Berbeda dengan raut wajahnya yang begitu cuek sedari tadi.

“Kayaknya langsung saja, dek. Bapak tak tahan hehehehe,” pria tua itu menggesek-gesekkan penisnya ke bokong Frieska.

Wajah Frieska yang sayu tadi kembali datar saat menoleh ke belakang untuk berhadapan dengan pria tua ini. Ia menaruh tasnya disudut, dan dari sinilah aku juga bisa melihat Frieska melakukan proses melucuti pakaiannya satu-satunya.

“Astaga..... dia benar-benar seksi....seperti Maya,” batinku sambil menelan ludah.

Frieska sekarang sudah telanjang bulat. Bisa jadi bapak tua ini memakai jasa paket.... paket..... paket apa tadi ya? Pokoknya yang kontolnya tidak boleh masuk ke dalam memeknya.

“Wow! Luar biasa!!” puji Bapak tersebut kepada tubuh telanjang Frieska.

Aku setuju dengan pujian bapak ini. Tubuh Frieska benar-benar menggiurkan. 11/12 dengan istriku. Kulihat bapak itu juga bertelanjang bulat. Dia lalu mengocok penisnya sambil berjalan ke arah Frieska.

“Besar sekali,” tangan kiri bapak itu lalu memegang payudara Frieska.

Kuperhatikan wajah Frieska. Wajahnya benar-benar tanpa ekspresi sambil melihat payudaranya diremas seperti itu, ia melihat bapak itu dan sepertinya ia mengambil nafas lemah.

“Aaaaahhhhhhh.....” desah Frieska.

“Hehehehe!” dan Bapak itu semakin semangat mengocok penis dan meremas payudara Frieska, dan tak lama kemudian dia menghisap puting payudara Frieska.

“Nnnnnghhh!!” Frieska pun melakukan desahannya.

Bisa kusadari kalau Frieska hanya berpura-pura mendesah saja. Itu ia lakukan untuk membangkitkan nafsu para pria yang ada di depannya itu.

“Kurasa..... dia tidak menikmatinya,” pikirku.

Bapak itu kemudian pergi ke sudut untuk mengambil sesuatu. Sebuah terpal dikeluarkan, sepertinya dibawa dari rumah karena terpal itu kulihat terawat. Tak mungkin pondok tua ini memiliki terpal sebersih itu. Setelah terpal itu dibentangkan di lantai, Frieska lalu berbaring dan mengangkang di depannya.

“Cepet, pak,” suruh Frieska.

“Sabar hehehehe.”

“Nunggu apalagi? Cepet!”

“Nungguin mereka hehehehe.”

“Mereka?” Frieska tampak bingung, begitu juga aku.

Dan tiba-tiba dari pintu depan masuk 3 orang bapak tua. Yang di mana 2 di antara tadi memakai jasa Frieska dengan payudaranya.

“Eh!!” Frieska bangun dan menutup payudaranya, “Apa-apaan nih? Kenapa kalian di sini?”

“Pakai ditanya lagi hahahahaha!” salah 1 bapak itu tertawa dan membuka baju serta celana bersama 2 bapak lainnya.

“Apa maksudnya ini? Kan perjanjiannya 1 orang saja!” sergah Frieska.

“Bosan dek. Nenen melulu, jadi kami sepakat...” salah 1 bapak tertawa.

“Sepakat? Sepakat apa?” Frieska terlihat cemas.

“Memperkosamu! Hahahahaha!”

Frieska tampak gusar mendengar itu. Aku tahu kekalutannya, meski dia melayani hubungan seks, tapi dia masih perawan. Dan sekarang keperawanannya terancam dengan paksa. Tak mungkin dia tidak akan kalut dalam situasi ini.

“Sial! Bagaimana nih?” aku celingak-celinguk mencari sesuatu yang kuanggap bisa membantunya.

“LEPASKAAAN AKUUU!!!”

Aku kaget mendengar teriakan itu. Kuintip ke dalam dan kulihat Frieska mencoba melarikan diri tapi ditahan oleh ke 4 orang itu.

