RANJANG YANG TERNODA BAGIAN 14 (ANISSA TERANIAYA D)


Preman itu melesakkan penisnya ke dalam memek Anissa perlahan, si cantik itu memejamkan mata ketika merasakan ujung gundul kemaluan Badu masuk hingga memenuhi liang cintanya. Anissa menarik nafas pendek satu dua karena mencoba bersiap dengan serangan Badu. Benar saja, dengan satu sodokan yang keras dan kejam, Badu menanamkan penisnya dalam-dalam! Anissa ingin menjerit kesakitan namun teriakannya terhenti karena ketika mulutnya membuka, satu penis berbau busuk menembus bibirnya!

Melihat Anissa tak berdaya dengan penis yang melesak di mulut, Badu mengulangi lagi sodokannya dengan lebih kencang lagi! Begitu kencangnya desakan penis Badu, sampai-sampai tubuh Anissa hampir melejit.

“Memekmu enak sekali!!” teriak Badu puas.

“Ayo, lonte…bibirmu seksi sekali, aku suka merasakan bibirmu…” orang yang sedang memperkosa mulut Anis, yang ternyata adalah Kemal mulai merem melek keenakan. Sama seperti Badu, ia juga bergerak maju mundur dengan cepat, menanamkan kemaluannya di dalam mulut Anissa. Saat gadis itu mulai tersedak, Kemal menarik penisnya dan tanpa disangka, ia telah mencapai puncak! Semprotan air mani meledak di mulut Anissa. Tembakan demi tembakan cairan kental memenuhi mulut, membasahi bibir dan menempel di lidah sang dara jelita itu.“Ayo telan! Telan semua!” teriakan Kemal begitu nyaring rasanya di telinga Anissa. “Ayo, lonte sialan! Telan semuanya!”

Anissa hendak menelan, tapi kerongkongannya terasa begitu sakit sehingga ia terbatuk-batuk karena tersedak. Ketika gadis itu membuka mata, semprotan mani lain membasahi wajahnya! Entah siapa yang kali ini menyemprotkan air mani ke wajah Anissa karena gadis itu sudah kembali memejamkan matanya untuk mencegah semprotan itu masuk ke matanya. Kemal mengoleskan ujung gundulnya di pipi Anissa untuk membersihkannya dari air maninya sendiri. Para preman itu bersorak-sorak melihat wajah Anissa yang makin tak karuan belepotan cairan cinta.

“Begitu seharusnya wajah lonte!”

“Lonte seperti dia pasti minta lagi! lanjut!”

“Lanjut!”

“Lanjuuuuttt!”

Dengan mulut megap-megap, Anissa berusaha bernafas. Rasanya susah sekali membuka mulut dengan cairan kental yang membanjir di mulutnya. Ia merasa seperti tenggelam dalam lautan air mani. Berulang kali gadis itu tersedak dan terbatuk-batuk. Setiap kali ia menelan atau mengeluarkan cairan itu melalui sela bibir, seperti masih ada sisa yang tertinggal hingga ia terus-menerus bisa merasakan cairan sperma dalam mulutnya. Satu garis panjang kental menetes dari bibir mungil Anissa, menetes melalui dagu turun hingga leher dan bagian atas dadanya. Ketika ia masih berusaha menata diri untuk bersiap, tiba-tiba Badu melenguh panjang penuh kenikmatan, preman yang masih memperkosa memeknya itu mengejang dan menarik keluar penisnya. Tak pelak lagi, satu semprotan hebat membanjir di buah dada dan perut sang dara!

Anissa sesunggukan dengan air mata yang kering, malam masih panjang. Orang-orang ini pasti belum akan berhenti…

“Sepertinya bagian yang ini sudah matang, ayo kita balik!” kata Kribo yang langsung disambut sorakan teman-temannya.

Mereka mengangkat tubuh Anissa dan berusaha membuatnya berdiri, namun karena tidak kuat dan kedua tangannya masih terikat isolasi, si cantik itu ambruk dan jatuh berlutut. Wewengko menarik kursi ke depan Anissa dan membungkukkan tubuh gadis itu ke depan hingga tubuhnya bersandar di kursi dengan kepala yang tergantung di ujung kursi dan pantatnya naik ke atas. Kini Kribo menarik kaki Anis dan mengikatnya di kursi, begitu juga dengan pinggangnya yang ramping.

“Pantat pelacur ini mulus sekali.” kata Jabrik yang langsung disambut sorakan teman-temannya, mereka memang tahu Jabrik sangat menyukai pantat mulus wanita cantik. “Kalian boleh menyoraki aku, tapi coba lihat lobang anusnya! Pasti sempit dan nikmat sekali!”

Jabrik menampar pipi bokong Anis dengan sekeras-kerasnya! Anissa pun menjerit sekuat tenaga! Ketika kepalanya tegak, ia bisa melihat sekeliling dan melihat wajah-wajah pemerkosanya sedang meringis puas melihat gadis itu ketakutan.

Para preman itu tertawa lagi.

Kribo menowel dagu cantik Anis dan menatapnya tajam, “lihat aku baik-baik, lonte sialan.”

Anissa mencoba membuka matanya, namun karena ada leleran air mani yang lekat membasahi bagian matanya, ia hanya bisa mengejap beberapa kali sebelum menutup lagi matanya.

“Kamu sudah mulai mengerti apa yang harus kamu lakukan, betul?”

Anissa tak menjawab, bukan karena ia tak mau tapi karena ia sibuk menelan sisa mani dalam kerongkongannya. Dengan ketakutan gadis itu hanya bisa menganggukkan kepalanya saja.

Sayangnya Kribo tetap marah melihat dara itu terdiam, iapun menjambak dan menarik rambut Anissa. “Betul tidak? Jangan diam saja, dasar lonte!!!”

“Be... betul.” jawab Anissa sekuat daya.

“Dasar pelacur murahan…”

“Aku mau bokongnya,” kata Jabrik menyela Kribo, “kira-kira muat atau tidak ya?”

“Tentu saja muat.” Kribo terkekeh, “kamu bahkan bisa memasukkan lenganmu ke dalam sana kalau mau!”

“Cewek ini pantatnya mulus banget.”

“Bagaimana pelacur sialan? Kamu mau menikmati permainan baru kami?”

Anissa sudah berniat menggeleng namun karena ketakutan akan kembali disakiti, ia hanya bisa terdiam menggigil dengan wajah pucat pasi. Jabrik mengoleskan satu jarinya di bibir anus Anis yang mungil dan bersih, lalu perlahan menusuk ke dalam, menjajal sempitnya tempat itu. Anissa mengeluarkan satu erangan panjang karena sakit dan memejamkan matanya pedih.

Jabrik berujar gembira, “ini sempit banget!! Kontolku bakalan kegencet. Oh, tapi jangan takut, lonteku… kamu pasti akan terbiasa.”

Mendengar apa yang akan dilakukan Jabrik kepadanya membuat Anissa tak bisa lagi berdiam diri, ia meronta habis-habisan! Sayang ia tak bisa berbuat banyak karena terikat erat, bahkan kemudian Badu maju kembali dan menyodokkan penisnya ke dalam mulut sang dara, membuat gadis itu terkunci tak sanggup bergerak! Dengan mencengkeram pipi bokong Anissa dan menggerakkannya ke kanan dan kiri, Jabrik membuka akses ke anus gadis itu lebar-lebar. Ia sempat menampar pantat mulus dara itu sehingga berwarna merah, Anissa hanya bisa memejamkan mata dan menahan perih yang dirasa. Jabrik maju ke depan dan berbisik di telinga sang dara, “baiklah lonte sialan. Siap dientotin bokongnya?”

Jabrik meludahi jemarinya sendiri, lalu mengoleskannya di belahan pantat Anissa. Dengan penuh harap, ia meletakkan ujung gundul kemaluannya yang sudah menegang di lubang pembuangan Anis yang mungil dan bersih.

