𝐌𝐚𝐲𝐚, 𝐈𝐬𝐭𝐫𝐢𝐤𝐮 𝐄𝐩𝐢𝐬𝐨𝐝𝐞 𝟎𝟏

 


Namaku Gandi Indrawan Oktavio, tapi aku sering dipanggil dengan nama Gio. Umurku 30 tahun dan sekarang merintis bisnis milik ayah mertuaku, yaitu bisnis padi di sebuah perdesaan. Ayahnya mempercayakan pekerjaan ini kepadaku karena aku memang ahlinya menangani pekerjaan ini. Terdengar remeh, tapi saat panen nanti, mau untung atau pun rugi, angka nol pada gaji ku sanggup membuat rakyat miskin jantungan dibuatnya.

Di umur 30 tahun pas ini, aku tentu saja sudah berkeluarga. Seperti yang kusebutkan, aku mempunyai istri dan seorang anak laki-laki yang baru berumur 1 tahun.

Nama anakku Dimas Oktavio, dia seperti anak bayi pada umumnya. Punya 2 telinga, 2 lubang hidung, punya 1 mulut dan punya penis kecil yang sungguh imut. Tenang, Nak. Dewasa nanti penis mu itu akan perkasa dengan sendirinya.

Tak akan ada Dimas kalau tidak ada yang melahirkannya.

Dia adalah Maya, istriku, umurnya 27 tahun. Nama lengkapnya Maya Estaviani. Dia keturunan Chinese, wajahnya terlihat oriental, cantik dan manis. Maya sangat menjaga bentuk tubuhnya, meski pun istriku ini sudah mempunyai 1 anak.

Ukuran payudara nya 36c cup. Pinggulnya mengalahkan bentuk biola atau gitar Spanyol mana pun. Dia juga memiliki sesuatu yang di idam-idamkan pria mesum yang ada di Internet, karena Maya memiliki puting payudara berwarna pink (merah muda), sebuah warna yang elok nan menggoda. Terlebih lagi payudaranya itu sudah bisa memproduksi susu, sehingga terkadang aku meminta ‘Jatah Susu’ setelah Maya memberikan susunya kepada Dimas.

Yah, aku pria yang beruntung.

Akan kuceritakan bagaimana aku bisa bertemu Maya dan bisa sampai menikahinya.

Waktu itu aku berangkat kerja di tempat kerjaku di Jakarta menggunakan kereta api, posisi favoritku untuk duduk adalah paling ujung. Enak soalnya, kalau mengantuk, aku tinggal bersandar pada dinding. Dan bukan hanya aku saja yang mempunyai posisi favorit paling ujung. Karena sejak pertama kali bekerja dan sering menggunakan kereta api ini, selalu ada wanita yang duduk di depanku.

Dia adalah Maya, yang waktu itu masih SMA.

Hampir setiap hari kami bertemu, bertatap muka tapi tidak saling berbicara. Ada lebih dari 4 bulan kami seperti itu. Sampai akhirnya ada sebuah masalah yang menjadi ruang bagi kami berinteraksi. Saat itu seperti biasa kami duduk di tempat yang sama, sampai akhirnya ada seorang ibu tua menghampiri Maya.

“Hei, bisa berdiri?”

Maya tertegun dan bertanya, “Kenapa, bu?”

“Saya mau duduk!” tegas ibu tersebut.

“Oh,” sedikit raut wajah lesu dari Maya karena mau diusir dari kursi favoritnya.

“Ayo!” seru ibu itu, “Kaum pendatang sepertimu jangan membantah kaum asli negara ini!”

“Emmm,” Maya terlihat sedih mendengar hal itu.

Aku yang mendengar itu mulai menghela nafas. Aku segera berdiri dan berbicara kepada ibu tersebut.

“Duduk saja di kursi saya, Bu.”

Maya dan Ibu menoleh. Raut wajah ibu itu geram memandangku.

“Kamu membela dia??!!” tunjuknya pada Maya.

“Bukankah ibu butuh tempat duduk?” kutanya balik saja tentang kepentingannya.

“Kamu membela orang cina ini?!” Ibu ini semakin menjadi-jadi.

“Hmm,” aku memandang Maya sejenak yang di mana Maya juga memandangku begitu lugu. Aku memandang ibu itu dan berkata, “Yang saya lihat dia orang Indonesia.”

“Kamu buta?!”

“Ibu itu mau mencari tempat duduk atau mau mencari masalah?” tanyaku balik, “Apa tidak malu sama penumpang lain?”

Ibu itu melihat sekitar, yang di mana penumpang lain menatap dirinya. Kesal tak melawan, akhirnya ibu itu duduk di kursiku dengan gayanya yang jengkel. Sedangkan aku berdiri di tengah mereka.

“Kak....”

Aku mendengar suara Maya memanggilku pelan, aku menoleh dan ia terlihat terharu melihatku sembari berkata.

“Terima kasih ya....”

Aku tersenyum tipis, dan sedikit berperilaku lancang karena aku menepuk-nepuk pelan kepalanya.

“Jangan dipikirkan.”

Maya tersenyum dan mengangguk. Dan itulah interaksi pertama antara aku dan istriku dulunya.

Sejak saat itu maka hari-hari berikutnya kami saling melempar senyum seadanya saat berpapasan, sewaktu duduk di kursi favorit kami masing-masing. Tetap, tak ada interaksi suara yang kami berikan, hanya senyum seadanya. Tapi ada suatu hari interaksi suara ke dua terjadi. Di saat kami duduk berseberangan di dalam kereta api, dan dia terus melihatku seolah ada hal yang menarik pada diriku. Bahkan dia dulu yang memanggilku.

“Kak.”

“Hm?” aku menoleh ke depan.

“Apa kakak bekerja di Perusahaan Handreas?”

Aku tertegun dan alisku mengerut, “Tahu dari mana?”

“Seragam kerja kakak, enggak asing,” jawabnya dengan senyum.

“Oh,” aku melihat seragam kerjaku dan tersenyum memandangnya, “Ya. Aku bekerja di perusahaan itu. Ada kenalanmu di sana?”

“Ada,” dia mengangguk.

“Siapa? Mungkin aku mengenalnya.”

“Gimana ya,” dia tertawa ringan, “Mungkin nanti kakak akan tahu.”

“Oh ya? Bagaimana?”

“Aku sulit mengatakannya,” dia tertawa lagi.

“Haha, baiklah,” aku juga tertawa agar kesannya terlarut, “Dan maaf kalau tidak sopan.”

“Ng?”

“Bisa rapatkan pahamu. Agak terbuka dari sini.”

“Oh! Maaf, kak!”

