POV LIDYA
Diantara perasaan bersalahku yang begitu besar kepada suamiku atas perbuatan terlarangku di belakangnya, namun malam ini kurasakan ada keganjilan pada suamiku.
Ada kemarahan yang meledak-ledak, kemudian mendadak terdiam membisu, lalu bersikap biasa dan begitu mudahnya dia memaafkan kesalahanku, walaupun jujur ada perasaan lega setelah mendengar suamiku memaafkanku, tapi entah mengapa aku rasakan ada hal yang ganjil. Lalu aku juga merasakan gairah seksualnya mendadak memuncak tinggi.
Bahkan menurutku yang lebih anehnya lagi, dia ingin aku bercerita tentang kisah perselingkuhanku, yang mungkin bagi kebanyakan orang tidak ingin mendengarnya, karena itu aku yakin akan membuat hatinya semakin sakit. Tapi sekali lagi, entahlah…. aku merasa tak mengerti dengan suamiku di malam ini. Perubahan sikap suamiku yang seolah berbeda-beda karakter itupun terjadi secara mendadak dan hanya dengan waktu yang begitu cepat.
Ini bukanlah Arief Pratama yang aku kenal sejak 3,5 tahun yang lalu. Bahkan kini dia sedang merengek manja bagai anak kecil yang seolah ingin segera diceritakan kisah dongeng 1001 malam sebelum tidur sambil menghisap payudara ibunya.
Karakter bocah ini aku tebak mungkin karena suamiku ini tidak pernah merasakan kasih sayang ibunya sejak ia lahir ke dunia, karena ia kehilangan ibu ketika melahirkannya. Maka ketika ia sedang mengalami masalah yang begitu berat seperti yang sekarang ia hadapi, ia merindukan sosok ibu… yang mungkin bisa menenangkannya. Ini mungkin, hanya dugaanku saja.
Aku tahu saat ini suamiku sedang stress oleh bisnisnya, ditambah oleh kelakuanku yang begitu bodoh dan pasti mengecewakan dan membuatnya hancur. Lalu ia berprilaku seperti ini, apakah suamiku mulai mengalami depresi yang berat? Ah jangan…. Jangan sampai itu terjadi.
Jikapun itu benar terjadi, maka akulah yang paling merasa bersalah karena memiliki andil yang besar dalam menghancurkan kebahagiaannya. Ma’afkan Aku, Pah…..
Kita hentikan dugaan pada suamiku ini dan semoga saja itu tak benar, karena kini aku harus memulai bercerita tentang aku dan Koh Freddy. Suamiku ini sudah merengek berkali-kali agar aku mulai bercerita. Maka beginilah ceritanya……
***
Disukai lawan jenis bagiku adalah kondisi yang menjengkelkan. Aku selalu heran dengan sikap laki-laki yang bisa menyukai perempuan yang telah bersuami sepertiku. Apa tidak ada perempuan lain di dunia ini? Aku bukanlah gadis remaja yang akan terbuai oleh segala pujian dan rayuan dari para lelaki, untuk usia dan statusku yang kusandang sekarang ini, menjaga keutuhan rumah tangga adalah lebih utama dari segalanya. Aku sangat mencintai suamiku, apapun kondisinya. Jika ada yang menyebutkan apa alasannya? Maka aku jawab karena cinta tak perlu alasan.
Akhirnya setiap lelaki yang datang mencoba merayuku, pasti selalu tak kurespon, bahkan aku akan bersikap ketus atau marah jika memang sudah benar-benar memaksa, padahal telah aku tolak mentah-mentah. Aku tak peduli pada image-ku yang menjadi negatif, disebut judes lah, sombong lah, sok kecantikan lah, aku tak peduli!
Namun sikap tegas dan cenderung kaku-ku pada lelaki selain suamiku menjadi tak berlaku ketika seorang atasan yang juga sebagai pemilik perusahaan di tempatku bekerja, menyukaiku.
