RANJANG YANG TERNODA BAGIAN 15 (AKHIR KISAH)


Lidya berulang kali memutar tubuhnya di depan cermin besar yang ada di kamarnya. Sayangnya, kepercayaan diri si cantik itu justru memudar setiap kali ia berputar dan melihat bayangan indahnya di kaca. Ia memang tidak kehilangan pesona dan tidak kehilangan magis penampilannya. Rambutnya yang kian memanjang kini sedikit berombak di bagian sepertiga ujung, poni manis menghias dahinya dan tubuh seksinya hanya dibalut oleh handuk yang melingkar ketat, membuat buah dadanya yang montok menjadi semakin terlihat lebih besar dari seharusnya, kakinya yang putih mulus dan jenjang indah juga lezat sekali dinikmati. Pantas banget jadi selebgram, model iklan, atau bintang sinetron.

Lidya menatap ke arah pakaian yang dibentangkan di atas pembaringan.

Lidya menggelengkan kepala dan mendesah mengeluarkan nada gerutu. Ini bukan dirinya, keluh si cantik itu. Ia melihat kembali ke cermin. Gila! Sudah jadi apa dia sekarang? Dia sudah gila sampai mau-maunya menuruti apapun yang diperintahkan oleh sang mertua cabul! Laki-laki tua berengsek itu tahu bagaimana mempermalukannya dan menjatuhkannya ke lembah hina. Pakaian apa-apaan yang ia sediakan untuk dirinya ini? Baju transparan, mini tanktop dan hotpants? Serius? Dia kan bukan member grup k-pop!

Andi yang sedang mengenakan dasi dan bersiap ke kantor terheran-heran saat melihat pakaian yang ada di atas pembaringan. Dia tidak akan pernah mengira bahwa pakaian itu disiapkan oleh ayah kandungnya, bukan oleh sang istri sendiri.

Meskipun berdecak kagum karena Lidya sama sekali tidak kehilangan kecantikan dan keindahan tubuhnya sejak masih menjadi pacarnya bertahun-tahun lalu, tapi Andi sedikit heran dengan pakaian yang disiapkan.

“Kamu yakin mau pakai baju itu?” tanya Andi sambil memperhatikan baju di pembaringan. “Kelihatannya agak... terlalu revealing.”

Hati Lidya seperti dihantam palu godam. Inilah untuk pertama kalinya Mas Andi protes dengan pakaian yang ia kenakan dan Lidya sebenarnya setuju sekali. Kurang pantas mengenakan baju seperti ini untuk acara apapun bagi wanita yang sudah menikah seperti dia.

“Pa-pakaian ini... pakaian ini... eh ehm... ini sudah lama sekali aku beli, Mas. Sayang rasanya kalau tidak dipakai sekali saja.” jawab Lidya sekenanya, yang penting ada alasan. Hatinya diamuk amarah terhadap ayah mertuanya yang melintas kamar sambil cengengesan tersenyum menghina. Mata si tua itu menatapnya penuh nafsu sekaligus merendahkan, dia pasti dengar percakapannya dan Andi barusan.

Andi mengangkat bahu. Ya sudah kalau tetap ngeyel. Dia sih tidak masalah asalkan Lidya menjaga diri dengan baik. Malas berdebat pagi-pagi begini karena dia harus segera berangkat ke kantor.

“Aku berangkat dulu ya, sayang.”

“Jam segini? Ga kesiangan?”

“Ga apa-apa, tadi ada meeting online mendadak sebelum presentasi buat nanti habis makan siang.”

Lidya mengangguk sambil cemberut manja, manisnya ga ada obat. “Ditinggal lagi, ditinggal lagi.”

Andi tersenyum, mengecup sang istri dua kali di bibir dan dahi, lalu segera berlalu pergi. Berturut-turut terdengar pintu depan ditutup, lalu tak lama kemudian terdengar suara mobil meninggalkan halaman depan.

Pak Hasan masuk ke kamar Lidya dan Andi dengan santainya, dan duduk di pembaringan dengan jumawa. Seakan-akan dialah raja yang sangat berkuasa di rumah ini.

Lidya cemberut sambil mengenakan satu persatu pakaian yang disiapkan, dia sudah mulai terbiasa telanjang di depan Pak Hasan, sehingga dengan santainya Lidya melepas handuk, membersihkan diri, dan memakai busana tepat di depan wajah sang raja.

Ia tidak ingin melihat wajah mertuanya yang sumringah menatapnya penuh nafsu, “Sudah aku pakai. Apalagi sekarang? Puas kan? Apa lagi mau Bapak? Apa seperti ini juga masih kurang?” dengan wajah ditekuk Lidya menyilangkan tangan di dada.

Pak Hasan terkekeh, “Begitu saja kok sewot, Nduk? Bukankah kamu jadi lebih terlihat cantik dan seksi dengan pakaian seperti itu? Kamu jadi terlihat seperti seorang...”

“...lonte?”

“...bintang Iklan.”

Pak Hasan kembali terkekeh karena geli menghadapi tingkah laku menantunya yang aduhai ini. Dia boleh saja sewot, tapi sayang sekali Lidya sayang... ini belum selesai. Tidak semudah itu. Pak Hasan membuang senyum dan kembali menatap lekat menantunya dengan wajah serius, “Tidak perlu menggerutu. Hari ini aku traktir makan.”

Hati Lidya berdegup kencang, perasaannya jadi tidak enak. Mau apa lagi orang tua licik ini? Belum puas membuatnya malu di hadapan Mas Andi dengan pakaian seminim ini?

“Memangnya kita mau kemana?” tanya Lidya khawatir. Ia tidak akan pernah percaya pada sang mertua, tapi pada saat yang bersamaan, ia juga merasa excited. Salahkah Lidya merasakan hal itu?

Walaupun secara resmi ia sudah memilih untuk mejadi budak seks mertuanya, tetapi rasa khawatir dan takut tetaplah muncul dalam benak si cantik itu, terutama bagaimana kalau suaminya tahu dengan sikap ayahnya kepadanya? Bagaimana seandainya Andi tahu kalau selama ini, istri yang sering ditinggal ternyata sudah sangat sering dinakali oleh ayahnya sendiri?

“Tidak perlu khawatir. Kita makan di luar. Pesan taksi online, ya. Pakai payment online saja bayarnya. tinggal dompetmu di rumah. Urusan makan nanti aku yang urusin.” Kata Pak Hasan sembari menepuk dada.

Mana mungkin Lidya percaya.

Tapi mau bagaimana lagi?

Lidya memesan taksi online, lalu duduk di teras rumah untuk menunggu kedatangannya.

Hari ini Lidya harus mengenakan kemeja merah tipis yang dipadukan dengan celana hotpants super pendek serta topi dan kacamata sebagai aksesoris pelengkap style, beruntung mertuanya mengizinkannya untuk mengenakan bra model mini tanktop, walau perutnya masih terlihat setidaknya ia mampu menutupi kedua buah dadanya yang cukup besar. Bisa ramai gila nanti kalau sampai ibu-ibu arisan melihat penampilannya yang menor begini.

“Sudah pesan?” tanya Pak Hasan kepada sang menantu sembari menjilat bibir. Benar-benar anak ayam yang enak dan empuk Lidya ini. Lezat banget dilihat. Ia duduk di samping Lidya.

Lidya hanya mengangguk. Istri Andi itu ketakutan setengah mati saat melihat mertuanya tersenyum mesum dan tak berhenti menatapnya walau sedetikpun, membuatnya jengah dan gugup. “Kenapa lagi?”

“Ayu tenan kamu itu, Nduk.” Kekeh Pak Hasan. “Tidak sia-sia Andi memilihkan kekasih buat aku.”

Lidya mencibir dan menggerutu, “Dasar Bej... hrmphhh!”

Belum selesai Lidya mengucapkan kata, bibirnya yang tipis itu sudah dicumbui oleh mertua cabulnya, ia terpaksa untuk membiarkan mertuanya bermain-main di bibirnya. Nafsu Pak Hasan bangkit melihat kecantikan menantunya yang molek. Langsung ia cumbu bibir Lidya dan ia remas-remas payudara sentosa sang menantu yang masih terbungkus dua lapis pakaian, lidahnya dengan lihai menyapu bibir Lidya dan dengan sengaja Pak Hasan menyalurkan banyak ludah untuk ditelan oleh sang menantu.

Sementara tangan kanan meremas dada, tangan keriput sebelah kiri sang mertua masuk ke dalam celana Lidya untuk mencari liang kenikmatan duniawinya, ketika ia menemukannya ia segera membelahnya dengan jemarinya yang kasar dan berbulu tipis itu.

