Karena Dimas pergi liburan bersama mertuaku, maka rumah ini menjadi sedikit lenggang akan aktivitas. Maya yang sudah selesai mandi bergegas memasak dan aku asyik menonton televisi. Aku masih memikirkan perihal perilaku Maya dan memikirkan bagaimana mencari waktu yang tepat untuk memasang CCTV yang kubeli.
“Pa,” panggil Maya dari dapur.
“Hm,” tanggapku datar.
“Kok diem dari tadi?” tanyanya lagi dengan ketukan pisau di talenan.
Belum kujawab, bunyi ketukan pintu belakang menarik perhatian kami berdua. Maya mau membukanya tapi aku mencegah. Aku berdiri dan kulihat Maya tampak mencemaskan sesuatu dari raut wajahnya.
“Lho! Nak Gio!”
“Pak Komar,” balasku, ternyata itu adalah Pak Komar, “Ada apa, pak?”
“Oh! Ini!” Pak Komar buru-buru mengangkat bungkusan plastik hitam besar, “Pesanannya dek Maya!”
“Kapan mama memesan?” kutanya istriku.
“Kemarin,” Maya tampak segan menjawab.
“Oh begitu,” aku menerima bungkusan itu dan mengucapkan terima kasih, lalu aku bertanya, “Kenapa lewat pintu belakang, Pak? Pintu depan kan bisa.”
“Oh, biar cepat saja hehehe,” alasannya.
“Hahaha sudah dibayar, pak?”
“Sudah! Sudah! Sudah dibayar kemarin waktu......” Pak Komar tak melanjutkan kalimatnya.
“Waktu?”
“Ah tidak hahaha. Tumben nak Gio ada di rumah? Saya kira sudah pergi kerja.”
“Untuk hari ini saja.”
“Wah, susah dong kalau begini....”
“Ng? Susah?”
“Oh tidak! Tidak! Kalau begitu saya pamit dulu! Mau jualan lagi! Permisi!” Pak Komar pergi dan aku curiga dengan semua kata-katanya, apalagi bisa dibilang pria itu juga salah 1 pria yang sudah pernah mencicip tubuh indah istriku.
“Bahasa sopan, tapi tidak dengan tata krama. Apa gunanya pintu depan untuk diketuk tamu,” keluhku sambil memberikan belanjaan istriku itu.
“Sudahlah,” Maya tersenyum.
Aku kembali menonton TV dan memikirkan masalah ini, dan sedikit mengingat apa yang Frieska katakan padaku. Apabila benar aku mencintai Maya, maka aku harus melakukan sesuatu untuk wanita yang kucintai ini.
Tapi apa ya?
Kan tak mungkin aku berkata kalau selama ini aku sudah beberapa kali melihatnya bermain belakang denganku. Apa harus cara yang sederhana saja dulu ya? Kucoba saja dulu deh.
“Maya,” panggilku.
“Apa, sayang?” dia memandangku.
“Nanti pas selesai masak, ikut papa yuk?”
“Ke mana?”
“Ke Masjid.”
“Masjid?”
“Iya,” aku mengangguk.
“Ngapain ke masjid?”
“Tobat,” jawabku tegas.
“Tobat?” alisnya mengerut.
“Ya. Mari kita berdua ke Masjid dan bertobat di sana bersama-sama!” ajakku.
Dan inilah cara sederhana yang kulakukan. Aku ingin istriku bertobat dan menangis tersedu-sedu mengingat kesalahannya selama ini padaku. Setidaknya aku sudah melakukan suatu usaha untuk istriku tercinta!
“Kayaknya......” Maya menggelengkan kepala, “Enggak deh.”
APA? KENAPA MAYA? KENAPA KAU TIDAK MAU BERTOBAT? JADI ENGKAU MAU TERUS-TERUSAN SEPERTI INI? APA KAU TEGA MELAKUKAN INI PADAKU!!!!!
“Kenapa?” tanyaku langsung.
Maya memandangku datar dan menjawabnya dengan lembut.
“Mama kan Katolik.”