Sebenarnya aku tidak mau mengatakan itu. Karena memang pada waktu itu istriku semasa SMA ini duduknya begitu melebarkan paha nya, padahal rok yang dipakainya begitu pendek. Tapi itu baru pertama kalinya dia duduk seperti itu di hadapanku, karena biasanya dia sadar diri dan merapatkan pahanya saat duduk. Kupikir dia khilaf saja waktu itu. Setelah merapatkan pahanya, Maya begitu polos memandangku.

“Maaf, kalau aku tidak sopan,” kataku.

Maya tersenyum dan menggeleng pelan.

“Aku yang seharusnya meminta maaf.”

“Tidak masalah.”

Lalu pembicaraan terus mengalir dengan alami. Kami berkenalan dan aku pun akhirnya tahu dia bersekolah di mana. Perbincangan kami berakhir ketika kereta sudah sampai tujuan dan berpisah. Lalu di tempat kerjaku. Aku melakukan apa yang menjadi kewajibanku di perusahaan ini. Untuk mencari kebutuhan hidup, tentu saja ini kulakukan, terlebih aku sudah tak punya orang tua bahkan sanak saudara. Lalu di sore hari, saat jam pulang kerja sudah didepan mata. Bos memanggilku ke ruangannya. Dan di ruangan itu beliau menyambutku dengan suka cita, yang di mana aku bingung kenapa dengannya.

“Gio, saya sudah mendengarnya.”

“Mendengar apa, pak?” tanyaku.

“Terima kasih,” bosku tersenyum.

“Terima kasih?” tentu saja aku semakin bingung saat itu.

“Saya dengar kamu pernah membantu seorang gadis SMA, yang 1 ras dengan saya,” bosku menunjuk dirinya sendiri, “Saya senang, kamu menolong dengan tidak memandang ras pada Negeri ini.”

“Gadis SMA?” alisku mengerut.

“Sebentar lagi dia kembali, dia tadi mau keluar sejenak membeli burger.”

Waktu itu aku tak tahu siapa yang dimaksud. Sampai akhirnya pintu ruangan terbuka, dan aku terkejut. Karena itu adalah Maya. Dan akhirnya terkuak. Maya adalah anak dari bos ku ini. Dia lah yang menceritakan tentang diriku kepada ayahnya ini pada waktu itu.

“Gio, mau gaji tambahan?”

“Apa itu, Pak?” tanyaku, dan senang mendengar kata ‘Gaji Tambahan’.

“Bisakah menemani putri saya saat pulang di kereta nanti?”

“Eh?”

Bosku mengatakan kalau dia selalu khawatir dengan putrinya yang terus pulang-pergi menggunakan kereta untuk ke sekolah. Apalagi Maya waktu itu masih belum bisa pindah ke kota ini bersama ibunya karena rumah di sana harus diurus sampai di mana akan ada pembeli yang datang membelinya. Aku mengiyakan permintaan itu dan akhirnya, dari pagi dan sore, aku bisa terus bersama Maya dan berinteraksi dengannya.

Hari demi hari, lama kelamaan kami menjadi akrab. Sampai di mana ada hari, Maya rela pergi dari kursi favoritnya yang ada di dalam kereta kami.

“Maya, rapatkan pahamu itu!” tegurku padanya, karena ini sudah ke sekian kalinya dia melebarkan paha di roknya yang pendek itu.

“Genit!” Maya cemberut dan merapatkan pahanya.

“Rezeki!” aku nyengir saja.

“Huh!” dia berdiri dan duduk di sampingku.

“Kenapa pindah?”

“Biar kakak nggak bisa ngintip!” dia cemberut dan melipat tangannya, sungguh imut kalau kuingat-ingat.

“Kalau begitu aku duduk di tempatmu saja,” aku berpura-pura beranjak.

“Iiih!” dia geram dan menarik tanganku agar duduk kembali.

Aku tertawa, begitu juga dengannya. Itulah keakraban pertama antara aku dan Maya. Bahkan sepulang sekolah dia rela menunggu di kantor, untuk menungguku pulang kerja dan pulang bersama di kereta. Ada suatu kesempatan dia menghampiri ruang kerjaku untuk menemuiku.

Aku yang tak merasa terganggu membiarkannya saja. Bahkan dia berlagak menjadi sekretaris yang memegang berkasku saat aku mencari berkas di dalam rak. Aku hanya tertawa melihat gayanya dan mengacak-acak rambutnya.

Dia juga tertawa sejenak dan berkata, “Kak Gio.”

“Hm?”

“Minggu depan... mau nggak jalan sama Maya?” ajaknya.

“Ke mana?”

“Emm, nonton kek, gitu....”

“Wah, enggak bisa.”

“Ouh....” Maya menunduk.

“Nggak bisa nolak,” aku terkekeh melihatnya.

“Sungguh?” dia memandangku dengan senyum harap.

“Tapi kayaknya aku sibuk.”

“Ng....” dia cemberut.

“Sibuk memilih baju apa saat jalan-jalan,” aku nyengir kepadanya.

“Iiiih!!” dia geram mencubit tanganku, dan tertawa bahagia dari raut wajahnya.

Dan minggu depan itulah menjadi kencan pertama kami. Walau aku sampai menggeleng-geleng kepala melihat pakaian bebasnya ketat sekali, bahkan lekuk tubuhnya itu tertampang jelas yang mampu membuatku terus-terusan menelan ludah.

Dari kencan pertama, kedua, ke tiga, dan seterusnya. Berminggu-minggu sampai bertemu bulan, akhirnya pada kencan ke 12 kami, Maya mengatakan sesuatu yang mampu membuatku terdiam. Di saat kami sedang berada di ruangan karaoke yang kami singgahi.

“Maya sayang sama kakak.....” ungkapnya sendu.

Aku tentu saja terdiam. Seumur-umur hidup baru kali ini ada wanita yang menyatakan perasaannya kepadaku. Aku lalu bertanya untuk kepastian.

“Kamu yakin?” tanyaku dan Maya mengangguk, “Tapi aku ini bukan orang cina loh,” lanjutku.

“Terus?” dia tertawa ringan.

“Ya.... kan biasanya kan, cina sama cina gitu...”

“Apa harus sesama ras untuk saling menyukai?” Maya tersenyum.

“Eh?”

“Maya tahu kok, teman kerja kakak yang memberitahu,” Maya tersenyum, “Dia bilang kalau kakak menyukai Maya. Benar kan?”

“Eh, i-itu...” aku mulai salah tingkah, aku tahu teman kerjaku yang dimaksud, karena hanya 1 orang saja yang kuberitahu mengenai hal ini.

“Apa perlu Maya telepon Kak Rudi untuk konfirmasinya?” Maya menahan tawa dan menunjukkan ponsel pintarnya.