“Hnnggkkkkhhh! Mhhhhmmmm, Bapaaaaaakkk.” desah Lidya merasakan kenikmatan yang meraja tatkala bibir liang cintanya dimainkan oleh sang mertua.

“Kenapa kamu harus seseksi ini sih, Nduk?” bisik Pak Hasan. “Kamu tuh nafsuin banget. Aku jadi tidak tahan untuk membiarkan kamu begitu saja tanpa diapa-apain.”

Pak Hasan mengecup dan menciumi leher Lidya yang jenjang.

Lidya yang merasakan liang cintanya mulai basah karena rangsangan ringan yang diakukan Pak Hasan mulai kewalahan, bagaimana bisa... bagaimana bisa ia sedemikian mudah terangsang oleh permainan sederhana mertuanya? Kenapa ia jadi begini mudah basah?

Pak Hasan tentunya makin menjadi. Dengan ganas ia membuka kancing kemeja tipis Lidya dan mengangkat mini-tanktop yang dikenakan sang menantu sehingga payudaranya terlihat bulat menggoda, tak perlu menunggu lama baginya melihat barang selezat itu. Mulut Pak Hasan langsung menciumi setiap sisi buah dada Lidya demi mencari benda menonjol imut di puncaknya.

“Aahhhh, Bapaaaaak! Nanti ada yang lihaaat, eeehhmm.” Desah Lidya resah – ia memandang sekeliling karena takut akan ada yang lewat di depan rumah dan melihat sang mertua menggumuli menantu jelitanya di teras rumah.

Sebuah mobil berhenti di depan rumah.

Menghentikan aksi keduanya.

Buru-buru Lidya merapikan baju dan rambut seadanya lalu bergegas ke depan. Pak Hasan hanya tertawa.

Setelah taksi online datang, keduanya segera diantarkan menuju ke arah yang diinginkan oleh Pak Hasan, Lidya tidak begitu tahu lokasi itu. Padahal seharusnya justru Lidya-lah yang tahu karena dia tinggal di kota dan Pak Hasan di desa.

Taksi online meluncur membawa Pak Hasan dan Lidya menuju ke sebuah kawasan pertokoan yang ada di dekat kampus kelas menengah – nama kampusnya tidak populer dan jurusannya diragukan. Mereka turun di dekat sebuah warung yang lumayan ramai – sebuah warung mie ayam. Ada spanduk di depan bertuliskan: Warung Mie Ayam Pak Kun.

Pak Hasan dan Lidya segera memilih tempat duduk yang kosong, mereka memilih yang paling ujung di belakang. Karena saat ini jam makan pagi, maka suasana pun cukup ramai – siapa sih yang sarapan mie ayam pagi-pagi? Banyak. Ramai orang lahap menikmati santapan, perbincangan hiruk pikuk, dan karena matahari mulai mengangkasa, maka hawa jadi lumayan panas. Kipas angin yang ditempel di dinding kurang berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik meski sudah berusaha sekuat mungkin.

Mie ayam. Oke. Lidya memperhatikan suasana sekitarnya.

Warung ini cukup besar – pertanda kalau mie ayam ini cukup laris dengan ruko yang luas dan bisa menampung sekitar dua puluh orang. Saat ini sih hanya berisi sekitar belasan pengunjung saja dengan sebagian besarnya merupakan mahasiswa-mahasiswa yang kampusnya dekat dengan lokasi warung. Selain mie ayam, mereka sepertinya juga sukses menjual es buah dan es campur karena berulangkali ojek online datang untuk memesan.

Pak Hasan tidak terlalu banyak berbicara, dia sangat menikmati mie ayam yang dengan lahap dia habiskan. Kalau Lidya memilih hanya minum es buah saja karena di rumah tadi dia sudah sarapan. Luar biasanya Pak Hasan menambah porsi mie ayam hingga dua kali lagi plus dia juga minum es campur, gila sebesar apa perut mertua Lidya itu sebenarnya? Kuat banget makannya.

Posisi duduk mereka yang ada di pojok seharusnya membuat keduanya lolos dari perhatian banyak orang, namun kecantikan dan kemolekan Lidya serta binalnya pakaian yang dikenakan membuat para mahasiswa mencuri pandang dan lirik-lirik gemas ke arah istri Andi itu.

Lidya menyeruput es buahnya dengan menundukkan kepala, mencoba menghindari pandangan dan kontak mata dari para pengunjung warung yang menatapnya lebih lezat dibandingkan mie ayam atau es buah yang tengah disantap. Apalagi yang para mahasiswa, tidak perlu ditebak apa yang tengah mereka bisikkan sekarang sambil melirik-lirik ke arahnya. Gerakan tangan di depan dada sudah lebih dari cukup.

Duh, begini amat sih hidupnya?

Saat itulah ia merasakan ada benda asing menelusup ke bagian belakang hotpants yang ia kenakan. A-apa-apaan ini?

Tangan sang mertua nakal menggerayangi. Di depan publik. Edan.

“Jangan, Pak. Ini ramai.” Bisik Lidya mencoba mencegah tindakan yang lebih jauh lagi.

Dia pun buru-buru menegakkan tubuh dengan maksud supaya Pak Hasan bisa segera mencabut tangannya, namun yang dilakukan sang mertua bejat justru sebaliknya, tangan Pak Hasan justru menelusup semakin dalam.

“Paaak... jangaaan.”

Pak Hasan hanya tersenyum ke depan seolah-olah tidak ada kejadian penting. Satu tangannya bermain-main dengan sisa es campur, sementara tangannya yang lain bermain-main dengan bokong sang menantu.

Wajah Lidya memerah. Sepertinya percuma menghentikan mertuanya kalau sudah begini, apalagi dia juga sudah berjanji untuk menuruti semua tindakan mesumnya. Lidya memejamkan mata saat jari jemari nakal Pak Hasan melesak ke dalam celana dalamnya. Posisi duduk Lidya jadi harus sedikit menungging untuk memberi akses bagi Pak Hasan.

“Mmmmhhh...” desah wanita jelita itu manja.

“Enak?”

“He’em... mmmmmhhhhh...” Lidya berusaha menutup mulutnya untuk tak menimbulkan suara sekecil apapun. Tapi dia sangat tidak tahan diperlakukan seperti ini.

Lidya kembali sadar bahwa orang yang berada di sampingnya saat ini... orang yang tangannya sedang menelusup ke celana pendeknya dari belakang ini... adalah orang yang telah menodainya berkali-kali. Dia menjadi orang pertama selain sang suami yang bisa merasakan sempitnya vagina yang ia rawat, ia orang yang membuatnya dinikmati oleh para bajingan kampung saat bertamasya ke desa, dia yang berhasil membuat seorang supir taksi mencumbunya, dia yang berhasil membuat orang tak dikenal di mal menikmatinya.

Mertua busuk dan bejat.

Tapi dia membiarkannya... dan bersedia menjadi budaknya. Apa yang membuatnya jadi binal begini? Jari Pak Hasan masuk ke memek Lidya, mengobelnya.

“Aaaaaaaaaaaaah!”

Tanpa sadar Lidya melenguh keras.

Beberapa orang terkejut, mereka pun menengok ke arah si cantik dan sang mertua dan langsung bertanya-tanya. Sang pusat perhatian semakin menjadi pusat perhatian. Ketika sadar apa yang telah terjadi, Lidya langsung gelisah dan panik! Aduh celaka! Harus bagaimana ini!?

Tangan Pak Hasan menyelip keluar dari celana Lidya dan ia melambaikan tangan ke para pengunjung yang lain.

“Tenang semuanya, kebetulan menantu saya kakinya kepentok meja. Untungnya sudah tidak apa-apa sekarang.” kata Pak Hasan sambil tersenyum riang dan mencoba menenangkan suasana. “Oh iya... karena hari ini hari ulang tahun saya dan kebetulan saya sedang banyak rejeki, maka hari ini saya traktir Bapak, Ibu, Adik, semuanya. Mie ayam yang sedang disantap beserta minumannya tidak perlu bayar! Bapak dan Ibu tidak perlu bayar! Saya yang akan bayar!”

Pengumuman itu bagaikan petir di telinga Lidya – yang benar saja! Traktir semua orang? Si cantik itu memandang berkeliling, ada kalau belasan orang lebih yang sedang makan saat ini. Gila aja! Duit dari mana lagi si tua brengsek ini? Lidya kan hari ini sama sekali tidak membawa dompet!

Semua orang bersorak-sorai dan mendatangi Pak Hasan untuk menyalaminya. Mereka berterimakasih sambil tertawa dan mengangkat jempol. Tidak ada kecurigaan apapun nampak di wajah mereka. Beberapa di antara mereka juga berterimakasih pada Lidya yang kebingungan.

