𝐊𝐞𝐫𝐣𝐚 𝐋𝐞𝐦𝐛𝐮𝐫

Sudah hampir pukul 16:00 dan Gatot belum kembali dengan komputer Bu Rina. Asti tahu ia tak akan pulang tepat waktu karena ia yang selalu menyusun presentasi Bu Rina dalam file Powerpoint selama 2 tahun terakhir ini.

Bu Rina sendiri seperti tak mau mempelajari Powerpoint, karena mengetahui sekretaris andalannya menguasai software ini. Dan komputer Bu Rina juga memilih saat yang tepat untuk rusak, tepat sehari sebelum presentasi, padahal semua data presentasi hanya ada di hard disk komputer itu.

“Hhh..” Asti hanya bisa menghela napas, menyadari bahwa ini sudah menjadi tugasnya sebagai sekretaris sang manajer keuangan. Ia membayangkan rencananya malam ini yang kini berantakan. Berendam di air hangat di kamar mandinya sambil menonton VCD erotik yang telah ia sewa sejak 2 hari lalu.

Meraba-raba puting payudara dan klitorisnya yang telah lama mendambakan sentuhan. Ia lalu teringat pada Adi yang telah setahun lebih meninggalkannya. Bagaimana hebatnya Adi membuatnya orgasme setiap berhubungan seks.

Ternyata Adi lebih memilih bekerja di Kalimantan daripada menikahinya. Untung mereka sama-sama meyakini seks aman dan Adi selalu memakai kondom setiap bercinta dengannya. Jika tidak, ia bisa saja hamil, dan pilihan akan menjadi semakin sulit.

Asti bukan wanita yang mudah menyerah pada gairah. Selama tak punya pacar, ia hanya dua kali melakukan masturbasi. Namun malam ini sudah ia rencanakan dengan matang dan memang sudah lama sekali sejak terakhir kali ia melakukan masturbasi. Dering telepon menyentakkan Asti dari lamunannya.

“Finance, selamat sore,” jawab Asti secara otomatis.
“As.. sorry kamu terpaksa lembur, tapi komputernya baru jadi sekarang sih,” kata Bu Rina di telepon.

“Uh.. ah.. iya, Bu. Nggak papa, Bu,” jawab Asti tergagap-gagap.
Ia benar-benar tenggelam dalam lamunannya hingga tak menyadari Gatot lewat di depannya membawa komputer Bu Rina.
“Ya udah, kamu ke sini aja sekarang,” kata Bu Rina.

Asti masuk ke ruangan Bu Rina, berpapasan dengan Gatot yang baru keluar. “Yuk, kita mulai aja, biar pulangnya nggak terlalu malem,” kata Bu Rina sambil membuka beberapa file Word dan Excel tempat ia menyimpan datanya.

Lalu mereka pun mulai bekerja bersama selama beberapa jam, hingga tampak beberapa karyawan lewat di depan pintu kantor Bu Rina. Beberapa manajer bahkan menyempatkan diri menyapa, “Mbak Rina, pulang dulu.”
Jam menunjukkan pukul 18:15 saat Bu Rina akhirnya berdiri dari sisi Asti. “Aduuh, AC-nya udah dimatiin deh. Bentar lagi pasti panas banget nih.” Ia melangkah keluar ruangan mendapatkan kantornya telah kosong, tak ada siapa pun lagi di sana.

Satpam pun hanya ada di lantai bawah. Ia mengambil dua kaleng Sprite dari kulkas di depan ruangannya, lalu masuk kembali. Setelah meletakkan kedua kaleng itu di meja, ia melepas blazernya dan melemparnya ke atas sofa panjang yang ada di ruangannya.

“Minum dulu, As. Kamu kan belum istirahat dari tadi,” kata Bu Rina sambil duduk bersilang kaki di kursi sofa yang lebih kecil.

Asti mengangkat kepalanya dari layar komputer dan melihat Bu Rina hanya memakai blus you-can-see dan rok mini. Pada usia hampir 40 tahun, manajer yang dikenal belum pernah menikah ini masih tampak sangat menakjubkan. Dada berukuran 36D menonjol dari balik blus-nya yang tipis itu, sementara perutnya tampak kecil dan sintal.

