𝐔𝐤𝐡𝐭𝐢 𝐀𝐫𝐢𝐧𝐚 & 𝐆𝐚𝐧𝐠 𝐌𝐨𝐭𝐨𝐫 𝐁𝐚𝐠𝐢𝐚𝐧 𝟐

 


Hampir 1 jam aku mengemudikan sepeda motorku. Kulirik jam tanganku yang sudah menunjukkan pukul 22.23. Suasana semakin gelap, tidak kulihat orang sama sekali di perkampungan tempat tinggal Ukhti Aida. Hanya terdengar suara deru knalpot sepeda motorku saja saat ini saking sepinya. l

Suasana perkampungan Ukhti Aida sedikit jauh dari kota. Kami melewati jalanan kecil yang belum diaspal, sehingga laju motorku berjalan perlahan. Kamipun melewati hamparan sawah yang gelap gulita karena minimnya penerangan di jalanan perkampungan Ukhti Aida. Aku mencoba mengingat jalanan ini agar tidak tersesat ketika pulang. Tetapi sepertinya sulit karena jalanan menuju rumah Ukhti Aida banyak belokan dan juga gelap

“Belok kiri Ukh. Iya itu yang gapura hijau”, kata Ukhti Aida sambil menunjuk ke arah gang hijau yang dimaksud

Aku pun membelokkan sepeda motorku dan masuk melewati gang hijau seperti yang ditunjuk oleh Ukhti Aida. Kulajukan sepeda motorku perlahan sambil menunggu Ukhti Aida menunjukkan dimana rumahnya

“Stop stop.. Ini Ukhti rumah ana yang pagar putih”, kata Ukhti Aida sambil menunjuk ke arah rumahnya

“Ukhti Arina ngga mampir dulu? Kayaknya bakalan hujan nih Ukh... Tidur dirumah ana aja, besok pagi-pagi baru pulang. Toh suami ana kayaknya malam ini belum pulang”, ajak Ukhti Aida

“Ana langsung pulang saja Ukh.. Khawatir dicari orang rumah”, jawabku menolak tawarannya

“Ohh gitu.. Syukron ya Ukh.. Anti hati-hati ya pulangnya”, kata Ukhti Aida

“Iya Ukhti.. Ana pulang ya Ukh.. Assalamu’alaikum”, kataku berpamitan

“Wa’alaikumsalam...”, jawab Ukhti Aida

Setelah berpamitan, aku kembali melanjutkan perjalanan pulang ke rumah. Tak terasa 1 jam lebih waktu yang ditempuh dari tempat kajian menuju rumah Ukhti Aida. Aku bergegas membawa sepeda motor sedikit terburu-buru, karena langit yang semakin gelap dan malam yang semakin larut.

Aku terus mengemudikan sepeda motor dan melaju semakin jauh. Aku mencoba menerka-nerka arah jalan yang kulalui karena memang aku pelupa. Rupanya benar sepertinya aku salah memilih jalan karena jalanan yang kulalui kali ini berbeda dengan yang tadi kulalui bersama Ukhti Aida. Aku terus mengemudikan motor berdasarkan feeling saja sambil berharap bisa segera kembali ke jalan utama.

*5 menit kemudian*

“Eh tadi beneran lewat sini ngga ya? Duh. Kayaknya aku nyasar nih...”, kataku saat menyadari aku semakin tersasar.

“Aduh kayaknya salah jalan beneran deh”, kataku mulai was was

Aku kembali menjalankan sepeda motor pelan-pelan dan berharap ada seseorang yang bisa kutanyai. Pelan tapi pasti gerimis mulai turun membasahi jalanan yang kulalui. Aku bingung memutuskan untuk melanjutkan perjalanan atau berteduh terlebih dahulu didaerah ini. Hujan pun turun semakin deras hingga memaksaku untuk menghentikan perjalananku. Kurasakan seluruh pakaianku sudah basah terkena hujan deras yang tiba-tiba turun tanpa aba-aba.

