Sekarang aku menjalani hidupku seperti biasa walau selalu ada kejadian ‘LUAR BIASA’ yang terjadi di sekitarku. Seperti yang kuyakini sebelumnya, kalau aku sudah tak peduli lagi dengan apa yang di lakukan Maya di belakangku. Sudah 3 hari berlalu sejak aku meminta Anggra, teman lamaku yang sekarang berprofesi sebagai pembunuh bayaran untuk datang membantu rencanaku. Hanya saja aku lupa dengan salah 1 penyakitnya.
Dia itu suka tersesat.
TERSESAT dalam arti sebenarnya.
Seperti yang terjadi pada 2 hari yang lalu, yang di mana aku memintanya untuk segera datang ke daerahku. Kutelepon dia dan bertanya.
“Anggra. Kau sudah sampai di mana?” tanyaku waktu itu.
“Sampai? Apa maksud kau?”
“Bukankah kau kuminta datang hari ini?”
“ASTAGA!!! AKU LUPA!!! AKU KETIDURAN!!!”
Selain menerima suara teriakan mentah-mentah saat itu, aku juga mendengar suara yang mengatakan kalau dia terlambat mengambil tiket jurusannya. Yang artinya, besoknya dia akan datang.
“Kukira kau akan tersesat lagi,” lanjutku.
“Apa? Kau pikir aku ini masih suka tersesat?”
“Jangan tersinggung, hanya perkiraan.”
“Akan kubuktikan aku bukanlah Anggra yang dulu. Sekarang sebutkan ciri khas tempat kau berada.”
“Bagaimana kalau alamat lengkap rumahku saja?”
“Jangan meremehkanku! Sebutkan!”
“Baiklah-baiklah. Yang menjadi ciri khas tempatku berada ini ada patung singa putih di dekat taman yang ada pintu gerbangnya.”
“Singa putih? Oh! Aku tahu tempat itu!”
“Kau yakin?”
“Mau kutambah biaya jasaku kalau kau masih meragukanku?”
“Ah ya baiklah-baiklah.”
Dan hubungan telepon pun berhenti saat itu. Esok harinya tiba, dan aku hendak meneleponnya saat selesai bekerja mengawasi pekerja di sawah ayah mertuaku. Hanya saja waktu itu Anggra lebih dulu yang meneleponku.
“Aku sudah sampai. Aku menunggu di dekat patung ciri khas daerah kau ini sekarang.”
“Bagus. Tunggulah di situ. Aku akan ke sana menjemput kau,” ucapku.
“Kuharap ini sesuai dengan bayarannya. Aku tak menyangka harus sejauh ini ke tempat kau.”
“Jauh?” alisku mengerut, “Memakai bus cukup 4 jam saja, tidak terlalu jauh.”
“Bus apanya? Aku sampai memakai pesawat ke sini!”
“Pesawat?” rada-rada kagak beres ini, “Sejak kapan desa ini ada bandara?!”
“Desa?”
“Ya!”
“Desa apa yang memiliki banyak gedung di sini?”
“Apa?” aku kebingungan, “Kau di mana memangnya?”
“Aku di sebelah patung singa putih yang memancurkan air dimulutnya, seperti yang kau bilang menjadi ciri khas daerah kau berada.”
“Apa? Air di mulut?”
“Bukankah kau bilang seperti itu kemarin?”
“Aku memang bilang ada patung singa putih yang menjadi ciri khas daerahku ini, tapi tidak menyebutkan ada air di mulutnya.”
“Lalu aku ini di mana?”
“Coba kau foto kan patung yang kau maksud.” Pintaku.
Aku mematikan telepon sejenak, dan tak butuh waktu lama bagi Anggra untuk mengirim foto patung yang kupinta. Dan saat aku melihat fotonya..... wajahku sungguh datar tanpa ekspresi. Benar-benar tanpa ekspresi. Kutelepon dia lagi. Mengambil nafas panjang. Dan mengeluarkan suara layaknya Tarzan saat tititnya kejepit pengait celana.
“KAU NGAPAIN DISANA!! B*NGSAT?!”
Ya, aku berteriak.
“Kenapa kau berteriak? Bukankah ini daerah yang kau maksud?!” dia malah ikutan marah, “B*ngsat kau!!” dan masih sempat membalas makianku.
Bagaimana aku tidak berteriak? Inilah foto patung yang dia kirimkan padaku, sebagai tanda ada di mana dia sekarang.
Ada yang tahu itu patung apa?
Kalau tidak tahu, itu adalah patung Merlion.
Mau aku beri tahu patung Merlion itu berada di mana? TEPAT!
PATUNG ITU BERADA DI NEGARA SINGAPURA!!
Jadi itulah alasanku berteriak dan marah kepadanya! Di desaku ini memang ada patung singa putih, tapi bukan patung itu! Dan si ****** itu malah jauh-jauh pergi ke sana hanya karena salah informasi dari gaya sok tahunya itu!!
“KAU BUKAN DI SINGAPURA??!!” baru sadar si ****** ini, teriak-teriak lagi.
“AKU DI INDONESIA!!! DESAKU ITU DI INDONESIA!! KENAPA KAU MALAH KE SINGAPURA!!”
Benar-benar menguras emosi jiwa raga dibuatnya sama teman lamaku itu. Profesinya yang seram sebagai PEMBUNUH BAYARAN itu menjadi sedikit pudar jadinya gara-gara penyakitnya yang suka tersesat itu. Bahkan lebih parah.