Dengan seringai khasnya, Pak Hasan berbisik pada Lidya yang menampakkan kekhawatiran. “Tenang saja, semua pasti beres.”

“Yakin?”

“Pasti beres.”

Lidya sama sekali tidak yakin.

Setelah sebagian besar pengunjung selesai makan dan keadaan sudah tidak begitu ramai, keduanya menuju kasir untuk membayar pesanan mereka, sekaligus membayar pesanan orang-orang yang ditraktir oleh Pak Hasan.

“Jadi berapa semua?” tanya Pak Hasan pada pemuda yang sedang melayani di depan gerobak mie ayamnya.

Untuk beberapa saat lamanya pemuda itu terdiam sambil mengamati catatan pesanan, lalu menghitungnya dan menyebutkan angka ratusan ribu rupiah.

Lidya geleng-geleng kepala, ini jelas bukan hari ulang tahun Pak Hasan – jadi alasan tadi pasti dibuat-buat saja. Pasti ada alasan busuk lain di kepala Pak Hasan. Ia semakin khawatir ketika melihat Pak Hasan membuat aksi seakan-akan sedang mencari dompet di semua saku.

“Waduuh. Waduuuuh!” Pak Hasan berakting kebingungan. “Do... dompet saya ketinggalan, Mas! Duh gimana ini?”

“Walaaaaah, lha terus bagaimana ya, Pak?” pemuda itu kebingungan, “padahal tadi sudah bikin belasan porsi lebih. Harus dibayar semua, kan tadi Bapak sudah janji?”

“Iya, saya juga bingung, Mas. Dompet saya bener-bener ketinggalan ini.” Pak Hasan menatap sang pemuda dengan muka polosnya. Dia masih saja terus berakting mencari dompet.

Lidya memutar matanya ke atas. Hadeh bisa aja si codot tua ini.

“Saya panggilin bos saya aja ya, Pak. Saya takut kalau ada salah-salah nantinya...”

“Boleh deh.”

Buru-buru sang pemuda masuk ke belakang kios dan mengetuk pintu sebuah kamar. Ketika kamar dibuka, ia pun masuk dan tak kelihatan untuk beberapa saat lamanya.

“Aku ga mau lho, Pak.” Bisik Lidya khawatir. “Pokoknya aku ga mau. Titik.”

“Apaan sih kamu ini.” Pak Hasan merengut. “Katanya mau ikutan semua kata-kataku? Ya sudah ikutin aja. Budak kok protes.”

Wajah Lidya memerah, ia menunduk. Sialan.

Sang pemuda tak lama kemudian keluar dari kamar. Ia mempersilahkan Pak Hasan dan Lidya untuk masuk ke kamar tersebut. “Silahkan, Pak. Bicara langsung dengan bos saya saja.”

“Oke, terima kasih, Mas.”

Pak Hasan pun menggandeng Lidya dan membawanya masuk ke dalam kamar sang bos. Ia menutup pintu agar tidak terdengar dari luar. Kamar itu cukup luas dengan kardus dan plastik-plastik dijajarkan rapi. Sepertinya ini bukan kamar, ini gudang – apalagi ruangan itu cukup besar dengan rak di sisi dinding dan meja kursi di tengah ruangan.

Seseorang duduk di samping meja.

Tangan Lidya tak pernah lepas dari kemeja Pak Hasan, ia masih saja terus menundukkan kepala dengan takut dan khawatir.

“Jadi... ada masalah apa ya, Pak?” sang pemilik warung mie ayam lah yang sedang duduk di salah satu kursi di ruangan itu. Wajahnya keriput, rambut mulai menipis bahkan sudah hampir botak, dengan perut tambun yang gagal disembunyikan oleh kemejanya yang kekecilan. Melihat penampilan dan wajahnya, usia Bapak ini pasti sudah lebih dari lima puluh.

“Saya Hasan, Pak. Ini menantu saya.”

“Saya Kuncoro, saya yang punya warung ini.” sang pemilik warung menyalami Pak Hasan.

Pak Kuncoro menatap ke arah Lidya dan meneguk ludah. edan... ada ya cewek secantik dan seseksi ini yang masih mau makan mie ayam pinggiran.

“Oh ya ya, permisi ya, Pak Kuncoro – saya mau mencoba menjelaskan. Jadi mohon maaf tadi saya makan di sini bersama menantu saya ini dan mencoba berbaik hati mentraktir belasan pengunjung yang lain, tapi tanpa sepengetahuan saya - ternyata dompet saya ketinggalan, Pak. Saya sungguh tidak sengaja perkara dompet ini.”

“Lho... terus bagaimana, Pak? Bapak mau makan gratis gitu? atau kasbon? Tidak bisa, Pak. Kami hanya mau menerima uang tunai.” Melihat Pak Hasan malah cengengesan dan Lidya menunduk malu, mau tak mau Pak Kuncoro jadi emosi juga. “Bapak jangan cengengesan dong, apalagi Bapak sudah mentraktir belasan orang yang membeli, bayangkan kerugian saya, Pak.”

“Hahahaha. Tenang saja, kita cari jalan tengahnya saja. Saya kebetulan ada ide kok.” ucap Pak Hasan sembari menyunggingkan senyum nakalnya dan mengedipkan mata ke arah Lidya yang langsung menunduk lemas, “Itu juga kalau Bapak berkenan.”

“Ide apa itu?” Pak Kun masih bersungut-sungut. Siapa tahu idenya bisa meredam amarah yang sudah terlanjur tersulut.

“Ada dua pilihan, Pak. Yang pertama... saya pulang sebentar untuk mengambil dompet dan kembali ke sini.” Usul Pak Hasan, “atau...”

“Atau...?”

“Atau saya persilahkan Bapak mencicipi hidangan dari saya.” Pak Hasan tersenyum sambil menunjuk menantunya. Lidya sudah pasrah saja melihat mertuanya lagi-lagi melakukan hal gila. Dia sudah bisa menebak arah dan tujuan edan Pak Hasan sejak awal.

“A-apa maksud Bapak?” Pak Kun meneguk ludah.

“Silahkan Bapak cicipi menantu saya ini.”

“A-apa!???” Pak Kun sampai terduduk di kursi mendengar ucapan gila dari laki-laki laknat yang dari tadi senyam-senyum di depannya. Tidak! Ia tidak mau! Jelas tidak! Ia setia pada istrinya! Pada anaknya! Pada...

Pak Kun melihat sekilas ke arah Lidya, ia melihat sesosok wanita sempurna.

Apa ya mau dilewatkan kesempatan seperti ini?

“Bapak bercanda kan?” tanya Pak Kun sekali lagi. Dia mengamati Lidya dari atas ke bawah, dari bawah ke atas.

“Gimana, Nduk?”

Harus bagaimana lagi? Lidya kan budak. “Ti-tidak, Pak. Bapak mertua saya tidak bercanda. Saya bersedia membayar semuanya dengan tubuh saya.”

Gleg. Pak Kun meneguk ludah. Edan ini, ini edan ini.

“Tentu saja ada syaratnya.” Kekeh Pak Hasan.

“A-apa itu?” Pak Kun mulai blingsatan, wajahnya memerah dan otongnya mengeras. Otak dan logikanya sudah sangat encer karena tak mampu lagi digunakan untuk berpikir jernih.

“Tidak boleh ada penetrasi, tidak boleh ada pertemuan kelamin, kalau mau bisa pakai mulut dan tangan. Apa saja boleh kecuali dientotin memek dan anusnya.”

Gleg.

Pak Kun meneguk ludah lagi. Gila saja syarat itu, mana mungkin dia sanggup? Orang normal mana yang bisa tahan untuk tidak menyetubuhi wanita semolek Lidya jika sudah dihidangkan? “Ma-mana bisa saya tahan untuk tidak menikmati Mb-Mbak ini...”

“Ya sudah, kalau begitu kesepakatan kita batal saja.” Pak Hasan mengangkat pundaknya, ia mencibir, “saya pulang sebentar, mau ambil dompet dulu.”

“Tu-tunggu!”

Pak Hasan melirik Pak Kun.

“Tunggu... sa-saya mau.”

“Mau apa?”

“Saya mau terima syaratnya.” Wajah Pak Kun memerah penuh nafsu. Hancur sudah kesetiaannya pada keluarga. “Sa-saya mau...”

Pak Hasan terkekeh. “Silahkan dinikmati kalau begitu. Waktunya 15 menit... mulai dari... sekarang!”

Tanpa menunggu aba-aba kedua, Pak Kuncoro langsung memeluk Lidya dan mencumbuinya penuh nafsu. Bibirnya yang jontor memagut bibir atas Lidya dan lidahnya bekerja keras dengan bermain di dalam mulut sang jelita.