Pahanya menampilkan kulit yang mulus dan bersih walaupun tidak putih, dengan ukuran yang sedang, namun pantatnya jelas berukuran besar, sangat kontras dengan pinggangnya yang kecil itu. Asti mendapatkan perasaan aneh melihat atasannya yang bertubuh seksi itu, bukan hanya mengagumi, tapi lebih ke arah menyukainya. Ada rasa berdesir dalam hatinya.

“Ayo sini!” Kembali Asti tersentak karena telah ketahuan Bu Rina sedang menatap tubuhnya. Menutupi rasa malu dan terkejutnya, sekretaris cantik ini segera menyibukkan diri sesaat di komputernya, lalu berdiri menghampiri sofa.

Ia mengambil blazer Bu Rina dan meletakkannya dengan rapi di sandaran kursi sofa kecil yang tak terpakai, lalu ia sendiri duduk di sofa panjang dan meraih minumannya.

“Kenapa? Kamu suka sama badan saya?” tanya Bu Rina tak peduli pada rasa malu Asti.
“Uhm, Bu Rina seksi, ya? Sering aerobik ya, Bu?” kata Asti dengan telinga agak memerah.
“Iya dong, tapi saya merasa pantat saya masih kegedean nih,” jawab Bu Rina.

“Enggak, Bu. Segitu bagus, seksi. Saya saja merasa kurang,” kata Asti sambil melirik pantatnya sendiri.
“Umur kamu berapa, As? Udah 30?” tanya Bu Rina.
“28, Bu,” jawab Asti singkat.

“Kok belum kawin? Pasti terlalu milih-milih deh. Cewek secantik kamu pasti banyak yang ngejar.”
Wajah Asti memerah, setengah malu setengah senang pada pujian atasannya itu.
“Yuk, kita terusin lagi,” kata Bu Rina, “kalo enggak, bisa nggak selesai malem ini.”

Mereka pun melanjutkan pembuatan presentasi dengan serius, hingga Asti melupakan perasaannya yang aneh tadi.

Tak terasa jam telah menunjukkan pukul 20:35 saat Bu Rina berdiri merentangkan kedua lengannya dan meregangkan ototnya yang terasa kaku. Dadanya tampak semakin menonjol di samping wajah Asti, namun Asti menahan diri untuk tak menengok.

“Ahh.. akhirnya beres juga,” kata Bu Rina, “Tinggal kamu beresin penampilannya dikit lagi, selesai deh.”
Ia keluar mengambil dua kaleng Sprite lagi, lalu kembali dan kali ini duduk di sofa panjang.
“Sini dulu, As. Dikit lagi selesai ‘kan?”

“Tanggung, Bu. Tinggal finishing touch-nya saja. Paling 15 menit lagi,” jawab Asti.
“Udah, sini dulu. Kamu juga pasti pegel ‘kan?” kata Bu Rina setengah memaksa.
“Lagian kamu apa nggak panas dari tadi pakai blazer itu terus?”

Asti yang memang merasa gerah dan pegal, men-save filenya, lalu berdiri menghampiri Bu Rina di sofa. Ia melepas blazernya. Blus you-can-see yang dipakai Asti menampilkan lengannya yang putih dan sepasang dada berukuran sedang, menonjol di balik blusnya. Ia lalu duduk di kursi sofa kecil.

“Mmm, sini duduk di sebelah saya sini,” kata Bu Rina sambil menepuk-nepuk sofa di sisi pahanya. Tanpa banyak tanya, Asti duduk di sisi atasannya sambil meneguk minumannya. Ia tersentak saat merasakan Bu Rina merapatkan duduknya di sisinya dan lengan Bu Rina melingkari pundaknya.

“Tuh, bener kan, pundak kamu terasa kaku gitu, pasti pegel,” kata Bu Rina yang ternyata hanya bermaksud memijat pundaknya. Rina merasa lega dan berkata, “Iya, Bu. Tapi nggak papa kok, nggak usah dipijetin.”