ORANG MACAM APA YANG TERSESAT SAMPAI KE LUAR NEGERI SEPERTI ITU?!
Jadi ya.... sekarang aku memberikan alamatku yang super jauh lebih lengkap dari semua lengkap yang ada agar bisa menuntun tuh orang ke sini. Aku bersikeras masih mau menggunakan jasanya karena Anggra ini benar-benar BERBAHAYA!!
Tapi, BERBAHAYA-nya itu memiliki 2 sisi.
Yang pertama, BERBAHAYA bagi korbannya dari pembunuh bayaran ini. Anggra merupakan salah 1 pembunuh bayaran yang terkenal di dunia hitam karena konsistensi dan berhasil menuntaskan semua misi yang dia jalani.
Dan yang kedua, BERBAHAYA.....jika dia menjadi penuntun anda.
Aku sudah bilang dia ini suka tersesat. Pernah suatu hari dia tergabung dalam sebuah kelompok perampokan bersenjata dan dia akan menjadi sopirnya. Waktu itu mereka berniat merampok kantor pos.
Jadi Anggra yang membawa mobil Van dengan 5 anggota lainnya di belakang. 5 anggota itu sudah menyiapkan strategi matang, senjata jangan ditanya lagi. Mobil berhenti dan Anggra berkata, “Kita sampai!”
Tim yang merampok pun bersiap!
Pintu mobil terbuka!
Mereka turun dengan semangat! Masing-masing senjata di kokang!
Dan mereka..... turun tepat di depan markas TNI.
Alhasil gara-gara itu 4 orang tertangkap gara-gara membawa senjata, sementara 2-nya kabur, yaitu Anggra dan.... aku. Ya, aku adalah salah 1 anggota dari kelompok bersenjata tersebut yang berhasil selamat dari ‘TRAGEDI’ itu, gara-gara ada orang ****** hobi tersesat yang membawa mobil.
Dan gara-gara itulah Anggra beralih profesi menjadi pembunuh karena dia memang ahli dalam menghilangkan nyawa seseorang..... contoh kecil ya tadi, walau tidak sampai menghilangkan nyawa, tapi ‘MENGANTARKAN NYAWA DIRI SENDIRI DAN ORANG LAIN’ ke markas TNI.
Bahkan dia pernah berkata, “Membunuh adalah jalan ninja ku.” Usut punya usut dia fans berat Naruto saat mengatakan hal itu.
Udah tua masih suka nonton kartun ternyata.
Jadi ya sekarang aku tinggal menunggu kedatangan teman lamaku itu saja ke sini. Tapi tampaknya aku harus menunggu lebih lama. Soalnya kudengar kabarnya terakhir kali dia sedang dikejar-kejar polisi Singapura di sana.
Alasannya sangat sederhana.
Dia dengan santainya membawa senjata api dan senjata tajam miliknya di tempat yang sedang ada razia polisi di sana! Gara-gara itu sepertinya rencanaku harus tertunda sedikit. Selagi menunggunya, maka aku akan melalui hariku dulu seperti biasa.
Ya.... benar-benar biasa.
*************
Sekarang aku sudah sangat terbiasa menjalani hari-hari di desaku ini. Aku lebih fokus dalam pekerjaan, dan pada pertumbuhan anakku. Begitu juga istriku, Maya, yang fokus menjajakan tubuhnya dengan alasan membantu ibu-ibu di balai desa.
Hari ini juga adalah hari gajian untukku dan para pekerja ayah mertuaku. Jadi sekarang aku berada di ruangan kerja di dekat sawah yang luasnya bukan main itu dan memanggil 1 per 1 pekerja untuk memberikan gaji titipan ayah mertuaku.
“Ini, pak. Untuk minggu ini,” kataku saat memberikan amplop gaji.
“Terima kasih, pak,” pekerja itu tampak senang, “Oh iya, pak. Saya ada sesuatu.”
“Sesuatu?”
Kulihat pekerja ini keluar dan kembali dengan membawa karung besar, dia membawanya di hadapanku dan memperlihatkan isinya.
“Wow, banyak sekali ubinya,” aku tertawa ringan.
“Iya. Ini kiriman dari kampung istri saya, ipar saya lagi panen dan mengirim ini. Saya tidak bisa menghabiskannya berdua istri saya, jadi, saya sama istri saya sepakat untuk memberikannya kepada bapak.”
“Hahaha terima kasih. Tapi ini juga terlalu banyak bagi saya.”
“Saya juga bingung mau diapakan ini, pak.”
“Hm, bagaimana kalau begini.”
Kuambil 6 buah ubi mentah itu dan kutaruh di atas meja. Setelah itu aku berkata kepada pekerja ini.
“Sekarang sisanya berikan kepada pekerja yang lain. Siapa tahu mereka juga ada yang mau ubi ini. Bisa juga untuk dimakan ramai-ramai bukan?”
Usulku ini diterima olehnya. Setelah mengucapkan terima kasih dan aku membalas ucapan terima kasih juga, maka dia keluar dan aku lanjut untuk membagikan gaji.
1 per 1 pekerja yang masuk berterima kasih soal gaji dan juga soal ubi yang diberikan pekerja tadi kepada mereka. Rupanya pekerja yang memberiku ubi tadi mengatakan kalau ubi-ubi yang dia berikan kepada pekerja yang lain itu dariku dan aku tak bisa mengecewakan rasa terima kasih mereka jadi kuiyakan saja.
