๐Š๐ž๐ฆ๐›๐š๐ฅ๐ข ๐๐ฎ๐ฅ๐š๐ง๐  ๐๐š๐ . ๐Ÿ—

 


IX. Asisten Pribadi​
Keesokan harinya, Jumat, Jenni pindah ke ruanganku, Ada banyak gosip soal itu di kantor, tapi kami ga mempedulikannya. Semuanya akan terungkap pada waktunya nanti. Kami menyiapkan komputer, printer, dan scanner untuknya. Lalu kami mulai memeriksa orderan baru dan mendiskusikan spesifikasi yang diminta klien, sedikit demi sedikit agar Jenni memahami istilah dan teknis produk kami, bagaimanapun dia yang nantinya harus presentasi di depan klien.

Sorenya, aku menerima telepon dari Hasan, yang memberi tahu bahwa ada info baru tentang Boy Rolan, detektif swasta yang disewa Hadi dan Ana di Surabaya, dan bahwa kami harus pergi menemui orang itu. Aku setuju tanpa memikirkan Jenni dan apa yang akan dia lakukan kalau aku ga ada. Aku dan Hasan janjian untuk pergi ke Surabaya hari Senin dan dia berencana untuk langsung balik tanpa menginap. Jenni meyakinkan aku bahwa ada begitu banyak hal yang bisa dia pelajari dari order dan kontrak lama, sehingga hari itu ga akan sia-sia walaupun aku ga bisa mengajarinya langsung. Gadis yang hebat.

Malam itu aku menunggu sampai Tris pulang kerja dan meneleponnya untuk menceritakan tentang asisten baruku yang menarik. Aku berusaha mendeteksi nada kecemburuan dalam suaranya, tapi dia malah mendorongku dengan bilang untuk 'mencobanya', meskipun aku sudah bilang padanya dengan tegas bahwa hubungan kerja akan jadi terlalu rumit kalau sampai menyimpang di luar batas profesional. Dia tertawa keras, yang membuatku jengkel.

Sabtu malam, aku menjemput Jenni dengan naik taksi di apartmentnya. Aku ternganga kagum saat dia membuka pintu dan berdiri di hadapanku. Dia tampak sangat mempesona dan elegan. Rambutnya diikat keatas, dia juga memakai riasan yang sederhana tapi sangat efektif. Dia memakai ‘little black dress’ yang memperlihatkan sedikit belahan dada dan dengan lipatan terbuka di bagian tengah paha, dilengkapi dengan bros, anting, dan kalung yang serasi. Kakinya dihiasi sepatu berwarna senada dengan hak yang ga terlalu tinggi.

Saat kami sampai di restoran, aku bisa melihat pengunjung lain memperhatikannya, terutama para pria. Sangat lucu menebak apa yang mereka pikirkan saat ini: 'Bagaimana mungkin seorang bajingan jelek seperti dia ditemani wanita secantik itu?'

Kami menjalani makan malam yang santai dan sangat menyenangkan bersama-sama. Kami cukup nyambung sebagai teman ataupun rekan kerja, kami sering tertawa, bicara tentang keluarga, terutama dia yang banyak bercerita tentang itu, aku hanya menceritakan tentang keluargaku di Singapore, kami juga berdiskusi tentang banyak hal lain sehari-hari tanpa membahas hal yang terlalu serius.

Ternyata ada banyak hal yang sama-sama kami sukai. Kami berdua suka olahraga, dia suka joging setiap pagi di sekitar apartment, sedangkan aku joging di gym; dia suka musik klasik dan teater. Aku suka musik klasik tapi seingatku belum pernah ke teater. Jadi secara umum kami saling mengenal dengan sangat baik.

Dia ingin tahu gimana rasanya punya bekas luka sepertiku dan melihat raut wajah orang-orang saat memandangku. Sebaliknya aku ingin tahu gimana rasanya jadi orang secantik dia, perasaan dipandangi oleh pria di sekitar. Aku baru tahu dia kadang-kadang merasa dihakimi, bahwa pria yang terlalu percaya diri itu seringkali sombong dan agresif dan beranggapan dia bisa diajak berhubungan seks dengan mereka – aku kaget dia membahas hal seperti ini denganku yang baru dikenalnya. Sementara pria 'biasa' yang sebenarnya menarik merasa terintimidasi dan merasa dia ga akan tertarik pada mereka.

“Untungnya kamu ketemu dengan orang jelek dan pemalu sepertiku,” Itu membuatnya tertawa dan entah bagaimana tawanya membuatku lega. Kebanyakan orang akan rikuh merasa bersalah saat aku bercanda tentang penampilanku.

Aku tanya padanya apa dia mau pergi ke tempat lain setelah ini, tapi dia bilang dia lebih baik pulang. Jadi aku mengantarnya pulang naik taksi lagi, mengucapkan terima kasih padanya dan kami tersenyum satu sama lain lalu mengucapkan selamat malam.

Minggu selalu jadi hari libur dan istirahat, dan itu yang kulakukan. Aku bangun terlambat, lalu keluar sebentar untuk jalan-jalan. Aku mampir ke supermarket untuk membeli koran dan pulang untuk menikmati kopi, membaca dan mengerjakan teka-teki silang.

Sorenya aku jalan-jalan lagi di sekitar apartment, lalu menyiapkan dan menyantap makan malam. Aku tiba-tiba mendapat sekelebat ingatan, sekali lagi hanya berupa kegiatan tanpa bayangan apa pun, bahwa aku selalu makan bersama keluarga setiap Minggu malam, entah di rumah atau di restoran. Anehnya, aku merasa bau dari makanan yang kumasak inilah yang membawa memori itu datang, dan itu memberiku resolusi bahwa aku harus membuat kontak dengan Hadi, Ana dan anak-anakku.