Bu Rina pindah posisi berlutut di atas sofa, “Kamu duduknya miring sedikit, terus rebahin badan kamu ke badan saya,” katanya tanpa mempedulikan kata-kata Asti.

Mematuhi atasannya, Asti merasakan pundaknya dipijat dengan lembut, yang ternyata terasa sangat enak dan membuatnya santai. Asti sangat menikmatinya. Setelah sekitar 3 menit memijat Bu Rina mengajukan pertanyaan yang agak mengejutkan bagi Asti.

“Kamu lagi horny ya, As?”
“Hhh..” Asti tergagap tak bisa menjawab.
“Pentil kamu ngaceng,” kata Bu Rina tanpa basa-basi.

Asti menatap dadanya. Benar saja, kedua puting dadanya tampak mencuat dari balik blusnya. Tanpa ia sadari, ternyata ia memang tak mampu mengendalikan gairahnya, dan kini ia baru menyadari bahwa remasan Bu Rina di punggungnya dan parfum lembut Bu Rina yang begitu dekat dengannya telah membangkitkan gairahnya.

Tanpa jawaban dari Asti, remasan tangan Bu Rina terasa semakin lembut, lalu mulai berpindah ke lengan Asti dengan gerakan membelai. “Kamu mulus sekali, As. Putih banget lagi. Coba saya seputih kamu,” kata Bu Rina sambil terus meraba-raba lengan Asti.

Asti terdiam tak bisa menjawab, namun ia sangat menikmati belaian Bu Rina. Bungkamnya Asti sudah cukup menjadi jawaban bagi Bu Rina. Tangannya menyelusup ke balik blus Asti dan meraba-raba dadanya.

“Uhh..” desah Asti sambil memejamkan matanya.
Ia merasakan getaran hebat dalam tubuhnya dan seketika celana dalamnya terasa basah.
“Bu Rinaa..” desah Asti hampir tak terdengar.

“Ssst..” Bu Rina meremas dada Asti dan memilin putingnya dari luar BH-nya.
“Ohh, Bu..” Asti mencengkeram sofa berusaha tanpa daya mengendalikan gairahnya.

Bu Rina melepas dada Asti dan duduk ke sisinya. Tanpa berkata-kata lagi, ia menarik dagu Asti dan mengecup bibirnya dengan lembut. Asti menyukai itu. Bu Rina memahami reaksi Asti dan mengulum bibir Asti. Gairahnya semakin terpancing, Asti membalas ciuman atasannya.

Tanpa disangka, Bu Rina langsung memasukkan lidahnya di antara bibir Asti. Terkejut karena belum pernah bercinta dengan wanita, Asti mendapatkan bahwa lidah Bu Rina yang basah dan lembut memberikan kenikmatan luar biasa saat menjilati lidahnya. Ciuman lembut mereka segera berkembang menjadi ciuman bernafsu.

Mereka saling menghisap lidah dan bibir, tangan Bu Rina menarik kepala Asti seirama dengan gerakan ciuman mereka, sementara tangan Asti memeluk tubuh Bu Rina sambil meraba-raba punggungnya dan akhirnya sebelah tangannya pindah ke depan untuk meremas-remas dada Bu Rina yang besar dan merangsang, sementara tangan satunya meremas-remas pantatnya yang juga besar.

Mereka berciuman hampir selama 15 menit hanya diselingi beberapa detik berhenti untuk mengambil napas.

Akhirnya Bu Rina melepas wajah Asti, segaris air liur masih menghubungkan kedua bibir mereka hingga akhirnya terputus dan menetes ke dagu Asti saat wajah mereka cukup jauh. Mereka saling bertatapan dengan terengah-engah.

“Buka baju kamu, Sayang!” kata Bu Rina sambil melepas blusnya sendiri. Asti ragu, namun gairahnya mendorongnya untuk tak menolak permintaan atasannya. Bu Rina melepas BH-nya dan melemparnya ke lantai. Duduk bertelanjang dada, ia menatap Asti yang sedang melepas blusnya.