“Mau ke mana lonte?? Hahahahahah!” salah 1 bapak meremas-remas payudaranya.

“Kangkangin kakinya!”

Frieska kulihat diangkat 3 bapak itu dan dipaksa mengangkang. Frieska meronta-ronta namun sepertinya dia kalah tenaga.

“Diam lonte!!” teriak bapak yang mengangkat tubuhnya dari belakang.

“Sllrrrrrrpppppp!!” sementara Bapak sebelah kanan dan kiri asyik menghisap puting payudara Frieska sambil menahan tubuh Frieska.

“Hisap terus! Hahaha!” kata bapak yang menahan Frieska dari belakang.

“Tak ada susunya,” bapak sebelah kiri meludahi puting kiri Frieska dan menghisapnya lagi.

“Makanya! Kita entot nih lonte sampai hamil! Biar tetenya punya susu! Hahaha!” kata bapak sebelah kanan sambil menjilat-jilat puting kanan Frieska.

“Jangan! Tolong! Jangaaan!!” teriak Frieska dengan suara bergegar.

“Slrrrrrppp!!” 2 orang pengisap payudaranya tak peduli.

“Wuiih!!” Bapak yang di depan selangkangan Frieska yang terbentang tampak terkejut, “Dia masih perawan!!”

“Serius?”

“Iya!”

“Wah! Berarti kita bakalan merawanin anak gadis! Hahahahahahaha!!”

“Jangaaaaaannn!!” dan Frieska akhirnya menangis.

Aku tentu tak akan diam. Meski Frieska itu menyebalkan bagiku, tapi aku tak mau menutup mata. Segera aku mencari sesuatu yang sekiranya bisa membantu. Aku temukan kantong keresek hitam yang usang, kuambil dan kulubangi 2 arah untukku melihat.

Dengan terpaksa aku memakai kantong itu untuk menutupi kepalaku. Lalu aku melihat batang kayu pohon yang cukup besar, kuambil dan segera berlari ke depan. Sesampainya di depan, kulihat bapak-bapak itu menampar-nampar keras vagina Frieska.

“Memek nakal ya! Masih perawan sudah berani menggoda kontol kami!” dan bapak itu menampar vaginanya lagi, sedangkan yang satunya mengambil ponsel Frieska dan melakukan foto grup sambil memperlihatkan kondisi Frieska yang bugil dalam pertahanan mereka.

Frieska tak bisa apa-apa. Dia hanya menangis dan merasakan sakit pada vaginanya akibat tamparan keras dan perlakuan yang ia dapatkan. Di saat itulah aku muncul dan berkata dengan lemah lembut.

“WOOOIIII!!” oke, aku bohong, aku berteriak.

Teriakanku tentu saja mengagetkan mereka semua, termasuk Frieska.

“Siapa kau?” teriak salah 1 dari mereka.

“Lepaskan wanita itu!” suruhku.

“Kau siapa!! Anj*ng!!”

“Aku.......” di sini aku mulai bingung.

Aku tak mungkin memberitahu identitasku kepada mereka, untung saja aku tergolong pintar, maka dengan pintarnya aku berkata.

“Aku adalah pahlawan kebenaran dan keadilan hutan ini!! Akulah!! Keresek-Man!”

Hm........ kurasa itu bukanlah perkataan yang pintar.....

“Keresek-Man?” kata salah 1 dari mereka

“Ya!” lantangku menahan malu, untung saja mukaku ditutup kantong keresek.

Lalu aku ditertawakan oleh mereka secara barbar. Wajar, kalau aku diposisi mereka mungkin aku juga bakalan tertawa. Sial!! Malu sekali rasanya mengatakan hal bodoh seperti itu!

“Oke! Pahlawan kebenaran! Lawan aku!”

Bapak yang menampar vagina Frieska segera berlari ke arahku. Hanya saja..... dia ini tidak sadar atau lupa? Kan aku sedang memegang batangan kayu besar. Lalu apa yang kulakukan dalam situasi ini?