Aku tahu itu dari sikapnya yang tersirat bahwa ia memang suka dan berusaha ingin dekat denganku. Berulang kali ia mengajakku untuk makan siang atau menawarkanku untuk mengantar pulang, tentu saja aku tolak… tapi aku tak bisa bersikap ketus seperti penolakanku pada lelaki yang lain. Dia itu Boss besar dan jujur aku masih membutuhkan perkerjaan mengingat kondisi ekonomi keluargaku sedang tidak baik-baik saja. Karena itu aku selalu menolaknya secara halus dengan beragam alasan.
Aku mengatakan kalau aku sudah ada janji untuk makan siang bersama suamiku, atau aku beralasan pulangnya akan dijemput suamiku. Sengaja aku selalu ‘membawa-bawa’ suamiku dalam setiap penolakanku, itu untuk menegaskan bahwa aku adalah perempuan yang telah bersuami. Pada awalnya aku sedikit khawatir kalau setiap penolakanku itu akan membuatnya marah, tapi ternyata tidak. Ia hanya tersenyum dan menerima alasanku itu, namun tetap saja ia lakukan lagi ajakannya di lain waktu.
Boss besar itu bernama Freddy Albert Ramajaya, yang lebih sering dipanggil dengan sebutan Koh Freddy. Seorang lelaki berusia 40 tahun itu menjadi idola bagi para pegawai perempuan di kantorku. Nama itu selalu disebut dan menjadi khayalan dan imajinasi para wanita di kantor, baik yang masih single maupun yang sudah bersuami di setiap obrolan istirahat kerja.
Memang secara fisik, Koh Freddy ini memang bisa dibilang sangat tampan, ditunjang dengan body-nya yang tegap, tinggi dan atletis. Sikapnya yang cool membuat para wanita di kantor begitu tergila-gila kepadanya.
Jujur, akupun sejak awal melihatnya setuju dengan penilaian mereka tentang wajah dan perawakannya itu. Tapi aku tak pernah sekalipun terkagum-kagum atau ikut membicarakan hal itu seperti wanita yang lainnya. Aku hanya jujur menilai, bukan berarti aku suka, dan penilaian itu cukup tersimpan di dalam hati, tapi sekali lagi…. Ini bukan berarti aku menyimpan perasaan di dalam hati seolah tak ingin diketahui oleh orang lain. Sungguh, bukan itu. Sebagai seorang yang telah bersuami, aku memang tak pernah tertarik untuk menjadikan lelaki lain sebagai topik obrolan apalagi untuk menyukainya.
Mengenai sikap Koh Freddy, aku tak sependapat dengan penilaian para wanita di kantor. Aku rasa Koh Freddy bukan cool, tapi lebih ke angkuh. Kecuali kepadaku yang selalu menampakkan senyum dan wajah ramah, kepada karyawan yang lain dia memang tidak pernah terlihat tersenyum, jangankan menyapa… melirik pun sepertinya tidak.
Tentang berita Koh Freddy yang suka padaku, awalnya hanya diketahui olehku saja, kemudian Vina, lalu Pak Ridwan. Kalau Vina, memang aku yang bercerita pada sahabatku itu, semua tentang ajakan dan setiap penolakan selalu kuceritakan kepadanya. Sementara Pak Ridwan mengetahui karena dia pernah mendengar langsung saat Koh Freddy menawarkan untuk mengantarkan pulang.
Dasar Pak Ridwan, dia memang dikenal sangat dekat dengan semua karyawan ditambah mulutnya yang sedikit ‘ember’, maka gosip tentang Koh Freddy menyukaiku akhirnya tersebar di seantero kantor, akhirnya kabar tersebut sudah menjadi rahasia umum.