*blarrrr blarrrrr* petir pun menyambar-nyambar dengan kencang

Kulihat ada sebuah warung yang sudah tutup dan akupun memutuskan berteduh disana. Kuparkirkan motorku dan kubiarkannya sepeda motorku kehujanan karena memang tidak ada parkiran yang teduh ditempat ini. Sedangkan aku memilih masuk ke dalam warung yang tidak terkunci tersebut. Untungnya warung tersebut tanpa pintu sehingga aku bisa duduk-duduk di dalam. Kukibaskan gamisku yang sudah basah total akibat hujan yang mendadak ini. Kurasakan kerudungku juga basah parah hingga beberapa helai rambutku sedikit keluar dari sela kerudung. Kucoba merapikan rambutku agar tidak terlihat, dan kulepas kain cadarku yang basah dan terasa tidak nyaman digunakan.

Kubuka layar ponselku, kulihat jam sudah menunjukkan pukul 23.16, kulihat beberapa teman-teman kajianku sudah membuat status WA sampai rumah dengan selamat. Begitupula dengan Ukhti Aida yang juga sudah membuat status WA tentang beberapa poin yang disampaikan dikajian Ustadzah Rahma tadi.

Aku pun terus menantikan redanya hujan kali ini, namun sayangnya bukannya reda, hujan malah semakin deras saja. Kurasakan tubuhku mulai sedikit menggigil karena seluruh pakaianku yang basah kuyup terkena hujan. Kucoba mengisi waktu dengan membuka aplikasi instagram pada handphoneku. Langsung terlihat beberapa postingan akhwat-akhwat bercadar yang terlihat anggun dengan gamis lebar bercadarnya. Jujur saja cara berpakaian mereka yang terlihat anggun mempesona itulah yang membuatku terinspirasi dan mencoba untuk memakai cadar.

Hasilnya sungguh diluar dugaan, aku terlihat lebih anggun dan dewasa saat mengenakan cadar. Bahkan beberapa teman yang melihatku mulai mengenakan cadar memuji pesonaku yang kata mereka punya auranya sendiri. Tetapi tak sedikit pula yang terkejut dan tidak setuju dengan perubahan cara berpakaianku, terutama dari lingkup keluarga besar kedua orangtuaku. Wajar saja dan aku tidak begitu memikirkannya. Penolakan itu justru menjadi penyemangatku untuk berhijrah, bukan hanya caraku berpakaian, namun juga sikapku.

*bruuuumm bruummmm brummmmm* dari kejauhan terdengar suara knalpot racing yang berisik memekakkan telinga

Sepertinya bukan hanya 1 motor saja, tetapi ada beberapa suara knalpot yang kudengar bergemuruh menjadi satu membuat suasana yang tadinya hening menjadi berisik. Akupun buru-buru memakai kain cadarku kembali untuk berjaga-jaga dan kurapikan kembali kerudungku. Walau masih basah, aku tidak peduli karena cadar dan kerudung sudah menjadi pakaian wajib yang harus kugunakan saat ada orang lain didekatku. Daripada aku harus mengekspose wajahku ke seseorang yang bukan mahromku, lebih baik aku bertahan sejenak menutup wajahku dengan kain cadar basahku ini.

Suara knalpot sepeda motor semakin mendekati tempatku berteduh. Sesekali kudengar mereka menggeber-geber motornya dengan berisik. Aku hanya berdoa dalam hati agar mereka tidak berhenti di tempat aku berteduh saat ini. Bagaimanapun, aku sendirian di tempat yang tidak kukenal ini, tentu saja sebagai gadis normal, aku merasa was-was dengan kehadiran sekelompok orang-orang yang berisik itu.

*bruuuuuummmmm bruummmmmm* suara riuh knalpot itu melewati warung kosong tempat aku berteduh

Benar saja, Jumlah mereka ternyata banyak. Terhitung kurang lebih ada 10 motor lebih yang tadi melintas di warung tempatku berteduh sambil menggeber-geber motornya. Untungnya mereka melanjutkan perjalanan tanpa melihat ke arahku sama sekali.