Lidya pun pasrah merelakan dirinya kembali harus dilecehkan oleh pria asing berwajah jelek yang tak dikenalnya gara-gara ulah sang mertua, Pak Hasan hanya tertawa terbahak-bahak, tak lupa ia mengeluarkan ponsel dan mulai merekam semua adegan yang terjadi.

Pak Kun tak mau membuang waktu, dengan penuh nafsu ia memutar tubuh Lidya dan segera mencumbui tengkuk leher sambil meremas payudaranya yang begitu kenyal dan padat. Bibirnya komat-kamit tak kuasa menahan birahi yang tumpah ruah. “Ahhhh... sayaaaang, kamu kenapa begini menggoda?”

Lidya sebenarnya juga tidak sedang baik-baik saja, dirinya mau tidak mau jadi ikut terangsang oleh remasan di dada dan cumbuan di sekitar leher, istri Andi itu pun merem melek menikmati detik demi detik yang berlalu di ruangan itu.

“Sa-saya boleh melakukan apapun, asalkan bukan seks?” tanya sang pemilik resto memastikan.

Begitu Pak Hasan mengangguk, Pak Kun langsung membuka kancing yang melekat pada kemeja Lidya dan ia pun meraba-raba perut rata Lidya. Ia lalu mengangkat tanktop Lidya sehingga payudaranya juga ikut terpampang jelas.

“Waaaaah, oooohhh, aaaaaahhhh!!! Me-melooon!! Meloooon!” Pak Kun tak kuasa menahan takjub. “Be-besar sekali punyamu, sayaaaaang.”

“Aaaauuuuw... jangan kencang-kencaaaaang! Aaaahhh!”

Jari jemari Kuncoro begitu liar memainkan tiap jengkal petak yang ada dalam payudara tersebut dengan telapak tangannya, tidak ada titik yang tak disentuh olehnya, tak lupa ia juga memainkan puting indah yang menggantung di ujung bola besar tersebut.

“Tinggal delapan menit.” Pak Hasan tersenyum.

“Ti-tinggal... delapan...” Pak Kun terperangah, “Jangan main-main! Kenapa secepat itu!?”

Pak Kuncoro mempercepat rangsangannya pada dada Lidya, karena nafsunya semakin memburu dan waktu yang semakin cepat, ia pun menurunkan celana Lidya dengan paksa beserta celana dalamnya, jadilah Lidya telanjang hanya mengenakan kemeja dan tanktop yang sudah terangkat menampilkan buah dadanya yang sentosa.

Melihat gundukan mungil di belah selangkangan Lidya, Pak Kun tak tahan lagi. Ia melepas celananya sendiri dan mengeluarkan penisnya yang hitam legam tanpa tedeng aling-aling.

“Woy woy... jangan lupa syaratnya.” Ucap Pak Hasan mengingatkan.

“Iyaaa iyaaaaa...” jengkel Pak Kun menggerutu.

Pemilik warung mie ayam itu pun menyelipkan penisnya diantara paha dan selangkangan bagian atas sehingga penisnya bersentuhan langsung dengan bibir vagina Lidya.

“Hhhh... hhh... siap untuk sajian utamanya, sayang?” tanya Pak Kun.

Sambil memegangi payudara Lidya, Pak Kuncoro memacu pinggulnya maju mundur seolah dirinya tengah menyetubuhi Lidya padahal tidak, penisnya hanya terselip diantara selangkangannya dan menggesek bibir vagina Lidya dengan kuat.

“Hnggghhh... aaaaahhh!! Aaahhhhhh!!!” meski hanya digesek, tapi kalau sekuat ini, mau tak mau terasa juga bagi Lidya.

Pak Hasan tersenyum dengan ide sang penjual mie ayam. Lumayan... lumayan. Pak Hasan berdecak karena ia juga jadi terangsang oleh adegan di depannya. Ia pun mengeluarkan batang kemaluannya di depan Lidya dan Pak Kun.

“Ke-kerasa kan besarnya, sayaaaang?” Pak Kun merem melek keenakan merasakan kempitan paha mulus menantu Pak Hasan. “Ga sayaaaang apa ga dimasukin ke tempikmuuu!?”

Lidya hanya bisa mendesah, melenguh, dan mengucap kata-kata tak jelas. Ia tidak akan bergerak tanpa perintah sang mertua.

“Nduk, ini yang buat kamu.” Ucap Pak Hasan.

Lidya mengangguk dan memutar badan. Sang menantu pun nungging supaya ia dapat menjilat dan mengulum penis Pak Hasan sementara Pak Kun masih merasakan kempitan dua bilah pahanya. Ia menjilat batang kemaluan sang mertua dengan penuh nafsu, bagaikan anak kecil yang bertemu eskrim teramat enak.

Lidya diserang dari dua arah, depan dan belakang. Sambil menungging, tangannya bertumpu di paha sang mertua untuk mengulum penis yang sudah begitu sering ia rasakan.

“Haaaaaaaahhh!! Haaaaarrrghhhh!”

Pak Kun mendesah merem melek saat menikmati gesekan lembut paha mulus sang bidadari. Kapan lagi dia bisa merasakan nikmatnya tubuh wanita muda jelita dan seksi seperti Lidya?

“Dua menit lagi. Saya berikan bonus tiga menit karena baru saja saya ganggu.” ucap Pak Hasan sembari menarik penisnya dan memberi kesempatan pada sang penjual mie ayam.

“Aaaaahhhhh... siaaaaal.”

Dengan buru-buru Pak Kun melepas semua pakaian Lidya, menegakkan tubuh si manis itu dan mencumbuinya penuh nafsu dengan posisi berdiri. Lidya yang sudah tanpa busana hanya bisa pasrah di-heavy petting oleh Pak Kun. Si penjual mie ayam makin getol memajumundurkan gerakan pinggulnya dengan kecepatan tinggi untuk menggesek vagina sang bidadari.

“Emmmhhhh! Emmmhhhh! Aaaahhhh.... aaahhhh!” Lidya juga ikut mendesah seiring gerakan pinggul Pak Kun yang membabi-buta.

“Dua menit.”

“Haaaaaaaaaarrrrgghhh!” Pak Kun makin kencang menggosok, ia sudah tak lagi peduli bentuk dan posisi Lidya seperti apa.

Pak Kun masih terus memainkan tangannya untuk meremas dan menggunakan bibirnya untuk mencium sekujur tubuh Lidya. Ia hanya ingin melepaskan semuanya di puncak kenikmatan. Untunglah apa yang dinantikan akhirnya datang juga.

“Aku mau keluaaaaaaaaaarrr...!” Pak Kun setengah berteriak, ia bahkan sudah tidak peduli dengan orang-orang di sekitar yag mungkin mendengar teriakannya.

“Sepuluh... sembilan... delapan...” Pak Hasan melakukan hitungan mundur.

“Aaaaaahhh... aaaaahhh... sayaaaaaaaaaang!!” Pak Kun semakin memacu lebih cepat dan lebih cepat lagi, keringatnya menetes tanpa bisa ditahan. “Akuuuuu tidak taahaaaaaaaaaan!!”

“Mmmmhhh... aaaaahhh... aaaahhhh... aaaaahhhh” Lidya yang memejamkan mata juga tak bisa menahan diri. Dia masih tetap seorang wanita biasa yang juga mudah terangsang.

“Lima... empat... tiga... dua...”

“Aaaaaaaaaaaaaaaakkkhhhhh!”

“Satu! Waktu habis!”

Srrrttt! Srrrrt! Srrrrrrrrrrrrrt!!

Tepat saat hitungan mencapai angka satu, muntahan cairan cinta Pak Kuncoro mengalir di sela-sela jepitan paha Lidya. Lelehan air mani dari ujung gundul penis Pak Kun tumpah membasahi bibir vagina Lidya, beserta sisi paha bagian dalamnya.

Sang bidadari sedikit terkejut dengan banyaknya sperma yang tumpah membasahi pahanya itu. Ia mencoba mencari-cari tissue untuk membersihkan.

Pak Kun ambruk terduduk dengan lemas. Belum pernah ia senafsu ini melakukan sesuatu yang bukan sesuatu dengan seorang wanita yang begitu cantik dan seksi. Dia geleng-geleng kepala saat Pak Hasan mengambilkan kemeja merah yang tadi dikenakan oleh Lidya.

Benarkah mereka berdua ini mertua dan menantu? Kalau iya... hubungan bejat macam apa yang saat ini tengah mereka berdua jalani? Sungguh tak terbayangkan. Pak Kun melirik ke arah foto anak dan istri yang ia pajang di sebuah meja.