Jabrik mendorongnya masuk.

Anissa terbelalak lebar! Ia mengernyit kesakitan namun tak bisa berteriak karena mulutnya juga sedang diperkosa. Ia hanya bisa mengatupkan kedua kepalan tangannya erat-erat seakan hendak meremukkan sesuatu. Penis Jabrik yang memasuki wilayah sempit terangsang hebat dan kian lama kian membesar, sodokannya juga menguat dari saat ke saat, menguasai daerah jajahan baru, tempat yang seharusnya tidak boleh dimasuki oleh penis. Anis menangis hebat, rasanya sakit. Sakit sekali. Seakan lubang anusnya hendak dirobek dengan kasar.

Jabrik belum menusukkan seluruh penisnya ke dalam pantat sang dara, namun tiap kali ia menusuk, Anissa merasa pantatnya akan jebol. Duburnya memanas dan tubuhnya menegang, ia sangat kesakitan. Jabrik yang memaksa masuk membuat lubang anus Anissa terpaksa merenggang karena harus membuka jalan. Ini jauh lebih sakit daripada saat pertamakali Pak Bejo memperkosanya dulu. Yang kali ini seperti terasa ada batang pedang yang masuk tubuhnya untuk menjajah perut menembus hingga ke dada.

Badu mendorong penisnya masuk ke mulut Anissa untuk menambah penderitaannya.

Tangisan Anis kian tak terbendung. Hentikan… hentikan… hentikan…

Menahan perih dan sakit seperti itu membuat mata Anissa berkunang-kunang, ia merasa pandangannya kabur, tubuhnya mulai melemah… dia tak tahan lagi… sepertinya dia… akan… pingsan… dia… akan…

Plaakkk!

Tangan Badu menampar Anissa, untuk menyadarkannya. Gadis itu membelalakkan mata karena kini pipinya pun terasa panas dan perih. Tepat di saat Anissa sadar kembali, ia merasakan kantong kemaluan Jabrik sudah menampar pipi pantatnya! Penis pria itu sudah masuk semua ke duburnya!

“Auughhh… bokongnya sempit banget.” Ujar Jabrik sambil menggemeretakkan giginya dengan gemas, ia menggoyangkan pantatnya dengan penuh kenikmatan. “Aku sukaaa sekali bokongmuuuu, sayaaaang!!”

Kribo terbahak-bahak, “itulah pelajaran berikutnya, lonte sialan! Sodomi!”

Badu menarik penisnya yang sudah hampir orgasme dari mulut Anissa dan langsung menyemprotkan spermanya ke seluruh wajah si cantik itu. Hidung, bibir, kening, pipi, bahkan pelupuk mata, semua kena cairan lengket berwarna putih gading yang kental itu. Untungnya Anissa sudah tidak peduli lagi, karena begitu Badu menarik kemaluannya, Anissa langsung tersedak dan terbatuk-batuk, ia juga menggeram kesakitan karena Jabrik masih menggoyangkan penis di anusnya. Dengan kurang ajar, Badu membersihkan ujung gundul batang kejantanannya di rambut indah Anissa.

Belum sempat Anissa bernafas lega, penis lain datang menyerang mulutnya! Penis demi penis menjejal mulutnya tanpa henti, Anissa merasakan bibirnya mulai perih dan berasa seperti hendak robek karenanya. Wajahnya yang cantik kini makin kabur karena wajahnya basah oleh cairan mani kental yang menempel di sana-sini, di pipi, leher, kening, hidung, semua.

Dengan satu sodokan kencang, Jabrik menanamkan batang kejantanannya dalam-dalam di dubur Anissa. Cairan kental meluncur deras dari ujung gundul kemaluan Jabrik memenuhi lorong belakang sang dara cantik. Batang kemaluan Jabrik berdenyut beberapa lama ketika semprotan itu mengalir deras dan membanjiri liang dalam Anissa, lalu beberapa saat kemudian berhenti. Akhirnya, setelah beberapa saat yang menyiksa, penis itu mengecil lemas dan dikeluarkan dari pantat Anis. Saat penis itu keluar, leleran cairan cinta menetes dari anus hingga ke bibir kemaluannya.

Anissa berharap pemerkosaannya yang brutal oleh kawanan preman ini selesai. Tapi asa itu pudar ketika sekali lagi ia merasakan pantatnya dielus seseorang dan penis lain perlahan mulai memasuki anusnya. Cairan cinta yang sedari tadi disemprotkan Jabrik ke dalam liang belakang membuat penis yang ini masuk lebih mudah, orang ini bisa melesakkan penisnya dalam-dalam hingga kantong kemaluannya mentok menampar pipi pantat Anissa.

Ia menyodominya untuk beberapa menit, menariknya dan melesakkannya dalam-dalam ke liang cinta sang dara. Preman ini rupanya tidak puas hanya dengan satu lubang saja. Anissa tetap memejamkan mata karena tak ingin melihat siapa pemerkosanya kali ini, tapi penisnya begitu kencang dan keras menghajar memeknya, berulang-ulang kali dia menggauli Anissa hingga akhirnya ia mencapai klimaks dan cairan cintanya disemprotkan ke dalam vagina si cantik itu.

Wewengko menggoyang kepala Anissa ke depan dan belakang dengan sangat kasar, rambut panjang dan halus milik si cantik itu bagai terbang memutar seperti baling-baling. Dara itu bisa merasakan air mani yang menetes dari mulutnya dan jatuh ke perut, tapi ia hanya bisa meneguk sedikit ke dalam mulut dan kerongkongannya.

“Mulai sekarang kamu tak lebih dari seorang pelacur hina yang harus menyediakan mulut, memek dan bokong untuk semua laki-laki yang menginginkanmu eh!” ujar Wewengko. “Kamu pikir kamu ini gadis suci yang masih perawan eh? Pikir lagi baik-baik! Semua kehormatanmu sudah kami renggut!”

Anissa tidak menjawab karena ia sekali lagi tersedak. Bibirnya tepat berada di ujung terdalam kejantanan pria itu tapi ia tahu kalau ucapan preman itu tepat sekali, dia sudah bukan lagi gadis perawan yang masih suci, dia sudah kotor dan menjijikkan. Saat tersedak, kerongkongan Anis bergejolak dan tubuhnya menggelinjang, hal itu justru membuat sang preman yang sedang memperkosa mulutnya menjadi semakin terangsang dan akhirnya melepaskan cairan lengket ke dalam tenggorokan dara jelita itu.

Saat penis preman itu ditarik, Anis berusaha menarik nafas dalam-dalam. Pria itu hanya tertawa, “Luar biasa, cewek satu ini memang jago kalau disuruh nyepong kontol.” Cengirnya, “lain kali kita harus mengundang lebih banyak orang lagi.” preman itu dengan kurang ajar membersihkan penisnya yang masih belepotan air mani menggunakan rambut halus Anis yang kini acak-acakan.

Selesaikah mereka? Tidak. Tubuh si cantik itu kembali ditarik, satu penis masuk ke mulut dan satu ke dalam memeknya, dengan brutal mereka memperlakukan tubuh Anis seperti boneka tak bernyawa. Yang memperkosa mulutnya tanpa ampun mendorong pinggulnya hingga kantong kemaluannya bisa menampar-nampar dagu Anissa. Gadis itu sudah tak mampu lagi merasakan dan memahami bagaimana, kapan dan apa yang terjadi.

Yang bisa ia rasakan hanyalah penis yang keras, besar dan panjang yang dilesakkan ke dalam semua lubang di tubuhnya. Anis menggeram sebentar ketika satu batang kemaluan ditarik dari pantatnya dan digantikan penis lain, tetesan mani menetes hingga membasahi pahanya yang mulus. Lututnya terluka karena tergesek-gesek karpet yang dibentangkan di bawah kursi saat tubuhnya dipaksa membungkuk sembari terikat di atas kursi ketika ia berulangkali diperkosa.