Kembali kulihat jam tanganku, malam pun semakin larut tepatnya pukul 23.42. Hujan masih turun dengan derasnya di malam yang semakin sunyi ini. Aku buka aplikasi mapsku dan kucoba pelajari arah pulang yang benar, walau jujur saja aku adalah seseorang yang tidak pandai membaca aplikasi peta itu. Kulihat jarak yang tersisa menuju rumahku masih 37 km lagi.

*Brummmmm bruuummmm* suara deru knalpot

“Ehhhh kok mereka kembali?”, gumamku ketakutan dan bersembunyi kembali di dalam warung

Ketakutanku semakin menjadi saat melihat mereka satu persatu berdatangan dan berhenti disamping sepeda motorku yang kubiarkan terparkir dipinggir jalan. Kulihat mereka mendekati sepeda motorku dan menggerakkan stang motor sepeda motorku.

Rasanya, jantungku berhenti berdetak saat mereka menangkap mataku yang sedang mengintip mereka dari dalam warung. Aku kembali bersembunyi semakin dalam, namun sayang 3 orang lelaki telah berjalan menuju kearahku sambil membawa golok dan celurit

“Hahahah.. Ada ukhti-ukhti cadaran malam-malam gini habis ngapain ya?”, goda salah satu dari mereka

Tidak bisa kulihat wajah mereka dengan jelas. Yang kutahu ketiga lelaki itu berbadan besar dan postur mereka menyeramkan. Aku pepetkan tubuhku ke arah tembok warung dengan ketakutan dan berdoa semoga rombongan yang kelihatannya gang motor itu segera pergi

“Kalau ditanya itu dijawab cantik... Heheheh...”, ujar lelaki lainnya yang posturnya sama besarnya.

“Sa.. saya habis pengajian..”, jawabku terbata-bata

“Ho? Pengajian? Ga boong lu? Bukan lagi jual diri lu?”, ujar lelaki pertama tadi

“Astaghfirullah hal adzim...”, kataku mendengar tuduhan rendah mereka

“hehehe... Yuk ikut kita aja yuk”, ujar salah satu diantara mereka sambil cengengesan dan berusaha menarik tanganku

Aku yang tidak biasa bersentuhan dengan lelaki bukan mahrom secara reflek langsung menangkis tangannya yang menarik tanganku dengan paksa. Kulihat lelaki itu terlihat begitu marah dan menamparku dengan keras setelah kutepis tangannya tadi

*plak*

“Sombong lu ya?”, kata lelaki tadi kesal

Mereka menatap tajam ke arahku, aku semakin ketakutan saat ketiga orang itu semakin memepetku ke dinding kayu warung ini. Mereka tersenyum sinis sambil memainkan golok mereka seperti berusaha menakutiku. Dari jarak sedekat ini, kubisa melihat dengan jelas wajah mereka yang jauh dari kata tampan. Aku begitu ketakutan hingga lebih banyak memilih memejamkan mataku sambil menunduk total karena wajah mengerikan mereka dan juga aroma tak sedap yang berasal dari mulut mereka

“Hehehe jangan lu kira mentang-mentang lu cadaran, kita ga berani macam2 ke lu.”, kata salah satu diantara mereka sambil menggerakkan ujung goloknya tepat di area dadaku

“Sekali tebas pakaian lu, lu udah bisa kita bugilin. Ngerti lu?”, imbuh lelaki itu kali ini ia gerakkan ujung goloknya tepat diarea puting payudaraku.