Tangan Bu Rina menyelusup ke balik rok mini Asti dan meraba-raba pahanya yang putih mulus itu.

“Hhh.. Buuhh..” erang Asti saat tangan Bu Rina mencapai selangkangannya yang kini telah dibanjiri lendir gairah itu. Bu Rina menyelipkan jarinya ke balik celana dalam Asti lalu meraba-raba bibir kemaluan Asti.

“Ahh! Gaahh!” Asti terpekik saat merasakan sekujur tubuhnya tersetrum rangsangan hebat.

“Tangan wanita lain lebih nikmat daripada tangan kamu sendiri ‘kan?” kata Bu Rina sambil tersenyum, “Buka BH kamu, Sayang,” tambahnya melihat bola mata Asti telah terputar ke belakang akibat kenikmatan sentuhannya, karena ia sendiri menjadi semakin terangsang melihat pemandangan di depannya itu, dan ingin segera menikmati puting payudara sekretarisnya yang cantik ini.

Sambil melepas kait BH yang terletak di depan itu, Asti mulai menggerak-gerakkan pantatnya berputar dan maju-mundur, mengikuti gerakan jari Bu Rina. Payudaranya seakan terlontar keluar saat akhirnya kait BH-nya lepas.

Tanpa menanti ajakan, Bu Rina langsung menancapkan puting kiri Asti ke dalam mulutnya dan menghisapnya dengan bernafsu, sambil mulai memasukkan satu jari ke dalam lubang kemaluan Asti.

Asti tampak semakin melayang dalam dunianya sendiri, apalagi saat Bu Rina menggigit putingnya yang telah mengeras dan membengkak itu di sela-sela jilatan dan hisapannya, sambil meraba klitoris Asti dengan jempolnya, sementara jari tengahnya masih menggeseki kemaluan Asti dengan bernafsu. Asti tak pernah merasakan kenikmatan seksual sehebat ini sepanjang hidupnya.

A”Ohh.. Ahh.. Hhh.. Hhh.. Ahh..” Gelinjang tubuh Asti tampak semakin liar dan tak terkendali, sehingga Bu Rina segera melepas jarinya dari kemaluan Asti dan lidahnya dari payudara Asti, karena ia tak ingin Asti terlalu cepat mencapai puncak.

Ia menggesekkan jari tengahnya yang dipenuhi lendir panas pada bibir Asti. Asti segera menjilati jari basah Bu Rina, menikmati lendir kewanitaannya sendiri dengan rangsangan yang telah meledak-ledak dalam dirinya.

Pemandangan erotis ini membuat tubuh Bu Rina panas-dingin, ia mencabut jarinya dari mulut Asti dan duduk mengangkangi kedua paha Asti hingga rok mininya teratrik sampai ke pangkal paha, lalu menancapkan payudaranya yang besar itu ke mulut Asti yang masih setengah terbuka.

“Ohh.. Terus, Sayang..” desah Bu Rina saat Asti mulai menjilati putingnya yang keras dan mencuat.
“Gigit, Sayang.. Oooh.. Ah!” pekik nikmat Bu Rina saat Asti mengigit puting besar itu dengan lembut.

Sadar sepenuhnya bahwa ia telah bisa menikmati semua ini, Asti meremas payudara Bu Rina yang sebelah lagi, sementara tangan kirinya diselipkan ke selangkangan atasannya untuk mendapatkan celana dalam yang telah basah kuyup dibanjiri lendir panas gairah.

Tanpa menghentikan jilatan, hisapan dan remasannya pada dada Bu Rina, Asti mulai meremas-remas selangkangan basah atasannya ini.

“Hhh..” Bu Rina mendesah, dan Asti semakin menggila dan menyelipkan jarinya ke balik celana dalam Bu Rina untuk meraba-raba klitorisnya dan memasukkan jarinya ke dalam lubang kemaluannya.”Aahh!” Bu Rina tersentak, “Nikmat, Sayang. Ohh, pinter kamu, ohh..”