Apa yang sudah ia lakukan?

Lidya yang lemah tak berdaya mencoba bangkit mencari mini tanktop yang tadi dilemparkan oleh Pak Kuncoro, tapi ia tak kunjung menemukannya.

“Sudah pakai yang ada saja, gak usah pakai lainnya” perintah Pak Hasan.

Lidya mengangguk, ia mengenakan celana dalamnya tanpa menghapus sisa-sisa cairan cinta yang masih mengalir dari sisi-sisi paha yang belum sempat ia bersihkan utuh. Si cantik itu juga tak sempat menemukan mini tanktop yang sebelumnya ia kenakan, mau tidak mau ia hanya mengenakan kemeja merah tembus pandang yang dengan jelas menampakkan buah dadanya yang sentosa.

Dengan terburu-buru Lidya segera keluar dari kamar dan kabur keluar dari restoran, dengan cepat.

Beberapa orang yang sedang makan dan antri Mie Ayam otomatis terkejut melihat seorang wanita aduhai cantiknya keluar dari kamar Pak Kuncoro dengan rambut dan pakaian yang berantakan.

“Lah, buset. Ga pake beha, coeg.” ucap salah satu pelanggan yang sedang makan.

“Hah? Beneran ya? Kirain cuma aku yang lihat tadi!” sambung pelanggan yang satu lagi.

“Edian. Udah toketnya gede, putingnya pink lagi! Mantap jiwa!” ucap pelanggan yang sebelah lagi.

Lidya sudah tak lagi mendengar dan melihat ucapan dan panggilan nakal dari para pria yang mendapatkan tontonan gratis darinya. Malu sekali! Malu banget! Ia melewati kedai dengan tas menutup wajah.

Tiba-tiba saja ada tangan yang meraih pergelangan tangan Lidya.

Tangan Pak Hasan.

“Yuk, kita pulang sekarang.” katanya sambil tersenyum.

Lidya juga mengangguk dan ikut tersenyum.





.::..::..::..::.





Air conditioner hotel menyala kencang. Seharusnya memang dingin, tapi menjadi berasa panas siang itu. Seluruh jendela tertutup, membuat suasana juga menjadi lebih gelap.

Dina melemparkan diri dengan tengkurap di samping tubuh Bonar, nafasnya terdengar memburu sementara keringat menetes di sekujur tubuh. Pantat ibu dua anak yang masih sangat seksi itu bagaikan buah apel yang bersinar terang oleh tetesan embun keringat, mulus menyilaukan terkena sinaran cahaya lampu redup. Cairan cinta meleleh dari liang kenikmatan Dina membuat genangan basah kental di antara kedua kakinya yang jenjang. Kaki Bonar bergetar karena kelelahan dan kantung kemaluannya seperti akan meledak.

Kedua sosok berlainan jenis yang baru saja bermain cinta dengan hebat itu kini megap-megap menarik nafas karena keduanya sama-sama kelelahan. Dina melemparkan badannya ke samping. Si cantik itu mencium bibir tebal Bonar dengan penuh perasaan, ia memasukkan lidahnya ke dalam mulut bau rokok pria yang pantas menjadi ayahnya itu dan menciumnya sambil memejamkan mata, mencoba menikmati setiap tetesan liur yang tercampur. Bonar tentunya tidak menyia-nyiakan kesempatan dan membalas ciuman Dina, bermain cinta seperti ini melelahkannya, namun sosok seksi Dina membuatnya ingin terus lanjut dan lanjut.

Beberapa saat lamanya mereka berdua saling berpagutan, membiarkan tangan saling mengelus lekukan tubuh masing-masing, keduanya sama-sama merasa nyaman bercinta melepas birahi seperti ini. Entah karena pengaruh obat kuat ataukah karena sosok Dina memang sangat seksi, kemaluan Bonar kembali naik dan mengeras seperti kayu. Pria tua itu berulangkali berdecak kagum karena tidak biasanya ia bisa terangsang hebat seperti ini, bersama sang istri butuh waktu lama bagi Bonar agar bisa menegakkan penisnya, rupa-rupanya sesi percintaan dengan Dina ini membuatnya merasa muda kembali. Ia menikmati sesuatu yang sudah lama tak ia rasakan.

Gairah birahi Dina bergejolak tak terpuaskan, si cantik itu mengalihkan ciumannya, turun ke bawah, ke dagu, leher, dada kemudian turun ke perut menggelambir Bonar. Si cantik itu berhenti sebentar di dada untuk mencium puting lembek sang pria tua. Dina melanjutkan menyusur ke bawah, ke pusar dan akhirnya ke tujuan utama, penis yang kini mengeras kembali. Mulut mungil Dina tak malu-malu menangkup penis Bonar yang menegak, ia menjilat dan menghisap penuh nafsu. Dina seperti memandikan kemaluan sang lelaki tua dengan bibirnya yang indah.

Kepala Dina bergerak naik turun seiring dengan panjang kemaluan keriput Bonar. Kadang ia melepas penis sang lelaki tua dan membiarkan lidahnya bergerak lincah menjilat kantung kemaluannya tanpa sedikitpun merasa jijik. Ciumannya mendarat di sekujur batang dan kantong kemaluan Bonar dengan serangan bertubi. Lelaki tua itu tersenyum puas, sungguh enak sekali rasanya disepong wanita yang cantik ini. Ia sama sekali tak menduga di balik wajahnya yang anggun Dina memiliki kemampuan memuaskan hasrat pria semacam dirinya.

Penis tua itu menegak tinggi bagai menantang langit dengan batang terselimuti air liur dari mulut sang bidadari. Dina tersenyum nakal dan naik ke atas selangkangan Bonar. Dengan sengaja si cantik itu duduk menghadap ke arah kaki sang lelaki tua sambil perlahan-lahan menyelipkan kemaluan keriput yang telah menegak ke lubang senggamanya. Dina melenguh ketika akhirnya batang panjang Bonar melesak masuk seluruhnya ke dalam. Si cantik itu jugalah yang menggerakkan pinggulnya mengendarai kemaluan sang pria tua. Punggungnya yang mulus tanpa cacat melejit di hadapan Bonar, punggung indah yang basah kemilau oleh keringat. Bonar sendiri tak mampu melepas pandangan dari bulat indah pantat Dina yang bergerak naik turun.

Dina bergerak binal mengendarai penis Bonar lebih dari lima menit lamanya, si cantik itu juga memainkan kantong kemaluan dan klitorisnya sendiri dengan jemarinya yang menjelajah lincah. Nafas Dina berhembus keras dan gerakannya kian lama kian menuntut, ia ingin segera mencapai puncak kenikmatan. Bonar sendiri sudah merem melek mendaki orgasme. Keduanya mengerang tanpa akhir, saling mengelus, menyentuh, menikmati tiap lekuk tubuh masing-masing. Kantong kemaluan Bonar terlempar-lempar tiap kali ia memompakan penisnya menghujam vagina Dina. Pria tua itu menahan geraman saat ia akhirnya benar-benar tak mampu bertahan!

Dina mengembik berulang, mendesis dan menjerit lirih, kenikmatan yang rasakan makin lama makin mendaki, membuat si cantik itu tak lagi mampu bertahan dan diam. Dengan penuh nafsu ia menggesekkan jemarinya di bibir kemaluan dan klitorisnya sendiri, gerakannya makin menggila dan jeritannya makin keras. Lenguhannya yang keras menggema di kamar hotel ketika akhirnya tubuhnya berhenti bergerak dan menegang. Bonar tahu sekali, si cantik itu pasti sudah hampir sampai di puncak kenikmatannya. Punggung Dina melejit lentur ke belakang dan lehernya digelengkan ke samping menjatuhkan tetesan keringat sebesar biji jagung. Dengan satu jeritan memuncak, tubuh lelah Dina ambruk di atas tubuh Bonar.

Dina dan Bonar tersengal-sengal karena kelelahan, Dina berguling ke samping dan mengatur nafasnya. Keduanya terbaring tanpa daya di atas ranjang. Ketika nafas Bonar mulai stabil, pria tua itu kemudian duduk dengan puas dan memperhatikan keindahan tubuh Dina, matanya berbinar penuh kekaguman, sungguh ia tak percaya ia baru saja bersetubuh dengan wanita seindah ini yang mampu memberikan kenikmatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Kulit Dina yang seputih pualam berkilau dan paha bagian dalamnya penuh bercak bauran cairan cinta. Kaki wanita cantik itu agak diangkat sampai ke atas sehingga Bonar bisa melihat lelehan campuran cairan cinta mereka berdua menetes di atas ranjang. Bulat pantat Dina merekah membuka seakan mengundang.