Mendadak mulutku terkunci rapat mendengar perkataannya. Aku tidak berani menggerakkan tubuhku sedikitpun. Ujung tajam golok itu benar-benar tepat menempel pada ujung puting susuku yang masih tertutup kerudung dan juga gamisku. Kulihat ia mulai menggerakkan goloknya kebagian tengah dadaku dan digesernya perlahan kebawah. Membuat lekuk dadaku sedikit membentuk karena tekanan dari ujung golok

“Jawab lu lagi jual diri kan? Berapa harga tubuh lu?”, tanya seorang lelaki kekar berambut berantakan

Aku terkesiap mendengar pertanyaannya. Sebuah pertanyaan yang aneh menurutku. Setauku, pelacur tidak ada yang pakaiannya serba tertutup seperti diriku saat ini. Sungguh itu sebuah tuduhan yang amat kejam bagiku. Dan parahnya lagi pertanyaannya seperti memaksaku menjawab jika memang benar aku adalah seorang gadis yang sedang jual diri.

“Saya tidak jual diri...”, aku memberanikan menjawab pertanyaan kurang ajarnya

*plak plak plak*

Pipiku kembali dihajar dengan sebuah tamparan bertubi-tubi. Aku mencoba tetap tegar walau pipiku rasanya perih menyakitkan. Tanpa terasa air mataku jatuh karena tidak pernah selama hidupku diperlakukan kasar seperti ini

“Jangan boong lu.. Ga usah jaim-jaim lu lonte”, ujar lelaki kekar itu semakin menghunuskan ujung golok ke dadaku

“Udah kita bawa aja ke markas dulu...”, kata lelaki yang tadi menarik tanganku tiba-tiba mencoba menahan rekannya melukaiku

Lalu lelaki yang menggerakkan goloknya ke dadaku tadi merampas tasku dan mencari sesuatu dari dalam tasku. Setelah mereka mendapatkan kunci motorku, mereka menarik paksa tubuhku keluar, hujan-hujanan hingga pakaianku kembali basah kuyup

“Lu bawa motor nih lonte. Nih lonte kita angkut sekalian”, kata pria kekar tadi memberi perintah ke temannya.

Tubuhku kembali ditarik dan dipaksa naik ke salah satu motor mereka, mataku ditutup rapat oleh sebuah kain sehingga aku tidak bisa melihat sama sekali keadaan sekelilingku. Kurasakan salah seorang turut duduk dibelakangku, sepertinya saat ini aku dalam posisi boncengan bertiga dan aku diapit oleh 2 orang lelaki

Satu persatu mulai menyalakan mesin sepeda motornya. Suara knalpot brong mulai kembali bising terdengar beriringan. Aku tidak tahu akan dibawa kemana. Dalam hati aku berdoa semoga aku baik-baik saja. Tetapi sayang, dalam beberapa menit saja doaku sudah tak dikabulkan. Lelaki yang duduk dibelakangku dengan kurang ajar sengaja meremas-remas payudaraku. Aku mencoba memberontak menghindari sentuhan tangannya yang kurang ajar, namun lelaki itu kembali membisikiku

“Diam! atau gua bunuh lu!”, bisiknya

Tubuhku mendadak melemah, perlawananku perlahan musnah. Aku semakin ketakutan saat ini. Tidak kusangka pada akhirnya aku mengalami kejadian seperti ini. Mendadak aku sedikit menyesal, andai saja aku menerima tawaran Ukhti Aida untuk bermalam dirumahnya, tentu kejadian ini tidak akan terjadi. Atau andai saja aku tidak menghadiri kajian Ustadzah Rahma malam ini, pasti aku tidak akan mengalami semua ini. Pikiranku kalut, jantungku terasa sakit, Hingga pada akhirnya aku menangis sesunggukan dibalik kain hitam yang menutupi kedua mataku. Sementara itu, tangan kasar lelaki yang duduk dibelakangku seakan tak peduli dengan tangisanku. Ia terus meremas payudara dan melecehkan tubuhku dengan kurang ajar sepanjang perjalanan malam ini

***

Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Categories

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

BTemplates.com

POP ADS

Blogroll

About

Copyright © Cerita Panas | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com