Badu mengeluarkan sebuah spidol boardmarker warna merah yang biasa digunakan untuk menulis di papan tulis dari kantongnya. Saat itu Anissa masih diperkosa oleh Kemal yang merem melek saat merasakan kontolnya dipijat oleh liang cinta sang dara. Di pipi pantat kiri Badu menulis kata ‘PELACUR’ dengan spidolnya, sementara di pipi pantat kanan ia menulis kata ‘LONTE’, di tengah kedua kata itu, sembari membubuhkan tanda panah ke bawah menuju bibir anus Anissa, ia menulis ‘SILAHKAN MASUK’. Kemal tertawa terbahak-bahak karenanya dan gagal mencapai klimaks, dengan bercanda Ia memaki Badu yang membuatnya kehilangan konsentrasi.

Rasanya seperti tiada akhir, semuanya berlangsung terus dan terus. Penis coklat hingga hitam legam berulangkali berpindah dan bergantian, mengisi mulutnya sampai ia tersedak, membanjirinya dengan air mani di kerongkongan dan wajahnya. Vaginanya sudah bukan barang rahasia lagi karena semua preman di sana telah membanjirinya dengan sperma mereka, jika sampai Anissa hamil, ia tidak akan tahu siapa ayah anaknya karena semua orang ini telah memperkosanya tanpa ampun. Pantatnya yang molek telah diacak-acak dan anusnya begitu perih karena berulangkali disodomi.

Dara itu kini seperti orang lumpuh, tak bisa bergerak dan hanya mampu terkulai pasrah, satu-satunya protes yang kini ia lakukan hanyalah menggeram dan mengerang, tangisnya tak berhenti mengalir sampai kering, ia kini hanyalah boneka mainan yang jadi sumber pelampiasan kebejatan para preman. Bagi mereka, Ia boneka yang hanya pantas diperkosa. Mereka tidak peduli ketika ia tersedak dengan mulut masih mengulum kontol ketika penis lain mendesak memeknya. Mereka tidak peduli ketika mereka bersamaan membanjiri lubang-lubangnya dengan pejuh deras. Mereka adalah binatang buas dan gadis itu tak lebih dari seonggok daging. Parahnya lagi, mereka sering memaksa Anissa membuka mulut untuk mengatakan bahwa ia menikmati perkosaan ini.

“Lonte satu ini suka banget digangbang! Lihat nih, airnya keluar terus! Kamu memang pelacur murahan! Lonte pinggir jalan! Kamu suka disodomi! Kamu suka ngemuk kontol! Kamu nggak bisa hidup tanpa ada kontol di memek! Ayo bilang kamu suka kontol! Ayo bilang!”

“A… aku suka kontol…” desah Anissa lemah. “Aku pelacur… aku lonte… aku suka disodomi… ngemut… kontol… memek… aku…”

“Kamu mau kontolku kan? Ayo bilang kamu suka kontolku!”

“A… aku suka kontolmu… aku mau… aku mohon…”

“Lancrooootkaaan!!” teriak salah seorang preman.

Pemerkosaan bergilir dan berantai ini telah menghancurkan kemurnian pikiran dan tubuh Anissa yang lugu dan indah dengan rasa sakit dan penghinaan. Bertubi-tubi dan bergantian penis demi penis menjajah tubuhnya, menusuk, mendera dan menyakitnya. Satu selesai, diganti yang lain, lalu yang lain lagi, kemudian yang lain lagi, dan lagi, dan lagi, dan lagi… tanpa henti.

Mereka semua memperkosanya satu persatu, bergiliran, bergantian, atau bahkan bersamaan. Mereka menggunakan tubuhnya bagaikan mainan bocah, menindas kesadarannya, membuatnya tersiksa. Mereka menggunakan semua lubang yang ada di tubuhnya, liang cinta, anus, mulut, semua – kadang satu, kadang dua, kadang semua bersamaan. Semuanya digunakan tanpa terkecuali, tanpa henti, tanpa ampun.

Anissa tahu semua lelaki yang ada di ruangan itu sangat menyukai tubuhnya dan gilanya mereka memiliki cara yang berbeda-beda memperlakukannya. Mereka begitu ingin mempermalukan seorang gadis baik-baik yang datang dari keluarga berada yang tidak mungkin mereka dapatkan dengan cara biasa.

Mereka memperkosa dan menghancurkan rasa percaya dirinya, menghancurkan semangat dan mentalnya. Tanpa rasa kasihan mereka menyodominya dengan begitu menyakitkan, membuatnya memuja penis mereka dan membiarkan mereka menyemburkan air mani di bagian tubuhnya yang manapun. Sadis, brutal, merendahkan. Mereka menganggap Anis seperti sampah, seperti pelacur yang bisa digunakan semua lubangnya, seperti pelacur yang mau digangbang oleh pria berkasta rendah, seperti pelacur murahan yang hanya perlu dibayar semurah-murahnya.

Waktu terus berjalan, terus menyayat hati dan nurani Anissa. Tubuhnya yang kelelahan banjir oleh keringat dan cairan cinta yang meleleh dari semua lubangnya. Wajahnya penuh lelehan air mani, rambutnya basah oleh air mani, buah dadanya, selangkangannya, pahanya, kakinya, semuanya basah oleh air mani. Ia terus menerus di-gangbang, depan belakang, atas bawah, mereka silih berganti menggunakan tubuhnya. Ia tidak tahu bagaimana mereka bisa terus menerus mengeluarkan mani dan semangat untuk memperkosanya, ia sudah begitu lemas, lemah dan tak berdaya.

Berkali-kali Anissa merengek supaya mereka berhenti, tapi mereka terus saja memperkosanya dan memompa air mani ke seluruh tubuhnya, seakan tanpa henti. Tanpa sepengetahuan Anis, mereka semua telah minum obat kuat dan pemacu daya tahan tubuh sehingga mampu berbuat seperti ini.

Hingga suatu ketika, Kribo adalah yang terakhir memperkosa Anissa. Kali ini ia sudah tidak bisa lagi mengeluarkan cairan cinta, bahkan penisnya sudah sangat terasa panas. Kawan-kawan lain mentertawakan Kribo yang sudah lemas.

“Payah! Begitu saja letoy!”

“Opo kuwi? Wes ngunu tok? Sudah selesai? Begitu saja?”

Kribo mengayunkan tangan sambil bercanda dan terkekeh. “Aku sudah lelah. Kalian teruskan saja, aku mau ke tempat bos dulu.”

“Payah!”

Kribo kembali terkekeh di antara tawa para preman, ia mengambil celana dan mengenakannya. Preman itu beristirahat sejenak, menenggak bir yang ada di meja dan meninggalkan kawan-kawannya yang masih lanjut mengerumuni Anissa – entah apa yang kemudian mereka lakukan pada gadis malang tersebut. Preman itu melangkah keluar gudang menuju ruang tengah yang ada di rumah samping. Di sana, duduk di sofa yang ada di tengah ruangan sambil menonton sinetron sambil mengocok penisnya, adalah bandot tua pemimpin kelompok preman itu, Pak Bejo Suharso.

.::..::..::..::.

Langkah kaki Udin terasa berat. Kepalanya pun pening.

Menyaksikan apa yang terjadi di dalam gudang membuat hati Udin tersayat pedih, betapa tidak, ia tak menyangka Pak Bejo akan tega memberikan Anissa pada preman-premannya untuk diperlakukan sehina ini. Udin tidak mungkin bisa melawan mereka, dia hanya pemuda tolol yang lemah dan bodoh!