Merasakan gejolak rangsangan yang semakin memuncak, Bu Rina menggoyang pantatnya naik-turun, menancapkan jari Asti sedalam mungkin ke dalam lubang kemaluannya, semakin lama semakin cepat, hingga akhirnya, “Aaahh! Aahh! Sayaang..” sambil menekan kepala Asti ke dadanya, tubuh Bu Rina tersentak kaku dan Asti merasakan lendir panas tumpah dari kemaluan Bu Rina ke tangannya.

Jarinya yang masih di dalam lubang kemaluan Bu Rina merasakan kontraksi berulang kali, seirama dengan mengalirnya lendir orgasme atasannya itu.

“Ohh..”
Bu Rina mendesah dan menjatuhkan tubuhnya ke atas tubuh Asti.
“Aku cinta sama kamu, As,” katanya dengan lembut.
“Kamu mau jadi pacarku ‘kan, Sayang?”

Asti hanya tersenyum dan mengeluarkan tangannya dari selangkangan atasannya, lalu menghirup bau lendir orgasme kental itu. Asti belum pernah mencium atau merasakan lendir vagina wanita lain, ia merasa baunya menyenangkan dan semakin membangkitkan gairahnya. Dengan bernafsu, Asti menjilati jari dan tangannya.

Mengetahui kekasih barunya ini ingin dipuaskan, Bu Rina melorotkan tubuhnya dan berlutut di lantai. Ia melepas kait rok dan menarik retsleting Asti yang terletak di samping roknya, lalu melorotkan rok sekaligus celana dalam Asti hingga sekretarisnya kini telanjang bulat di atas sofa.

Diiringi desah lembut Asti, Bu Rina menjilati lutut sekretarisnya ini dan bergerak ke pahanya. Desah Asti semakin cepat dan nafasnya mulai tersengal-sengal saat lidah Bu Rina mencapai selangkangannya dan mulai menjilati lubang pantatnya. “Ungh..” erang Asti saat tiba-tiba lidah Bu Rina melalap kemaluannya hingga ke klitorisnya.

Kenikmatan yang tiba-tiba ia rasakan ini membakar rangsangan dalam dirinya dan Asti tak mampu mengendalikannya lagi. Tak peduli Bu Rina adalah atasannya, Asti menarik kepala Bu Rina dan menghunjamkan selangkangannya dengan bernafsu ke mulut dan lidah Bu Rina yang sibuk menghisap dan menjilati klitoris dan kemaluannya.

Bu Rina mengangkat kedua kaki Asti ke pundaknya hingga kini Asti benar-benar mengangkangi kepalanya. Gerakannya semakin bebas, lidah Bu Rina semakin liar memasuki lubang kemaluan Asti sedalam-dalamnya, sementara mulutnya sepenuhnya menguasai bibir kemaluan dan klitoris Asti.

Dengan bernafsu, Bu Rina menghisap klitoris Asti dengan lidah masih menggeletar di dalam lubang kemaluan sekretaris cantik itu. “Ohh.. Sayaang.. Nikmat, Sayaang! Rrrhh..” Asti mengerang penuh kenikmatan sambil mempercepat hunjaman selangkangannya pada mulut Bu Rina.

“Ohh.. Ohh.. Ohh.. Sayang! Sayang! Ohh, Sayaang!” jeritan Asti yang mengiringi hujaman selangkangannya yang semakin cepat membuat Bu Rina tahu, sekretarisnya hampir mencapai puncak kenikmatan. Ia mengeluarkan lidahnya dari lubang kemaluan Asti dan menjilati klitorisnya dengan getaran yang sangat cepat.

“Aaahh.. Aaahh..” jeritan Asti terdengar melengking tak terkendali akibat ulah “vibrator” hidup di selangkangannya ini.

Bu Rina lalu meluruskan lidahnya hingga kaku dan menancapkannya kembali sedalam-dalamnya ke lubang kemaluan Asti, lalu wajahnya ia hujamkan maju-mundur hingga Asti lepas kendali dan menjambak rambut Bu Rina lalu menarik kepalanya ke selangkangannya, seirama dengan hujaman lidahnya ke lubang kemaluannya, sementara tubuhnya bergelinjang hebat.