Setelah selesai memberikan gaji, aku meluruskan punggung sejenak di kursi, menghisap rokok dan memikirkan apa yang sekarang terjadi di rumah. Meski aku tidak khawatir amat karena ada Frieska yang menjaga Dimas, dan mungkin Maya, semoga saja istriku itu masih ada di rumah.
Aku keluar dari tempat ini dan melihat para pekerja sedang bersantai di rimbunnya pohon.
“Pak Gio! Sini, pak! Sini!!” salah 1 pekerja memanggilku di tempat istirahat mereka.
Ternyata mereka mengajakku untuk memakan ubi bakar bersama. Mereka mengumpulkan beberapa ranting dan dedaunan kering untuk menjadi alat tradisional membakar ubi tersebut. Keakraban dan perbincangan terjadi di sini. Penuh canda tawa antara wakil bos dan pekerjanya.
Aku senang pekerja ayah mertuaku ini betah bekerja di bawah naunganku, dan senang juga mereka bekerja sesuai dengan gaji yang diberikan. Dan pembicaraan mulai memasuki topik istri masing-masing.
“Saya waktu itu menikah karena terpaksa. Istri saya dulu hamil duluan, saya mau tak mau harus bertanggung jawab,” kata salah 1 pekerja.
“Oh ya? Bukan karena dikejar-kejar parang sama keluarga istrimu dulu?” timpal pekerja lain yang disambut tawa oleh kami.
“Dan saya...” pekerja itu tampak sedih, “Hampir membuat keputusan yang bodoh, saya pernah menyuruh istri saya menggugurkan anak kami sebelum dia ketahuan hamil sama keluarganya...."
Suaranya semakin sedih dan melanjutkannya.
“Meski itu tidak terjadi, dan saat anak saya lahir.... saya benar-benar merasa menjadi ayah paling tolol sedunia.... saya benar-benar merasa bersalah pernah menyuruh istri saya menggugurkannya..... tangisan anak saya, dan wajahnya.... mampu membunuh pikiran jahat dan kerasnya hati saya.....”
Dan mendadak dramatis, pekerja yang bercerita ini tiba-tiba menangis.
“Sudahlah, anakmu pasti akan heran kalau melihat ayahnya yang muka sangar, menakutkan dan mencekam ini malah menangis seperti ini,” salah 1 pekerja mencoba menghiburnya dengan candaan.
“Ya....” pekerja yang menangis itu tertawa, “Dia anak yang baik, lucu..... saya benar-benar bangga menjadi ayahnya!!”
Yang lain kembali menghibur dengan candaan, lama-kelamaan suasana dramatis tadi hilang dan kembali dengan suara tawa dan canda. Aku yang mendengar cerita tadi menjadi teringat dengan kelahiran Dimas. Anak lelakiku, anakku bersama Maya.
Aku ingat aku yang menemani Maya dalam proses kelahirannya itu. Aku tak tahu melahirkan bisa seberat dan menyakitkan seperti itu. Maya waktu itu terus mengerang kesakitan dan bermandikan keringat yang membasahi seluruh tubuh.
Aku sebagai suaminya tak tahu harus bagaimana, aku berusaha menenangkan Maya yang sedang mempertaruhkan nyawanya untuk mengeluarkan Dimas dari dalam perutnya.
Dan di situlah pengalaman spiritualku terjadi.
Aku yang dari dulu tak pernah percaya dengan adanya eksistensi Tuhan, entah kenapa mulai memohon di saat melihat penderitaan Maya, istriku satu-satunya dan yang paling kusayangi waktu itu. Aku memegang tangan Maya dan memohon kepada Tuhan di dalam hati.
“Tuhan, kalau kau memang ada.... tolong ringankan penderitaan istriku..... selamatkan istri dan anakku.... buktikan kalau kau itu memang benar-benar ada! Tunjukkan aku keajaibanmu! Aku memohon kepadamu kalau kau memang ada! Aku mohon!”
Dan terkabul!
Setelah aku mengatakan itu, proses kelahiran benar-benar menjadi lancar, sangat lancar. Maya masih mengerang tapi tidak keras seperti sebelumnya, sampai akhirnya suara Bayi menangis menghancurkan kecemasan yang ada.
Dimas akhirnya lahir normal, jagoan kecilku dan Maya, yang menangis memecahkan suasana. Dimas dibersihkan dan dipotong tali pusarnya. Dan dokter persalinan dengan tenang dan senangnya berkata.
“Selamat, anak kalian laki-laki.”
Saat dokter itu selesai mengucapkannya, tangisan Maya langsung pecah. Istriku menangis tanpa henti dan memintaku memeluknya. Aku melakukannya dan Maya memelukku begitu erat.
“Maya jadi ibu, sayang.... jadi ibu....” ucapnya bahagia di tengah tangis derasnya.
Mendengar Maya yang menangis pilu seperti itu membuatku juga meneteskan air mata, bahagia dan senang karena hubungan asmara kami sampai membuahkan anak.
Di situlah aku mulai percaya adanya Tuhan.
Hanya saja aku tak tahu, Tuhan yang barusan mengabulkan permintaanku itu berasal dari agama mana? Jadi sebenarnya aku ini bukanlah Ateis seperti yang dikira istriku sampai sekarang. Aku percaya adanya Tuhan, hanya saja aku tak tahu Tuhanku itu berada di agama apa.
Bisa dibilang aku ini Agnostik, bukan Ateis.