TENTU SAJA KUHANTAM KEPALANYA!!​

Hantaman keras yang kulakukan langsung membuat bapak itu roboh seketika. Dan dari bunyinya yang terbentur benda keras ini. Aku tak yakin kepalanya baik-baik saja. Ke 3 orang tua itu terperangah, begitu juga Frieska. Aku lalu mengetuk kayu itu di pundakku, dan dengan lagak santai, aku pun berbicara.

“Turunkan wanita itu.”

Dengan cepat ke 3 pria tua ini menurunkan Frieska. Frieska yang sudah turun dengan segera kuberi komando.

“Pakai bajumu, kembali ke jalan besar.”

Frieska menurut, ia segera menghampiri tempat ia menaruh bajunya yang berada dekat denganku. Selagi dia memakai baju dan mengawasi 3 orang itu. Aku berbicara pelan kepadanya.

“Naif tidak bisa membantumu dalam dunia realistis ini. Sudah kubilang, lain kali antisipasilah semua kemungkinan buruk yang mungkin terjadi.”

Frieska tampak terdiam, ia menoleh ke arahku dan berkata.

“Kau...”

“Cepat!” suruhku.

Friska tercekat dan buru-buru memakai pakaiannya kembali. Setelah selesai, ia mengambil tas dan hendak keluar. Tapi dia berhenti di sampingku dan memandangku.

“Tolong jaga motorku,” pintaku dengan suara pelan.

“Ternyata benar itu kau....” kata Frieska dengan suara bergetar.

Frieska lalu keluar pondok itu menyisakan aku dengan 3 bapak tadi yang tidak sedap dipandang. Bagaimana tidak sedap? Mereka bertelanjang bulat, dan aku tak nafsu memandang mereka bugil dengan kontol bergelantungan seperti itu.

“Kau.... apa kau membunuhnya?”

Aku melihat bapak yang kuhantam tadi, kubalikkan wajahnya dengan kayu dan kulihat dadanya masih kembang kempis dengan lemah.

“Entahlah,” aku lalu memandang ke 3 bapak tadi, “Sekarang aku harus membereskan kenaifan utama.”

“A-Apa maksudmu?”

“Aku yakin kalian akan mencariku, dan akan kembali membahayakan wanita tadi untuk mengetahui siapa diriku. Karena itu aku masih di sini, untuk menghancurkan kenaifanku, jika melarikan diri untuk menyusulnya tadi.”

“A-Apa yang mau kau lakukan?”

“Sederhana,” aku kembali memangku batang kayu itu di pundakku, “Aku akan membuat kalian hilang ingatan.”

“A-Apa?” ke 3 pria itu terkejut, aku rasa mereka mengerti maksudku.

“Berdoa saja,” aku berjalan ke depan, “Kalau kalian hanya hilang ingatan, tidak lebih dari itu.”

Setelah itu aku berlari ke depan menerjang mereka. Untuk melakukan ‘OPERASI HILANG INGATAN’ tradisional. Melakukannya dengan menjadi sedikit ‘SOSOK’-ku yang dulu sebelum bertemu Maya.

Dan di pondok itu, menjadi saksi bisu kejadian yang kulakukan.

**************​

“Kau tak apa?”

“Menurutmu?” kutunjukkan penampilanku yang baik-baik saja.

“Apa yang kau lakukan pada mereka?”

“Siapa yang tahu,” kusingsingkan lengan kemeja panjangku, “Yang jelas.”

Frieska memandangku dan aku melanjutkan.

“Mereka tidak akan pernah bisa menyewamu lagi, untuk selamanya.”

Mendengar itu membuat raut wajahnya merengut, dia lalu berjongkok di depanku dan menangis dengan keras. Tangisannya ini ambigu bagiku. Apa dia menangis karena pria-pria tua itu tak bisa menyewanya lagi supaya dia dapat uang? Atau dia menangis karena lega? Untuk memastikannya aku berjongkok dan bertanya.

“Kau menangisi mereka?”

“Aku bahkan tak mau bertemu mereka lagi!!” teriaknya dalam tangis.