“Ternyata benar Rudi,” keluhku pelan.

Maya menaruh ponselnya di atas meja, dan memeluk pergelangan tanganku.

“Kenapa kakak tidak mau memberitahuku, aku sudah lama menunggu kakak mengungkapkannya padaku.... aku juga sudah lama menyukai kakak, dan senang waktu kak Rudi memberitahuku kalau kakak juga mempunyai perasaan yang sama denganku.....”

“Bagaimana ya.....” aku benar-benar bingung dalam kenikmatan.

Kenikmatan yang kumaksud, payudara lembut Maya menempel ditanganku, yang dimana istriku ini waktu itu memeluk pergelangan tanganku. Jadi sebisa mungkin aku menahan darah untuk tidak keluar dari lubang hidungku kala itu.

“Apa karena aku cina?” tanyanya sedih.

“Bukan.”

“Terus?”

“Minder.”

“Karena?”

“Aku ini..... aku ini hanya pegawai, anak buah ayahmu. Aku juga ya.... sederhana. Aku merasa tidak cocok dengan.... hm, anak bosku, tuan..... putri sepertimu.....”

“Begitu?”

“Ya,” aku mengangguk.

“Coba lihat Maya sini,” pintanya.

Aku menoleh ke arahnya dan tiba-tiba dia menciumku.

Kaget? Tentu saja.

Nikmat? Jangan ditanya lagi.

Tapi aku benar-benar kaget waktu itu, itu pertama kalinya aku berciuman dengan istriku. Selesai berciuman dia hanya tersenyum, dan aku bengong seperti orang bodoh.

“Maya tidak melihat kakak dari itu,” Maya tersenyum, “Kesampingkan ras dan status kita, yang ada di ruangan ini, hanya ada kita, pria dan wanita.”

“Kamu..... benar-benar....”

“Mau 1 rahasia?”

“Apa?”

“Ayah sama Mama Maya suka sama kakak.”

“Benarkah?” aku tertegun.

“Jadi kakak tak usah khawatir ya,” senyum Maya mampu meluluhkanku.

Dan di kencan ke 12 kami itulah akhirnya kami mulai menjalani hubungan sebagai sepasang kekasih. Hubungan kami terus berlanjut hingga dia kuliah, dan dia senang membuatku cemburu di saat ia sengaja memakai pakaian ketat sewaktu kami jalan-jalan yang mengakibatkan pria-pria lain sering memandangnya.

“Cemburu ya?” dia cekikikan dengan hal itu.

“Sedikit,” jawabku malas.

Lalu di saat ia memasuki semester 2. Dia datang ke rumah kontrakanku pada malam hari. Dan ia meminta sesuatu yang membuatku tertegun mendengarnya. Karena yang ia pinta padaku adalah sebuah hubungan seks. Aku tentu saja terkejut dan meminta dia menjelaskannya padaku. Dia bersedia menjelaskan dengan urai air mata. Maya ternyata sudah tidak perawan lagi semenjak kelas 1 SMA. Dia mengatakan sewaktu bersekolah di Surabaya, mantan pacarnya itu selalu berhubungan seks dengannya, hampir setiap hari dia melakukannya dengan pacarnya.

Namun ada sebuah kejadian yang membuatnya frustrasi hingga memilih putus dan pindah sekolah ke Jakarta.

Kejadian yang dimaksud adalah, mantan pacarnya ‘Menjual’ dirinya kepada geng motor karena hutang yang ada. 8 pria geng motor itu memperkosanya selama seharian penuh, dan mengatakan kalau 8 orang itu tak cukup sekali membombardir vaginanya. Apalagi dia direcoki obat perangsang hebat yang tak membuatnya tak bisa mengendalikan tubuhnya.

Mendengar itu aku menjadi marah, sedih, dan kasihan dengan ‘Akibat’ dari tragedi yang menimpa dirinya sebelum pindah sekolah ke Jakarta. Dan katanya, gara-gara itulah dia terkadang sulit melawan hawa nafsunya sendiri, dan ia salurkan dengan masturbasi. Kejadian ini membuka mataku, kalau tidak hanya kaum pria saja yang tak mampu melawan kebutuhan biologis yang diinginkan.

Maya begitu lugas mengatakannya, walau itu pahit bagiku, dan mungkin juga untuk dirinya. Tapi bagiku ini adalah bukti kasih sayangnya kepadaku, dengan tidak menutupi kesedihannya dan membagi kisah traumanya kepadaku.

Mempercayakannya kisah pilunya padaku, karena aku kekasihnya.

Tapi waktu itu aku belum siap melakukannya. Namun aku juga bingung, bagaimana membantu istriku ini agar tidak selalu masturbasi pada waktu itu.

“Seadanya saja dulu ya?” pintaku padanya.

“Seadanya?” tanyanya balik dengan lugu.

“Aku......” aku begitu malu saat itu, aku mendekatinya dan berbisik, “Aku belum pernah melakukannya, jadi..... aku tak tahu caranya.”

Mendengar itu Maya menahan tawanya, dan berkata, “Perjaka?”

“Apa aku terlihat populer di kalangan wanita?”

Maya menahan tawanya lagi, namun raut wajahnya begitu sayu. Ia memegang tanganku dan berkata.

“Maafkan Maya..... kalau saja Maya tidak bersekolah di sana, tidak bertemu dengannya..... pasti keperawanan ini masih terjaga, untukmu......”

“Sayangnya waktu tidak bisa berputar kembali,” aku mengelus kepalanya, “Tenanglah.”

“Tenang?”

Aku mendekatinya lagi dan berbisik, “Aku menyayangimu bukan karena kelaminmu itu.....” kurapikan sela rambutnya dan kupertemukan kening kami, “Aku menyukaimu karena kau adalah Maya. Kau memang tidak sempurna, begitu juga aku. Kita berdua mempunyai kisah hidup yang membuat diri kita menjadi tidak sempurna. Tapi kehadiranmu dalam hidupku membuatku merasa sempurna. Aku.... mencintaimu seutuhnya.”

Itulah momen romantis pertama yang bisa kuberikan kepadanya. Dia kembali menangis, sebuah tangisan haru dari air mata yang mengalir di wajah cantiknya.

“Aku mencintaimu ” isaknya dan memelukku, “Jangan berhenti mencintaiku.....”

“Tak perlu kau pinta,” aku tersenyum dan membalas pelukannya.

Momen romantis itu juga menjadi pendukung suatu interaksi biologis intim yang menjadi penyebab semua pembicaraan tadi. Karena tadi aku meminta seadanya dulu, maka yang kulakukan kepadanya memang seadanya.