“Oh.....”
SIAL! AKU LUPA KALAU ISTRIKU INI AGAMANYA KATOLIK! NGAPAIN JUGA KUAJAK KE MASJID!!!
“Jadi mualaf, lalu bertobat,” balasku lagi dengan wajah datar.
“Papa aja dulu.”
“Kok Papa?”
“Papa kan tak punya agama (Atheis).”
SIAL! AKU LAGI-LAGI LUPA KALAU AKU INI TAK PUNYA AGAMA!! ASTAGA!! MASALAH INI BENAR-BENAR MENGHANCURKAN LOGIKAKU!
“Papa kenapa sih hari ini? Aneh deh,” Maya tertawa kecil melihatku.
Aku tak bisa menjawab. Dari sudut pandang Maya tentu saja tingkahku ini aneh, namun aku punya ‘KAMBING HITAM’ yang bisa kuberikan sebagai alasannya.
“Ketularan ayahmu.”
“Hihihihi,” Maya tertawa lagi dan lanjut memasak.
Untunglah aku punya ayah mertua yang tingkahnya selalu aneh, jadi itu bisa dijadikan alasan walau bagi Maya itu hanya candaan. Bunyi ketukan pintu depan menarik perhatian kami berdua. Aku beranjak untuk ke depan dan membuka pintu.
“Pagi, nak Gio.”
Aku sedikit tertegun. Karena yang datang pagi ini ke rumahku adalah Pak RT bersama istrinya. Lebih tepatnya adalah istri mudanya. Istri tuanya? Entahlah, aku tak tahu dia menyimpannya di mana.
“Pagi,” istrinya juga memberi salam sambil tersenyum.
Dan aku cukup terkagum juga dengan istri muda Pak RT ini. Dia begitu cantik, rambutnya di cat pirang dan body nya tak kalah aduhai. Umurnya mungkin tak jauh berbeda sama Maya, dan nama istrinya Pak RT ini adalah Farin.
Dia punya sosial media yang diam-diam kuperhatikan, dan ini salah 1 fotonya yang bisa membuktikan kalimatku di atas.
Bagaimana? Jangan tanya aku kenapa wanita ini mau menjadi istri muda Pak RT. Kubalas salam mereka dan mempersilahkan mereka masuk. Tak lupa kuberitahu Maya untuk membuatkan air minum. Basa-basi ala orang Indonesia tentu saja kami lakukan dengan melakukan pertanyaan, seperti.
Bagaimana kabarnya hari ini?
Bagaimana dengan pekerjaan?
Bagaimana sensasinya iseng mematikan breaker listrik tetangga dan lari terbirit-birit melarikan diri saat melakukannya?
Tenang, pertanyaan nomor 3 hanya candaan belaka dan tidak kutanyakan. Bagi yang tidak tahu breaker listrik itu apa semoga gambar di bawah ini bisa membuka imajinasi anda.
Maya lalu datang mengantar minuman dan pembicaraan yang sesungguhnya dimulai. Ternyata istri Pak RT ingin mengajak Maya menjadi salah 1 panitia untuk festival desa nanti dan bertugas menjadi seksi konsumsi, yang artinya bertugas memasak, dan Farin ini juga salah 1 panitianya.
Aku tak akan kaget istriku ditawari seperti itu karena Maya ini jago memasak, karena dulu sewaktu pindah kesini. Kami berkeliling memberikan masakan istriku kepada tetangga-tetangga, termasuk rumah Pak RT ini, tentu saja tawaran ini diberikan kepadanya.
“Gimana, Pa?” Maya meminta pendapatku.
“Masaknya di mana?” tanyaku pada pak RT.
“Di balai desa,” malah Farin yang menjawab, ya tak apalah.
Mendengar tempat itu membuatku sedikit lega dan aman. Setidaknya istriku ini ada aktivitas di luar dan di balai desa tak mungkin istriku akan bermain belakang di tempat seramai itu.
“Boleh saja kalau Maya mau,” aku tersenyum kepada istriku.