Namun suasana tak enak di kantor sempat terjadi ketika tiba-tiba aku yang terbilang junior langsung direkomendasikan oleh Koh Freddy untuk naik posisi menjadi Assistant Manager. Sebuah lompatan karier yang cukup cepat. Nada-nada miring mulai terdengar, ada yang mengatakan aku anak emas Koh Freddy, ada main sama Koh Freddy, bahkan yang paling menyakitkan adalah gosip bahwa aku ‘simpanan’ Koh Freddy.
Jika di lingkungan karyawan menjadi gaduh, Koh Freddy sendiri sama sekali tidak pernah mengatakan atau menceritakan kepadaku bahwa dia yang merekomendasikan kenaikan jabatanku. Dia cuek saja, tidak pernah sekalipun membahasnya bahkan ketika aku dipanggil menghadap kepadanya sekalipun. Melihat sikapnya yang begitu, akupun belum pernah berterima kasih kepadanya atas bantuannya itu.
Seiring waktu, semua tudingan dan kabar miring itu menguap begitu saja ketika aku membalasnya dengan prestasi kerjaku, mereka atau orang-orang yang iri kepadaku pun akhirnya tahu kalau sebenarnya aku selalu menolak Koh Freddy.
Mengenai bagaimana hingga akhirnya aku menjadi dekat dengan Koh Freddy…. Itu sebenarnya diawali dengan sikap suamiku yang memang sejak lama sudah tidak mau diajak pergi, dan akupun sudah lelah untuk mengajaknya, sudah merasa bosan dengan segala penolakannya. Itu sudah berlangsung cukup lama, akhirnya aku menjadi terbiasa kemana-mana sendiri.
Pengalaman ‘kesendirian’ yang seharusnya membuatku terbiasa itu mendadak menjadi sesuatu yang sangat menjengkelkan ketika acara pernikahan salah seorang Manager di kantorku. Mungkin saat itu aku sedang mellow. Aku melihat semua rekan-rekanku datang bersama pasangannya, jangankan yang sudah berumah tangga… yang masih single seperti Vina sahabatku pun saat itu datang bersama kekasihnya.
Entah mengapa, pokoknya di malam itu aku merasa sendiri di tengah keramaian. Saat aku menjadi ‘kambing congek’ diantara orang-orang yang berpasangan, tanpa diduga Koh Freddy datang ke acara pernikahan itu, dia pun datang sendiri. Melihat Koh Freddy, sama sekali tak terpikir di benakku bahwa dia akan menjadi penawar bagi kesendirianku di malam itu. Bahkan sebenarnya saat itupun aku ingin sekali menghindarinya, tapi aku harus menghindar kemana?
Sampai akhirnya Koh Freddy memang benar-benar datang menghampiriku. Sialnya lagi rekan-rekanku langsung melipir semakin menjauh dari posisi aku dan Koh Freddy duduk, memang…. aku tahu sepertinya mereka memang tak bermaksud memberikan ruang bagiku untuk berduaan dengan Koh Freddy, tapi lebih ke segan untuk dekat-dekat dengan Boss Besar.
Meski pada awalnya di obrolan itu aku bersikap kaku, lama kelamaan menjadi tak canggung lagi mengobrol dengannya. Itulah kali pertama aku mengobrol dengannya di luar kantor. Dan obrolan kami pun bukan saja perkara urusan kantor. Tak pernah kusangka sebelumnya, ternyata Koh Freddy ini dibalik ketegasannya ternyata tak alergi dengan candaan, sangat ramah, enak diajak bicara karena ia pendengar yang baik sehingga aku merasa nyaman dan hilanglah rasa kesepian di malam itu.
Kenyamanan itu bertambah karena selama obrolan, tak sekalipun Koh Freddy mengatakan bahwa dia suka padaku atau rayuan atau memberikan kata gombalan. Seandainya dia mengatakan hal itu, mungkin aku langsung tak respek karena hal itu sama saja dengan lelaki lain yang pernah mendekatiku. Tapi Koh Freddy ini berbeda.