Udin meneteskan air mata saat ia berjalan meninggalkan gudang, betapa tololnya dia mau terjebak ke dalam permainan para preman ini, betapa malunya dia dulu telah memanfaatkan kelemahan Anissa hanya untuk bisa menidurinya. Dia tak akan pernah bisa meminta maaf padanya, pada gadis yang untuk selamanya akan ia cintai. Bagaimana mungkin dia berhadapan kembali dengan Anis setelah apa yang telah ia lakukan? Ia tak akan pernah bisa menatap mata indahnya lagi dengan jenaka. Ia tak akan sanggup bercanda lagi seperti dulu. Ia telah berubah menjadi pria terkutuk yang tak ada bedanya dengan para preman yang kini tengah memperkosanya tanpa ampun!

Apa yang membedakannya dengan para begundal itu? Ia sama menjijikkannya! Bukankah ia mengaku mencintai Anissa? Kenapa ia malah pergi? Kenapa ia tak melindunginya? Anis memang bukan perawan lagi, ia sudah kotor, tapi Udin merasa ia jauh lebih kotor. Dia yang seharusnya melindungi dan menyelamatkan, malah menggali nafsu binatang.

Langkah kaki Udin yang meninggalkan gudang tempat Pak Bejo dan kawan-kawan memperkosa Anis kian terasa berat. Hendak dibawa kemana kaki ini sekarang? Seluruh dunia seperti menatapnya jijik… benar, ia memang menjijikkan. Udin menutup telinga rapat-rapat karena ia tak sanggup mendengar teriakan Anissa yang masih bisa terdengar walau samar.

Wajah cantik Anis yang berkeringat deras, tubuh telanjangnya yang carut marut diperkosa oleh para lelaki buas, pandangan mata indah yang dulu mempesona kini runtuh dan selalu memohon ampun agar semuanya diakhiri… semua yang terjadi pada Anissa menghantui langkah kaki Udin.

Ia memejamkan mata, mencoba melupakan, mencoba mencari terang di hati dan pikiran.

Teriakan itu terdengar lagi…

Ia tak bisa membantu Anissa. Ia tak bisa…

Wajah Anissa yang mengajaknya makan siang di kampus terbayang dengan manis dan lembut…

Ia tak bisa membantu Anissa. Tak bisa…

Suara mesra Anissa saat memanggil namanya tak akan pernah ia lupakan…

Anissa… Anissa!

Batin Udin bergejolak, perasaannya… perasaannya pada Anis…

Ini semua salah! Semuanya salah! Kenapa ia malah pergi? Kenapa ia justru lari?!! Ada yang harus dia lakukan! Ada sesuatu yang bisa ia lakukan untuk Anissa! Ada yang bisa membuatnya kembali menjadi manusia! Batinnya.. perasaannya… semua meyakinkan Udin kalau dia tidak akan pernah sanggup dan tega meninggalkan Anis di dalam sana, menjadi mangsa para pria menjijikkan yang memanen keindahan tubuhnya.

Ia tidak sanggup.

Ia tidak boleh seperti ini…

Ia bukan orang seperti mereka!

Ia tidak dididik menjadi orang tidak bermoral seperti mereka!

… apa yang telah dia lakukan? Apa yang telah membuatnya sesat?

Masih ada waktu!

Ia memang telah kotor, tapi ia masih bisa menyelamatkan Anis. Ia masih bisa! Ia yakin masih bisa! Persetan dengan bajingan tengik seperti Pak Bejo dan kawan-kawannya! Udin tahu apa yang terbaik dan yang terbaik adalah menyelamatkan Anissa! Seandainya ini semua membuatnya harus masuk bui, tapi ia tahu mana yang baik dan mana yang buruk!

Masih ada waktu! Masih ada waktu!

Udin berlari sekuat tenaga.

Masih ada waktu!

.::..::..::..::.

“Halo, Bos? Baru sibuk?” kekeh Kribo yang menangkap basah Pak Bejo bermasturbasi.

Pak Bejo cuek sembari melanjutkan ‘pekerjaannya’ tanpa merasa risih sedikitpun. “Percayalah, nak. Ariel Tatum ini hot banget. Sekali waktu pengen juga nidurin dia. Kebetulan aku ada teman yang bekerja di bidang foto artis di studio Naga Langit, pernah dengar? Dia biasa menjebak artis-artis dengan obat bius di minuman untuk membuat mereka pingsan dan mengambil foto mereka saat telanjang. Setelah itu memaksanya bercinta dengan ancaman akan menyebarkan gambar ke internet, saudara, orang tua dan teman.”

Kribo menganggukkan kepala setuju saat ia melongok ke TV, Ariel Tatum yang seperti hanya mengenakan kemeja warna putih tanpa celana memang tidak bisa dilewatkan, tapi gadis yang ada di gudang juga tidak kalah hot. “Bos. Sepertinya cewek itu sudah mau pingsan, yakin tidak mau ambil bagian?” tanya Kribo pada Pak Bejo yang awalnya cuek.

“Gila kalian, aku kira sudah berhenti sejak tadi sore. Sudah berapa jam kalian perkosa dia?”

“Cukup lama juga, kami tidak menghitung waktunya.”

“Wasu. Lha bisa mati lah. Bagaimana keadaannya?”

“Sejauh ini masih sadar, tapi dia sudah di ambang batas.” Kata Kribo, “kalau Bos mau pakai, sekarang saatnya. Mumpung cewek itu masih sadar.”

“Baguuuus!” Pak Bejo memasukkan batang zakarnya ke celana, bangkit dari kursinya dan berjalan menghampiri Kribo, ia menepuk bahu anak buahnya itu dengan bangga, “gadis itu komoditi bagus yang bisa dijual kemana saja, jangan biarkan ia sakit, pingsan berlebihan apalagi mati. Layani dia dengan layak setelah ini, aku tidak ingin punya budak seks yang kurus kering karena kelaparan dan kedinginan. Aku ingin dia tetap seksi dan montok.”

“Siap, Bos.”

“Tapi saat ini kontolku juga sudah tidak tahan ingin masuk lagi ke memek sempit lonte sialan itu.”

Kribo tertawa, “silahkan saja dipakai, bos. Kami semua sudah mencicipi.”

“Ya… ya… kamu kembalilah dahulu ke gudang, nanti aku susul.”

“Siap, Bos.”

Saat kakinya hendak melangkah keluar, Kribo jadi teringat sesuatu.

“Si Udin kemana, Bos? Kok tidak kelihatan?”

“Mana aku tahu?! Dia tidak menyusul kalian?

“Tidak Bos, dia tidak kelihatan sejak awal.”

“Ah, paling-paling dia ke WC. Dia kan pecundang, takut lihat ceweknya kalian perkosa habis-habisan. Sudah, nanti juga dia datang lagi minta jatah. Kamu balik saja ke gudang.”

“Siap, Bos.”

Kribo pun melangkah keluar, namun ia beristirahat sebentar di luar gudang. Preman sadis itu sempat menghabiskan sebatang rokok sebelum kembali ke dalam. Semua kawannya duduk bermalas-malasan di dalam, beberapa sudah mulai memakai baju, yang lain sedang membersihkan kemaluan mereka menggunakan pakaian yang diambil dari tas milik Anissa. Beha dan celana dalam menjadi kain pembersih favorit mereka.

Hampir semua orang yang ada di situ menatap ke arah si cantik yang tak berdaya. Tubuhnya yang sudah carut marut karena diperlakukan dengan kejam masih terikat di kursi, pantatnya masih tersumbat dildo yang terus menerus bergerak karena baterainya tidak dimatikan dan cairan cinta yang bercampur melekat hampir di semua bagian tubuhnya. Entah darimana dildo itu berasal, Kribo tak tahu – tahu-tahu ada saja. Melihat kondisi sang gadis, preman itu sedikit merasa iba melihat seorang wanita bisa diturunkan derajatnya seperti ini.