Istriku juga tersenyum memandangku. Ia lalu memandang Pak RT dan Farin.
“Boleh.”
“Hahaha kalau begitu bapak catat dulu,” Pak RT mencatat nama Maya dalam daftar panitia.
“Dan ini,” Farin memberikan bungkusan sesuatu kepada Maya.
“Ini apa?” tanya istriku.
“Pakaian saat hari H-nya nanti. Coba saja dulu, kalau tak muat. Bisa dibikin ulang,” ulas Farin.
“Ya ampun repot-repot amat,” Maya tertawa kecil.
“Dicoba aja dulu ya. Yuk, saya bantu,” Farin beranjak dari sofa.
Maya dan Farin lalu berpamitan ke dalam untuk mencoba pakaian itu. Sedangkan pak RT berbicara padaku.
“Nanti ada pertandingan catur. Nak Gio tertarik mau ikut?”
“Hahaha tak usah, pak.”
“Hahaha tak apa. Untuk meramaikan suasana saja.”
“Tak usah, saya ga jago catur, pak hehehe.”
“Ada hadiahnya loh,” dia memukul pelan tanganku dan tertawa.
“Hahaha,” aku juga tertawa.
“Hadiah utamanya 10 juta.”
“Hahahaha,” aku masih tertawa dan kemudian memandangnya serius, “Di mana saya harus mengisi formulirnya?”
GILA, COK! 10 JUTA!! SIAPA JUGA YANG TAK MAU IKUT DI ACARA SEKELAS DESA SEPERTI INI? DENGAN HADIAH UTAMA SEPERTI ITU, AKAN KUTUNJUKKAN BAKAT BERMAIN CATURKU YANG TERPENDAM DARI 15 TAHUN YANG LALU!!!
Terakhir kali aku bermain catur kuhantam kepala lawanku dengan papan caturnya karena dia bermain curang 15 tahun yang lalu. Di diskualifikasi tidak ya kalau kulakukan lagi untuk menentukan menang kalahnya nanti? Ah bodo amat dah, yang penting ikut saja dulu! Asyik-asyik mengobrol, Farin kembali ke ruang tamu dan berkata kepadaku.
“Gio, itu Maya memanggilmu. Dia ingin tahu pendapatmu.”
“Oh, oke.”
Aku masuk ke dalam dan melihat penampilan Maya yang lain dari biasanya. Memakai kebaya yang indah dengan paras wajah orientalnya.
“Gimana, Pa?”
Aku tak menjawabnya. Aku mendekatinya, tersenyum dan mengelus lembut pipinya.
“Cantik....” pujiku lembut, “Sangat cantik.....”
Maya tersenyum dan memegang tanganku yang mengelus pipinya.
“Benarkah?”
“Ya....” aku lalu mencium bibirnya.
Dan Maya menerima dan membalas ciumanku dengan begitu lembut. Lama kami melakukannya sampai akhirnya suara Pak RT yang memanggil menghentikan aktivitas ini.
Di ruang tamu, Farin mengajak Maya untuk pergi bersamanya ke balai desa untuk menemui panitia lainnya sekarang juga. Awalnya Maya berkata akan ke sana nanti bersamaku karena dia belum selesai memasak. Tapi bagiku ini lah kesempatannya untuk memasang CCTV.
Kuberitahu istriku dan Maya mau tak mau setuju. Maya berganti pakaian dahulu dan aku memintanya memakai pakaian yang sopan karena nanti dia akan bertemu panitia lain. Maya menurut, setelah itu dia akhirnya pergi bersama Pak RT dan Farin setelah berpamitan.
“Ini saatnya!!” ucapku semangat.
Segera kuambil CCTV yang kusembunyikan di garasi kemarin malam. Kutaruh di setiap sudut-sudut tertentu yang menjadi titik buta dan tidak akan disadari oleh siapa pun.
Di kamar.
Di ruang tamu.
Di kamar tamu.
Di toilet.
Di kamar mandi.
Di ruang tengah.
Garasi.
Halaman samping dan halaman belakang.