“Puas…?” bisik Dina.

Matanya yang tadi terpejam kini terbuka, tatapan manja terbias di wajahnya yang terlihat letih.

“Sangat.” Jawab Bonar singkat.

Bonar tak berkedip menatap selangkangan Dina.

Dina yang risih akhirnya mengatupkan kakinya. “Ngelihatinnya kok sampai segitunya?”

“Aku hanya heran, kita... hm... bersenggama... tanpa proteksi... apa... kamu tidak takut hamil?” Dengan penuh kelembutan Bonar menarik selimut dan menyelimuti tubuh telanjang Dina. Sifatnya yang kebapakan dari pria yang pantas menjadi ayahnya itu membuat Dina makin merasa terlindungi.

“Tidak. Suamiku justru suka kalau aku hamil lagi.”

Bonar tergelak dan membaringkan tubuhnya. Kepalanya dihempaskan pelan di atas bantal. Ini menyenangkan sekali, lebih menyenangkan dari menyewa lonthe murahan. Dina seorang wanita yang elegan, lembut dan memiliki kharisma, dia cantik, menarik dan juga pewaris sebuah perusahaan besar. Tidak disangka wanita seperti itu ternyata cukup binal di ranjang. Beruntung sekali dia bisa bercinta dengannya.

“Mumpung kita sama-sama terbangun, ada baiknya aku mengajukan proposal sekarang. Seperti kesepakatan kita, aku ingin semua proyek yang berkasnya ada di dalam tas ini ditandatangani.” kata Dina sambil tersenyum dan menyerahkan tas yang segera dibuka Bonar. “Termasuk kerjasama long term lima belas tahun dengan BUMN yang ‘itu’.”

“Ini kan bisa nanti...” Bonar bersungut-sungut, ia sedikit mengumpat karena Dina tiba-tiba saja mengajukan berkas usai mereka bercinta habis-habisan. Kertas-kertas yang disodorkan kepadanya membuat pria tua itu kehilangan gairah.

“Aku tidak mau kamu terlupa. Kalau kamu sampai lupa, percuma aku melakukan ini semua.”

“Kamu memang nakal sekali, sayang. Cantik, seksi dan anggun… tapi nakal.” Balas salah satu pejabat pemerintahan itu dengan ciuman di bibir Dina, dengan cekatan dia mengambil pena yang ada di saku bajunya yang jatuh ke lantai dan menandatangani semua berkas-berkas yang diberikan Dina. “Mudah-mudahan suamimu yang bodoh itu juga segera mati, sehingga kekayaan keluarga Haryanto jatuh ke tanganmu. Kamu cantik dan cerdik, pandai memanfaatkan situasi.”

Dina hanya tersenyum tanpa menjawab.

Mereka berpelukan mesra, lalu kembali rebah ke tempat tidur. Tak perlu waktu lama bagi keduanya untuk bisa segera terlelap karena sama-sama letih setelah baru saja bercinta hebat dan sama-sama meraih kenikmatan. Sayangnya mereka bercinta namun bukan dengan pasangan masing-masing. Bonar adalah ayah dari empat orang anak, bahkan anaknya yang paling besar adalah adik kelas Dina semasa SMA dulu.

Kenapa Dina melakukannya?

Sebagai pimpinan perusahaan, Dina memang tidak memiliki background memadai. Relasinya terbatas dan kemampuan organisasionalnya juga tidak bisa dibilang luar biasa. Tugas sebagai pimpinan perusahaan sangat berat, terkadang dia sebenarnya tidak mampu mengeluarkan keputusan penting di saat-saat pelik dan memilih menyerahkan problem kepada para manajer di bawahnya yang tentu lebih memiliki kompetensi penyelesaian masalah. Dina sadar ia tidak mungkin melakukannya terus menerus.

Tapi Dina adalah wanita yang cerdas, walaupun memiliki banyak kekurangan, si cantik itu selalu belajar dari pengalaman dan mengambil pendidikan disana-sini untuk mempertebal ilmu manajerialnya. Kemampuan leadership Dina memang tidak bisa semalam jadi, namun lain halnya kalau membicarakan urusan perebutan tender. Kalau soal yang satu ini Dina tidak akan kalah dengan siapapun. Kemampuan Dina untuk bernegosiasi ada di atas rata-rata, ditambah dengan kecantikan alaminya yang menyegarkan membuat sebagian besar calon klien atau pemodal ikut saja dengan kemauannya.

Jika semua negosiasi sudah luruh, Dina tahu dia masih memiliki kartu as paling ampuh untuk menundukkan lawannya yang rata-rata adalah pria tua bertubuh tambun berkepala botak dengan mata yang tatapannya merendahkan lawan bicara.

Dina bisa menundukkan mereka semua, dengan kemolekan tubuhnya.

Entah sudah berapa kali Dina melayani para bos dengan handjob atau blowjob, entah sudah berapa kali si cantik itu membiarkan mereka meraba dan meremas-remas tubuhnya dengan kasar dan cabul. Jika jumlah yang ia dapatkan benar-benar signifikan untuk kemajuan perusahaan, Dina juga sudah tidak peduli lagi jika untuk urusan seperti ini dia harus membayar dengan tubuhnya, demi perusahaan apapun akan dilakukan.

Pak Bonar adalah salah satu contoh, dengan melayaninya bercinta, Dina baru saja memastikan barisan proyek besar kembali jatuh ke tangannya. Jumlah yang benar-benar masif memastikan surplus dalam finansial perusahaan, beratus-ratus persen dibanding peningkatan sebelumnya. Tidak akan habis tujuh turunan.

Ini juga artinya mereka bisa menambah jaringan bisnis property di semua provinsi.

Senyum kemenangan tersungging di bibir tipis Dina.





.::..::..::..::.





Siang mulai redup, sore menjelang datang, suasana rumah senyap. Opi sudah lelap beristirahat, Hendra sibuk dengan laptop dan kertas-kertas bermap.

Paidi duduk di meja makan sembari menikmati hidangan fast food yang dipesan dari ojek online. Alya tidak masak apa-apa hari ini. Si cantik itu hanya membereskan saja meja makan dan meletakkan satu persatu piring kotor ke cucian.

“Mau nemenin makan?” tanya Paidi dengan senyumnya, ia menatap Alya tanpa kedip.

“Aku tadi sudah makan, barusan Opi juga sudah.”

“Nggak seru kalau tidak kamu temani makan.” Lanjut Paidi masih merayu.

“Kan barusan sudah aku bilang aku sudah makan?”

Paidi mendekat ke arah Alya, si cantik itu kini sedang mengaduk nasi dalam magic jar. Karena didesak oleh Paidi, iapun terpepet ke tembok.

“Mmm... Mas Paidi kok nakal ya? Mas mau ngapain?”

“Mau makan siang...” kata si tua kurus itu sambil mengelus lingkar buah dada di baju Alya menggunakan jari telunjuknya.

Alya langsung tahu apa yang diinginkan Paidi dan menggeleng manja, “Mas Hendra ada di dalam. Nanti kedengeran. Jatah Mas nanti malam saja. Mas Paidi jangan nekat.”

“Aku selalu pengen tau apa susumu masih netes.” Kata Paidi dengan berani ketika ia merasakan basah di baju kemeja berkancing depan yang dikenakan Alya, memang benar, Alya sebenarnya sudah berhenti menyusui Opi namun air susunya masih sering sesekali menetes. “Butuh pelepasan...?”

“Tidak, cuma setetes dua tetes... aku sudah jarang me-... asi... aku... me-... hmmmh...” walaupun terus menolak, lingkar-lingkar kecil yang dibuat oleh telunjuk Paidi di dadanya membuat Alya mau tidak mau geli juga. Nafasnya mulai memberat. “Mas... jangannnhhh...”

“Aku mau minum susu.” Kata Paidi dengan suara yang tegas dan jelas. Alya yang sudah mulai terangsang terkejut mendengarnya. “Aku mau minum susu yang mengalir dari puting payudaramu, sayang.”

Alya mundur teratur ke arah tembok, tubuhnya bergetar antara takut ketahuan suaminya dan ingin merasakan kenikmatan. Namun pikirannya yang selalu kabur di hadapan pria tua kurus ini membuat Alya kalah. Ia memilih kenikmatan lebih daripada ketakutan. Dengan anggukan pelan dan gerakan ringan, si cantik itu mulai membuka kemejanya yang ketat menangkup buah dadanya yang sentosa.

“Sini, biar aku.....” Kata Paidi.