Biarlah itu menjadi waktu untuk menemukan di mana Tuhan (di agama) apa berada. Mengingat hal itu membuatku tersenyum tipis. Mengingat bahagianya Maya saat melahirkan anak kami, betapa sayangnya dan lembutnya dia kepada Dimas.
Aku tersenyum tipis mengingat betapa bahagianya aku memiliki istri seperti Maya. Yang ceria, manis, baik, dan begitu sayang kepadaku dan Dimas.
Dan senyum tipis ini sedikit memudar.
Di saat aku mengingat apa yang terjadi setelah Maya tinggal di desa ini. Jika benar apa yang Frieska katakan kemarin, maka memang benar, Pak Bogo lah orang yang membuka ‘KUNCI NAFSU’ terpendam Maya selama ini. Istriku sekarang benar-benar seperti pelacur, atau lebih kasarnya..... lonte. Dia tidak hanya bercinta dengan pria lain selain suaminya sendiri, tapi juga dengan pria-pria lain yang bahkan tidak dia kenal sebelumnya.
Dan sikapnya mulai berubah.
Maya menjadi sosok yang selalu berbohong, dia selalu berbohong untuk menutupi perbuatannya di belakangku. Maya bahkan hampir tidak peduli denganku, lebih parahnya lagi, Dimas.
Akal sehat istriku benar-benar dikacaukan oleh nafsunya yang begitu besar, terlebih dia itu tidak bisa melawan, jadi dia main iya saja saat ada pria lain ingin menyetubuhinya. Memikirkan ini membuatku ingin pulang ke rumah dan berpamitan kepada para pekerjaku.
Kupacu sepeda motorku dari persawahan ini sampai ke rumah, butuh waktu 20 menit untuk sampai, setelah sampai aku segera masuk ke dalam rumah.
“Heeei, lihat siapa yang datang??”
Kulihat Maya dengan cerianya menyambutku datang dan menggoyangkan tangan Dimas ke arahku. Istriku sedang duduk dilantai di sebelah Frieska yang sedang asyik menjahit sesuatu.
Aku terdiam dahulu, memandang istriku.
Rindu.
Ya.
Rindu.
Aku rindu melihat istriku seperti itu, yang selalu menyambutku pulang bersama anak kami. Sudah lama aku tidak melihatnya seperti itu dan aku hampir saja terbawa perasaan dalam hal ini. Demi mengaburkan hal itu, maka aku menghampiri mereka dan duduk bersama.
“Bawa apa?” tanya Maya saat melihat kantong plastik yang kubawa.
“Ubi, dikasih pekerja di sawah.”
“Oh....” dan Maya sedikit kesusahan menahan Dimas karena Dimas dengan semangatnya mau meloncat ke arahku, “Yaa ampun, hihi. Yaudah-yaudah, Pa, gendong, Pa.”
Dimas begitu semangatnya menyambut uluran tanganku, dan anak kecilku ini begitu senang saat kupeluk. Aku lalu melihat apa yang dilakukan Frieska dan bertanya.
“Menjahit apa?”
“Merajut,” Frieska tersenyum tipis dan fokus.
“Frieska mau mencoba membuat topi untuk Dimas,” tambah Maya.
“Oh,” aku tertawa kecil saja.
“Selesai,” Frieska tersenyum puas menunjukkan hasilnya.
“Cantiknya,” puji Maya dengan hasil rajutan Frieska.
Topi itu lalu di coba kepada Dimas, berupa topi kupluk dengan rajutan tali yang hangat. Hasilnya pas dan aku kagum, Dimas seperti penyanyi band Jamrud. Coba saja kalau ditambah kacamata dan janggut, pasti dia menjadi Krisyanto versi mini.
Bagi yang tidak tahu, ini dia Krisyanto penyanyi band Jamrud.
Dimas juga terlihat suka memakai topi kupluk rajutan Frieska tersebut, wajahnya terlihat lucu dan semakin imut saat dia tersenyum memakainya.
“Kayak penyanyi Jamrud,” ocehku dengan apa yang kupikirkan tadi.
“Dimas rocker dong,” Maya tertawa.
“Oke, anakku! Ayo nyanyi lagu Surti-Tejo! Ayo cepat!” suruhku kepada anak balitaku ini.
“Ya kali,” Frieska ikutan tertawa.
“Kamu punya bakat, Fries,” puji Maya kepada Frieska.
“Terima kasih, kak,” Frieska tersipu.
“Kalau baju bisa nggak?”
“Belum pernah nyoba.”
“Coba dong, kalau bisa, kakak yang akan menjadi pelAnggran pertamamu!” Maya tersenyum puas.
Ke 2 wanita ini sekarang asyik bertukar kata, sedangkan aku main sajalah dengan anakku dan mau membawanya jalan-jalan di luar. Tapi baru mau berdiri, Dimas menggoyang-goyangkan tangannya ke arah Maya.
“O-o-oh, mau sama mama? Yaudah, May, nih anakmu.”
“Siniii,” Maya merentangkan tangannya untuk Dimas.
Tapi Dimas bukan mau digendong, dia tertawa melihat ibunya dengan ke 2 tangan naik turun seperti itu.
“Buuuuuuu!!”
Aku dan Maya terkejut, mendengar Dimas dengan lantangnya memanggil ibunya.
“A-Apa...” Maya terperangah tak percaya, “Apa, sayang?”
“Buuuuuuuu!!” dengan cerianya Dimas mengatakan itu lagi.
Mata Maya berair dan memandangku, aku juga tak percaya dengan apa yang kudengar ini.