Suara erangan yang keluar dari mulut Anissa mengingatkan Kribo sewaktu mereka menggilir mulut mungil Anis dan menyemprotkan air maninya ke wajah si cantik itu. Kini hampir seluruh wajah Anissa tertutup oleh masker mani yang belepotan. Dia hampir tak bisa dikenali. Satu desahan pelan dan lembut keluar dari mulutnya, sedikit terdengar seperti menggelembung karena masih adanya mani yang tersimpan di mulut. Bibir kemaluan Anis kini berwarna merah terang, terbuka dan membengkak dengan cairan cinta meleleh dari semua bagian dan menetes hingga lantai.

Kribo berjalan mendekat dan memegang rantai anjing yang mengikat leher Anissa. Wajah gadis itu sudah tidak karuan lagi, penuh air mani dan terlihat pucat tanpa nyawa. “Kamu kelihatan cantik, sayang. Beginilah seharusnya seorang lonte terlihat.”

“Demen bange lihat seorang lonte diperlakukan seperti ini,” kata Pak Bejo saat ia melangkah masuk ke ruangan, ia melepas celananya, meletakkannya di sebuah meja dan berjalan menuju Anis yang wajahnya berantakan. Kribo menarik rambut Anis agar si cantik itu menengadah melihat Pak Bejo.

“Sepertinya seseorang baru saja main kuda-kudaan sampai puas,” goda Pak Bejo tanpa perasaan, “kamu malah sekarang kelihatan kayak babi yang baru saja mainan lumpur, anak manis. Kotor banget!”

Anissa tak bergeming, ia memang sudah tak mau dan tak bisa lagi melawan. Ia sudah tidak peduli apa kata dan perbuatan mereka.

“Kalau saja dulu kamu bisa lihat apa jadinya kamu yang sekarang ya, manis?” gelak Pak Bejo. “Itu akibatnya kalau kamu berusaha lari dariku. Kamu hanya akan menjadi lonte murahan yang diperkosa beramai-ramai oleh orang-orang rendahan seperti anak buahku. Kamu jadi sesosok tubuh tanpa jiwa yang hanya tahu gimana itu ngewe dan buka kaki lebar-lebar buat jalan masuk kontol!”

Sembari mengoleskan sejumlah besar air mani yang ditumpahkan ke wajah Anissa dengan kemaluannya sendiri, Pak Bejo menggoda gadis muda yang malang itu, “kamu ini kalau makan sering belepotan. Biar aku bantu.”

Jabrik, Badu dan Kribo semuanya maju untuk melihat.

Tanpa merasa jijik, dengan menggunakan penisnya yang mengeras seperti kayu layaknya sebuah sekop, Pak Bejo mengumpulkan air mani yang ada di wajah Anissa dan melesakkannya masuk ke dalam mulut mungilnya yang terbuka lebar. Tegukan demi tegukan terdengar saat Anis menelan semua pejuh yang masuk ke mulutnya. Terakhir sekali sembari memegang kepala Anissa, Pak Bejo melesakkan penisnya ke dalam mulutnya.

Tanpa mempedulikan bagaimana kondisi Anissa, Pak Bejo berpikir dengan santai, seperti orang yang tanpa dosa. Lihat saja saat ini, seorang wanita yang teramat molek dan seksi ada dalam kuasanya, dia bisa melakukan apa saja dengan gadis ini, termasuk mengisi mulutnya dengan penisnya yang gemuk tanpa perlawanan sama sekali.

Untuk beberapa lama, Pak Bejo memperkosa mulut Anissa sampai ia mencapai puncak kenikmatan. “Buka matamu lebar-lebar, anak manis. Aku ingin melihat matamu yang indah saat aku mengucurkan pejuhku.”

Anissa membuka matanya perlahan, namun susah sekali karena dia sangat lemah. Anis hanya bisa membuka sebelah matanya.

“Ini dia!!” raung Pak Bejo sekuat tenaga. Tubuhnya bergetar saat ia merasakan sendiri luncuran cairan mani melesat dari dalam tubuhnya ke dalam mulut si cantik itu. Sekali lagi, cairan cinta meleleh dari pinggir bibir Anissa, menetes hingga turun hingga ke dagunya.

Anissa ambruk dengan lemah karena kelelahan.

“Kita akan bersama selamanya, lonteku yang cantik. Aku akan menggunakan memekmu setiap malam tanpa henti, aku akan membawa serta teman-temanku biar mereka juga bisa memakai semua lubangmu. Intinya, apapun yang aku minta, kamu akan lakukan dengan sepenuh hati.” Kata Pak Bejo yang menginginkan agar Anissa menjadi budak seksnya.

Dengan kondisinya yang sudah seperti ini, apa gunanya melawan dan menolak? Anissa sudah terlampau lemah.

“Anak manis, aku ingin mendengar kau mengulang kata-kata yang tempo hari kau ucapkan saat kita bercinta…” bisik Pak Bejo di telinga Anissa sambil mengarahkan hapenya ke wajah mereka berdua. “…dan jangan lupa tersenyum saat mengatakannya.”

Anissa yang sudah tak berdaya berusaha untuk membuka mata tapi susah sekali. ia hanya bisa berkata pelan, “A-aku mencintaimu, Pak Bejo.”

Bejo Suharso, preman dan pemerkosa itu tertawa terbahak-bahak diikuti oleh kawanannya. Tingkah laku mereka mirip serigala yang meraung bersamaan di bawah cahaya bulan penuh yang menerangi langit malam.

Pak Bejo yang keji puas.

Ya, dia puas!

Dia sangat puas!

.::..::..::..::.

Seperti hari-hari biasa, suasana perpustakaan kampus X sangat tenang siang itu. Sebagian mahasiswa yang berada di sana sibuk mencari bahan untuk kuliah atau skripsi. Satu diantaranya adalah seorang gadis cantik berambut panjang yang diikat ekor kuda. Kulitnya yang putih dan wajahnya yang berbinar membuat gadis ini gampang dikenali dari kejauhan, apalagi dia lumayan populer di Instagram sehingga dengan follower yang teramat banyak sehingga sering malang melintang di timeline. Beberapa pemuda sengaja masuk ke perpustakaan hanya untuk duduk di dekat si cantik ini.

Namun wajah itu kini begitu serius, selain mencoba menyalin beberapa bagian keterangan dari buku yang ia baca, ia juga nampak sangat sedih. Satu pikiran menggelayut di benaknya dan terus menganggu tak mengijinkannya berkonsentrasi. Gadis yang sedang membaca itu bernama Aprilia Ussy Indriani, panggilannya Ussy, sahabat Anissa.

Sebagai seorang sahabat, Ussy benar-benar khawatir dengan keberadaan Anis yang hingga kini masih belum diketahui ada di mana. Anis nampak begitu berbeda dan aneh akhir-akhir ini sehingga beribu pikiran buruk membuat Ussy gelisah. Terlebih lagi ketika terakhir kali mereka bertemu, Anis juga tidak pernah lagi pulang bersama Dodit sang tunangan. Apa gerangan yang membuat Anis menjadi seperti ini? Rahasia besar apa yang ia sembunyikan?

Ussy mendesahkan nafas yang amat panjang, dia tidak bisa berbuat apa-apa lagi kecuali berharap ada yang menolongnya dengan memberitahukan keberadaan Anis. Keluarga Anis sudah menghubungi pihak yang berwenang sehingga mereka semua hanya bisa berharap. Ada di mana sebenarnya Anissa?