Malam itu kuhabiskan dengan berkemas untuk perjalanan ke Surabaya besok. Aku tahu kami seharusnya ga menginap, tapi Hasan menyarankan supaya aku mempersiapkan seandainya ada masalah dan kami harus menginap. Jam sebelas aku menelepon Tris.

"Gimana makan malamnya kemarin?" tanyanya, dengan nada yang samar-samar berbeda pada suaranya.

"Lancar," jawabku, pura-pura ga tahu arah pertanyaannya, "Makanannya enak banget."

"Ayolah, Errik, ceritain detailnya. Semuanya." Aku tersenyum mendengarnya.

"Tris, kemarin malam sangat menyenangkan. Kami ternyata punya banyak kesamaan. Sepertinya kami akan jadi rekan kerja yang cocok. Dia cerdas, pengetahuannya luas dan peka. Dia ga terintimidasi oleh penampilanku juga ga mengungkit-ungkit masalahku. Kami makan enak, obrolan yang nyaman, lalu aku mengantarnya pulang ke apartmentnya. Ga ada ciuman. Oke? Dia rekan kerjaku, Tris."

Aku hampir bisa mendengar dia mengangkat bahu dan memikirkan kata ‘so what?’

"Oke. Aku paham, tapi kamu tahu kan aku akan merasa jauh lebih lega saat aku pergi kalau kamu punya orang lain yang mendampingimu."

"Yah, aku juga sudah mikirin soal itu. Tapi, aku merasa akan lebih baik buatku kalau aku tetap sendiri sementara waktu. Ketika aku nantinya bertemu seseorang, aku ingin jadi seorang pria yang mandiri, bukan orang cacat yang harus bergantung pada orang lain."

"Ya ampun, Errik!" dia berteriak. "Kamu sama mandirinya dengan siapa pun yang aku kenal. Keberanian dan tekadmu itulah yang bikin kamu seperti sekarang, bukan orang lain. Aku tahu banyak orang yang cedera jauh lebih ringan darimu, dan sampai sekarang masih duduk di kursi roda."

"Tetap saja, aku merasa bahwa waktu sendiri, setelah kamu pergi nanti, akan baik buatku."

Dia lalu bilang bahwa mulai Rabu dia harus kerja lembur karena kekurangan staf sampai minggu berikutnya. Dia akan libur mulai Jumat minggu depan selama empat hari. Kami sepakat aku akan ke Semarang waktu itu.

"Sementara itu kamu bisa mengenal lebih dekat asisten cantikmu” Dia terkikik dan menutup telepon sebelum aku bisa protes.

----------0----------​

"Jadi, hari Sabtu kemarin kamu kencan dengan siapa?" Hasan bertanya saat kami dalam perjalanan ke bandara Soekarno - Hatta. "Kamu ga mau buang-buang waktu nganggur sepertinya? Seorang perawat di Semarang dan sekarang gadis rambut pirang yang sangat cantik ini juga. Apa betul mereka tertarik sama bekas luka dan kepala botak?" dia tertawa.

"Sepertinya begitu," jawabku dengan nada sombong, "Sebenarnya, dia asisten pribadi baruku dan malam itu aku mengajaknya makan malam untuk lebih saling mengenal."

"Dasar buaya!" dia menyeringai.

"Ngomong-ngomong, kok kamu bisa tahu aku makan malam?" Tanyaku.

"Aku punya cara sendiri," Gilirannya untuk jadi sombong, dan percakapan beralih ke rencana yang akan datang.

Kami sampai di Surabaya dan langsung bertemu dengan seorang polisi dari Surabaya yang berlangsung singkat. Ga ada informasi baru. Mereka sudah menyampaikan semua yang mereka tahu pada Hasan. Rekaman CCTV sudah lama terhapus, jadi Boy Rolan adalah satu-satunya harapan kami untuk mendapatkan lebih banyak informasi dan bukti. Seorang anggota polisi bernama Fandi ditugaskan membantu kami, dan mereka memutuskan untuk mendatangi rumah Boy tanpa memberi tahu dia tentang kedatangan kami, agar kalau seandainya ada sesuatu yang ilegal, dia ga akan punya waktu untuk menghancurkan bukti yang mungkin akan berguna bagi kami. Yang jelas mereka entah bagaimana punya surat perintah untuk mengeledah rumah Boy Rolan.

Rumah Boy Rolan kosong saat kami pertama datang kesana, tapi seorang tetangga memberi tahu kami bahwa Boy baru akan pulang besok karena hari ini dia menginap di rumah anaknya. Kami terpaksa balik dan memutuskan untuk menginap di hotel tempatku menginap dulu, lalu mencoba mereka ulang kronologis seperti yang diceritakan oleh Emma dan Alfred sampai ke stasiun. Tapi ga ada gunanya. Jadi kami balik ke hotel dan makan lalu beristirahat untuk persiapan besok.

Besoknya suasana basah karena hujan tapi jam tujuh pagi kami sudah duduk di dalam mobil yang dipinjam Hasan dari kepolisian setempat didepan rumah Boy Rolan. Rumah itu cukup besar, lebarnya sekitar dua puluh meter dan memanjang tiga puluh meter kebelakang. Cukup mewah untuk seorang detektif swasta yang ga terdaftar di kepolisian. Kami menunggu sambil mendengarkan radio dan deru hujan di atap mobil, dan tepat jam sepuluh, orang yang kami tunggu tiba dengan seorang wanita yang kami perkirakan adalah istrinya. Kami membiarkannya masuk ke dalam rumah dan memberinya waktu sepuluh menit sebelum kami turun dari mobil dan mengetuk pintu.