“Pa, Dimas sudah.....”
“Iya,” aku juga tertawa tak percaya.
“Buuuuuuuuu!!!” dan sekarang tingkah Dimas mau digendong ibunya.
Maya dengan cepat menyambut dan memeluk anak Dimas dengan penuh kasih sayangnya sebagai seorang ibu.
“Buuuuuuuuuu!!” panggil Dimas lagi sambil memainkan ke 2 pipi ibunya.
“Mama dong,” tawar Maya di tengah isaknya.
“Buuuuuuuuuuu!!”
“Ohh iya-iya, ibu juga boleh,” Maya dengan harunya mencium- cium pipi Dimas, “Hmmm anak ibu!!”
Aku terdiam dan terharu melihat Maya begitu senang melihat Dimas akhirnya bisa berbicara dan memanggilnya dengan panggilan ibu meski tidak jelas. Dimas lalu menoleh ke arahku, dia tersenyum lagi dan menggoyang-goyangkan tangan kanannya di hadapanku.
“Paaaaaaaaaaa!!”
Sekarang aku yang kaget, melihat Dimas bisa memanggilku dengan panggilanku sebagai ayahnya.
“Paaaaaaaa!” serunya lagi.
“Pa,” Maya memandangku haru, “Dimas manggil papa....”
“Iya.....” dan entah kenapa, aku kok bisa terenyuh karena itu.
Mungkin ini yang dirasakan orang tua kali ya saat anaknya bisa memanggil panggilan itu kepada orang tuanya. Sekarang aku menggendong Dimas dan Maya di sampingku, entah kenapa aku bisa melupakan sejenak permasalahan Maya saking bahagianya menerima fenomena ini.
Kulihat Frieska dan dia tersenyum melihat kebahagiaan kami.
Iseng, aku mulai mengarahkan Dimas ke arah Frieska.
“Kalau kak Frieska apa?” tanyaku.
Dimas melihat Frieska, dia tersenyum lagi, dan sekarang tangannya terentang ke depan seolah mau digendong oleh Frieska.
“Maaaaaaaaaaaaa!!”
Aku kaget, kurasa Maya juga begitu. Apalagi Frieska-nya sendiri.
“Kok mama, sayang? Kakak dong,” kata Maya.
“Maaaaaaaaaaaa!!” tapi Dimas masih memanggil Frieska dengan panggilan itu.
“Kok jadi mama?” Frieska tertawa bingung.
“Kalau ini?” kuarahkan Dimas kepada Maya.
“Buuuuuuuu!!”
“Ini?” kuarahkan ke Frieska.
“Maaaaaaaaa!!”
“Iyeeee, mau punya 2 ibu?? Hmmm!!” Maya dengan geram dan mencubit pelan pipi Dimas.
Aku tertawa saja dan memberikan Dimas kepada Maya untuk di gendong. Dan sepertinya mau di ralat sama Frieska dan Maya, Dimas masih bersikeras tidak mau memanggil Frieska ‘KAKAK’, tapi ‘MAMA’.
Akhirnya mereka berdua mengalah saja dan membiarkan Dimas memanggil Frieska seperti itu.
Meski sepele, ini menjadi pikiranku.
“Kenapa Dimas memanggilnya Mama?” pikirku.
Aku mencoba mengingat-ingat dan berpikir, apa mungkin karena Frieska selalu ada untuknya, maka Dimas mengAnggrap Frieska juga sebagai orang tuanya? Atau dalam kasus ini, ibunya?
Bisa jadi.
Karena sudah sebulan lamanya Frieska selalu ada di sini dan selalu bersama Dimas, merawatnya, bermain dengannya di saat aku pergi kerja atau pun Maya pergi ‘Berbuat Nakal’. Jadi mungkin bagi Dimas seperti itu, Frieska adalah mamanya, tapi masih sadar kalau Maya juga ibunya.
Hmm, mungkin, bisa jadi, aku hanya menerka saja apa yang anak sekecil dan sepolos ini pikirkan. Yang jelas, ini hari yang membahagiakan bagiku karena akhirnya Dimas bisa berbicara dan bisa memanggil panggilan papa untukku.
***********
Setelah hari kemarin, kembali aku menjalani hari biasa. Benar- benar biasa, saking biasanya di tengah malam begini aku terbangun, dan tak menemukan sosok Maya di sampingku.
Aku tak perlu beranjak dari kasur untuk mencari keberadaan istriku. Aku cukup mengambil ponsel pintarku dan mulai menekan aplikasi yang terhubung dengan CCTV ini di rumah.
Semua arah CCTV kutekan dan terus kutekan. Sampai akhirnya aku menemukan keberadaan Maya, istriku. Sedang bertelanjang bulat. Dan sedang bersetubuh dengan temannya pak Bogo di dekat pagar halaman belakang.
Sayangnya jarak mereka terlalu jauh jadi tadi hanya sekilas saja kulihat wajah mereka karena sekarang mereka berganti gaya. Karena sekarang Maya menahan tubuhnya lewat pagar dan teman pak Bogo menggenjotnya dari belakang.
Aku benar-benar tak heran dan biasa saja melihat perbuatan istriku tersebut. Dia bahkan terang-terangan berani main di luar rumah seperti ini seolah tak takut dipergok tetangga sebelah... ya memang, malam soalnya. Kuhela nafas panjang dan menekan sebuah tombol di aplikasi itu.