“Ahh! Ahh! Nggaak.. Nggaak.. Aaahh! Aaakk..” sambil menjerit liar, Asti menyentak kepala atasannya sedalam-dalamnya ke selangkangannya, sementara Bu Rina melahap seluruh kemaluan Asti di dalam mulutnya dan menghisap lendir orgasme Asti yang muncrat berkali-kali, sambil dengan nakal kembali menggetarkan lidahnya di kelentit Asti.

“Ooohh.. Oohh.. Hhh..” desah Asti semakin pelan dan Bu Rina menghentikan getaran lidahnya, mengetahui orgasme Asti telah melemah. Ia kini hanya menghisap klitoris Asti hingga akhirnya Asti melepas kepala Bu Rina dan bersandar lemas pada sofa.

Bu Rina naik ke sofa dan mencium bibir Asti dengan lembut, tanpa menduga akan mendapat balasan ciuman bergairah dengan hisapan lidah yang bernafsu dari sekretarisnya yang telah mendapatkan kepuasan seksual terhebat sepanjang hidupnya ini.

“Kamu masih bisa, As?” tanya Bu Rina, “Soalnya sebenernya aku belum sampai orgasme puncak dan masih mau dijilatin ama kam..”jawaban Asti berupa lidah yang menggerayangi mulut Bu Rina yang belum selesai mengucapkan kalimatnya.

“Ohh, nakal kamu,” kata Bu Rina yang segera berdiri melepas rok dan celana dalamnya, lalu naik ke atas sofa dan berdiri mengangkangi wajah Asti.

Belum pernah melakukan ini pada wanita lain, Asti memulai dengan menjilati bibir kemaluan Bu Rina yang telah basah kembali. Ternyata menghisap dan menyetubuhi Asti dengan lidahnya telah merangsangnya kembali, mungkin karena Bu Rina memang belum mencapai orgasme puncak.

Jilatan Asti pada bibir kemaluan Bu Rina membuat lendir gairahnya semakin deras mengalir dan menetes-netes ke mulut, pipi dan leher Asti. Lidah Asti lalu mulai berkonsentrasi pada klitoris Bu Rina, membuat Bu Rina mendesah, “Hhh.. Nikmat, Sayang.. Ooohh..”

Desahan itu membuat Asti semakin berani dan mulai memasukkan lidahnya ke dalam lubang kemaluan Bu Rina. “Ahh!” Bu Rina menjerit kecil, “Terus, Sayang! Ohh, terus.. Ooohh..” Asti berusaha menyetubuhi Bu Rina dengan lidahnya yang ia hunjamkan keluar-masuk lubang kemaluan atasannya ini, namun Bu Rina seakan tak puas dan lebih liar menghujamkan selangkangannya ke wajah Asti.

“Ohh.. Ohh.. Gigit memekku, Sayang.. Gigit..” Asti hanya bisa menurut dan menggigit bibir kemaluan Bu Rina dengan lidah tetap menjilat dengan liar di dalam lubang kemaluannya.

“Ahh! Ahh! Aaa..” Bu Rina memekik kecil, tampak menikmati gigitan lembut Asti pada kemaluannya. “Itilku, Sayang. Oooh, itilku gatel,” desah Bu Rina sambil mempercepat hujamannya pada mulut Asti dan meremas-remas payudaranya sendiri dengan kasar.

Asti kembali menjilati klitoris Bu Rina sambil menghisap bibir kemaluannya. Ia berusaha menggetarkan lidahnya secepat mungkin seperti yang dilakukan Bu Rina padanya.

Usahanya berhasil, getaran lidahnya yang terasa seperti vibrator di klitoris Bu Rina membuat atasannya ini memejamkan mata dan menggigit bibirnya dalam kenikmatan, sementara remasannya di dadanya semakin tampak bernafsu.

“Masukin jari kamu ke pantatku, Sayang,” kata Bu Rina dengan napas tersenggal-senggal. Ia lalu memperlebar kakinya agar lebih mengangkang, membuat Asti semakin tertindih dan terpaksa melorotkan badannya di atas sofa.