"Ini saatnya," kata Fandi. "Kami mengetuk, dia menjawab dan membuka pintu. Kami menanyakan tentang kasus ini, tapi dia menyangkal bahwa dia punya catatan atas kasus itu. Hasan menunjukkan surat perintah dan mengingatkannya bahwa biasanya kalau polisi terpaksa mengeledah sebuah rumah, mereka bisa jadi malah akan menemukan hal-hal ilegal lain yang sebenarnya ga mereka cari. Dan ancaman itu berhasil karena dia mengizinkan kami masuk dan menyerahkan beberapa barang.

Seperti Jimmy teman kami, Boy Rolan adalah pria yang sama sekali ga mencolok, dia kelihatan seperti pria Indonesia normal, dengan tinggi rata-rata, berat rata-rata, pakaian biasa, ga ada penampilan yang aneh darinya. Wajahnya bulat dan kelihatan polos, tapi ini berbanding terbalik dengan sikapnya. Dalam kondisi normal dia ga akan pernah diperhatikan atau diingat oleh orang-orang yang hanya melihatnya sekilas.

Dia membawa kami ke dapur dan dari situ keluar ke sebuah bangunan terpisah semacam gudang. Kami bertukar pandang. Gudang seperti ini pasti lembab dan merusak bukti-bukti yang kami cari. Tapi ternyata di dalam ruangan itu kering dan hangat, berkarpet dan bersih. Ada sederet lemari di salah satu sisi dinding dan meja kecil di tengah ruangan. Kami berdiri berjajar di depan didnding seberangnya. Boy Rolan berdiri di dekat lemari.

"Kami yakin kamu mengambil foto-foto ini dari rekaman CCTV." Hasan memulai, mengeluarkan foto-foto dari tasnya, dan meletakkannya di atas meja. Boy memeriksanya.

"Aku membayar mahal untuk melihat rekaman itu dan membuat copynya," protes Boy. Mengejutkan karena dia sepertinya ga butuh waktu lama untuk mengingat itu.

Tiba-tiba dia sepertinya memutuskan ga ada gunanya mengulur-ulur waktu lebih lama dan mengambil map dari salah satu lemari. "Ini file kasus itu," katanya, "Ada kasetnya di dalam tapi ga tahu apa rekamannya masih bagus atau sudah rusak, juga ada print surat dari Nyonya Ana yang memintaku mencari Tuan Errik.”

"Film itu punya semua rekaman gambar yang menurutku aku perlu," dia menambahkan seolah sambil mengingat-ingat lagi.

Kami memeriksa map itu. Benar saja ada kaset, dan satu surat.


Tuan Boy yang terhormat

Kami mau memakai jasamu untuk mencari informasi tentang aktivitas suamiku Errik Riccardson.


Dalam surat itu lalu tertulis rencana perjalananku secara rinci, nama hotel, waktu dan tanggal.


Dia sudah menghilang sejak dia meninggalkan hotel, dan kami mengkhawatirkan keadaan pikirannya. Informasi apa pun akan sangat dihargai.


Surat itu ditutup dengan kata-kata seperti biasa, ditandatangani oleh Hadi dan Ana.

"Jadi apa yang sudah kamu lakukan?" tanya Hasan pada Boy.

"Menghubungi mereka dan membuat kesepakatan, mereka juga membayar dengan jumlah yang lebih besar dari seharusnya. Lalu saat aku mulai mencari Tuan Errik ke hotel, resepsionis hotel bilang bahwa Tuan Errik dan wanita itu, bisa dibilang, sangat dekat. Nah, kamu bisa lihat itu dari foto."

"Kamu ingin membuat copy foto ini dulu?" tanya Hasan, mengabaikan komentar dari Boy sebelumnya.

"Ga usah. Ambil aja."

"Kamu nulis apa dalam laporanmu?" tanya Fandi.

"Lupa. Tapi seingatku itu laporan standar aja. Seperti biasa kan, suami terlihat sama wanita lain, foto yang menjadi bukti, biasanya itu yang dicari oleh orang. Aku berasumsi pria yang menandatangani surat itu mungkin selingkuhan sang istri, dan mereka cari bukti untuk melawan balik suaminya. Aku sering ketemu kasus seperti itu dalam pekerjaan aku. "

Setelah itu kami pergi. Untungnya sekarang hujan sudah berhenti dan kami ga perlu berbasah-basah lagi saat kembali ke mobil. Kami kembali ke kantor polisi dan menonton videonya. Seperti yang diduga sebelumnya rekaman CCTV ini masih model lama, gambar diambil dengan jeda lima detik, bukan dalam bentuk video bergerak. Aku melihat gambar Emma dan aku di resepsionis saat akan meninggalkan hotel dengan membawa koper, lalu kamera dari sudut lain merekam gambar kami di lobby berpelukan, lalu minum kopi bareng. Kamera ketiga ada di Stasiun, di mana aku bersama Emma di loket pembelian tiket, lalu bertiga saat Alfred datang, lalu kami bertiga berpisah saat mereka naik ke kereta. Gambar terakhir menunjukkan aku pergi dari stasiun dengan seorang pria. Secara keseluruhan, foto-foto itu sama dengan yang dikirim Boy ke Ana dan Hadi, kecuali untuk gambar terakhir. Kenapa dia ga kirimin sekaligus?