Maya berbaring di atas kasur, dengan kondisi rok pendeknya diangkat ke atas dan celana dalam yang sudah terlepas. Kulihat vaginanya begitu ‘Mekar’ memesona dan siap santap bila aku menginginkannya. Aku berbaring di sebelah kanannya, dan perlahan kuarahkan tangan kananku ke vaginanya.

“Mmmmmhh!” Maya memejamkan matanya, desahan kecil keluar dari mulutnya yang mungil.

Itu juga menjadi hari pertama tanganku ini menyentuh vagina seorang wanita. Maya sampai menggigit bibir bagian bawahnya karena ‘Kobokan Jari’ yang kulakukan pada vaginanya.

“Aaaah, mmmm, aaaaaahhh.....”

Aku benar-benar terangsang hebat kala itu saat mendengar suara desahannya. Kutenangkan ‘Rambo’ dengan pikiranku.

“Aaahhh sayaaang,” desahnya untuk ke sekian kali, pikiranku mulai kacau.

Ditambah lagi ke dua tangannya mulai mengangkat baju yang ia pakai ke atas, dan akhirnya aku bisa melihat ‘Gunung Kembar’ yang tertutup oleh benda bernama BH. Aku menelan ludah melihat bentuk payudara istriku kala itu, terlebih lagi kulit putih mulusnya mendukung nafsu birahi ini. Dari posisinya, Maya mengangkat sedikit punggungnya untuk melepaskan pengait BH nya. BH nya lepas, dan bola mataku juga rasanya mau lepas.

Puting merah muda indah tertampang jelas dari payudara Maya. Seolah menantangku dalam ambisi gairah. Rezeki nomplok seperti ini tentu saja tak kusia-siakan. Kukulum puting kanannya dan kusedot sedemikian rupa sampai-sampai pemiliknya mendesah bergairah.

“Aaaaaaaahhh!! Iyaaaa, teruusss!”

Tanpa disuruh aku juga akan melakukannya. Kusedot terus puting istriku kala itu, memainkan lidah kepada putingnya di dalam mulutku, dan terus ‘Memompa’ vaginanya dengan tanganku. Kulepasi sejenak kulumanku dan terlihat liurku memenuhi puting kanannya. Ingin bersikap adil, maka puting kirinya yang sekarang kujamah.

“Aaaaaaahhhhh, sayaaaangg!!” Maya mendesah dan meremas erat rambutku.

Pengalaman ‘Nenen’ itu tak pernah kulupakan hingga sekarang. Yang dimana itu juga pertama kalinya aku berhasil membuat Maya squirting dengan ‘Air Mancur’ yang begitu deras keluar dari vaginanya.

Betapa bahagianya aku memiliki Maya, karena setelah itu, gantian dia yang membantuku masturbasi. Sekarang aku duduk di atas kasur dengan dia di sampingku, mengarahkan payudara montoknya itu ke wajahku untuk di emut ke 2 putingnya, dan tangan kirinya mengocok-ngocok penis ku.

“Aaahhh.... iyaa, emmmhh aaahhh ahhh,” Maya terus mendesah saat kujilat-jilat puting kirinya dengan lidahku.

7 menit dijadikan waktu untuk memuncratkan lahar putih dari lubang kencing penisku ini. Aku terengah-engah, begitu juga Maya. Kami berdua terbaring lemas di atas kasur.

“Gila...” kataku, “Itu benar-benar..... nikmat.....”

“Hm,” Maya dengan lemah menghampiriku, ia berbaring di atas dadaku dan berkata, “Sayang......”

“Ya?”

“Maya memikirkan sesuatu......”

“Apa?”

“Kamu masih perjaka..... dan....ada 1 bagian tubuh Maya yang masih perawan......”

“Perawan?”

Maya mengangguk, “Itu ada di pantat Maya......”

“Maksudmu?”

“Kalau kamu mau,” Maya memandangku, tersenyum, “Walau bukan tempat yang semestinya, tapi Maya mau kok kalau kamu mau melakukannya. Lubang pantat Maya masih perawan sampai sekarang.”

“Jadi, kau menawarkan keperjakaanku untuk menerobos keperawanan anusmu?” aku menahan tawaku kala itu.

“Habisnya.... hanya itu yang tersisa.....” Maya cemberut.

Aku hanya tertawa saja dengan perbincangan konyol ini dan mengajaknya berciuman. Maya juga dengan senang hati memberikannya, dan itulah ciuman terlama yang pernah kami lakukan selama ini. Hari-hari berikutnya terkadang kami melakukannya lagi. Kira-kira selama 5 atau 6 hari, kerjaan ku sehabis pulang kerja adalah ‘Menyedot Susu’ Maya, dan aku sering membantu Maya masturbasi dengan lentiknya jariku ini.

Tapi yang namanya nafsu memang susah dilawan.

Akhirnya aku sudah tak tahan lagi dan ingin berhubungan seks dengannya, karena bagiku ini sudah waktunya untuk berpisah dengan keperjakaan setelah menemaniku dari lahir. Dan aku rada egois saat itu. Yang dimana saat aku melihat vagina Maya yang begitu ‘Mekar’ karena pernah Dimasuki 9 penis pria, aku merasa kesal. Karena dari itu maka aku menerima tawarannya untuk memecahkan keperawanan lubang pantatnya.

Meski aku sedikit sedih juga, kenapa keperjakaanku harus hilang di dalam anus wanita? Tapi aku berusaha berpikir positif, toh, aku pria pertama yang akan mencoblos lubang pantatnya.

Sekarang kami berada di sebuah Hotel murah. Padahal rencananya kami mau melakukannya di rumah kontrakanku. Hanya saja tetanggaku sedang melakukan acara pengajian. Bagiku tidak etis, tidak sopan dan kurang ajar saja kesannya. Mereka melakukan pengajian, dan kami malah berhubungan badan. Sudah berbuat dosa, malah bertambah dosa jadinya kalau membayangkannya.

Menghindari hal yang tak diinginkan maka kami memilih hotel ini.

Sekarang kami sudah bertelanjang bulat dan melakukan pemanasan seadanya. Aku setia meminta ‘Nenen’ dari Maya karena dari bagian tubuh istriku, payudaranya itulah yang mampu membuatku bertekuk lutut dan rela mengeringkan kantong sperma ini hanya untuk menikmatinya. Aku juga membantu istriku melakukan pemanasan kala itu, tapi dia malah squirting duluan dari rencana mesum yang mau kami lakukan. Tapi Maya berkata dia masih kuat. Karena dia sudah berkata seperti itu, ya sudah, maka akan kulakukan.

Ternyata memang benar, nafsu bisa mengalahkan rasa kasihan.