Aku merasa haus, aku keluar kamar dengan santainya dan berjalan menuju dapur. Kulihat pakaian tidur Maya dan temannya Bogo berhamburan di dapur, sepertinya mereka mulai telanjang di situ. Kuambil ceret dan kutuangkan air digelas, sebelum minum, aku mendengar suara Maya yang berkicau di belakang rumah.
“Aaaaahhh aaaaaahhh, iyaa! Oohhh ooohhhh!!”
“Enak lontee?”
“Enaak, mas,, ngghhhh aaahhh ahhhh sssshhhh!!”
“Kukeluarkan di dalam ya!! Biar kau hamil! Lonte!!”
“Iyaaaah, keluariinnn nngghhhhhh, hamiliii aku, maaaasss!! Ohhhh aaaaaaaaaaahhh aaaaaah!!”
Mendengar itu lagi-lagi sikapku biasa saja, aku malah dengan santainya minum dan ingin mencoba sesuatu. Kubuka sedikit pintu belakang dan bersandar di pintu, aku lalu minum dan melihat perzinaan ini secara langsung.
“Nnnggghhh!! Maaas!! Lebiih daleeem lagii!!” ucap istriku.
“Oooohhhh dasar lontee!!”
Teman pak Bogo mengeluarkan penisnya sejenak dan mengangkat tubuh Maya dari depan. Di dalam gendongan itu, teman Pak Bogo kembali memasukkan penisnya ke dalam vagina Maya.
“Oooooohhhhhhh!!” Maya merem melek.
“Gimana lonte? Ini kan yang kau mau?”
“Iyaaa maasss, uuhhhh kontooool masss kuaat bangeeett, aaaaaahhh aahhhh!!”
“Lonte kuat ngentot!!”
“Ooooohhhh iyaaa, ngentot enaaaak, maaas!!”
Aku terus melihat mereka dari sini sambil minum. Dan sedikit memuji dalam diriku, betapa konsentrasinya mereka meraup kenikmatan birahi sampai tak sadar aku dengan santainya melihat mereka dari sini. Padahal kalau mereka menoleh sedikit ke kiri mereka akan melihatku dengan santainya melihat perbuatan bejat ini.
Ya sudahlah.
Aku kembali masuk ke dalam dan mengatur posisi pintu tadi seperti semula. Karena ini memang salah 1 risiko rencanaku, yaitu membiarkan Maya berbuat semaunya.
Setelah itu aku tidur dan beristirahat.
***************
Pagi harinya aku bersikap biasa-biasa kembali seakan tidak mengetahui perbuatan istriku tengah malam tadi. Maya juga kulihat sudah berpakaian rapi, berupa kemeja dan juga rok yang tergolong sopan selagi memakaikan baju untuk Dimas yang baru selesai mandi.
“Mau ke mana, Ma?” tanyaku.
“Biasa,” istriku tersenyum.
Lalu pintu rumah kami diketuk yang menandakan ada orang yang bertamu sepagi ini. Aku yang sudah selesai sarapan hendak membuka pintu. Di dalam, aku mendengar suara-suara yang tidak asing. Kubuka dan ternyata benar, itu adalah Frieska yang baru datang dan sedang berbincang dengan 3 ibu-ibu di desa ini.
“Oh, pagi,” salamku kepada mereka berempat.
Ternyata 3 ibu-ibu ini datang ke rumahku untuk menjemput Maya. Dan kali ini aku baru percaya kalau Maya mau memasak di balai desa, karena kalau dia pergi sendiri, maka istriku bukanlah sedang memasak, tapi mengangkang dan membiarkan penis-penis masuk ke dalam vaginanya.
Maya juga ikutan keluar dan menyambut mereka semua, Dimas yang ada di dalam gendongannya maka dioper kepada Frieska karena Maya sudah mau pergi bersama 3 ibu ini.
“Bagaimana kalau kamu juga ikut?” tawar salah 1 ibu kepada Frieska.
“Eh?” Frieska terlihat bingung.
Ibu-ibu yang lain juga ikutan menawarkan, begitu juga Maya, mungkin istriku merasa tenang kalau ada anakku di sana, tapi tentu saja, Frieska tentu saja bingung dengan penawaran ini. Frieska lalu berkata dengan nada ingin menolak secara halus, sampai akhirnya kusela.
“Biar nanti saya mengantarnya ke sana. Sekalian saya mau ke sawah.”
“Eh?” sekarang Frieska bingung memandangku.
“Kamu udah sarapan?” tanya Maya.
“Belum sih. ”
“Kalau begitu kamu sarapan dulu ya? Di dalam udah ada,” Maya tersenyum dan meminta Dimas kembali ke dalam gendongannya, “Biar Dimas kakak yang bawa.”
“O-Oh, iya kak...”
“Hati-hati bawa motornya, Pa,” ucap Maya kepadaku.
“Santai,” aku tersenyum.
Kemudian Maya dan ke 3 ibu tadi pergi berjalan kaki dan ke 3 ibu itu asyik mengajak Dimas bercanda di gendongan Maya. Setelah jarak mereka cukup jauh, Frieska lalu berbicara.
“Kenapa kau setuju?”
“Daripada kau di rumah terus. Tidak bosan menjaga anak dan rumahku?”
“Bagian jaga anak sih engga, kalau menjaga rumahmu baru iya.”
“Kalau begitu refresinglah. Balai desa banyak pepohonan teduh, di sana kau akan senang bermain bersama Dimas, halamannya juga teduh dan luas. Lagi pula, kau tak pernah jalan-jalan di desa ini malahan. Kau butuh hiburan.”