Sopir yang sudah sangat bernafsu itu melepas semua kancing baju Alya hingga bagian depannya terbuka lebar, menampilkan belahan dada tertutup bra dan kulit yang begitu indah dipandang, mulus dan mengundang. Sambil melepaskan kemeja yang dikenakan dewi molek itu, Paidi membiarkan jempolnya mengelus lembut kain BH yang dikenakan Alya merasakan posisi pentil sang dewi yang mulai menghunjam keluar. Paidi sudah sangat ahli melepas bh milik Alya, sehingga si cantik itu bahkan tidak tahu kapan Paidi mulai melepas kait dan kapan buah dadanya sudah terpampang jelas di hadapan sang sopir. Wajah Alya memerah karena malu ketika setetes air ASI keluar dari ujung putingnya yang menjorok keluar.

Paidi berdecak kagum, “indahnya payudara seorang ibu muda.”

Alya terpaksa duduk di pinggir meja kecil yang ada disampingnya karena Paidi langsung membungkuk ke depan dan menyerangnya. Lidah si tua kurus itu menjilati tetesan air susu mentah dan berasa hambar yang keluar dari pentil indah si cantik. Getaran kenikmatan yang belum pernah ia duga sebelumnya membuat payudaranya mengeras membulat. Desahan kenikmatan yang tak mampu ia tahan membuat Alya memekikkan erangan.

“Hkkkkgghhh!”

Alya menutup mulutnya sendiri dengan kaget.

Menyadari ini, Paidi pun segera menggandeng tangan Alya yang sudah hampir merem melek, kalau begini terus, Hendra bisa curiga. Enaknya kemana sekarang? Ah ya. Paidi merogoh kantong celananya, lalu menarik kunci mobil.

“Mau ikut?” bisik Paidi sambil memainkan kunci mobil di tangannya, wajah Alya memerah, ia pun mengangguk.

Kedua insan yang sedang dimabuk nafsu itu kemudian keluar dari rumah, naik ke mobil, dan berjalan saja berputar-putar kompleks. Lalu keluar, menyusuri jalan entah kemana, yang penting menikmati waktu berdua saja. Mobil itu masuk ke jalan tol menuju kota tetangga, lalu melaju menuju rest area yang sepi.

Setelah membeli kopi dari cafe yang ada di rest area untuk sekedar menemani duduk-duduk di mobil, keduanya pun mulai saling menatap dengan penuh harap. Tangan mereka bergandengan.

“Terlalu jauh ga sih jalan ke sini?” tanya Alya geli.

“Bingung mesti kemana lagi.” Paidi menggaruk kepalanya.

Alya tersenyum manis. Sungguh beruntung Paidi bisa mendapatkan tubuh dan hati wanita seindah Alya. “Terima kasih untuk semuanya, Mas.” Alya membuka percakapan. “Terima kasih sudah hadir dalam kehidupan aku yang carut marut ini. Aku merasa beruntung, kalau gak ada Mas Paidi aku tidak akan pernah tahu apa yang akan aku alami sekarang.”

Paidi tersenyum, “Mungkin aku diciptakan untuk melindungimu, kapanpun dan dimanapun.”

Paidi mendekat ke arah Alya, ia memejamkan mata. Alya juga ikut memejamkan mata. Keduanya berpagutan lembut, penuh kemesraan, intim, hangat, dan saling melengkapi.

Paidi menurunkan kursinya, membuat ruang agar lebih lega.

“Hah? Mau di sini?” Alya bertanya-tanya.

“Kenapa tidak? Sepi ini. Kita juga di pojok, tidak akan kelihatan siapapun.”

“Gila kamu, Mas.”

“Aku tergila-gila sama kamu, sayang.”

Alya tersenyum mendengar gombal dari supirnya, ia pun mendekat ke arah Paidi dan mencumbui supirnya dengan penuh cinta, tak ada lagi kasta, tak ada lagi jenjang, yang ada hanya keinginan untuk saling meluapkan asmara. Alya hanya ingin membalas perhatian yang sudah Paidi berikan dengan memberikan layanan terbaik untuknya.

“Sejak kapan sih jadi nakal begini?” Paidi menggoda sang kekasih.

“Hmm... siapa coba yang ngajarin?” Alya manja merajuk, “tanggung jawab!”

Jemari Alya yang lembut mengelus kulit wajah Paidi yang kasar, bibirnya tak berhenti untuk terus memagut bibir supirnya, sementara tangan Paidi dengan nakal meraba dan meremas bokong majikannya.

“Aku buka ya?” ucap Alya sambil melepaskan kancing kemeja yang Paidi kenakan.

Tatkala kemeja itu sudah tak terkancing lagi, tangan lembut Alya meraba-raba tubuh kurus Paidi yang penuh codet dan berwarna gelap, ia tak merasa ngeri atau jijik, ia justru merasa senang bisa melayani pahlawannya dengan penuh cinta.

“Ahhhhhh... sayaaaang, enakkkghhhhhh!” lenguh nikmat Paidi ketika sang ibu muda yang masih berpakaian lengkap menggesek-gesek penis Paidi.

“Jangan keras-keras. Nanti ada yang denger.” bisik Alya ketika ada pengendara motor melewati mereka. “Gila banget ngajakin ke rest area begini sih, Mas?”

“Aku bosen di kamar terus.”

“Ish, kan lebih aman.”

“Tapi ada suamimu.”

“Dia kan di depan.”

“Ya udah ya udah. Tapi kita sudah terlanjur di sini, boleh minta dibikin enak dulu gak, sayang? Biar tambah romantis.” bisik Paidi yang kemudian menurunkan celananya hingga muncul penis yang dipuja-puja oleh Alya.

“Ih, si Mas.”

Walau sudah sering melihat dan merasakannya, namun sepertinya ia tetap saja tak sanggup berhenti untuk mengagumi batang kejantanan Paidi yang besar, kuat dan panjangnya penis itu. Lemes aja segini, gimana kalau kenceng?

Alya pun melepaskan jaket kulit yang dipakai Paidi, jari-jemarinya dengan lihai menggenggam penis sang kekasih dan menaikturunkannya dengan penuh kelembutan. Paidi geli keenakan, ditambah dengan cumbuan Alya yang sudah dipenuhi oleh nafsu birahi.

Alya menurunkan kepala, dan mulai menjilati penis milik sang kekasih dengan lidahnya. Paidi kian terangsang. Ada yang hangat dan basah yang menyentuh, mengelus, dan mengecup semua sisi batang kejantanan yang ia banggakan.

Paidi mengerang.

Alya tersenyum mendengar suara erangan Paidi. Sudah saatnya. Sang dewi pun segera beraksi, naik turun memasukan penis besar tersebut ke mulutnya, ketika ia melepaskan penis itu dari mulutnya terlihatlah kilauan yang bersinar dari penis tersebut, lendir dan liur dari mulut Alya yang manis, dirinya melihat wajah Paidi sejenak dan mengocoknya sesaat sebelum ia kembali mengulum benda keras tersebut.

“Kamu cantik dan seksi banget hari ini.”

“Hmmpphh...” Alya melepas penis Paidi, “Masa?”

“Aku tidak tahan lagi.” Paidi bergeser ke belakang, posisi kursi sudah tidak karuan. Alya duduk di pangkuan sang kekasih. Paidi bergerak cekatan. Tanktop ketat dan bra yang sejak tadi dipakai Alya, kini sudah entah terbang kemana. Payudara sempurna sang ibu muda dimainkan dengan remasan, dan dihisap dengan penuh kenikmatan. Seolah-olah Paidi adalah seorang bayi tua yang kehausan.

Alya merinding geli.

Tapi Paidi tak akan peduli, ia hanya ingin menyusu dan meremasi payudara super milik majikannya ini, Alya pun diminta untuk berbalik arah, tubuh indahnya kini bersandar pada dada kurus milik sang supir, tangan Paidi kini lebih leluasa dalam menggerayangi payudara indah majikannya dari belakang, bibir mereka pun tak henti hentinya untuk saling mencium.

Kalau saja ada orang yang melihat mereka dari depan, mereka akan melihat adegan panas yang tak terbayangkan. Seorang pria kurus dengan penuh luka tengah menggerayangi tubuh indah seorang wanita muda yang montok, namun begitulah yang terjadi, tak ada yang dapat menghalangi ketika sepasang manusia telah jatuh ke lembah birahi.

Paidi melepas kancing celana Alya. Ia melirik ke arah sang kekasih, dan dibalas dengan anggukan kepala. Alya membiarkan saja tangan kasar supirnya meloloskan celana dari kaki jenjangnya. Alya pun hanya tinggal mengenakan celana dalam saja. Paidi pun berhenti sejenak untuk berdecak kagum dan terpesona oleh keindahan tiada dua yang berada di depannya, ya inilah santapan yang bebas Paidi makan kapanpun ia mau. Beruntungnya ia.