“Oh,” dan jawabannya adalah ‘LEGA’.

“Ya sudahlah. Yang penting,” aku tersenyum, “Kau masih perawan sekarang.”

Frieska lalu menubrukku yang membuatku terjengkang ke belakang. Dia memelukku erat dan membasahi kemejaku dengan tangisannya.

“Terima kasih..... terima kasih.....” katanya dengan suara lemah dan bergetar.

Aku tak tahu harus berbuat apa dalam situasi ini. Mungkin dengan membiarkannya akan membuatnya lega. Setelah kubujuk-bujuk akhirnya ia menghentikan tangisannya dan aku membantunya berdiri.

“Mau kuantar pulang?” tawarku.

Dia masih segekukan dan memandangku. Dia tak menjawab, dia hanya terus memandangku.

“Jangan perlihatkan mata sembabmu ini pada keluargamu. Nanti mereka akan menanyaimu macam-macam,” kubantu menyeka air matanya dengan tangan, “Kau tentu tak mau menceritakan kejadian ini pada mereka bukan?”

Frieska juga menyeka air matanya, hidungnya masih menarik ingus akibat tangisannya. Ia memandangku dan berkata.

“Tolong antar aku pulang.......”

“Itu kalimat paling sopan yang kudengar darimu,” aku tersenyum.

Aku lalu mengantarnya pulang dan aku khawatir dengan bensin di motorku. Rumahnya jauh sekali ternyata!

“Itu toko elektroniknya,” dia menunjukkan toko yang kupinta tadi.

“Oke,” aku mengangguk dan berencana membelinya nanti saat pulang ke rumah...... Karena dompetku ketinggalan di sana.

Setelah lika-liku perjalanan, akhirnya Frieska berkata stop dan kami berhenti tepat di depan rumah...... yang besar sekali.

“Di sini?” aku menunjuk rumah itu.

“Ya,” dia turun dari motorku.

Aku berpikir, mungkin dia anak pembantu rumah ini. Karena gajinya kurang, maka dia terpaksa menjual diri. Hahahahaha Frieska! Akhirnya aku tahu alasanmu menjual diri!

“Oh Non Frieska! Udah pulang?” kulihat seorang satpam membuka pagar.

“Iya.”

Sebentar. Kenapa anak pembantu dipanggil ‘NON’? Kenapa juga satpam ini bertingkah seolah derajat Frieska lebih tinggi darinya? Bukankah Frieska anak pembantu?

“Non ke mana saja? Tuan sama Nyonya tadi nyariin Non,” ucap Satpam itu.

“Jalan-jalan,” jawab Frieska.

Tunggu-tunggu, makin enggak beres ini. Lebih baik kupastikan saja.

“Hei.”

“Apa?” Frieska memandangku.

“Maksudku dia,” aku menunjuk satpam.

“Kenapa, mas?” tanggap Satpam.

“Siapanya rumah ini?” kubertanya sambil menunjuk Frieska.

“Loh? Mas enggak tahu?”

“Kenapa menanyakannya?” tanya Frieska.

“Untuk memastikan.”

“Memastikan apa?”

“Makanya aku butuh jawabannya,” aku menunjuk satpam.

“Hm,” Frieska memberikan isyarat agar satpam itu menjawab, sepertinya wanita ini penasaran dengan apa yang ingin kupastikan.

“Non Frieska anak tunggal pemilik rumah ini. Masa mas ga tau? Mas bukan teman non Frieska?”

“Anak?”

“Iya.”

“Ini rumah dia?”

“Iya.”

“Rumah segede ini yang bisa dibilang rumah orang kaya ini rumah dia?”

“Iya. Orang tua non Frieska orang terkaya ke 4 di provinsi ini.”

“Oh.....”

“Kenapa sih menanyakannya?” tanya Frieska padaku.

Aku memandang Frieska dengan wajah datar dan dengan kesalnya aku berteriak dalam hati.

KAU UDAH KAYA RAYA KENAPA MASIH MELONTE?!