"Mungkin dia kira itu ga diperlukan," kata Fandi. "Kalau dia kira mereka butuh bukti perselingkuhanmu, gambar terakhir itu ga akan berguna. Kami akan kembali lagi ke Boy dan menanyakan setelah itu kami akan infokan pada kalian."

Kami berterima kasih kepada orang-orang di kantor polisi, balik ke hotel, mengemasi barang kami dan segera memesan tiket untuk pulang. Hasan membawa semua bukti itu bersamanya, dan menyarankan kami berempat ketemu lagi hari Jumat untuk membahasnya di tempat biasa. Aku mengusulkan untuk ngumpul di apartmentku, dan dia bilang akan tanya ke yang lain dulu asalkan aku mau menyediakan bir untuk mereka.

Rabu sepertinya akan cerah. Pagi cukup dingin dan berkabut tapi segera tersapu oleh sinar matahri yang hangat, memberiku semangat untuk menjalani hari.

Saat aku sampai di ruangan kantorku, aku berhenti setelah menutup pintu, berpikir apa aku salah masuk ruangan. Ruangan itu entah bagaimana terasa nyaman. Ada vas bunga segar, dan lukisan abstrak di dinding. Lukisan-lukisannya menenangkan tapi aku ga tahu siapa nama pelukisnya.

Ada sofa dan kursi berlengan dari kulit di satu sisi ruangan dan dua meja kerja di sisi lain dengan sudut yang menarik, Jenni memandangiku dari balik salah satu meja, senyum lebar di wajahnya yang cantik menerangi ruangan. Bersaing dengan sinar matahari yang menembus jendela. Dia keliahatan sangat puas. Dia sepertinya menunggu-nunggu reaksi dari wajahku dan mau ga mau aku harus tersenyum.

"Kerjaanmu?" Aku menanyakan pertanyaan yang sudah jelas jawabannya. Dia mengangguk. "Bagus, Jen," aku melanjutkan dengan semangat. "Sangat nyaman dan damai. Terima kasih. Aku ga kepikiran bisa seperti ini. Lukisan siapa itu?"

"Lukisan saya."

"Maksudku siapa pelukisnya?"

"Saya yang melukis."

Aku shock. Dia jelas juga punya bakat sebagai pelukis, kenapa dia malah jadi sekretaris? Suatu saat aku akan bertanya kalau ada waktu yang pas. Ada lebih banyak hal yang belum kutahu dari gadis yang menarik ini, jauh lebih banyak dari yang kelihatan.

"Bagus banget!" Aku berseru, dan dia berseri-seri karena senang.

"Menurutku, kalau lingkungan tempat kerjamu indah dan nyaman," katanya pelan, "Pekerjaan di kantor akan terasa lebih ringan. Ada terlalu banyak hal yang bikin stres dalam hidup. Semoga sedikit keindahan bisa melegakan."

"Kayaknya aku nemu harta karun. Aku jadi kepingin tahu bakat apa lagi yang kamu simpan dan rahasiakan. Aku yakin aku akan senang kerja sama kamu."

Rona merah muncul di pipinya yang putih, "Nah, gimana hasil peryelidikan disana?”

Aku menceritakan padanya tentang penyelidikan kami di Surabaya, dan bukti yang sudah kami lihat dalam bentuk aslinya dan lengkap.

"Bagus," katanya, senyum itu sekali lagi menerangi ruangan. "Lumayan sudah dapat kemajuan."

Ruangan itu ga cuma didekorasi. Dia sudah mengatur sistem penyimpanan file dan aku melihat semua tertata rapi. Kami lanjut membahas soal pekerjaan dan membahas persiapan pertemuan dengan klien dan supplier berikutnya, dan dari situ terlihat jelas bahwa dia juga sudah menyelesaikan semua PR-nya selama aku pergi.

Aku menemui Jeffry saat jam makan siang dan menceritakan tentang kepergianku ke Surabaya.

"Gimana pendapatmu tentang ruanganmu?" tanyanya, matanya berbinar.

Aku merentangkan kedua tanganku, "Aku speechless!"

"Dan aku jealous! Kalau ga ada Widya yang bantu aku, aku berencana merebut dia darimu."

"Jangan pernah mikir begitu! Dia punyaku!"

"Ya, mungkin betul sih. Dia memang sesuai tipemu, kan."

"Profesional, Jeffry, profesional. Kita pertahankan terus seperti itu."

Alfon meneleponku di kantor untuk memberi tahu aku bahwa mereka sudah sepakat pertemuan kami pindah ke tempatku, dan juga bahwa dia sudah menyerahkan laporan keuanganku ke pengadilan.

Sisa minggu itu penuh dengan kerja keras, secara intelektual di kantor, dan secara fisik di gym. Aku memaksa diriku semaksimal mungkin di gym pada Rabu sore, dan besoknya oleh fisioterapis di rumah sakit, yang sekali lagi memuji kemajuanku. Jumat sore, aku memperhatikan Jenni sedikit gelisah,

"Ada apa, Jenni?" Aku bertanya mendadak. Dia kelihatan kaget sesaat.

"Apa Bapak akan ketemuan sama Patricia weekend ini?"

"Sepertinya ga, mungkin minggu depan - dia kerja lembur weekend ini."

"Nah, kalau Bapak ga punya acara apa-apa Minggu malam, aku mau pergi nonton konser dan aku punya tiket lebih. Pak Errik mau ikut?"

"Konser apa?"

"Jakarta Concert Orchestra di TIM.”

"Yah..." aku ragu-ragu. Apa dia mengajak aku kencan? Dia membaca pikiranku.