Saat Ussy menghela nafas untuk yang kedua kalinya, tiba-tiba pintu perpustakaan terbuka lebar dengan kerasnya, mengagetkan semua orang yang ada di dalam. Petugas perpustakaan pun bangkit dari duduknya dan menghardik marah, “siapa itu yang masuk ribut-ribut? Ini perpustaka…”

Belum selesai kata-kata sang petugas perpustakaan, sesosok tubuh lunglai berlari ke arah Ussy. Semua yang di dalam makin kaget karena mereka mengenal sosok yang sangat kumuh, kotor, berdebu dan berkeringat deras ini, bukankah ini Udin?

“Cepat… cepat… kita… harus… menolong… menolong… Anis… cepat…” kata Udin dengan suara patah-patah pada Ussy.

Suasana di sana langsung gempar. Banyak orang yang mengenali Udin dan Ussy mendekat untuk mencari tahu, mereka bertanya-tanya apakah yang sedang terjadi? Kenapa Udin masuk ke perpustakaan dengan cara seperti ini?

“Apa maksud kamu, Din?”

Ussy mengernyitkan dahinya sembari menutup buku yang ia baca. Detak jantung Ussy berdebar dengan kencang. Penampilan Udin kacau balau dan berantakan. Dia juga sangat bau seperti sudah beberapa hari tidak mandi namun justru itu yang membuat Ussy penasaran, dia tahu pasti Anis sudah beberapa hari ini menghilang - kalau memang Udin tahu sesuatu tentang itu…

“Anis… dia… Anissa… dia… dia… aku tahu dimana dia…” mulut Udin yang masih megap-megap mencoba mengeluarkan kata yang dia inginkan walaupun seluruh kalimat seperti tercekat di dalam tenggorokannya, terasa berat sekali rasanya berucap. Betapa Udin seperti ingin membatukkan apa yang ada di dada, menumpahkan semua kata. Dia orang jahat, dia orang busuk, dia telah membuat Anis menderita, tapi dia tidak akan membiarkannya lama-lama, dia harus menyelamatkan gadis yang sangat ia cintai itu… “cepat… cepat… selamatkan Anis…”

Udin ambruk dengan lemas ke lantai, mengagetkan Ussy yang langsung menjerit, mengagetkan semua orang yang ada di sana.

“Udin? Kamu kenapa, Din? UDIN?!! UDIIIN!??? Tolooong! Toloooong!!”

Suara panik Ussy menggema di perpustakaan itu.

.::..::..::..::.

Anissa semakin tenggelam dalam khayal yang dalam, daya pikirnya mulai kabur, tubuhnya sudah tak bisa dikendalikan lagi. Ia bisa merasakan detak jantungnya sendiri melemah dan tarikan nafasnya kian tipis. Ia bahkan tak mampu lagi mengeluarkan suara selain erangan, ia sudah benar-benar tidak kuat lagi bertahan.

Mungkinkah sebentar lagi ia akan mati?

Mungkin lebih baik begitu, daripada hidup dengan semua noda yang tersemat pada dirinya.

Tubuhnya yang lemah terbaring tanpa daya di tikar, sementara kelompok preman Pak Bejo beristirahat di sekeliling Anissa, menunggu kembalinya nafsu mereka untuk meneruskan pemerkosaan terhadap gadis malang itu. Mereka duduk dan bercanda sambil bermain kartu, minuman keras dan makanan kecil ditebarkan begitu saja di sekitar gudang.

“Kalian sudah capek? Aku ngewe lagi, ya? Gadis satu itu memang cantik, cuma istirahat sebentar sudah bisa bikin naik lagi.” Pak Bejo tertawa melihat penisnya kembali menegang hanya dengan melihat Anissa yang telanjang terbaring tanpa daya, kawan-kawannya pun tertawa dan mempersilahkan pria tua itu menikmati kembali nikmat liang cinta Anissa.

Pria tambun berwajah buruk itu berdiri dan melangkah menuju si gadis malang. Baru tiga langkah ia berjalan, tiba-tiba pintu depan dibuka dan cahaya terang lampu senter menyorot wajahnya! Siapa yang membuka pintu? Sejak kapan pintu itu tidak dikunci?

“Hei! Siapa nih main-main?” teriak Pak Bejo marah. “Tutup lagi, monyet!”

Sambil mengejapkan mata, Pak Bejo mencoba melihat siapa yang dengan kurang ajar menyorotkan lampu senter ke arahnya. Pria tua itu makin jengkel karena orang itu hanya berdiri saja di pintu tanpa menjawab, dari sosoknya, orang itu adalah seorang lelaki bertubuh kurus. Lampu senter yang disorotkan pria itu akhirnya dimatikan dan Pak Bejo bisa melihat siapa sebenarnya yang telah datang.

Preman tua itupun terbelalak melihat siapa yang baru saja datang!

Ia tak percaya ini! Bagaimana mungkin?!!

Pak Bejo pucat pasi. Wajah itu… adalah…

…Paidi!!

“Wasuuuuu! Berani-beraninya kowe muncul di sini!” maki Pak Bejo marah, ia berbalik meninggalkan Anissa, mengambil sebatang kayu yang ada di lantai dan membawanya untuk menghadapi Paidi.

Pria tua bejat itu tidak tahu bagaimana Paidi bisa menemukan tempat ini ataupun bagaimana orang itu bisa datang di saat yang tidak tepat, tapi dia berniat mengakhiri kesombongan sang mantan napi itu sekali untuk selamanya! Pria gemuk itu berkacak pinggang menantang Paidi. Bisa apa si kurus kering ini di hadapan Kribo, Yono, Wewengko dan yang lain?! Mereka akan mengeroyoknya sampai mampus! Biar tahu rasa dia!

Penuh kegeraman, Pak Bejo mengancam. “Malah justru bagus kalau kamu datang! Kami akan beri pelajaran supaya tidak lagi jadi duri dalam daging!”

Badu, Jabrik dan Kribo yang tempo hari dihajar Paidi berdiri di belakang Pak Bejo dengan wajah penuh amarah, mereka juga punya dendam yang harus dibayar lunas!

Paidi tersenyum sinis, wajahnya tenang dan ia tak mundur selangkah pun menghadapi Pak Bejo dan preman-premannya. Ia membuka pintu lebih lebar dan berjalan masuk ke dalam dengan jumawa. Di belakang sang pria kurus, muncul deretan pria-pria kekar yang berwajah garang, jauh lebih garang dari Pak Bejo dan kawanannya!

Satu orang masuk, dua, tiga, empat orang, lima, enam… berapa sebenarnya jumlah mereka? Susul menyusul orang berwajah kekar masuk ke gudang dan menatap marah kawanan Pak Bejo!

Ketika orang terakhir masuk, Pak Bejo akhirnya sadar jumlah lawan mereka lebih dari dua puluh orang dan tidak ada yang menatap ramah. Dari ukuran tubuh, kawanan yang dibawa Paidi jauh lebih besar dan kekar dibanding kawanan Pak Bejo.

Kawanan preman anak buah Pak Bejo yang sebagian masih telanjang buru-buru memakai celana dan menatap gentar menghadapi rombongan orang berwajah garang yang baru saja datang. Mereka mundur teratur, apa-apaan ini? Siapa mereka? Siapa yang diajak Paidi datang ke sini?

“Perkenalkan, ini kawan-kawanku saat masih di penjara dulu, Pak Bejo.” Kata Paidi tanpa ekspresi. “Kami ke sini dengan sopan untuk mengambil kembali Anissa. Kami tidak membutuhkan persetujuan atau apapun darimu, dan akan mengembalikan gadis itu pada keluarganya.”

Pak Bejo hendak membuka mulut, tapi Paidi sudah mengangkat jari telunjuknya ke atas.

“Oh dan satu lagi. Kami tidak akan mengampuni kalian setelah apa yang kalian lakukan terhadap neng Anissa, itu sudah pasti. Kalian tuntas malam ini.”