ORANG TUA KAU ORANG PALING KAYA NOMOR 4!!! JADI KAU SEHARUSNYA TAK USAH PUSING MENCARI UANG! KENAPA KAU MALAH MELONTE?

TARIF KAU MURAH LAGI!!​

“Sepertinya aku tahu apa yang kau pikirkan,” Friska menahan tawa dengan senyumannya.

“Ya, sepertinya aku harus pulang,” aku buru-buru berpamitan karena kesal.

“Ini ojek ya, Non?” satpam menunjukku.

“Menurutmu?” Frieska bertanya balik kepada satpam.

“Kalau ojek,” satpam menghampiriku dan mengeluarkan uang 500 ribu kepadaku.

Aku menerima uang itu dan bingung.

“Maksudnya apa?” tentu saja kutanyakan.

“Titipan dari ayah non Frieska. Katanya kalau non Frieska pulang pakai ojek atau taksi, disuruh bayar pakai itu. Ambil saja semuanya, tak perlu kembalian.”

Mendengar itu membuat harga diriku hancur seketika. Dengan segera aku mengembalikan uang itu ke tangan si satpam.

“Saya bukan tukang ojek.”

“Oh... maaf...” ucap satpam.

“Aku pulang,” aku memandang Frieska.

“Hati-hati di jalan,” katanya.

Lalu aku memutar arah dan segera berlalu dari tempat itu. Dan aku bisa mendengar suara teriakan satpamnya Frieska dari belakang.

“WOI! INI Cuma 100 RIBU! 400 RIBUNYA KE MANA?!”

Bodo amat!! Kapan lagi dapat uang semudah ini!! Aku segera mengebut, sambil membawa uang 400 ribu yang kusembunyikan diam-diam tadi. Sesampainya di rumah, aku sudah disambut hangat pelukan istriku. Aku yang teringat kejadian tadi pagi masih ada rada-rada kesal.

“Kok lama sih pulangnya, sayang?” Maya cemberut memandangku.

Dan aku langsung luluh. Memang tak ada yang bisa melawan wajah imut cemberut istriku sendiri.

“Keasyikan jalan-jalan.”

“Hehehe, yuk. Maya udah masakin. Yang lain juga udah datang.”

“Yang lain?”

Aku masuk ke dalam rumah dan melihat makhluk yang mengagetkanku, karena dia asyik bermain-main dengan anakku.

“Oh! Menantuku! Akhirnya kau pulang!” seru pria tua dengan aksesoris badut di mukanya.

Ternyata itu ayah mertuaku.

****************​

Kedatangan ibu dan ayah mertuaku yang mendadak ini karena mereka berencana membawa Dimas untuk liburan keluar negeri.

“Jadi besok pagi-pagi sekali perginya, Pa?” tanyaku.

“Iya. Lalu bagaimana kerjaan di sini?”

“Seperti biasa,” aku tersenyum.

Dan keakraban keluarga yang sudah lama tak kurasakan kembali hadir di sini. Ibu mertuaku yang lembut, dan ayah mertuaku..... yang aneh tapi baik. Ada alasannya kenapa aku menyebutnya aneh.

“Oke cucuku sayang! Mari karaoke sama kakek!” ajaknya pada Dimas.

Ayah mertuaku menyalakan mini compo dan memegang mic.

“Kita tes dulu ya suaranya!”

Mic itu lalu diarahkan ke bokongnya. Dan suara kentutnya yang menggelegar itu terdengar nyaring di mini compo itu.

Tuh sudah lihat kan? Baru kali ini ada orang menge tes mic dengan menggunakan suara kentut. Kurang ‘KEREN’ apalagi coba ayah mertuaku ini?

Tapi itu memanglah kehangatan keluarga yang sering kali terjadi dikala kami berkumpul bersama. Dan seperti biasa, ayah mertuaku bernyanyi duluan dengan suara yang mampu memusnahkan populasi nyamuk yang ada di desa ini. Maya kulihat juga bahagia, sepertinya dia merindukan kebersamaan ini dan aku rasa dia juga merindukan ke 2 orang tuanya ini. Aku lalu berpamitan untuk buang air besar. Di dalam toilet, aku asyik berselancar di internet sampai akhirnya ada pesan masuk dari Frieska.