"Bapak sudah traktir aku makan malam, dan katanya belum pernah nonton konser, jadi aku pikir aku mau ajak nonton konser mumpung ada kesempatan. Ga ada maksud lain."

Aku ga bisa menolak "Terima kasih Jenni, aku akan ikut, tapi aku punya syarat."

“Syarat apa?”

“Mulai sekarang ga perlu panggil aku Pak, cukup Errik, aku merasa panggilan itu menyebabkan sekat karena jabatan buatku dan karyawanku. Kalau kamu perhatikan, Widya juga ga pernah memanggil aku dan Jeffry pakai kata ‘Bapak’. Deal?”

"Deal, kalau gitu aku jemput jam setengah tujuh." katanya

"Apa kamu--"

"Ya, aku tahu alamat tinggalmu... Errik," dia tertawa, dan begitulah sekali lagi kami akan jalan berdua.


Jam delapan malam, sudah ada tiga orang temanku mengelilingi meja di apartmentku, masing-masing memegang sebotol bir ditangan masing-masing.

Hasan dan aku harus menceritakan ke yang lain bahwa sepertinya ga ada hal baru yang bisa didapat dari rekaman, selain dari gambar di frame terakhir yang menunjukkan bahwa pada akhirnya aku ga pergi dengan Emma.

"Coba lihat," kata Jimmy.

"Aku menyalinnya ke DVD ini." kata Hasan.

Aku menerimanya dan memasukkan ke laptop lalu menekan play. Kami menyaksikan dalam diam saat gambar bergantian muncul.

Mereka bertiga setuju bahwa gambar terakhir akan mengubah persepsi peristiwa yang sebenarnya terjadi, dan bahwa Boy Rolan sudah sengaja menyimpannya untuk tujuan tertentu, entah karena kemauannya sendiri atau karena dia disuruh.

Setelah selesai, Jimmy bilang, "Balik ke stasiun." Aku menuruti permintaannya dan gambar diulang lagi.

"Berhenti!" Kata Jimmy. Gambar di laptop berhenti. Kami semua memandangnya. Ada gambar Emma dan aku memesan tiket, dan beberapa orang lain berdiri di sekitar kami. "Kalian lihat pria di kiri bawah itu? Aku yakin aku pernah ngalihat dia sebelumnya, aku punya ingatan bagus soal wajah, itu membantu dalam pekerjaanku. Tapi aku ga bisa mengingatnya."

"Tunggu sebentar," sela Alfon. "Dia orang yang pergi bersamamu meninggalkan stasiun, Errik. Coba balik ke lobi hotel, gambar terakhir saat kalian berdua keluar dari hotel."

Aku menurut.

"Itu!" kata Alfon, "itu orang yang sama kan, Jimmy?"

Jimmy setuju. "Ya, itu dia. Nah, itu kebetulan yang ingin aku selidiki. Sepertinya dia sedang mengikutimu sampai ke stasiun. Mungkin juga bukan apa-apa, bisa saja kebetulan dia menginap di hotel yang sama. Ini bisa jadi cuma kebetulan tapi aku ragu. Biar aku coba selidiki lagi, aku yakin bisa menemukan jejaknya."

“Ngomong-ngomong,” Kata Hasan, “Aku belum bilang kalau aku ditarik dari menangani kasusmu, mereka menganggap aku punya hubungan terlalu dekat denganmu untuk bisa berpikir objektif. Tapi jangan khawatir, aku tetap boleh memberikan informasi apapun kalau aku punya tetntang kasus ini.”

Alfon menunggu sampai dua temanku yang lainnya pulang sebelum memberitahu progress tentang kasus perceraianku.

"Aku sudah menyerahkan daftar hartamu akhir minggu lalu, tapi belum dapat apa-apa dari perwakilan Ana, aku masih menunggu. Walaupun diserahkan langsung ke pengadilan, aku harus punya salinannya.” Kata Alfon, lalu menambahkan,

"Aku memang dapat usulan penyelesaian lain dari pengacaranya, tapi itu menyebutkan Ana akan dapat setengah dari perusahaan dan setengah dari seluruh asetmu. Lalu tunjangan untuk anak-anak jadi dua kali lipat. Aku membuat usulan balasan bahwa saat aku sudah terima daftar harta Ana darinya, aku baru akan memulai negosiasi, tapi usulannya sama sekali ga bisa diterima.”

"Ya Tuhan! Penjualan rumah itu bernilai beberapa ratus juta. Aku ga ngerti kenapa dia begitu agresif. Aku tahu dia terluka oleh kepergianmu yang dia anggap karena wanita lain, tapi ini balas dendam yang membabi buta. Dia bahkan sudah punya pria lain dan mereka akan menikah! Yang jelas, menurutku ini pasti harus dibawa ke pengadilan. Aku akan bikin penawaran yang menarik, tapi pasti akan dia tolak, lalu kita lihat saja nanti. "

Sangat menyedihkan setelah seminggu yang menyenangkan lalu mendengar kabar itu. Setelah Alfon pulang, aku beberes dan langsung tidur jam sepuluh malam. Aku terbangun karena suara telapon jam setengah dua belas, yang membuatku jengkel, dan kata-kataku yang sedikit kasar mengharuskan Tris meminta maaf.

"Aku pikir kamu ketemuan sama Alfon dan yang lain, aku pikir kamu masih sama mereka."

"Kami selesai lebih awal dan aku langsung tidur."

"Maaf." Lalu dia diam. "Oke, kalau gitu aku hubungi lagi besok," dan dia menutup telepon.

Aku seketika merasa bersalah dan ganti meneleponnya.

"Maaf Tris, Alfon menutup pertemuan malam ini dengan berita terbaru tentang perceraianku. Sangat menjengkelkan. Jadi, aku langsung tidur setelahnya."