Walaupun mendengar namanya disebut, Anissa hanya mengerang tak berdaya saat melihat kedatangan Paidi, ia sudah terlalu lemah untuk mengetahui apa yang terjadi. Ia juga hanya bisa mengerang saat teman-teman Paidi menyerang Pak Bejo sambil mengeluarkan suara nyaring yang nyaris memekakkan telinga. Tak lama kemudian terdengar suara gaduh disusul jeritan kesakitan yang menyayat. Kaki dan tangan yang patah, darah para pemerkosa berceceran kemana-mana. Entah kenapa, suara teriakan minta ampun dari Pak Bejo, Kemal, Yono, Wewengko dan yang lain terdengar menyenangkan bagi gadis itu.

Paidi mendekati Anissa, melepaskannya dari ikatan dan memberikan jaketnya untuk menutup tubuh telanjang gadis itu.

“Semua sudah aman. Tenang saja, kami datang untuk menyelamatkanmu.” Dengan menggunakan kain handuk kecil, Paidi membersihkan wajah Anissa agar ia bisa lebih mudah bernafas. “Mas Dodit, Bu Alya dan yang lain ada di depan menunggu kita.”

Anissa hanya bisa mengeluarkan erangan pelan dan meneteskan air mata kembali.

Kembali Paidi berbisik, “Semua sudah aman sekarang.”

Anissa memejamkan mata dan tersenyum.

.::..::..::..::.

Paidi dan Dodit membawa Anissa meninggalkan gudang dan meletakkannya di ruang tengah rumah sebelah gudang, mereka mengistirahatkan gadis malang itu di sebuah sofa panjang. Alya, Lidya dan Ussy langsung menangis melihat kondisi Anissa yang mengenaskan. Mata Anis terbuka tapi pandangannya jauh seperti tak sadarkan diri, nafasnya satu dua dan dari mulutnya hanya keluar erangan yang tak jelas.

Ussy mengeluarkan tissue dan langsung membersihkan bagian tubuh sahabat karibnya yang kotor dan basah. Alya dan Lidya ikut membantu. Tangan Anissa terkulai lemas, wajahnya sayu dengan cairan mani berlumuran di sekujur tubuhnya. Dodit terus menerus menciumi dahi Anis yang telah bersih dan mendekapnya hangat. Ia juga terus berusaha mengajak bicara tunangannya itu tapi Anissa tak menjawab sepatah katapun.

Paidi membungkuk untuk memeriksa Anis, ia memeriksa mata, detak jantung dan luka-luka yang mungkin diderita tunangan Dodit itu.

“Bagaimana dia?” tanya Dodit.

“Keadaan Neng Anissa cukup parah, kita harus membawanya ke rumah sakit, segera.” Jawab Paidi saat melihat kondisi Anissa yang menyedihkan, “kawanan preman itu memperkosanya tanpa ampun. Seandainya kita terlambat datang, mungkin saja ia bisa mati.”

“Pak Bejo memang bajingan!” maki Lidya marah.

Alya segera mengeluarkan kunci mobilnya, “Ini pakai mobilku saja. Akan terlalu lama kalau menunggu mobil ambulance datang, apalagi rumah sakit tidak jauh kalau kamu ngebut. Kami akan baik-baik saja karena orang-orang sialan itu sudah tidak berdaya, apalagi polisi sebentar lagi juga datang. Mas Paidi tolong antar Dodit, Ussy dan Anis ke rumah sakit.”

“Baik, Bu. Saya akan jemput Bu Alya dan Bu Lidya setelah menurunkan Neng Anissa.” Jawab Paidi.

Sambil menunggu Anissa diberi pakaian layak seadanya dan dipersiapkan menuju rumah sakit, Paidi berlari menghampiri kawan-kawannya yang masih duduk menjaga kawanan Pak Bejo. Semua kawanan Pak Bejo sudah tak berdaya, mengerang kesakitan karena dikeroyok. Mereka terkulai di lantai dengan wajah babak belur bahkan ada yang patah tulang.

“Aku tidak bisa berjaga berlama-lama, harus mengantarkan Neng Anissa ke rumah sakit. Kalau boleh minta bantuan sekali lagi, aku harap kalian bersedia jaga di sini sampai nanti polisi datang, pastikan tidak ada satu bajingan pun yang lolos.” Kata Paidi.

“Jangan khawatir. Kamu jaga diri. Begitu polisi datang, kami pergi.” Seorang pria berkulit gelap, berwajah burik dan berusia sekitar empatpuluh tahun menjawab.

“Terima kasih Mas Wakidi dan yang lain… terima kasih banyak atas bantuan kalian,” kata Paidi. Kawan-kawan Paidi menepuk pundaknya seakan berterima kasih, selama ini, Paidi selalu membantu mereka tanpa pamrih, ini saatnya bagi mereka untuk membalas jasa.

“Kapan saja butuh bantuan, hubungi kami lagi.” kata orang yang bernama Wakidi. Ketika Paidi hendak beranjak pergi, Wakidi yang kikuk menahan sebentar. “Anu… tapi… aku sebenarnya mau sekalian pamit. Teman-teman yang lain mungkin bisa membantu menjaga orang-orang sialan ini untuk beberapa saat ke depan, tapi kami berenam harus segera pergi karena.. kamu tahu sendiri status kami masih pelarian. Kami tidak bisa bertemu polisi.”

“Kemana kalian akan pergi?” tanya Paidi lagi sambil melihat lima orang yang berdiri gelisah di belakang Wakidi karena takut polisi akan segera datang. Dia tidak begitu mengenal mereka sebaik Wakidi. Kalau tidak salah nama mereka Rustam, Asep, Bagong… dan ia tidak kenal yang lain.

“Entahlah, kami berpikir akan pergi ke pantai dan pergi ke pulau lain.”

Paidi mencabut dompetnya dan menarik secarik kertas bertuliskan nama dan alamat seseorang. “Ini alamat temanku, dia tinggal di pantai dan sudah berjanji akan memberikan kapal gratis untuk aku seandainya aku minta, dulu aku pernah membantunya hingga dia bisa bebas dari penjara. Kalian bisa kesana dan mengambil kapal yang dia janjikan itu.”

Wakidi mengambil kertas itu dan mengangguk-angguk sambil mengucapkan terima kasih, matanya berkaca-kaca. “aku tidak tahu apa yang bisa kami beri…”

“Sudah, yang penting kalian semua selamat. Berhati-hatilah, semoga kalian mendapatkan yang terbaik. Jangan lagi berbuat jahat.” Kata Paidi sambil berlari. Ia menengok ke belakang dan tersenyum pada Wakidi, “cuaca laut sedang buruk, hati-hati.”

Wakidi mengangguk dan tersenyum.

Dodit dan Paidi segera bergegas membopong Anissa yang sangat lemah ke mobil diikuti oleh Ussy yang datang membantu. Alya dan Lidya hanya bisa melihat dengan pandangan iba, kedua kakak beradik itu berpelukan. Air mata tak berhenti menetes dari pelupuk mata mereka. Kasihan sekali nasib Anissa. Alya tak mengira Pak Bejo bisa sekejam ini.

Seperempat jam setelah mobil Alya pergi membawa Anis meninggalkan gudang tua, beberapa mobil polisi datang.

.::..::..::..::.

Raungan sirene polisi mengaung tanpa henti. Masyarakat sekitar yang penasaran apa yang terjadi bergerombol di sekitar gudang tua tempat Pak Bejo menyekap Anissa. Tanpa tahu permasalahan, satu dua orang warga nekad maju untuk sekedar memukul satu persatu anggota gang preman yang sedang digiring masuk ke dalam truk untuk dibawa ke kantor polisi.

Pak Bejo, Jabrik, Badu, Yono, Kemal dan Wewengko semua tertangkap. Hanya Kribo yang tak terlihat, entah dimana dia berada. Sepertinya dia berhasil meloloskan diri.