Maya menungging di depanku. Tak lupa aku mempersiapkan baby oil karena yang kutahu, lubang pantat tidak bisa mengeluarkan ‘Pelumas’ layaknya vagina. Ku olesi baby oil ini di penisku hingga merata, tak lupa juga lubang pantat Maya kuolesi baby oil ini agar penetrasinya lancar.

Setelah siap maka aku memegang bongkahan pantatnya dengan tangan kiri, dan tangan kananku kugunakan untuk memegang penisku. Maya juga berinisiatif, dengan ke dua tangannya, maka ia berusaha melebarkan lubang pantatnya yang masih sempit kecut seperti ini.

Kutempelkan kepala penisku di lubang pantatnya dan berusaha menekan ke dalam.

“Ngghhh,” Maya sudah mulai melenguh.

Tapi ternyata sulit juga. Ada 3 kali aku berusaha menekankan penis ku ke dalam, tapi benar-benar sulit. Aku lalu meminta Maya melebarkan belahan pantatnya saja, agar aku sendiri yang melebarkan lubang pantatnya. Maya menurut. Ia melebarkan belahan pantatnya dengan ke dua tangannya. Sedangkan ke 2 jari tangan kiriku melebarkan lubang pantatnya, dan tangan kananku masih memegang penis. Kucoba sekali lagi untuk memasukkannya dan membuahkan sedikit hasil.

“Nnngh!” Maya kembali mengeluh, dengan sedikit nada mengaduh.

Kuambil baby oil tadi dan kusemprotkan sebanyak-banyaknya pada lubang pantat Maya. Sekarang kucoba menekankan lagi kepala penisku untuk menyeruak masuk ke dalam lubang pantat Maya.

“Uuuhhh!!” Maya meringis dengan wajah tertutup bantal.

“Sedikit lagi, sayang,” kataku.

Ku tekankan lagi batangku ini dan Maya sudah mulai menggeliat sedikit menerima penetrasi ini.

“S-S-Sakit...” kata Maya.

“Sedikit lagi,” kataku yang sebenarnya tak membantu.

Kepala penisku hampir masuk dan Maya berseru dengan sangat kencang.

“Sayang! Sakit, sayang! Sakiiiit!!!” erangnya.

“Sabar, sayang! Sebentar lagi!” seruku tak kalah seru.

“Sakiiiiiiiittt!!!” erangnya panjang.

Tapi aku tak peduli, terus kudorong penisku ini sampai akhirnya kepala penisku berhasil dengan sukses masuk ke dalam lubang pantat Maya.

“Sayaaaang, sakiiit!!!” erang Maya dan terisak kesakitan.

Ada rasa kasihan juga, tapi ini kepalang tanggung.

“Sabar, ya, sedikit lagi,” kata-kata tak berguna sekali lagi kulontarkan sambil mengusap kepalanya.

Ke 2 tangan Maya sudah terkulai lemah akibat penetrasi ini, sekarang aku yang memegang bongkahan pantatnya dan berusaha memasukkan penis ini seutuhnya ke dalam lubang pantatnya.

“Sakiit! Sakiiit!!” Maya lagi-lagi mengerang dan menggoyang-goyangkan pantatnya.

“Sedikit lagi!” kataku, yang benar-benar tak membantu dirinya.

Usaha keras memang membuahkan hasil. Akhirnya penisku masuk dengan sempurna ke dalam lubang pantat Maya. Bisa kurasakan penisku di pijit-pijit ringan oleh otot lubang pantatnya ini. Barulah aku memeluk Maya dari belakang, menenangkan kekasihku yang di mana ia masih menangis dengan kepala menyamping.

“Maaf, sayang,” ku kecup kepala dan juga pipi nya.

Maya membuka matanya dengan mata sembab, ia menjelingkan matanya dan tersenyum kepadaku.

“Aku sayang kamu......” katanya lemah.

Aku juga tersenyum, di posisi itu aku menarik perutnya sejenak dan mencium bibirnya. Baru setelah itu aku hendak memompa lubang pantatnya. Awalnya ia merasakan perih dan kesakitan yang merintih. Namun lama kelamaan dia bisa beradaptasi dan mulai mengimbangi permainan anal yang menimpanya ini.

“Mayaaa! Enak banget, sayang!!” aku sampai merem melek merasakannya.

“Aaaaaaahhh mmm aaahhh iyaaaa, aaahhhh mmmmm aaaahh,” desahnya.

Maya lagi-lagi squirting. Gila, padahal yang kusodok-sodok ini bukan vaginanya, tapi lubang pantatnya. Tapi itu tak mengapa, karena nikmat mana yang ingin didustakan?

Maya lalu kuajak mundur hingga turun dari kasur, ia lalu membungkuk ditepi kasur dan posisi ini semakin memudahkan ku menyodok-nyodok lubang pantatnya yang sungguh menggairahkan.

“Aaaahh ouhhhh aaaaahh ahhhhhh ahhh!” desahnya yang begitu mantap.

Aku tak mengira seks bisa senikmat ini. Jauh lebih nikmat dari pada menggunakan tangan selama ini. Bosan dengan gaya ini, aku hendak berganti gaya dengan menimpa tubuh Maya dari belakang. Tetapi aku terdiam, saat aku berhenti menggenjotnya. Kulihat malah Maya yang memaju-mundurkan pinggulnya untuk memompa penisku yang bersarang dilubang pantatnya itu.

“Aaaahhh, saaaaayyaaangg, enaaaakk, ayoo teruuss, enaaakkk, mmmm!!” desahnya dan rada-rada binal juga kudengar.

Sadar kalau aku tidak menggenjotnya, ia menoleh ke belakang dan cemberut.

“Sayaaaang! Kenapa diem?!” kesalnya.

Tersadar dengan keluhannya maka aku melanjutkan niatku tadi. Dan aku benar-benar menikmati seks dengan kekasihku ini.

Itu adalah seks pertamaku seumur hidup. Meski yang kusodok itu adalah lubang pantat, yang jelas akhirnya aku sudah tidak perjaka lagi, dengan kebanggaan sebagai lelaki sejati. Bahkan aku dan Maya sampai 4 kali melakukannya di Hotel itu, dan tentu saja, penisku akhirnya juga mencicip vagina nya. Liang utama wanita miliknya ini juga tak kalah hebat. Sedotannya kuat meski dinding vaginanya melebar.

Entah terlatih atau apa, kurasakan penisku diurut-urut oleh vaginanya, seakan Maya sudah terlatih secara profesional melakukan ini. Setelah selesai bercinta, maka kami berbincang dengan tanganku yang asyik meremas payudara besar nan lembutnya itu.

“Tahu kalau enak begini, seharusnya dari kemarin aku memintanya.”

“Hmm,” dia tersenyum, gemas dan mencubit tanganku yang meremas payudaranya.

“Boleh aku minta lagi kapan-kapan?” tanyaku dengan suara tawa kecil.