"Selain itu?"

"Bagus banget," jawabku saat lebih sadar, "Kami ga nemu banyak hal baru di Surabaya selain sebuah foto baru yang mungkin akan mempengaruhi jalan cerita, selain itu sepertinya ga salah memilih Jenni jadi asistenku. Ruang kantorku kelihatan mewah, ada lukisan, lukisan yang dia buat sendiri, bunga, sofa. Terasa seperti rumah sendiri."

"Dia ngajak kamu kemana weekend ini?" Pertanyaan itu bikin aku kaget.

"Kok kamu bisa--"

"Errik," katanya dengan nada suara lembut, "Dia suka kamu. Aku sudah bilang berkali-kali, kamu itu laki-laki yang sangat menarik bahkan dengan semua bekas lukamu."

"Dia cuma mau gantian traktir karena aku sudah ajak makan malam minggu lalu."

Tawa di ujung sana hampir membuatku tuli.

"Errik sayang, jangan naif! Dia akan tetap bersikap sopan dan profesional, tapi aku yakin dia suka kamu."

"Kamu ga keberatan?"

"Kenapa aku harus keberatan? Sebentar lagi aku sudah ga disini."

"Tetap saja, aku ingin menjaga hubungan kami tetap profesional. Aku serius, Tris."

"Mungkin." dia tertawa lagi

Dia cerita tentang kerjaannya: kerja, kerja, kerja. Aku memberinya semangat dan membuat janji bahwa aku akan pergi ke Semarang weekend berikutnya, kami menutup telepon setelah itu.

Aku memikirkan tentang Jenni. Aku ga yakin kemana harus membawa hubungan kami nantinya. Aku menghela nafas dan memutuskan untuk menjalaninya dan membiarkan waktu yang menjawab. Ada perasaan yang mengganggu bahwa membawa hubungan kami melewati batas profesional akan sangat tidak etis, walaupun pasti sangat menyenangkan punya pasangan seperti Jenni. Aku menertawakan pikiranku sendiri lalu mencoba untuk tidur lagi, dan baru berhasil satu jam kemudian setelah membaca novelku.

Weekend ini aku ga punya kegiatan apa-apa yang bisa mengalihkan perhatianku dari rasa jengkel karena memikirkan keserakahan mantan istriku, jadi aku berusaha mencari kesibukan yang bisa dilakukan. Akhirnya aku membersihkan apartment dari ujung ke ujung, setelah itu aku keluar dan melihat sale peralatan fitness di mall. Pilihanku jatuh ke alat yang seolah membuat pemakainya seperti sedang mendayung kano.

Aku pulang dan butuh waktu lama berusaha memasangnya sendiri di apartment sebelum akhirnya berhasil, lalu aku langsung memakainya selama sekitar satu jam mendayung. Karena lelah, aku mandi dan hanya berbaring di sofa sambil nonton acara sampah di TV sampai malam. Hari Minggu aku hampir tidur seharian dan bangun untuk membeli makan dan koran, lalu kegiatan rutin mengisi TTS.

Karena itu aku sudah bersiap untuk pergi dengan Jenni jauh sebelum dia sampai. Saat akhirnya aku membukakan pintu untuknya, aku lihat dia memakai sweater hitam yang ketat dan celana jins, dan ga lama dia tertawa melihatku mekakai jas dan dasi kupu-kupu. Dia memiintaku untuk ganti pakaian yang lebih santai dan ga terlalu formal.

Dia terus tertawa, "Kayaknya yang pakai jas dan dasi kupu-kupu di konser ini adalah anggota orkestranya.”

Aku mempersilahkan dia masuk dan duduk di ruang tamu lalu aku ganti pakaian. Konsernya sangat bagus, es krimnya mahal tapi enak banget. Dia mengantarkanku balik ke apartment lalu dia pulang, kuteriakkan terima kasih saat mobilnya bergerak perlahan. Hubungan profesionalisme kami tetap terjaga, meskipun ada rasa menyesal karena aku ga mengundangnya mampir.

Minggu berikutnya sangat sibuk. Aku dan Jenni naik kereta ke Bandung untuk negosiasi dengan salah satu supplier kami. Meeting kami hari itu ga sia-sia pada akhirnya setelah diskusi panjang tentang apa mereka bisa membuat beberapa desain kotak percontohan untuk menampung salah satu produk kami sebelum diproduksi penuh. Aku rasa itu karena kemampuan diplomasi Jenni yang memenangkan persetujuan mereka, digabung dengan kombinasi rok pendek ketat dan blus sutra putih yang membuat para pria (semua peserta rapat dari pihak supplier adalah pria) meneteskan air liur, terutama saat dia menunduk dan mencondongkan tubuh ke depan untuk menjelaskan gambar rencananya di meja.

Hari Rabu minggu itu aku seperti biasa bertemu dengan ketiga temanku namun ga ada perkembangan baru terkait penyelidikan kasusku, jadi kami hanya minum dan ngobrol sebentar sebelum pulang. Saat kami pulang, Alfon mengundangku untuk makan malam keesokan harinya, Kamis, aku setuju dan entah kenapa aku merasa besok akan jadi malam yang mendebarkan.

Aku sudah siap setengah jam sebelum Alfon menjemputku hari Kamis sore. Dia beberapa kali bikin komentar tersirat agar aku siap untuk dapat ingatan baru dan bahwa kami akan makan di resto langanannya. Aku kaget karena ternyata Vivi ga diajak, atau mungkin lebih tepatnya dia dan Alfon sudah memutuskan dia sebaiknya ga ikut. Belakangan aku tahu bahwa dia ga yakin bisa menahan mulutnya untuk mengatakan hal yang kelewatan.