Jika selama ini ketika berbicara dengan Koh Freddy aku kebanyakan menunduk dan hanya sesekali menatap wajahnya, kali ini karena pembawaannya yang santai membuatku berani untuk menatapnya saat berbincang, bukan sekali dua kali kami saling beradu tatap meskipun saat itu tak ada kata yang terucap dari kami. Setelah saling pandang itu aku menjadi salah tingkah, namun pernah sekali aku akhiri dengan senyuman.
Dari situlah aku mulai bersikap sama dengan wanita lain di kantor, segala sikap yang ditunjukannya di malam ini, ditambah ketampanannya ini membuat ada perasaan aneh dari hatiku kepadanya. Sepertinya ini lebih dari sekedar nyaman atau kagum, tapi rasa apakah itu? Sampai saat itu aku tak kuasa untuk mengakui dan mengatakannya.
Di tengah perbincangan kami yang mulai akrab, ada panggilan telepon dari suamiku. Akupun mengangkatnya, seperti biasanya dia menanyakan sedang dimana dan kapan pulang? Aku jawab dengan nada yang datar. Bukan… bukan karena aku sudah menyimpan rasa pada Koh Freddy sehingga bersikap seperti itu pada suamiku, tapi jujur saja aku sangat kesal pada suamiku ini, dia selalu bertanya kabarku melalui telepon, bukan ini yang dimau!!!! keinginanku adalah seharusnya dia selalu ada untuk mendampingiku. Tapi ah sudahlah.
Seusai kumatikan telepon, tampak Koh Freddy sedang memegangi ponselnya seperti kebingungan.
“Lid, kenapa ya HP Koko dari tadi siang susah dihubungi?”, tanyanya masih dengan wajah yang tampak bingung.
“Rusak kali Koh… atau jaringannya”, jawabku sekenanya karena memang tidak paham masalah ponsel.
“Masa sih? coba tolong kamu hubungi nomor Koko”, pinta Koh Freddy sambil menyebutkan nomor teleponnya kepadaku.
Tak lama kemudian terdengar nada dering di ponselnya, “oh ternyata nyala”, Koh Freddy kemudian dengan muka polos menyimpan kembali ponselnya ke saku celana.
“Hmmmmm….”, aku bergumam dalam hati. Aku tahu ini modus meminta nomor telepon secara halus. Tadi aku memang tak punya alasan untuk menolaknya. Meskipun kutahu ini hanya akal-akalan, tapi anehnya justru dalam hatiku merasa senang bahwa mulai saat ini kami saling menyimpan nomor telepon. Jika dipikir-pikir, sebenarnya Koh Freddy bisa saja dari dulu-dulu meminta nomor teleponku dari Pak Ridwan atau siapapun di kantor, tapi justru Koh Freddy meminta dengan cara yang seperti ini.
Sebelum pulang, Pak Ridwan dan istrinya menghampiri kami dan meminta untuk berfoto bersama terlebih dahulu, tanpa canggung aku pun berfoto dengan posisi berdampingan dengan Koh Freddy. Aku pun mengunggah foto itu di halaman sosial mediaku.
Koh Freddy kemudian menawarkan untuk mengantarkan pulang, tapi aku tolak…. dengan alasan aku ada keperluan dulu dengan Vina. Terus terang, bukannya jaga gengsi, tapi aku meskipun kesal, saat itu aku masih menghargai suamiku. Seperti penolakan sebelum-sebelumnya, Koh Freddy hanya membalas dengan senyuman.
Sejak aku menyimpan foto Koh Freddy di sosial mediaku, meskipun itu bukan foto berdua… tapi entah mengapa aku merasa takut kalau suamiku sampai tahu. Ditambah lagi kini Koh Freddy sudah mengetahui nomorku, takut sewaktu-waktu dia chat atau menelepon. Akhirnya di perjalanan pulang, aku merubah kata sandi ponselku yang selama ini diketahui oleh suamiku. Mulai saat itu aku mulai bermain rahasia dengan suamiku.