“Iya deh, iya,” Frieska tersenyum, “Perhatian banget.”
“Sarapanlah dulu,” aku lalu masuk ke dalam.
“Tumben?” ucap Frieska, “Biasanya kau selalu menggerutu kalau aku bilang kau perhatian padaku.”
“Bosan, setiap hari aku mendengarnya.”
“Ga asik!” sekarang dia yang menggerutu.
“Hahahaha.”
Frieska lalu menikmati sarapan dan aku duduk di sofa sambil menonton acara berita di TV. Selagi Frieska menikmati sarapan, dia lalu berbicara.
“Apa hari ini istrimu lagi-lagi melakukannya?”
“Tadi, tengah malam,” ucapku cuek.
“Santai banget sih,” dia menggerutu lagi.
“Soalnya sudah sering kulihat.”
“Suami macam apa kamu ini! Mau jadi cukold kamu?!”
“Semacam itulah,” balasku malas.
“Huh! Lalu bagaimana?”
“Apanya?”
“Kau tidak terangsang melihatnya tadi malam?”
“Pertanyaan apa itu?” aku tertawa, “Fokus saja sama makananmu.”
“Huh!” dia lagi-lagi sebal.
Aku kembali menonton acara berita yang membosankan ini, dan aku rasa Frieska sudah selesai sarapan. Tanpa melihat saja aku tahu karena aku mendengar gemercik air dan piring yang menjadi tanda Frieska sedang mencuci piringnya yang digunakan untuk sarapan.
Mataku sudah sampai bosan melihat acara TV ini sampai akhirnya muncul tiba-tiba seseorang di depanku, dengan payudaranya yang bulat, bulu-bulu lebat di sekitar vagina dan senyum di bibirnya yang menggoda.
“Anjing!!” aku tentu saja kaget melihatnya.
“Berlebihan, kau sudah puas melihat tubuhku ini dan beberapa kali mencicipnya,” ucap Frieska ketus.
“Siapa juga yang tak kaget melihat kau tiba-tiba muncul dan telanjang bulat di depanku?” gerutuku, “Kenapa kau telanjang??”
“Pertanyaanmu bodoh,” dia tersenyum dan berlutut di depanku, tangannya lalu mencoba membuka ikat pinggangku.
“Hei! Hei! Ini!” aku berusaha mencegahnya.
“Rumah sepi,” ucapnya memotong, “Kita lakukan dengan cepat, lalu aku sudah pernah bilang sebelumnya dahulu.”
“Apa?”
“Di saat kau tidak mendapatkan itu dari istrimu,” Frieska tersenyum dan memandangku, “Maka aku yang akan memberikanmu itu.”
Aku pun jadi teringat sesuatu. Ya, dia pernah mengatakan itu, dimalam saat aku memecahkan keperawanannya. Dan aku memang sebenarnya terangsang juga sih waktu melihat istriku tadi malam, tapi rasanya ini tidak etis kalau Frieska yang harus bertanggung jawab dan memberikan kepuasan seksual untuk rangsangan biasa.
“Jangan, Mpris,” ucapku.
“Kenapa?” dia memandangku.
“Aku sudah bilang. Jangan kau yang menawari.”
“Tapi kamunya jarang meminta, walau kamu sedang ingin. Lagi pula......” dia tampak tersipu, “Aku..... juga lagi pengen....”
“Tetap saja, jangan kau duluan yang memulainya.”
“Tidak masalah, ini kulakukan hanya untukmu. Bukankah salah 1 tugas wanita adalah menyenangkan sang pria?”
“Tapi ga gini juga, kesannya kau hanya jadi pelampiasan nafsu saja.”
“Tuh, gimana aku tidak dengan senang hati memberikannya,” senyumannya semakin manis, “Kau sangat perhatian.”
“Sudahlah, Mpris. Nanti saja, kapan-kapan aku memintanya dari kau kalau ada kesempatan di luar.”
“Terlambat dong.”
“Terlambat?”
Dia tidak menjawab tapi matanya melirik ke bawah, aku melihat ke bawah dan melihat ‘Si Untung’ sudah ‘Berdiri tegak’ dengan gagah perkasanya.
BUSET!! TERNYATA CELANAKU SUDAH DIPELOROTKANNYA!! NIH CEWEK KAPAN JUGA MELEPASKAN CELANA DAN JUGA CELANA DALAMKU?
“Bilang aja mau, sampai ga sadar aku sudah selesai menarik celanamu,” dia menahan tawa dengan senyuman dan mulai mendekatiku.
“Mpris! Mpris!” aku berusaha mencegahnya.
“Ssssttt,” dia memintaku diam dan berbisik di telingaku, “Aku sudah bilang..... kita main cepat.....”
Dia mencium pipiku sejenak dan lanjut berbisik.
“Aku juga lagi pengen...... sayang...”
Aku menghela nafas panjang dan masih berniat tidak mau melakukannya di rumah ini. Aku mendorong tubuhnya sejenak lalu kutahan dan mencoba membicarakannya.
“Mpris, aku....”
“Hmm,” dia tersenyum manis dan menonjolkan ke 2 payudaranya di depanku.
“Ah! Persetan! Lets fuck!!” dan aku langsung mencaplok putingnya.
“Hihihihi,” dan dia hanya tertawa geli saat aku menyucup puting kanannya.