Alfon mengajakku ke sebuah restoran kecil tapi mewah di daerah Bintaro, yang dia yakinkan padaku akan membangkitkan kenangan untukku. Kami disambut oleh manajer restoran yang dari gerak-geriknya jelas sudah kenal baik dengan Alfon. Manajer memandangku dengan ekspresi yang sudah biasa kulihat dari orang yang baru pertama melihatku. Ada kira-kira sepuluh meja dan setengahnya sudah terisi. Kami diarahkan ke meja di sudut yang punya sudut pandang ke seluruh ruangan, yang menurut Alfon perlu.

Kami sudah mulai menikmati hidangan pembuka saat Alfon mendadak tegang dan bilang, "Lihat kearah pintu."

Aku menoleh dan melihat seorang pria baru saja masuk melalui pintu, kuperkirakan dia berumur sekitar lima puluh tahun, tubuhnya besar tapi lebih ke arah kekar, tampan dan klimis, dan dibelakangnya ada seorang wanita yang sangat menarik berumur sekitar empat puluh tahun, menurutku. Mereka tertawa bersama dan dia mengandeng lengan sang pria. Mereka diarahkan ke meja kosong yang berjarak tiga meja dari meja kami.

Saat pasangan itu berjalan ke meja mereka, Alfon berkata, "Itu dia. Itu yang namanya Hadi Firmanto."

"Dan itu Ana?" Tanyaku, menatap wanita itu, mencoba mengingat-ingat. Ga ada yang muncul. Dia memang wanita yang sangat menarik dengan keanggunannya yang terlihat dewasa, dengan wajah yang sangat cantik dan bentuk tubuh yang luar biasa, tapi aku ga berhasil mengingat apa pun.

Mereka duduk dan aku terus menatapnya, berharap ada memori yang muncul.

"Ingat sesuatu?" tanya Alfon.

"Ga," jawabku. "Tapi dia sangat cantik. Jadi dia mantan istriku?"

Pada tahap ini usaha ku untuk mendapatkan lagi ingatanku disalahartikan oleh Hadi Firmanto, dan dia menggumamkan sesuatu pada Ana lalu berdiri.

Dia melihat ke arah kami dan aku melihat ekspresi jijik sekilas diikuti oleh rasa kasihan. Ana mencoba menahan Hadi, lalu melihat ke meja kami dan dia melihat Alfon.

Aku mendengar dia berkata, "Itu Alfon dan temannya, biarin saja mereka."

Tapi dia ga akan membiarkannya. Ini adalah pria yang sedang cemburu. Hadi mendekat ke meja kami dan mengabaikan Alfon lalu berkata dengan agresif padaku.

"Aku akan berterima kasih kalau kamu ga menatap ist... tunanganku."

Aku berusaha menjaga nada suaraku tetap rendah.

"Kalau gitu ga perlu berterima kasih karena aku akan terus menatap apapun selama aku mau. Kalau boleh aku sarankan kamu pergi dan duduk di mejamu sendiri?"

"Dasar kamu..." dia mengepalkan tinjunya di samping tubuhnya dan Alfon turun tangan.

"Hadi, jangan bodoh. Kekerasan bisa jadi kesalahan yang mahal," dan dia menatap pria yang marah itu.

Mendengar ini, Ana muncul di samping Hadi dan karena aku berhadapan dengan Hadi maka itu berarti disampingku juga, lalu Ana meraih lengannya.

"Ayo sayang," katanya pelan. "Biarkan bapak-bapak ini melanjutkan makan malam mereka."

Dia tersenyum padaku dan aku bisa mencium bau parfumnya. Mungkin benar bahwa bau membangkitkan ingatan, seringkali lebih baik daripada suara atau gambar.

Setidaknya berhasil buatku, karena saat itu juga seakan-akan ada cahaya yang menyala di dalam kepalaku, dan hatiku. Kenangan lama datang bagaikan gelombang, saling menyusul. Aku memejamkan mata dan mencengkeram pinggiran meja. Itu karena kombinasi dari suara dan parfum, yang selalu kubelikan untuknya, aroma favoritnya.

Aku mendapat gambaran, kilasan saat kami berdua bergandengan tangan berjalan di sebuah taman, saat dia keluar dari kamar mandi, dan saat aku memandang wajahnya di atas bantal di pagi hari, dan masih banyak lagi. Bermain dengan anak-anak di taman belakang rumahku, saat dia memelukku di sofa, kepalanya bersandar di bahuku. Rasanya kenangan datang bagaikan air terjun yang terus menimpa yang sebelumnya, dan sekarang aku tahu kenapa begitu banyak orang yang sangat ingin aku kembali bersama Ana lagi. Aku sekarang punya memori visual!

"Errik!"

Lamunanku terganggu oleh seruan Alfon yang cukup pelan sehingga hanya aku yang bisa dengar.

"Errik! Kamu baik-baik saja?"

Aku membuka mataku. Pasangan itu sudah balik ke meja mereka dan ada adu argumen di antara mereka.

"Gak, aku ga baik-baik saja. Kita harus pergi, Alfon. Aku ga bisa tetap disini bersamanya."

Aku berjuang melangkah dan tertatih-tatih keluar dari tempat itu, menunggu Alfon di trotoar di luar resto. Aku merasa pandanganku gelap dan membungkuk untuk mengalirkan darah ke kepalaku. Lalu Alfon sudah sampai di dekatku dan aku merasakan lengannya memegang bahuku.