Sejak acara undangan itu, aku tidak pernah bertemu lagi dengan Koh Freddy selama 1 bulan lamanya, saat di undangan malam itu memang Koh Freddy sempat bercerita bahwa besok akan pergi ke Singapore dan Bangkok untuk mengurus bisnisnya sekalian menengok anaknya yang memang tinggal di Singapore. Dia tidak menyebut nama istrinya saat itu.
Ada perasaan rindu karena lama tak bertemu, saat itu aku merasa seperti anak remaja yang pertama kali menaruh hati pada lawan jenisnya. Memang, aku sendiri pun merasa malu dengan perasaan ini, tapi begitulah faktanya.
Untungnya sebagai pengobat rindu, Koh Freddy beberapa kali menelepon, bahkan untuk chat WA selalu dilakukan hampir setiap malam. Jika semalam saja tak ada chat, rasanya seperti ada yang hilang. Setiap chat, selalu menjadi percakapan yang panjang, namun masih membahas hal-hal yang ringan atau menanyakan kondisi kantor dan pekerjaanku, semua percakapan tak ada kaitannya dengan hati dan perasaan. Meskipun begitu, setiap obrolan dengan Koh Freddy menurutku merasa menarik dan membuatku senang.
Sampai di tahap ini, harus kuakui bahwa aku mulai jatuh cinta, dan tentunya sudah bisa dikategorikan kedalam selingkuh meski masih dalam bentuk pikiran dan perasaan saja. Seperti orang yang berselingkuh pada umumnya, tentu saja di depan suamiku aku selalu bersikap biasa dan normal-normal saja, seolah aku masih sama seperti yang dulu, tentunya untuk menghindari kecurigaan suamiku. Mana ada peselingkuh yang mau diketahui pasangannya?
Jangankan pada pasangan, pada Vina sahabatku saja yang biasanya aku selalu bersikap terbuka untuk masalah apapun, kali ini aku tak mau menceritakan tentang perasaanku pada Koh Freddy. Vina itu selain sahabat sudah kuanggap sebagai kakak sendiri. Dibalik sifat cueknya, dia itu sangat care kepadaku, bahkan sering menasihati tentang pentingnya menjaga keutuhan rumah tangga, maklum dia pernah gagal dalam pernikahan, sehingga ia tak mau kejadian pahit itu dialami olehku. Bahkan Vina selalu memuji akan sikapku pada suami. Dia bilang akan menjadikan aku role model untuk sikap dan peran istri seandainya suatu saat dia menikah lagi. Apa jadinya jika sang role model ini kemudian mengkhianati suaminya? Sudah barang tentu hal ini membuat Vina kecewa. Mulai saat itu aku pun mulai bermain rahasia dengan Vina.
Selama periode Koh Freddy berada di Singapore, sehabis masa menstruasiku berakhir, entah mengapa libido kali ini terasa sangat tinggi dibandingkan biasanya. Sayangnya, suamiku selalu pulang dari tokonya sekitar jam 9-10 malam, terkadang disaat aku sudah tertidur. Sehingga hasratku ini tak terlampiaskan dengan sewajarnya.
Tak ada jalan lain, terpaksa aku lampiaskan dengan cara bermasturbasi. Meskipun sudah menikah, jujur kuakui…. masturbasi bukanlah hal yang tak pernah aku lakukan, biasanya memang kulakukan di saat kondisi seperti sekarang ini. Namun Frekuensinya pun boleh terbilang sangat jarang, mungkin 2-3 bulan sekali.