Alya tersenyum dan melepas celana dalamnya. “Ayo.”

Ia memejamkan mata saat Paidi mulai melesakkan batang kejantanannya perlahan-lahan dari belakang.

“Oooooohhhmm, Maasssshhhh.” lenguh Alya antara sakit dan nikmat.

“Sedikit lagi, sayang. Belum semua.”

Paidi mendorong pinggulnya semakin dalam.

Alya mengernyit kesakitan walau penis supirnya sudah dibasahi oleh pelumas alami yang sudah membanjiri liang cintanya, tapi ukuran penis yang super besar membuatnya tak dapat menahan rasa perih ini, hingga akhirnya beberapa saat kemudian penis Paidi sudah mentok menyundul Rahim sang majikan.

Tubuh Alya sudah penuh keringat walau mereka justru baru mulai, napasnya memburu dan ia sudah mulai ngap seolah baru saja lari maraton 10k.

“Siap?”

“He’em”

Paidi mengecup pundak Alya, lalu menggerakkan pinggulnya perlahan. Desahan-desahan kecil keluar dari bibir mungil Alya.

Liang cintanya begitu sesak oleh benda kencang dan panjang yang kini membuatnya merasa penuh, rasa perih akibat penetrasi tadi perlahan tergantikan oleh rasa nikmat akibat gesekan yang dirindukan. Napas Paidi begitu memburu, dirinya masih tidak menyangka mampu menyetubuhi wanita yang pertama kali dilihatnya di pos ronda, sungguh kurang ajar Bejo telah menyakiti wanita seindah ini. Dia bersyukur akhirnya semua baik-baik saja.

Payudara Alya yang indah mulai menari-nari seiring cepatnya gerakan pinggul yang Paidi lakukan. Sang mantan preman memejamkan mata, sulit rasanya untuk terus melek menikmati keindahan ini, karena penisnya ibarat tengah dipijat oleh memek legit dan rapat.

“Pelaaaan, Maaaas. Pelaaan ajaaa.”

Paidi mengangkat salah satu kaki Alya dan berusaha memasukan penisnya semakin dalam di liang cinta Alya. Sang bidadari jelita itu menggigit bibir untuk terus menahan agar tak mengeluaran suara yang mencurigakan, namun apa daya nikmatnya tiap tusukan membuat Alya tak kuasa.

Brrrrmmmm.

Ketika sedang asyik asyiknya berasyik masyuk, tiba-tiba terdengar suara truk yang diparkir tak jauh dari posisi mereka berada, truk itu memuat kayu-kayu besar dan berat. Usai parkir, sang sopir berwajah garang dengan topi buluk keluar sambil menyelipkan sebatang rokok yang sudah menyala di bibirnya. Sopir itu melintasi mobil mereka dengan langkah yang teramat pelan.

Gawat kalau sampai dia melongok ke dalam! Meski kaca film mobil Alya gelap dari luar dan terang di dalam, tapi siapa tahu kan?

Karena tak ingin ketahuan, Paidi segera memeluk tubuh Alya hingga mereka saling menghimpit ke sisi mobil. Sempit? Pasti. Posisi Alya sama sekali tidak nyaman karena kakinya tertekuk aneh. Tapi Paidi ternyata tidak peduli, ia perlahan-lahan melanjutkan niatnya.

Paidi kembali menggenjot dari belakang.

“Ahhh...! Mas! Jangan gila! Ada yang lewat, Mas!!” Alya protes, “Aaaaahhhh!”

Sang sopir berlalu dengan santai.

Paidi tak peduli, tangannya menyekap mulut sang kekasih agar tidak terlampau kencang berteriak, ia menggerakkan pinggulnya yang sesak sebisa mungkin agar Alya dapat merasakan kenikmatan dunia yang semakin mewujud.

“Haaagkkkkhhh! Haaaakkkghhh!” Alya merem melek sembari menggelengkan kepala.

Setelah sang sopir truk berlalu, mereka kembali ke posisi semula. Paidi pun melepaskan sekapan tangannya.

“Mas iiih!” Alya sewot. “gimana kalau ketahuan tadi? Sembarangan aja!”

“Buktinya aman kan?”

“Sebodo ah.”

“Cup ah, jangan marah. Kalau pun ada yang lihat, aku akan melindungimu, karena hanya akulah yang berhak menikmati keindahan tubuhmu,” ucap Paidi sembari mencolek dagu Alya.

Alya mencibir imut, membuat Paidi makin membara nafsu birahinya. Ia kembali menciumi bibir Alya seperti tak peduli hari esok.

“Kita selesaikan cepat ya?” tanya Paidi.

Alya mengangguk. Posisinya masih ada di depan Paidi, spoon sex. Backseat car spoon sex. Ia tidak akan pernah mengira akan melakukan percintaan ala-ala dengan sang sopir yang kurus. Gerakan kedua sejoli seirama, pelan dan lembut tapi saling menuntut. Masing-masing menjadi penurut, menggerakkan badan sesuai posisi lutut, tubuh bergoyang pun ikut, semakin lama semakin larut.

Ini nikmat sekali, tidak terlalu kencang, tapi saling membutuhkan.

Alya tersenyum sambil menatap wajah Paidi, sang sopir menatap wajah majikannya. Betapa indahnya saat ini. Pelan, pelan, pelan, terus, terus, terus, sodok, sodok, sodok, masukkan, terus, semakin dalam, semakin dalam, ahh, lanjut, lanjut, terus.

Sampai akhirnya keduanya mulai mengejang bergantian, bersamaan, mendaki puncak yang tak terasa telah hadir.

“Aku sudah mau keluar.” Bisik Paidi sambil mengecup bibir Alya.

“Aku juga.”

Keduanya berpelukan, berpagutan, beradu birahi untuk mencapai puncak secara bersama-sama, tangan mereka saling mengait, hujaman penis Paidi dipercepat, Alya merasakan dinding vaginanya mulai diobrak-abrik oleh besarnya penis Paidi.

“Hkkkkghhhh! Hkkkkgghhh! Aaaaaaah! Aaaaah! Maaaasss!!”

Kecepatannya yang meningkat membuat Alya tak kuasa untuk terus mendesah, begitupula dengan Paidi yang merasakan akan ada gelombang hebat yang akan meledak dari dalam dirinya,

“Ahhhhh! Ahhhhh! Maaaaasss! Maaaaassss! Ahhhhh!” Alya melenguh tanpa henti.

Matanya terpejam, ia nyaris berada di puncak kenikmatan, payudaranya yang semakin besar dan keras ditambah nafasnya yang semakin memburu membuat ia tak tahan lagi. Gesekan ini sudah tak mampu ia tahan lagi, hingga akhirnya dengan tusukan terakhir yang Paidi lakukan mereka pun mengakhiri kenikmatan mereka bersama dengan menuju puncak.

“Aaaaaaaaaaaaaaahhh.”

Desah kenikmatan dilalui bersama.

Tubuh Paidi yang lemas ambruk menindihi tubuh indah Alya, lututnya merasa lemas, dan tubuhnya mengejang begitu hebat, sungguh kenikmatan yang luar biasa bersama wanita cantik yang ia cintai. Begitupula dengan Alya, tubuh masih mengejang merasakan sisa-sisa orgasme terhebat yang ia rasakan, tubuhnya sangat lelah hingga dirinya nyaris lelap dalam pelukan sang pahlawan.

“Eh, sudah yuk, Mas.” Alya yang mengingatkan.

Paidi setuju.

Ia pun mencabut penisnya dari dalam vagina Alya dan mengalirlah cairan cinta yang begitu banyak keluar dari dalam vagina sang dewi. Alya melongo tak menyangka begitu banyaknya cairan cinta yang leleh.

“Banyak banget sih, Mas? Kalau Opi punya adik gimana nih? Duh... kamu ini...” Alya merajuk. “Lain kali pakai pengaman, ah.”

“Emang mau pakai pengaman?” Tanya Paidi sambil tersenyum. “Emang enak?”

“Nggak.” Alya tertawa.

Paidi juga.

Mereka berdua memastikan semua aman dan baik-baik saja sebelum akhirnya berjalan kembali pulang ke rumah.

Sang sopir truk yang parkir tak jauh dari Alya dan Paidi geleng-geleng kepala melihat mobil itu pergi. Dia meminum kopi dalam gelas plastik. “Wong edian. Main kok di rest area. Geblek. Untung saja tidak ketahuan. Bisa digrebek. Donya wes ra nggenah. Tanda-tanda mau tamat.”

BERSAMBUNG ...

 


Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Categories

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.
You will be redirected to the script in

seconds

BTemplates.com

Blogroll

About

Copyright © Cerita Panas | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com