CCTV yang kubeli ini memiliki perekam yang di mana hanya aku yang tahu dimana aku meletakannya untuk merekam semua yang ada di rumah ini 24 jam non- stop.
Barang ini tentu saja mahal!
Aku berterima kasih kepada kebodohan satpam Frieska kemarin siang yang menambah modal untuk ini! (400 ribu) CCTV ini juga terkoneksi dengan ponselku, jadi aku juga bisa melihat segala aktivitas lewat ponselku. Mau di mana pun aku berada.
Aku lalu mencobanya dan bersembunyi di pohon belakang, dan nyatanya berhasil! Segala sudut CCTV itu terproyeksi begitu jernih di ponselku.
“Hahahahahaha! Sekarang kau berada dalam pengawasanku!!”
Aku lalu berdiam diri bersembunyi di pohon besar itu. Untuk menunggu aksi nakal istriku. Lama menunggu selama 14 menit akhirnya membuatku sadar.
ISTRIKU KAN LAGI DILUAR!! NGAPAIN AKU DISINI??
Tak usah disebutkan. Aku tahu...... ya, bego.
**************
Sekarang aku bersantai di rumah. Dan tadi siang aku sempat pergi ke balai desa setelah membayar hutangku di warung Pak Joko. Dan aku bangga sekali dengan Maya saat melihatnya di sana.
Kulihat Maya begitu giat dan tak sungkan membantu panitia lain yang terdiri dari ibu-ibu. Bahkan dia bisa diandalkan untuk masakan tertentu. Setidaknya aku senang melihat Maya bisa menjadi orang yang berguna untuk desa ini.
Kulihat jam sudah menunjukkan jam 3 sore, mungkin aku akan ke sana lagi untuk melihat-lihat karena kata Maya, kegiatan ini bisa sampai malam (Memasaknya).
Asyik-asyik menonton tv, tiba-tiba ponselku berdering dan ternyata itu dari Frieska.
“Halo,” salamku duluan.
“Iya. Halo.”
“Ada apa?”
“Aku menemukan sesuatu yang menarik, mungkin bisa membantumu mengatasi perilaku istrimu.”
“Oh ya? Bagaimana?”
“Aku tidak bisa menjelaskannya di sini.”
“Kenapa?”
“Ribet dan panjang.”
“Jadi aku harus menemuimu?”
“Kalau kau mau.”
“Kau di mana?”
“Kafe kemarin.”
“Mungkin malam aku ke sana. Atau sore nanti.”
“Ini udah sore.”
“Sorenya lagi, jam 4 atau 5 gitu.”
“Malam saja kalau begitu.”
“Baiklah. Dan kau.”
“Apa?”
“Sudah puas menjajakan tubuhmu lagi?”
Lama tak ada jawaban, sampai akhirnya keluar suara.
“Ya. Puas.”
“Lebih baik berhenti... Pikirkan masa depanmu...”
“Katakan itu pada istrimu.”
“Haaah, ya sudahlah.”
“Jangan lupa makan sebelum ke sini. Jangan lupa juga mandi ya?”
“Awkward bagiku.”
“Awkward?”
“Canggung.”
“Aku tahu artinya. Maksudku, apanya yang awkward?’
“Permintaanmu barusan.”
“Apa?”
“Menjurus ke perhatian.”
Lagi-lagi tak ada balasan yang kudengar. Lalu kudengar helaan nafas dan Frieska membalasnya.
“Aku hanya tak mau mentraktirmu dan risih dengan bau badanmu itu.”
“Ya sudahlah,” aku menggerutu.
“Awas kalau enggak dilakuin!”
“Memangnya kenapa?”
“Aku akan berteriak di kafe dan mengatakan kau pernah memerkosaku.”
“Ancaman kau ini penuh fitnah sekali ya.”
“Bodo.”
“Oh iya, kau belum menceritakan alasanmu menjual diri.”