Maya memegang tanganku, ia berbalik badan dan aku terenyuh melihat wajah orientalnya yang cantik dan manis ini saat tersenyum kepadaku.

“Anytime,” balasnya. Kami pun berciuman untuk mengakhiri kisah seks pertama yang tak akan mungkin kulupakan.

Lalu di hari-hari selanjutnya, dia benar-benar menuruti permintaanku untuk berhubungan badan di saat aku ingin. Seminggu bisa 3 hari kami melakukannya, 1 hari saja bisa beberapa ronde tercapai. Dan ini mungkin karena nafsu dan usia, kami pernah nekat melakukannya di tempat umum saking tidak tahannya sel sperma yang memberontak untuk keluar dari penis sejatiku ini, dan Quicky Sex lah yang menjadi pilihan.

Kami pernah melakukannya di WC umum.

Kami pernah melakukannya saat ada acara di rumahnya.

Kami pernah melakukannya di dalam mobil.

Kami juga pernah melakukannya di samping gedung jurusan Hukum di saat aku menjemputnya di kampus. Dan sewaktu dia datang bulan, terkadang aku memakai ‘Lubang Alternative’, yaitu lubang pantat nya. Atau paling ringan ya menetek payudara nya sambil mengocok penisku sendiri.

Hanya 1 hal saja yang tidak mau ia lakukan, yaitu menghisap penisku dengan mulutnya. Alasannya ia tak suka dan mengingatkan ia akan traumanya dulu saat di ‘Bantai’ ramai-ramai oleh geng motor.

Semakin bertambahnya usia, maka semakin bertambah juga pola pikir. Kami tidak pernah lagi melakukan seks di tempat umum. Karena bagi ku ini kekanakan saja mau dikendalikan oleh nafsu tak tentu. Dan semakin bertambahnya usia, maka aku mengajaknya menikah dan disambut dengan gembira olehnya dan juga ke 2 orang tuanya.

Kami tinggal di sebuah rumah sederhana yang dekat dengan rumah orang tuanya. Sampai kehamilan dan melahirkan anak pertama, kami masih tetap tinggal di rumah itu.

Sampai pada akhirnya ayah mertua ku memintaku untuk menangani bisnis padi miliknya yang ada disalah 1 desa yang jauh dari perkotaan selama 6 bulan. Berat rasanya untuk meninggalkan anak dan istri, maka kami mulai berdiskusi.

Dan sepakat, aku akan membawa mereka ikut bersamaku ke sana. Desa yang menjadi tempat tinggal sementara kami ini masih begitu asri, penerang lampu jalan tidak terlalu terang tapi cukup membantu di kala gelap. Area persawahan juga begitu enak dilihat dengan asrinya kehijauan.

Begitulah kisahnya kenapa aku, istri dan anakku bisa berada di desa ini.

********

Sekarang aku asyik menyapu halaman di rumah yang kutempati ini. Dengan suasana sore dan sejuk dirasakan.

“Wah, rajin nih, Pak Gio.”

Aku menoleh dan melihat Pak Bazam, Ketua Balai Desa dari desa ini yang datang dengan seorang pria kekar berkulit hitam yang tak kukenal.

“Begitulah, Pak Bazam,” aku tersenyum dan berhenti menyapu.

“Hahaha. Oh iya, perkenalkan. Ini Pak Bogo, dia dulu warga sini, merantau ke kota, dan kembali lagi kesini sebagai petugas keamanan desa.”

“Salam kenal, Pak Gio,” pria kekar bernama Pak Bogo ini tersenyum dan mengulurkan tangannya.

“Salam kenal juga, Pak Bogo,” aku menyambut salam tangannya.

Dan tanganku seakan remuk saat berjabat tangan dengannya, padahal kurasa dia hanya melakukan jabat tangan biasa. Kami berbincang ringan dengan pembatas pagar rumahku, sampai akhirnya ada suara yang mengalihkan perhatian kami untuk menoleh ke arah rumah.

“Eh, ada Pak Bazam.”

“Wah! Dek Maya, sore-sore udah segar saja ini,” Pak Bazam nyengir memandang istriku.

“Iya, Pak,” Maya tersenyum dan memandang Pak Bogo.

“Oh iya. Maya, ini perkenalkan. Pak Bogo, dia yang akan menjadi keamanan di desa ini.”

“Begitu,” Maya tersenyum, “Salam kenal, Pak Bogo. Maya.”

“Iya,” Pak Bogo mengangguk dan sepertinya tertegun melihat penampilan istriku.

Aku tidak heran. Kebiasaan istriku di kota dibawa-bawanya sampai kesini, yang di mana dia suka memakai pakaian ketat yang mampu menunjukkan lekuk tubuhnya. Bahkan aku sudah terbiasa melihat Pak Bazam selalu memandang payudara indah istriku. Karena aku merasa Pak Bazam orang yang baik, jadi aku tak perlu berburuk sangka kepadanya.

“Sepertinya mau pergi ya?” tanya Pak Bazam kepada istriku.

“Iya. Mau beli kebutuhan di warung besar di gerbang desa sana,” jawab Maya.

“Oh iya,” dan aku baru ingat dengan kepentinganku itu, “Lupa. Eh, Dimas?”

“Itu,” Maya menunjuk samping rumah kami.

Dan terlihat wanita paruh baya asyik menggendong Dimas, dan dia adalah Bu Arati. Dia yang senang hati menjaga Dimas apabila kami berdua hendak pergi sejenak.

“Titip sebentar ya, Bu,” aku tersenyum kepadanya.

“Iya, ibu ajak jalan-jalan dulu ya Dimas nya,” Bu Arati lalu keluar dari pagar dan mengajak Dimas berkeliling desa sambil menggendongnya.

“Kalau begitu saya tinggal dulu ya, Pak? Mau ganti baju dulu,” kataku kepada Pak Bazam dan Pak Bogo.

“Oh, iya-iya. Silakan.”

Aku lalu masuk ke dalam rumah untuk berganti baju. Dan aku bisa mendengar suara tawa istriku di luar, yang sepertinya sedang melakukan pembicaraan yang menyenangkan. Aku keluar dari kamar dan hendak memasang ikat pinggang di ruang tamu. Kulihat di luar, Pak Bazam dan Pak Bogo berbicara dengan istriku, dan mereka tertawa dengan apa yang mereka bicarakan. Dan aku melihat saat Istriku menoleh ke arah pak Bazam, Pak Bogo memperhatikan tubuh istriku sampai-sampai jakunnya itu naik turun.

Entah kenapa aku tidak merasa resah. Mungkin karena sudah terbiasa dengan hal ini, bahkan sebelum aku dan Maya menikah. Kulihat pak Bogo berpamitan dan pergi, bertepatan juga dengan aku yang sudah selesai memakai ikat pinggang.