"Kamu ga apa-apa?"

"Apa aku kelihatan ga apa-apa?" Aku bertanya dengan nada jengkel dan langsung menyesalinya. "Maaf, Alfon, ayo kita ke mobil dan kasih kesempatan aku duduk."

Begitu kami masuk ke dalam mobil, Alfon duduk dengan sabar menunggu saat kepalaku jernih.

"Tadi bikin shock banget," kataku setelah berhasil menenangkan diri.

"Tapi katamu kamu ga ingat dia."

"Karena parfum dan suaranya, Alfon," aku merasa merinding. "Aku ga bisa jelasin gimana rasanya. Tiba-tiba ada banyak banget memori yang datang dan ga bisa kubendung. Rasanya seperti bom meledak."

"Yah, kamu benar-benar bikin Ana takut," dia tertawa. "Dia khawatir banget sama kamu, dia kira itu gara-gara Hadi. Saat aku keluar, Ana masih ngomel padanya karena Hadi terlalu gampang cemburu."

"Kamu ga--"

"Tentu saja ga, Errik. Kamu kira aku sebodoh itu?"

"Maaf."

"Aku bilang padanya bahwa kamu pernah terluka parah dan serangan seperti ini kadang-kadang datang lagi, tapi dia merasa bahwa Hadi-lah yang sudah menganggu kita. Kurasa mereka akan segera pulang, Ana marah sekali."

Aku mendapat ingatan lain. Ana dengan penuh semangat ngomel denganku. Aku tersenyum.

"Kenapa?" Dia bertanya.

"Aku baru ingat Ana pernah marah-marah padaku. Hadi pasti ketakutan kalau merasakan kemarahan Ana."

Kami berdua tertawa lalu dia mengantarku pulang.

Begitu sampai di rumah, aku duduk bersandar di sofa dan memejamkan mata. Aku mengalami mental shock dan ga bisa mencerna informasi sebanyak ini. Untuk pertama kalinya ingatan yang datang visual dan menggambarkan detail wajah orang-orang yang terlibat di dalamnya. Potongan besar puzzle sudah muncul, tapi itu membuatku adi sangat marah. Aku sadar sekarang bahwa ga cuma hidupku sendiri yang sudah rusak dan ga bisa diperbaiki, tapi kehidupan orang-orang yang kucintai juga sudah dihancurkan menjadi serpihan.

Aku lalu ingat bahwa aku mencintai Ana, dan bahwa aku sudah mencintainya selama bertahun-tahun. Kami sudah membesarkan anak-anak kami sebagai satu tim, satu keluarga. Aku tahu dengan jelas bahwa kami berdua adalah pasangan yang serasi sebelum aku dengan kejam dicabik lepas dari semua itu.

Akan tetapi, Ana, orang yang kucinta sepenuh hati, ga bersusah payah mencari informasi lebih lanjut untuk mencari keberadaanku selain dari hasil penyelidikan sepintas oleh detektif swasta yang cerdik, dia menerima begitu saja hasil yang disampaikan oleh Boy Rolan sang detektif. Aku yakin, kalau yang terjadi adalah sebaliknya, aku pasti akan tetap mencarinya sampai dapat. Dari situ aku merasa benar-benar kecewa dan dikhianati.

Dia kelihatan sangat bahagia, sangat riang, hidup tanpa beban bersama Hadi Firmanto, mengandeng lengannya, tersenyum padanya. Seakan dunia milik mereka berdua. Aku begitu mudah dilupakan, atau dibenci karena sesuatu yang sebenarnya ga pernah kulakukan. Aku menderita, dan dia? Aku punya kehidupan yang buruk dan dia sudah move on dengan seorang laki-laki lain yang tampan.

Pikiran itu berputar-putar terus di kepalaku, aku kesal dan gelisah, dan saat aku berjusaha untuk berdiri dan pergi tidur, pikiran-pikiran itu terus berlanjut di kepalaku. Itu ga logis, itu ga masuk akal. Aku sangat capek tapi ga bisa tidur. Tapi pada akhirnya aku tertidur, dan paginya bangun dengan kondisi yang ga nyaman.

Ga nyaman sepertinya ungkapan yang terlalu meremehkan. Aku lebih mirip seperti zombie. Aku ga tau gimana aku bisa menyetir sampai ke kantor, tapi begitu aku sampai di kantor asistenku yang cantik menyuruhku pulang. Bukan, dia mengantarkanku pulang dengan mobilku.

"Balik ke tempat tidur," perintahnya.

Dia yang berkuasa hari ini, tapi aku suka inisiatifnya. Aku juga sudah cerita padanya bahwa aku harus nyetir ke Semarang sore nanti. Aku tahu dia pernah bilang ga mau jadi perawatku, tapi sekarang dia ga bilang apa-apa dan membuka lemari es lalu mengambil beberapa bahan makanan untuk menyiapkan sup dan teh hangat untukku. Setelah itu aku masuk ke kamar dan tidur lagi selama beberapa jam.

Sorenya aku bangun lebih segar dan mengantarkan Jenni kembali ke kantor, mengucapkan banyak terima kasih yang dibalas dengan senyuman yang sama hangatnya dengan sup yang tadi dibuatnya, lalu aku langsung berangkat ke Semarang.

Ini pertama kalinya aku berkendara sejauh ini. Begitu aku keluar dari mobil setelah sampai di Semarang, Tris tahu aku punya masalah. Rasa simpati terpancar jelas di wajahnya.


Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Categories

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.
You will be redirected to the script in

seconds

BTemplates.com

Blogroll

About

Copyright © Cerita Panas | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com