Hubungan telepon terputus dan aku menghela nafas dengan pasrah. Kulihat jam dan ingin menghemat waktu. Pertama aku ingin melihat kegiatan istriku lagi di balai desa, baru habis itu aku menemui Frieska untuk menemukan solusiku.
7 menit dijadikan waktu bagiku untuk berjalan kaki menuju balai desa. Disana aku melihat para ibu-ibu asyik bercengkerama dan kulihat Farin sedang asyik mencuci kaki di air keran yang ada di samping gedung.
“Permisi.”
Farin menoleh dan tersenyum.
“Oh, Gio.”
“Sudah selesai?”
“Belum, ini lagi istirahat saja,” Farin memandang kumpulan ibu-ibu sebentar dan memandangku, “Sepertinya memang sampai malam. Tenang, hanya untuk hari ini. Soalnya panitia prianya baru besok bekerja untuk persiapan.”
“Hahaha begitu. Oh iya, Maya ada di dalam?”
“Maya?”
“Iya.”
“Barusan dia pulang, apa kamu tidak berpapasan dengannya?”
“Eh?”
“Iya. Barusan saja. Tadi dia diantar Pak Bazam sewaktu pak Bazam mengantar beras untuk dimasak di sini.”
Bagai disambar ATTA HALILINTAR di siang bolong. Aku benar-benar kaget saat mendengar pria tua brengsek itu menjemput istriku. Aku benar-benar kalut dan bingung. Bingungnya adalah, sejak kapan ATTA HALILINTAR bisa menyambar?
Oke! Itu tidak penting!
Yang penting adalah aku harus segera mencari keberadaan Maya! Dengan lagak biasa-biasa saja maka aku berpamitan kepada Farin dengan sedikit kebohongan.
“Oh, iya. Mungkin tadi pas aku mampir ke warung, aku tidak berpapasan dengan istriku. Kalau begitu aku permisi.”
“Iya,” Farin tersenyum dan mengangguk kecil.
Dengan cepat kakiku melangkah pergi. Buru-buru aku kembali ke rumah sambil berlari untuk memastikan apakah istriku sudah pulang ke rumah. Ku buka pintu rumah dan segera memanggilnya.
“Maya!!”
Tak ada jawaban. Aku lalu melihat ponsel ku untuk melihat rekaman CCTV untuk menit-menit sebelumnya. Tapi hasilnya nihil, Maya benar-benar tidak pulang ke rumah.
“Sial! Ke mana dia membawa istriku!!”
Dengan segera aku keluar rumah untuk mencari keberadaan istriku. Tentu saja aku mencarinya dahulu di rumah-rumah pria desa ini yang pernah meniduri istriku.
Aku segera menuju ke arah gerbang desa ini, cukup memakan waktu karena aku berjalan kaki. Dan tujuanku kesini adalah rumah Pak Komar! Si pedagang sayur itu! Sesampainya di sana aku melihat adanya Pak Komar yang asyik menyapu halaman rumahnya dan sedang berbicara dengan Pak RT. Dan kulihat tak ada tanda- tanda keberadaan Pak Bazam dan istriku di sana.
Aku berbalik arah dan segera menuju kediaman Pak Bazam dan Pak Bogo. Rumah mereka lebih masuk ke dalam lagi, apalagi rumahnya pak Bogo, jauh lebih dalam dan aman untuk perselingkuhan yang kelam.
Aku melewati rumah Pak Bazam dan melihat sepeda motornya di samping rumahnya, tepat di depan garasi. Tapi aku tak menaruh curiga istriku ada di sini. Karena tak mungkin Pak Bazam membawa istriku ke rumahnya apabila istrinya pak Bazam juga ada di sini.
Maka yang paling kuat dalam kecurigaanku adalah rumah pak Bogo. Siapa tahu Pak Bazam menjemputnya dan mengantarnya ke sana untuk dinikmati lagi? Dengan segera aku ke sana untuk mengetahui semua kebenarannya. Rumah Pak Bogo akhirnya terlihat, jauh dari pemukiman rakyat. Dengan rumah model kuno berupa kayu dan jauh dari kata modern. Karena hanya rumah pak Bogo yang tak dialiri listrik, dia masih memakai lampu minyak tanah.