“Yuk, Ma. Nanti keburu malam,” ajakku kepada Maya.

“Iya.”

Kami berdua berjalan kaki menuju tujuan kami, sebenarnya ada motor, namun untuk suasana sore di desa ini tampaknya harus di nikmati pelan-pelan.

“Kok pakai baju ini sih, Ma?” tanyaku selama di perjalanan.

Maya yang berjalan di depanku lalu berhenti, ia berbalik badan dan berlagak bergaya ala model sambil berkata.

“Kenapa? Cemburu?”

“Bosan menjawabnya,” aku tertawa ringan.

Maya cekikikan, ia berhadapan denganku, berjalan mundur ke belakang dan memeletkan lidahnya untuk mengejek.

“Lain kali pakai pakaian yang lebih longgar saja. Kan ada. Tidak enak rasanya dengan warga desa sini. Ingat, ini bukan kota.”

“Iya-iya, bawel,” Maya memberikan tanda V dari ke dua tangannya.

Aku hanya tertawa ringan melihat tingkah istriku. Butuh waktu 10 menit untuk sampai di warung besar ini. Kalau di kota, ini biasanya disebut Mini Market, tapi warga desa ini tampaknya asing dengan nama itu dan lebih suka menyebutnya warung besar.

“Oh. Pak Gio, dek Maya. Belanja ya?” sambut pemilik warung besar ini yang bernama Pak Joko.

“Iya, pak,” balasku mewakili Maya.

“Haha, ya sudah. Selamat berbelanja,” Pak Joko kembali membaca koran.

Aku dan istriku mulai menjelajah warung ini dari rak ke rak untuk mencari kebutuhan kami.

“Oh sudah di sini.”

Aku menoleh dan melihat kalau itu adalah Pak Bogo yang datang.

“Iya. Tadi dari mana, Pak?” tanyaku.

“Pulang. Ambil uang. Saya lupa membeli alat-alat untuk mandi,” jawabnya.

Aku mengiyakan dan kembali ke aktivitas kami masing-masing. Dan aku tiba- tiba merasa mau buang air kecil, buru-buru aku menghampiri Pak Joko untuk meminjam toiletnya. Pak Joko mengizinkan dan aku segera ke toilet untuk buang air kecil. Setelah selesai buang air kecil, aku melihat ada lubang kecil yang ada di dinding. Iseng, maka aku mencoba melihat lubang apa itu. Dan ternyata itu adalah lubang yang tembus sampai ke ruang belanja. Dan sepertinya lubang ini tertutup oleh aksesoris yang menempel di bagian lainnya.

Dan aku tertawa ringan, karena aku bisa melihat Maya yang sedang memilih barang belanjaan walau hanya bagian dada sampai atasnya saja yang kelihatan. Karena di bagian bawahnya tertutup oleh rak.

“Ng?” alisku mengerut.

Aku melihat Pak Bogo juga ada di bagian rak itu dan Maya sepertinya tak sadar. Kulihat Pak Bogo berjalan menyamping, dan saat melewati Maya. Kulihat istriku terkejut dan segera menoleh ke belakang. Istriku melihat Pak Bogo dan ia melihat bagian bawah Pak Bogo. Pak Bogo berkata sesuatu seperti orang yang meminta maaf, dan istriku tersenyum tipis sambil menganggukkan kepalanya.

“Hei, kenapa itu?” pikirku.

Tentu saja aku berpikir. Kenapa saat Pak Bogo berjalan menyamping melewati istriku, istriku tampak tercekat? Dan apa yang dilihat istriku sewaktu memandang Pak Bogo? Karena kulihat istriku juga sempat memandang bagian bawah pria kekar ini. Lalu pak Bogo berbicara seperti meminta maaf.

“Apa tadi dia menggesekkan penisnya ke pantat Maya?” pikirku.

Mau bagaimana pun itu pasti terlintas di pikiranku. Tapi aku berusaha berpikir positif, mungkin Pak Bogo tak sengaja menendang kakinya Maya.

Aku menyiram sejenak bekas buang air kecilku di kloset. Dan entah kenapa aku ingin mencoba mengintip lagi. Kuintip lubang itu dan aku melihat Pak Bogo sudah berdiri di samping istriku. Pak Bogo melihat sejenak Pak Joko yang masih asyik membaca koran di kejauhan. Setelah itu dia berbicara kepada istriku. Maya kulihat mengerutkan dahi dan memandang Pak Bogo. Pak Bogo memandang bagian bawah tubuhnya dan tersenyum memandang istriku. Sedangkan Maya kulihat terkejut saat memandang ke bawah sampai menutup mulutnya dengan tangan. Maya celingukan sejenak dan Pak Bogo sepertinya menunjuk tempatku, yaitu toilet. Seolah mengatakan tak perlu panik, karena aku ada di toilet sedangkan Pak Joko membaca koran.

“Apa yang dilihat Maya?” pikirku bimbang.

Maya masih terpaku disitu dan sepertinya terpukau melihat sesuatu di bawah tubuh pak Bogo. Lalu kulihat Pak Bogo tersenyum puas dan tangan kanannya seperti menggoyang-goyangkan sesuatu di bagian tengah tubuhnya.

“Hei, tidak mungkin kan Pak Bogo menunjukkan penisnya?” tanyaku ragu.

Pak Bogi mengatakan sesuatu yang membuat raut wajah istriku gusar. Istriku kemudian menggelengkan kepala yang membuat Pak Bogo agak sedikit kecewa. Tapi pria kekar hitam itu tersenyum. Ia kembali berjalan menyamping di belakang Maya dan berhenti tepat di belakang istriku. Mata Maya membulat, seakan dia ‘Menerima Sesuatu’ dari Pak Bogo yang ada di belakangnya. Malah kulihat tubuh pak Bogo naik turun bagian pinggulnya yang membuat alis Maya mengerut dan menggigit bibirnya.

“Hei! Dia tidak mungkin mengesek-gesekkan penisnya dipantat istri ku kan?!” pikirku.

Pak Bogo kembali berdiri di samping Maya. Dan Maya kembali melihat bagian bawah tubuh Pak Bogo yang tak bisa kulihat karena terhalang rak. Setelah itu dengan lancangnya Pak Bogo mendekat dan sepertinya membisiki sesuatu kepada istriku. Setelah itu Pak Bogo menarik kepalanya dan tersenyum kepada istriku. Sedangkan Maya kulihat terpaku, dia terus memandang bagian bawah tubuh pak Bogo.