“Kamu kapan mau membeli CCTV-nya? Jam 7 dia tutup loh.”

Alisku mengerut. Kenapa nih anak tiba-tiba mengingatkan hal yang tak penting baginya. Tapi iya juga. Sepertinya aku harus membelinya hari ini, dan kurasa tak apa aku meninggalkan Maya malam ini tanpa takut kedatangan pria bajingan yang mau menyetubuhinya karena ada mertuaku di sini.

“Sebelum jam 7 kayaknya. Terima kasih sudah mengingatkan,” balasku di pesan singkat.

“Oke. Sampai ketemu.”

Aku kebingungan dan membalas, “Sampai ketemu?”

Tak ada balasan. Dan aku bingung maksud perkataannya.

Malam akhirnya tiba dan aku berpamitan kepada orang rumah untuk pergi sebentar. Aku menuju toko elektronik yang ada di dekat rumah Frieska tersebut dan sesampainya di sana aku terkejut. Karena ada Frieska di situ sedang bersender di dinding.

“Halo,” sambutnya dengan raut wajah datarnya itu.

“Kenapa kau ada di sini?”

“Cari angin, jalan-jalan,” alasannya.

Aku tak peduli dengan alasannya. Aku masuk ke dalam toko dan bertanya tentang CCTV yang kuinginkan. Dan ternyata ada!

“CCTV banyak amat, Pak. Untuk toko ya?” tanya penjual.

“Begitulah,” aku tersenyum.

“Cowoknya Frieska?” tanyanya lagi.

“Cowoknya?”

“Itu, nempel melulu,” penjual tersenyum dan menunjuk.

Aku menoleh dan melihat jarak Frieska sangat dekat denganku. Meski dia berbalik badan dan melihat-lihat dagangan yang ada di toko ini.

“Bukan,” jawabku.

“Kirain,” penjual tertawa.

Setelah membeli maka aku berpamitan kepada penjual dan segera keluar.

Frieska menyusulku dan berkata sesuatu, “Temani aku bersantai.”

“Aku sibuk,” tolakku.

“Aku traktir,” balasnya.

“Bersantai di mana?” dan aku tergoda, bukan tergoda karena dia cantik, tapi kalimat ‘TRAKTIR’-nya tadi.

Frieska lalu naik di atas motorku dan menuntunku menuju sebuah kafe yang cukup dekat dari rumahnya. Ia juga membawa laptop. Menunggu pesanan maka aku bertanya.

“Kau mengerjakan apa?”

“Hanya mencari cara jualan yang baik.”

“Kau mau open BO?”

Kaki ditendangnya dari bawah meja, tentu saja aku kesakitan. Dan dia dengan cueknya berkata.

“Aku mau belajar bisnis jualan online. Aku berencana menjuak pernak- pernik.”

“Mandiri sekali.”

“Memang.”

“Dan kau menipuku!”

“Menipumu?” dia terlihat bingung.

“Ternyata kau anak orang kaya!”

Dia menahan tawanya sambil mengetik, “Kau tidak pernah menanyakannya bukan?” Iya juga sih....

“Tapi kenapa kau.... ya, seperti yang kita tahu.”

“Anggap saja aku iseng.”

“Isengmu membahayakan sekali,” seperti biasa, banyak alasan.

“Aku belum mau memberitahu alasan sebenarnya,” tambahnya lagi sambil mengetik.

“Begitu.”

“Mana 400 ribu tadi?”

“Nih,” kugoyangkan kantong belanjaan CCTV tadi.

Dia menahan tawanya lagi sambil mengetik, “Udah tukang coli, tukang intip, tukang gombal, eh tukang nilep juga ternyata.”

“Yang buruk saja yang diingat. Katanya kau juga sudah lulus SMA 2 tahun yang lalu, kenapa tidak kuliah?”

“Tak ada kampus dekat rumah.”

“Bangun saja kampus di depan rumahmu. Kau kan anak orang kaya.”