Aku mengendap-endap mendekati dan mendengar suara.
“Ouooooh, ampun DJ! Aku minta ampun! Goyang terus! Ampuunn DJ!”
Aku kaget bukan main! Suara itu seram sekali! Tapi aku penasaran, kuintip bagian belakang dan melihat makhluk besar hitam nan kekar sedang bershampo di depan sumur timba.
“A-jeb! A-jeb! DJ! JEB A-JEB! A-JEB!” dan sekarang makhluk hitam ini menari-nari dengan kondisi bugil.
Ternyata itu pak Bogo yang sepertinya sedang mengkhayal ada di club saat bershampo. Aku lega sekaligus ketakutan. Suaranya itu angker sekali saat bernyanyi! Penuh nada-nada mistik di setiap nafasnya. Kurasa makhluk-makhluk gaib di sekitar sini pada minggat karena tak tahan mendengar suara nyanyiannya.
Selagi Pak Bogo asyik mandi, aku hendak memeriksa rumahnya untuk mencari keberadaan istriku. Dan hasilnya nihil! Tak ada keberadaan Maya di sini. Dengan segera aku pergi meninggalkan Pak Bogo yang asyik mandi dan kudengar sekarang dia berteriak perih. Sepertinya shamponya itu masuk ke dalam matanya.
“Di mana kau Maya....” ucapku pelan.
Lalu rumah terakhir yang tadi tak kuperiksa adalah rumah Pak Bazam. Meski kemungkinan nol, tak ada salahnya aku memeriksa. Tak susah masuk ke rumahnya karena pagarnya tidak ditutup. Aku ingin memeriksa dulu dengan mengitari rumahnya, kalau nihil, baru aku akan bertamu dengan sopan sambil mengetuk pintu rumahnya. Untuk menanyakan di mana istriku dia antar.
Baru aku mau berjalan ke samping rumahnya, aku mendengar suara Pak Bazam di dalamnya.
“Saya nelpon dulu. Kamu di samping saya saja ngisepnya.”
Aku terdiam dan tak mengerti maksud perkataan itu. Apa dia berbicara dengan istrinya? Tapi kenapa bahasanya begitu formal sekali untuk berbicara dengan istri? Aku mencari celah untuk mengintip dari luar tapi tidak membuahkan hasil. Lalu aku melihat pohon besar di samping rumahnya ini dan kulihat dahan atas nya dekat dengan jendela kamar atas yang terbuka.
“Nekat saja kali ya,” pikirku.
Aku lalu memanjat pohon itu ke atas, menuju dahan yang dekat dengan jendela rumah pak Bazam yang terbilang besar ini. Untuk informasi, Pak Bazam ini termasuk orang kaya di desa dan dia juga bekerja di bawah perusahaan mertuaku untuk mengawasi sawah.
Setelah memasuki jendela, sepertinya aku berada di kamar pribadinya. Tempat tidur besar dan meja cermin dengan segala make up yang kurasa punya istrinya membuatku mampu menebak ruangan ini.
Tapi ini bukan tujuanku. Perlahan aku membuka pintu kamar ini dan mengendap berjalan. Di lantai 2 ini aku bisa melihat lantai bawah yang di mana aku bisa melihat ruang tamu dan juga ruang tengah. Aku mendengar suara Pak Bazam yang menandakan dia berada di ruang tengah. Aku berjongkok dan mengendap maju.
Dan ya, aku bisa melihat jelas dia di situ sedang menempelkan ponsel di telinga kanannya. Tapi hanya kepalanya saja yang terlihat. Aku bergeser untuk melihat dirinya secara utuh di ruangan itu. Dan saat aku sampai, lututku langsung lemas dengan apa yang kulihat.
“Maya....” lirihku sedih.
Karena kulihat Maya sudah bertelanjang bulat, telentang di sofa dan asyik mengulum penis Pak Bazam yang duduk di sebelahnya.
💦 BERSAMBUNG