Asti menyelipkan jarinya di antara kedua lembar bibir kemaluan Bu Rina, membasahi jari telunjuknya dengan lendir rangsangan dari lubang kemaluan Bu Rina serta jilatan lidahnya sendiri.

Setelah itu ia masukkan jarinya ke lubang pantat Bu Rina yang ternyata membuat Bu Rina menjerit penuh kenikmatan, “Aaakk.. Aaahh.. Sayang..” Asti semakin bernafsu menancapkan jarinya keluar-masuk pantat Bu Rina sampai ke pangkal jarinya, tanpa menghentikan jilatannya pada klitorisnya.

“Aaahh.. Aaahh.. Terus.. Terus.. Jangan berhent.. Aaakk..” pekikan Bu Rina dan gelinjang tubuhnya semakin liar dengan memuncaknya kenikmatan dalam dirinya.

Asti menjilati klitorisnya dengan bernafsu dan mempercepat tusukan jarinya pada pantat Bu Rina, hingga akhirnya kedua paha Bu Rina menjepit kepala Asti dengan keras dan tubuhnya tersentak kaku, “Aaahh.. Gggaahh..”

Kedua tangan Bu Rina menjambak rambut Asti dan menancapkan wajahnya ke selangkangannya, sementara Asti menghisap lubang kemaluan Bu Rina selagi rentetan lendir orgasme panas menyemprot ke dalam mulutnya.

Asti melepas jarinya dari lubang pantat atasannya, tubuh dan paha Bu Rina melemas sesaat, lalu tiba-tiba tersentak kaku kembali seiring dengan menyemprotnya kembali lendir puncak kenikmatan dari kemaluannya.

Asti yang melepas hisapannya, mengira Bu Rina telah selesai, tak siap menghadapi ini dan lendir orgasme dari lubang kemaluan Bu Rina membanjiri bibir, pipi dan dagunya, lalu meleleh ke leher dan dadanya.

Dengan berakhirnya puncak orgasmenya, Bu Rina ambruk di atas tubuh Asti dan keduanya lalu rebah di sofa sambil berpelukan erat, seakan besok sudah tak berjumpa lagi.
“Hhh.. Hhh.. Asti sayang, aku nggak mau kehilangan kamu, Sayang. Aku cinta kamu,” desah Bu Rina di tengah usahanya mengembalikan nafasnya yang tersenggal-senggal itu.

“Aku juga cinta Ibu. Aku nggak nyang..”
“Jangan panggil aku Ibu,” Bu Rina memotong, “Mulai sekarang, kalau kita berduaan aja, kamu panggil aku Sayang atau Rina.”

Asti tersenyum manis dan membelai rambut atasannya ini.
“Aku juga cinta kamu, Sayang. Aku nggak nyangka wanita bisa memuaskan aku lebih dari pria. Aku juga nggak mau kehilangan kenikmatan ini, Sayang. Aku nggak mau kehilangan kamu.”

Bu Rina tersenyum bahagia mendengar jawaban kekasih barunya itu, lalu mencium bibirnya. “Jilatin yang di wajah dan leherku dong, Sayang. Aku masih mau nikmatin lendir kamu,” kata Asti.

Bu Rina menjilati lendir panas yang berlepotan di wajah dan dada kekasihnya, namun tidak menelannya. Ia lalu membuka mulutnya di atas mulut Asti yang telah siap menerimanya, lalu mereka sama-sama menikmati lendir manis itu sambil saling menghisap lidah.

Setelah 10 menit berpelukan dan saling meraba tubuh tanpa bicara, pasangan kekasih yang bahagia ini lalu berdiri dan mengenakan pakaian masing-masing.

Asti lalu melanjutkan pekerjaannya dengan lengan Bu Rina memeluk pinggangnya sambil sekali-sekali bibirnya mengecup pipi atau telinganya, hingga pekerjaannya selesai. Lalu mereka pun pulang dengan bayangan indah akan masa-masa yang akan mereka nikmati bersama kelak.


 

Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Categories

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.
You will be redirected to the script in

seconds

BTemplates.com

POP ADS

Blogroll

About

Copyright © Cerita Panas | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com