“Itu merepotkan,” dan alasan lagi.

“Kenapa memintaku menemanimu bersantai di sini? Kenapa tidak ajak saja temanmu?”

“Kalau ada aku tidak akan mengajakmu.”

“Memangnya kau tidak ada teman semasa SMA?”

“Tidak.”

“Jahat sekali temanmu.”

“Soalnya aku homeschooling.”

“Oh.....” kok kesal ya mendengarnya?

Dia selesai berkutat dengan laptopnya. Setelah itu dia memandangku dan tersenyum, baru kali ini dia langsung tersenyum begitu memandangku.

“Kau bekerja di mana?”

“Kenapa memangnya?”

“Aku ingin tahu.”

“Aku tak ingin kau tahu.”

“Kenapa?”

“Kau masih belum cukup umur.”

“Apa sih,” dia tertawa kecil, menopang kepala dengan sebelah tangan dan bertanya lagi, “Di mana? Di mana? Di mana?”

Aku terdiam memandangnya. Frieska benar-benar cantik dan terlihat seperti gadis normal, andai saja dia tidak menjajakan tubuhnya itu.... Tapi apa juga urusannya denganku? Ah, lebih baik aku jawab saja pertanyaannya.

“Kerjaanku mampu menafkahi 1 desa kalau aku mau.”

“Emang kerja apa sih?”

“Rahasia negara.”

“Kalau begitu biar aku cari tahu sendiri.”

“Maksudnya?”

“Aku mau ke rumahmu besok.”

“Ngapain?”

“Mau tahu pekerjaanmu, dan mau kenal dengan orang rumahmu.”

“Memangnya kau tahu alamat rumahku?” aku berwajah sombong, “Sampai kapan pun tidak akan kuberitahu!”

“Hm, kau lupa kau sudah memberikan alamat rumahmu beserta nomor HP-mu waktu aku memergokimu mengintip?”

Sial! Aku lupa kalau aku sudah memberikannya!

“Besok aku akan ke rumahmu!” Frieska tersenyum puas.

“Jam?”

“Kamu ada di rumah jam berapa?”

“Sepertinya seharian aku akan di rumah.”

“Kalau begitu, aku akan datang semauku. Terserah jam berapa.”

Dan perbincangan kami semakin ngalor ngidul ke mana-mana. Terkadang kuceritakan pengalamanku waktu sekolah dan wanita ini nampak menikmatinya. Merasa semakin malam maka kami berdua pun pulang. Setelah mengantarnya dia mencegat tanganku sejenak.

“Kenapa?”

“Bukankah dingin?” dia menggesek-gesekkan telapak tangannya dan menyekanya di tangan dan leherku sehingga menjadi hangat.

“Wow, perhatian sekali,” ejekku.

“Hati-hati di jalan,” dia tersenyum.

Aku menyiyakan saja dan kulihat satpamnya berbeda dengan tadi siang. Emang dasar orang kaya, satpamnya saja pakai sif kerja. Sesampainya di rumah aku lagi-lagi disambut hangat oleh istriku, tentu saja belanjaan CCTV-nya kusembunyikan di dalam garasi. Dia menarik tanganku sewaktu aku masuk ke rumah menuju kamar dan memelukku sambil berbaring.

“Ibu sama Ayah udah bobo sama Dimas di kamar tamu,” Maya tersenyum.

“Terus?” aku tersenyum dan membalas pelukannya.

“Hmm,” Maya mendekatiku, “Udah lama kan?”

“Oh,” aku tertawa.

Aku dan istriku berciuman. Dan di malam itu, kami melakukan keharmonisan suami istri di atas ranjang.

*******************​

Pagi-pagi ke 2 mertuaku sudah pergi bersama Dimas dengan taksi menuju bandara. Karena mereka berencana liburan ke Singapura. Aku yang tak tahu harus melakukan apa sepagi ini lalu masuk ke dalam dan melihat Maya sedang memasak air.

“Loh, rokok papa habis ternyata,” aku melihat isi rokokku yang ludes.

“Kenapa papa tidak beli tadi malam?”