Maya lalu melihat tempat Pak Joko, setelah itu ia melihat tempat dimana aku berada. Aku bingung melihat perilakunya. Lalu entah kenapa Maya memegang baju bagian kerahnya, ia seperti menarik kerahnya itu ke bawah beserta tubuhnya sehingga Maya tidak bisa terlihat lagi. Dan tak hanya Maya, Pak Bogo juga menghilang dari pandangan karena ia menunduk.

Pikiranku kacau. Apa yang mereka lakukan disitu?

Untuk memastikannya, maka aku berpura-pura membuka kenop pintu dengan keras dan kembali mengintip. Kulihat Pak Bogo buru-buru berdiri dan sepertinya mengancingkan sesuatu di bagian bawah tubuhnya. Sedangkan Maya juga berdiri sambil membetulkan kerah bajunya ke atas. Seolah tadi dia melorotkan kerahnya ke bawah untuk menunjukkan payudaranya.

Ini tidak mungkin bukan? Tidak mungkin mereka melakukan itu, terlebih lagi mereka baru kenal. Apalagi betapa setianya Maya kepadaku. Aku segera keluar dari toilet dan keluar dengan lagak biasa saja. Aku menghampiri Maya dan istriku terlihat salah tingkah.

“Sudah, Ma?” tanyaku.

“I-Itu, belum, Pa,” Maya tersenyum padaku, dan nafasnya terdengar menderu-deru.

“Oh,” aku mengangguk dan aku melihat Pak Bogo menjauh menuju rak lain.

Aku lalu bersama istriku mencari keperluan yang kami butuh kan. Setelah itu kami menuju tempat Pak Joko untuk membayar. Salahku yang membayar sambil mengajak Pak Joko mengobrol, sehingga pemilik warung ini mengantarku keluar warung untuk melanjutkan obrolan kami.

“Pa,” panggil istriku.

“Ya?”

“Mama ke toilet dulu ya?” Maya menunjuk warung.

“Oh iya-iya,” aku mengangguk.

“Pinjam sebentar ya, Pak,” izin istriku kepada Pak Joko.

Pak Joko mengiyakan dan kami berdua kembali mengobrol. Sampai akhirnya mengingat kalau Pak Bogo kan masih didalam! Sialnya Pak Joko masih mengajakku mengobrol, tak enak rasanya untuk menyela karena aku warga baru meski sementara.

12 menit berlalu, apa harus selama ini ke toilet? Aku bahkan tidak tahu apa istriku tadi mau buang air kecil atau buang air besar. Ada sedikit jeda yang bisa kujadikan alasan kepada Pak Joko agar aku bisa menyusul istriku ke dalam. Tapi belum aku berkata. Kulihat Pak Bogo keluar dengan senyumnya itu.

“Pak Joko, saya hutang dulu ya. 2 sabun, 1 odol sama 1 sikat gigi ini. Uang nya kurang, nanti malam saya kesini lagi.”

“Oh iya-iya,” Pak Joko mengangguk.

“Permisi dulu. Pak Joko, Pak Gio,” pamitnya.

Setelah kepergian Pak Bogo, maka Pak Joko mulai berbicara.

“Ada-ada saja bapak Bogo itu. Sudah bagus mendapat kerja di kota, eh malah bikin masalah. Sekarang disini hanya menjadi petugas keamanan saja.”

“Masalah?”

“Dia bermain belakang dengan istri orang. Istri majikannya sendiri.”

“Apa??” aku terkejut mendengarnya.

“Bukan rahasia umum lagi mengenai masalah dia di sini,” Pak Joko tertawa.

Mendengar itu membuat pikiranku kalut. Bahkan Maya belum keluar sedari tadi dari warung.

“Saya ke dalam dulu ya, Pak. Nengokin istri saya,” ulasku.

“Iya, saya mau nyapu halaman dulu.”

Pak Joko mengambil sapu lidi untuk menyapu, sedangkan aku buru-buru masuk ke dalam. Tak kutemukan keberadaan Maya. Dengan segera aku menuju toilet dan mengetuk pintu.

“Maya?”

“Iya, sayang!” Maya terdengar kaget di dalam.

“Kok lama sih?”

“I-Itu, mama sakit perut. Kamu tunggu saja di luar, sayang.”

“Iya,” kataku dan alisku mengerut.

Aku buru-buru mencari lubang yang tadi kuintip dari dalam toilet, dan aku menemukannya. Aku sibak aksesoris yang ada di situ dan segera aku mengintip ke dalam. Dan aku kaget bukan main. Di dalam toilet aku melihat bagian atas baju Maya melorot ke bawah, begitu juga BH yang ia pakai. Bisa kulihat puting merah mudanya itu basah di bagian sebelah kanan, terlihat jelas sekali. Sementara payudara sebelah kirinya terdapat cap tangan seolah ada tangan kekar yang mencengkeram payudara kirinya itu dengan keras.

Kaget ku tak sampai hanya disitu. Kulihat Maya mengangkat sebelah kakinya di atas bak dan dia sepertinya sedang membersihkan bagian vaginanya dengan tisu, samar-samar kulihat cairan putih ada di bagian bulu kelaminnya itu dan itu dilapnya dengan tisu.

Setelah itu Maya membetulkan BH dan bajunya, ia angkat juga celana dalamnya dan membetulkan posisi baju bagian bawahnya. Ia merapikan rambutnya sejenak dan menyiram-nyiram air ke sembarang tempat, seolah ia sedang menggunakan toilet itu untuk buang air. Aku terdiam dan pikiranku mulai kalut.

Kenapa kondisi Maya bisa seperti itu?

Apakah tadi dia melakukan sesuatu di dalam sana?

Atau dia melakukan sesuatunya itu tidak sendiri, tapi berdua dengan Pak Bogo?

Pikiran ku mulai kacau. Hal-hal negative mulai menyerang otak. Maya lalu keluar dari toilet dan tersenyum melihatku.

“Sayang, kamu kenapa di situ?”

“Oh,” aku menggelengkan kepalanya, “Tidak.”

“Hehe,” Maya mengaitkan pergelangan tangannya ke pergelangan tanganku, “Yuk pulang. Dimas pasti menunggu.”

Aku hanya mengangguk dan berpamitan kepada Pak Joko sekali lagi untuk pulang. Di perjalanan pulang itu Maya terus mengoceh tentang keindahan desa ini saat sore hari. Sementara aku terdiam, karena aku mencium aroma yang tak asing bagiku dari tubuh Maya. Meski parfum istriku ini semerbak, tapi aku bisa mencium jelas aroma yang lain.

Dan itu adalah aroma sperma.

“Hei-hei, ini tidak mungkin kan?!” batinku.

BERSAMBUNG

Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Categories

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

BTemplates.com

POP ADS

Blogroll

About

Copyright © Cerita Panas | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com