Akhirnya idealisku runtuh juga di hadapannya. Mungkin namanya juga rezeki kali ya, jadi tak baik juga menolak rezeki. Apalagi nih tubuh cewek memang paling top markotop untuk diajak bersetubuh!
Di saat dia telanjang.
Selagi aku sibuk ‘Menyusu’ payudaranya, maka dia membuka kancing kemejaku. Setelah itu dia memegang kepalaku seolah menuntunku untuk menikmati payudaranya yang besar dan kenyal.
“Nnngggghhhhhh,” lenguhnya dan mengusap kepalaku, “Dasar bayi gede.”
Bodo amat dah, kapan lagi coba bisa menikmati payudara sekenyal dan sebesar ini? Dan aku pria yang beruntung mendapatkannya. Terus kujilat, kuhisap, kugigit ke 2 puting payudaranya yang dahsyat bukan main bergoyangnya nanti saat kugenjot.
“Nnnnnggghhhh!!” dan dia melenguh sedikit keras saat aku mencupang payudaranya.
Tanganku lalu memainkan area vaginanya dan merasakan keriting-keriting bulu kelaminnya yang begitu lebat di bawah sana. Kulepas cucupanku pada payudaranya dan berkata.
“Aku penasaran.”
“Penasaran apa, sayang?” dia mencium-cium bibirku dulu. Kubalas ciumannya dahulu dan melanjutkan.
“Kau juga pasti penasaran nantinya.”
“Apa?” dia tersenyum dengan ke 2 tangan melingkar di leherku.
“Kalau bulu yang ada ditangan disebut bulu tangan, bulu dikaki disebut bulu kaki, lalu bulu diketek disebut bulu ketek.”
“Hm?”
“Kenapa bulu di memekmu dan dikontolku disebut bulu jembut?”
“Pertanyaan apa itu?” Frieska tertawa.
“Iya kan? Kenapa harus jembut? Siapa yang memberikan nama itu untuk bulu kelamin?”
“Iya sih hihihi.”
“Aku benar-benar penasaran.”
“Sudahlah,” dia menciumku lagi sebentar dan tersenyum, “Aku juga penasaran, apa kamu bisa membuatku puas?”
“Oh! Kau meremehkanku?”
“Buktikan!” dia tersenyum dan menyentil hidungku.
Karena merasa diremehkan maka kuangkat dia dan ‘KUBANTING’ dia di atas sofa yang kududuki ini. Aku lalu memegang penisku yang perkasa ini.
“Jangan menangis meminta ampun waktu kuserang dengan ‘RUDAL’ kebAnggraan Indonesia ini!” aku melotot kepadanya.
“Oh ya?” dia tersenyum menggoda, mengangkang dan membuka lebar pintu vaginanya dengan tangan.
Tanpa menunggu Presiden Korea Utara menekan tombol nuklir untuk menyerang konser boyband negara tetAnggranya. Maka aku dengan semangat 4 sehat 5 sempurna langsung menggempur vaginanya.
“AAAAAAHHHHHH!!” Frieska terpekik saat ‘RUDAL’ ku menerobos benteng pertahanannya.
Oh yeah! Rasakan itu! Berani-beraninya meremehkanku! Inilah ‘RUDAL’ kebAnggraan Indonesia yang memiliki prajurit-prajurit sperma yang begitu banyak jumlahnya! Sperma-sperma yang sudah terlatih! Gesit! Lincah! Dan jago berenang sejak dini dengan garis finish ovum!!
“Sayaaaang, saaayaaaanggg, nngghhhhhhhh,” tangannya naik ke atas seolah ingin menggapai kepalaku.
Aku tahu maksudnya, maka aku menunduk dan mencium bibirnya. Uuuuhhh!! Sudah mendapat nikmat dari vaginanya, sekarang dari mulutnya. Mulut wanita ini benar-benar lembut untuk dikecup, ibarat memakan daging ayam dan kulit ayam KFC.
SAYANG UNTUK DILEWATKAN!!
Puas berciuman maka aku kembali menggenjotnya dengan brutal, sengaja, soalnya kalau posisinya begini, aku suka melihat payudaranya membal ke sana-kemari.
“Aaaaaahhhhhhh, sayaaaang, pelaaan-pelaaan,” ucapnya.
“Susaah! Kutarik keluar kontolku, magnet di memekmu menariknya terus! Susah lepas!” kuucapkan sambil menyodoknya dengan beringas.
“Kamu ini nnnggghhhhh,” dia tertawa kecil di tengah desahannya, “Magnet apa coba di memekku, nnnggghhhhhh!!”
“Magnet kenikmataan!! Uuuhh!!”
“Aaaaaaaaaahhhh aaaaaaaaahhhh!”
Merasa area pertempuran ini sedikit sempit, maka kuhentikan sejenak sodokanku. Tanpa mengeluarkan penisku dari vaginanya, maka aku menggendongnya dan membawanya masuk ke dalam kamar tamu..Di situ aku membaringkannya dan mengenyot-ngenyot payudaranya lagi sebagai tambahan buff untuk bercinta.
“Kuaaat banget sih nyedootnyaa, nnnnggghhhhhh!!” lenguhnya nikmatnya.
“Mau nyedot susunya, kok ga ada ya?”
“Mmmhhh, jadi mau susu nih dari payudaraku?” senyumnya menggoda.
“Tentu saja,” kugigit putingnya dan kutarik.
“AAAAHHHH!!” desahnya nikmat dan kucucup lagi payudaranya dan kuremas-remas semau hati kedua susunya!