Polisi sebenarnya datang terlambat karena anak buah Pak Bejo semua sudah babak belur setelah dihajar teman-teman Paidi. Saat sirene polisi datang, teman-teman Paidi lari dan berpencar karena ada sebagian dari mereka yang hanya bebas bersyarat, kalau sampai tertangkap tangan sedang main hakim sendiri, mereka bisa masuk bui kembali. Saat kawanan Pak Bejo ditangkap polisi, hanya ada sekitar empat belas orang tersisa.

Pak Bejo digiring terakhir, walaupun sudah tertangkap dan diborgol, sifat arogannya masih terlihat dengan senyum sinis yang tak pernah hilang dari wajahnya.

Dengan darah yang mengucur dari pelipis dan mata yang sembap, orang tua bejat itu kesulitan menggunakan indera penglihatan, Pak Bejo memicingkan mata untuk melihat dua sosok yang sudah sangat ia kenal.

Sang durjana bejat bertatapan mata dengan Alya dan Lidya yang melihat kearahnya dengan raut wajah emosional, marah dan jijik. Pria tua yang tangannya sudah diborgol itu malah tertawa. Meskpun sedang digiring oleh beberapa orang polisi, Pak Bejo masih sempat mendekati Alya dan Lidya, para polisi itu langsung mengencangkan pegangan mereka.

“Ini belum berakhir. Semua belum berakhir. Lihat saja nanti! Aku pasti kembali!” tawanya yang serak terdengar parau dan tidak nyaman didengarkan. “Kamu akan melayaniku lagi dengan penuh kepatuhan... karena memekmu yang legit itu tak akan bisa lagi dipuaskan oleh kontol lain selain kontolku.” kata Pak Bejo pada Alya, ia melirik ke arah Lidya, “...dan kamu...”

Belum sempat ia mengucapkan sepatah kata, tamparan Alya sudah datang.

Plaaaaakkk!

Alya menggelengkan kepala. “Tidak. Semua sudah berakhir. Kamu akan membusuk di penjara, bajingan jahanam! Jangan pernah mengancam adikku dan keluargaku yang lain! Karena kalau kamu keluar nanti – akan kupastikan kamu langsung dikebiri, bajingan!”

Pak Bejo tertawa terbahak-bahak.

Pak Bejo menundukkan kepala ketika dia digiring ke mobil polisi, beberapa orang yang berkumpul di tempat itu memaki-makinya, beberapa bahkan sempat melayangkan pukulan ke arah kepala dan tubuh Pak Bejo. Wajahnya juga masih berbilur-biru karena sempat dihajar Paidi tadi.

Di kejauhan, dua sosok manusia sama-sama mengepulkan asap rokoknya dengan tenang. Mereka tahu apa yang terjadi dan mereka sebelumnya juga sudah memperingatkan Pak Bejo. Kalau ada apa-apa yang terjadi sekarang, itu jelas di luar tanggung jawab mereka. Mereka juga tidak takut akan diseret oleh Pak Bejo ke pengadilan karena keduanya sudah menyiapkan alibi yang sangat kuat dengan bantuan teman-teman mereka. Kalau Pak Bejo jatuh, maka dia harus jatuh sendiri. Itu resiko yang sudah dia ambil karena tidak mengikuti anjuran mereka.

Dua orang itu adalah Imron dan Pak Kobar.

“Kita pergi sekarang?” tanya Pak Kobar.

Imron melepas rokok yang ia hisap, dilempar ke tanah dan menginjaknya pelan. Pria buruk muka itu mengangguk dan tersenyum lebar pada Pak Kobar. Dia sudah punya rencana baru untuk membuat kampus menjadi mimpi buruk bagi seorang dosen cantik. “Pak Kobar kenal Bu….”

Percakapan mereka tak terdengar lagi begitu mereka berbalik dan berjalan menuju kegelapan. Setelah beberapa saat hanya siulan Imron yang terdengar lamat-lamat.

Keduanya hilang ditelan malam tanpa seorangpun melihat keberadaan mereka.

.::..::..::..::.

.: BEBERAPA MINGGU KEMUDIAN :.

Dina menguap sambil meletakkan novel yang baru ia baca di atas meja di samping kursi santainya, capek sekali rasanya beberapa hari ini. Apa sebaiknya tidur saja? Besok ada janji dengan seorang klien penting yang harus ia dapatkan kontraknya sehingga ia harus bangun pagi-pagi sekali agar tidak terkena macet di jalan.

Si cantik itu melirik ke jam dinding.

Mungkin memang lebih baik tidur saja sekarang, apalagi suami dan anak-anak juga sudah terlelap jauh lebih awal dan para pembantu sudah kembali ke kamar masing-masing.

Sebelum beranjak untuk mematikan lampu, mata Dina menatap layar televisi yang belum ia matikan, saluran berita sedang menayangkan sebuah kasus kriminal. Dina berhenti sebentar untuk menyaksikannya.

“Hari ini, seorang dosen ternama dari Fakultas X Jurusan X Universitas X, sebut saja namanya Dn (xx tahun) ditemukan tewas dirumahnya di kawasan X, pria setengah baya ini diduga keras meninggal dunia karena bunuh diri karena tidak nampak adanya tanda-tanda penganiayaan dan meninggal dengan cara gantung diri. Saat ini polisi masih terus melakukan olah TKP untuk mendapatkan keterangan yang lebih lengkap.

Almarhum meninggalkan seorang istri dan dua orang anak yang masih bersekolah yang pada saat kejadian sedang tidak berada di rumah karena berlibur di Bali. Selain surat wasiat, Dn juga meninggalkan sepucuk surat pendek yang berisi permohonan maaf karena telah menyakiti perasaan sang istri dan mengaku tidak sanggup menahan beban dan dosa lebih lama lagi.

Berdasarkan penelusuran ke pihak akademik, almarhum diduga keras terkait dengan skandal joki tes masuk Universitas X yang akhir-akhir ini merebak di media massa dan merugikan para korban hingga ratusan juta rupiah. Pihak universitas konon sudah melayangkan surat resmi pemanggilan pertanggungjawaban sekaligus pemecatan kepada almarhum namun sebelum sidang dimulai, Dn sudah melakukan bunuh diri, hal ini makin menguatkan…”

Dina menggelengkan kepala. Aneh-aneh saja sekarang ini, dosen terkenal kok jadi joki, eeh begitu dipanggil untuk pertanggungjawaban malah bunuh diri. Bukankah itu sama saja mengakui perbuatannya? Lagipula seorang akademisi yang terhormat kok mau-maunya dia jadi joki yang paling-paling tidak seberapa besar dapat persennya? Udah gitu bunuh diri pula, benar-benar pengecut yang tidak bertanggungjawab.

“Mama Dina sudah makan?”

Terdengar kata-kata lembut dari pintu yang terbuka. Dina tersenyum melihat Dudung membawakan roti tawar yang dioles dengan selai nanas yang berantakan dan segelas susu dingin. Dia pikir tadi suaminya sudah tidur, Dina pun segera mematikan televisi.

“Belum. Mau makan sama-sama?” Dina berbohong, dia tadi sebenarnya sudah makan malam, tapi ia tidak tega menyaksikan Dudung memberinya perhatian berlebih dengan membuatkan roti dan membawakan susu. Dengan gerakan elegan Dina melangkah ke arah Dudung dan mencium bibirnya dengan lembut.

“Kita makan sama-sama yuk.”

Dina menggandeng Dudung yang tersenyum untuk duduk di meja. Dina tak peduli lagi seberapa larut malam ini.

Mereka berdua makan bersama.

Mereka berdua tertawa bersama.

BERSAMBUNG ...
 


Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Categories

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.
You will be redirected to the script in

seconds

BTemplates.com

Blogroll

About

Copyright © Cerita Panas | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com