“Lupa, Pak Joko buka tidak ya warungnya jam segini?”

“Buka kayaknya.”

“Papa ke sana dulu. Sekalian olahraga, mama mau ikut?”

“Di rumah aja,” Maya tersenyum.

Aku mengiyakan saja. Dan aku merasa aman, Pak Bogo tadi berjalan pulang dan kurasa tak berani masuk ke rumah ini karena dia pasti mengira mertuaku masih ada di sini. Aku berjalan sambil berolahraga dan sampai di Warung Besar Pak Joko yang di mana pemiliknya itu asyik menyapu daun di halaman.

“Pagi, Pak Joko.”

“Weh! Nak Gio! Tumben pagi-pagi?”

“Rokok habis,” aku tertawa.

Dan seperti biasa. Pak Joko suka sekali berbicara sehingga aku lupa waktu di sini. Merasa Matahari sudah semakin naik, maka aku berpamitan kepadanya. Dalam perjalanan pulang aku merasa damai sambil menghisap rokok. Sesampainya di rumah, alisku mengerut, karena pintu depannya tertutup. Padahal sebelum pergi aku tidak menutupnya.

“OUUUUUHHHHH!!”

Aku kaget mendengar suara lenguhan keras Maya di dalamnya.

“Wah jangan-jangan!”

Aku bergegas masuk pelan-pelan melewati pagar, dan aku terdiam sejenak.

“Perasaan tadi pagarnya kututup,” pikirku.

Aku tak ambil pusing, aku segera ingin mengetahui apa yang terjadi di dalam. Aku curiga Maya tidak berada diruang tamu, karena kaca di ruang tamu bisa melihat ke arah luar. Jadi tak seharusnya ia mengeluarkan suara desahan seperti itu.

Aku mengintip dibalik jendela kamar tak ada istriku di situ. Aku lalu mencoba melihat bagian belakang dan terkejut melihat sosok seseorang di situ yang sedang mengintip di balik pintu.

“Frieska!” batinku.

Aku tak tahu kapan dia ke sini, tapi itu mungkin jawaban kenapa pagar tadi terbuka. Dan aku yakin dia juga mendengar suara itu lebih dulu dariku sehingga mengeceknya. Frieska terlihat kaget melihat bagian dalam, aku buru-buru menghampirinya.

Kenapa kau di sini?” bisikku.

“I-Itu... Itu itu.....” Frieska gagap sambil menunjuk sesuatu di dalam.

Aku mengintip ke dalam dan sudah kuduga. Istriku lagi-lagi berhubungan badan dengan pria lain, dan pria itu adalah Pak Bogo. Kulihat istriku begitu bergairah menikmati penetrasi nikmat yang dia rasakan.

Ternyata aku juga naif. Aku mengira Pak Bogo tak akan berani datang hari ini karena mengira mertuaku masih ada di rumah. Tapi aku lupa, istriku ada W.A nya, tentu saja istriku bisa memberitahu kalau rumahku kosong sepagi ini.

“Hei...” Frieska menggoyangkan tanganku dan berbisik, “Itu siapa?”

Aku lalu menarik Frieska untuk menjauh secara perlahan. Lalu aku mengajaknya pergi, entah ke mana langkah kaki ini mau pergi.

“Hei,” Frieska memanggilku lagi, “Itu benar kan rumahmu?”

“Ya.....”

“Lalu itu siapa? Aku kaget waktu mau mengetuk pintu mendengar suara wanita itu dari dalam.”

Aku menghela nafas panjang. Di perjalanan ini lalu aku menjelaskan.

“Aku pernah cerita tentang suami yang mempunyai istri yang suka berhubungan badan dengan pria lain bukan?”

“Ya..... hei..... ini....”

“Frieska,” aku memandang gadis ini, “Suami bodoh yang kau sebut kemarin itu..... adalah aku.”

“Apa?” Frieska kaget bukan main.

💦 Bersambung

Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Categories

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

BTemplates.com

POP ADS

Blogroll

About

Copyright © Cerita Panas | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com