Menunggu suami pulang terlalu malam, bahkan ketika pulang nanti pun suamiku belum tentu mengajakku untuk ‘bermain-main’, entah karena lelah atau mungkin karena apa. Aku memang tak pernah mendahului meminta hal yang sebenarnya wajar aku pinta. Memang sejak awal pernikahan, bisa dibilang kami berdua sama-sama bertipe konservatif. Tapi ketika ML dilakukan, memang tidak ada masalah, bahkan suamiku ini sangat memuaskanku.
Kembali soal masturbasi, kali pertama di periode saat ini… akhirnya di atas ranjang yang biasanya kupakai bercinta bersama sang suami, kumainkan jemariku secara perlahan, mengusap vagina yang masih terbungkus celana dalam. Usapan jariku pada vagina mulai kulakukan lebih cepat, seiring dengan munculnya bayangan seorang lelaki yang akhir-akhir ini selalu merasuk pikiranku, bahkan mungkin hatiku….. Koh Freddy.
Tapi segera kuhentikan permainan jemariku, aku tak ingin berbuat konyol. Untuk masalah perasaan, aku memang sudah mengakui pada diriku sendiri bahwa aku mulai mencintainya. Tapi untuk urusan seks, meskipun ini sebatas fantasi dalam masturbasi… aku belum kuasa mengakuinya. Bagaimanapun aku adalah seorang istri dari suami yang sangat aku cintai, untuk urusan seks…. aku tak ingin mengkhianati suamiku, sekalipun hanya sekedar dalam bayangan.
Namun semakin kutepis bayangan itu, sosok Koh Freddy semakin kuat mendatangi benakku, memeluk erat jiwaku yang sedang haus akan sentuhan. Jemari ini seolah refleks kembali mengusap-usap kembali vaginaku.
“Koooooh…… ssssshhhh ooh …. Koooh……”, nama itu walau tak kuasa untuk kuucapkan dalam permainan ini, namun akhirnya tak disadari keluar juga dari alam bawah sadarku.
CUKUP LIDYA!!!! Suara teriakan dari dalam hati menyadarkanku, aku pun lagi-lagi langsung mengakhiri kegiatan masturbasi ini. Ada perasaan sangat menyesal, malu, dan segala perasaan negatif lainnya yang menyalahkan kebodohanku.
Namun di hari-hari berikutnya, nafsu besar itu terus saja datang lagi. Aku pun menjadi sering menumpahkan hasrat seksualku sendiri. Dan semakin hari…. setiap kali melakukan masturbasi, bayangan Koh Freddy semakin menebal, semakin besar pula pengingkaranku sebagai seorang istri. Aku mulai sengaja mengundang bayangan Koh Freddy secara sadar.
Kukhayalkan tutur katanya, wajahnya, dan tubuhnya itu sengaja kubiarkan menindih tubuhku dalam benakku. Menyebut namanya pun sudah tak lagi tabu dan tak ada keraguan, semakin terbiasa dan seolah wajib kusebutkan karena hal itu justu membawa kenikmatan yang jauh lebih indah.
"uuooghh... Kookooo.... enak bangeeeettt Sayaang... uuugh... Koooooh....", kali itu aku mengerang ketika melakukan masturbasi di atas closet sambil terus menyentuh dan mengusap klitorisku, aku pun menggerak-gerakan pinggul maju mundur.
Aku sudah benar-benar tak terkendali. Aliran dalam darah ini terasa begitu mengalir deras menjalar hingga ke dalam vaginaku. Jarikupun kini sedikit kumasukkan kedalam vaginaku, kubermain-main disana dan rasanya nikmat sekali. Inikah yang disebut area G-spot? Entahlah aku tak tahu……… yang pasti……
"aku mau keluar Koooh... ooohhh...... keluarin sekarang sayaaang.... uuooooghh.... Kokoooo.. aku... mau... keluaaar... Sayaaanngggg.... oooohhh... uuuoogghhh... upppffhmmm... KOOOHHHHH.... aku mau.... keeluuuuaaaarrrr........ aaaaaaaaahhhh.......".
BERSAMBUNG ...