𝐃𝐞𝐦𝐢 𝐀𝐥𝐚𝐬𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐬𝐞𝐡𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐄𝐩𝐢𝐬𝐨𝐝𝐞 𝟐𝟗

 


 Untungnya lelaki itu masih tampak tenang meskipun raut mukanya menunjukkan bahwa dia sedang berpikir keras. “bu, pakai bajunya dulu, biar saya yang atur” katanya lalu kembali memakai seragamnya kembali. Setelah selesai ia pun keluar kamar dan menguncinya, meninggalkanku sendiri dengan perasaan bingung kalut dan takut. Lebih menyeramkan daripada kemarin ketika hampir ketahuan sewaktu dengan pak Kandar. Gimana tidak, ini yang hampir memergoki adalah anakku sendiri. Apa nanti jadinya kalau dia sampai tahu kalau mamanya sedang berdua dengan ayah sahabatnya sendiri.

Detik-detik terasa sangat lama hingga akhirnya sekitar sepuluh menit pak Bambang pun kembali masuk ke dalam kamar. Terlihat senyum tersungging di wajahnya. “Aman bu” kata lelaki itu. “Aman gimana mas?” tanyaku. “Anak-anak sudah pergi ke rumah njenengan. Tadi saya bilang saya pinjam uang dari njenengan untuk bayar uang rekreasi. 

Saya bilang uang saya kurang. Saya suruh sekalian mereka main di rumah Doni saja soalnya saya harus balik kantor habis ini” jelasnya panjang. “Gimana bu?” pulang sekarang kah?” tanyanya. Kulihat waktu memang sudah hampir jam setengah tiga. “Iya mas, sebentar, saya pastikan dulu kalo memang anak-anak sudah sampe rumah” jawabku. Takutnya mereka masih harus berhenti di jalan atau membeli es, dan melihat aku di dalam mobil pak Bambang kan jadi kacau nantinya. Beberapa menit kemudian, si Inah memberitahuku kalau Doni sudah dirumah, sama temannya.

“Ayo mas, ini orang rumah sudah ngabari kalo anak-anak sudah sampai di sana” kataku kemudian masuk ke dalam mobil daih*tsu teri*os putih yang terparkir di dalam garasi. Dua puluh menit kemudian, aku pun di drop di tempat yang sama aku tadi naik mobil itu. Kemudian mengambil mobilku di parkiran Mall dan segera pulang.

Tepat pukul setengah empat sore aku sampai di gerbang rumahku dan ternyata Doni dan Irfan langsung mau kembali ke rumahnya Irfan setelah memberikan titipan ayahnya, uang seratus ribu yang tadi digunakan untuk alasan mereka kesini. Setelah kulihat si Bayu sedang tidur, aku segera mandi, maklum tadi nggak sempat bebersih sewaktu dari rumah pak Bambang. 

Sekalian keramas juga, sejam setengah sebelum suamiku pulang, cukuplah buatku untuk mengeringkan rambut. Tak lupa aku mengabari pak Bambang kalau semua baik-baik saja. Bagaimanapun, kejadian tadi sangat-sangat menyita pikiran dan perasaanku.

Menjelang maghrib suamiku datang hampir bersamaan dengan Doni yang baru pulang dari tempat Irfan. Semuanya tampak biasa saja di malam harinya. Pun juga keesokan harinya, hanya saja ternyata pak Bambang harus ke Surabaya ada rapat katanya disana. Barulah di hari terakhir bu Bambang di Jogja, pagi setelah antar Bayu ke sekolah, aku bisa ke rumah pak Bambang lagi. Lelaki itu sengaja mengambil cuti lagi, sekedar hanya bisa meluangkan waktunya denganku.

Tak ayal dari jam setengah delapan pagi sampa sekitaran jam 12 siang, kami bener-bener habis-habisan. Tiga kali kami berhubungan badan dan entah berapa kali aku mendapatkan puncak kenikmatan dari lelaki itu. Penisnya yang ukurannya lumayan besar sangat mudah membuatku orgasme. 

Kala itu aku juga memberinya kesempatan untuk merasakan lubang belakangku yang baginya adalah pengalaman pertama melakukan anal seks, karena istrinya tidak pernah mau mencobanya. Siangnya karena kelelahan aku sampe ketiduran di pos ketika menemani suamiku di lahan setelah dari rumah pak Bambang.

Waktu pun berlalu hingga dua minggu kemudian. Hubungan dengan pak Bambang pun sudah tersendat meski nanti apabila ada kesempatan mungkin akan berulang lagi. Enaknya kalau dengan suami orang ya gitu itu, mereka tidak akan terlalu memaksakan untuk bertemu atau apa karena memang kesempatan yang tidak memungkinkan. 

Meski juga tak jarang kami komunikasi via wa di waktu jam kerjanya. Dan juga tak bisa kupungkiri, pak Bambang ini yang paling berkesan di antara beberapa pria yang pernah berhubungan badan denganku. Meskipun semuanya mempunyai sensasi yang tidak sama, kecuali pak Rudi, bos distributor pupuk sialan itu.

Hanya saja suamiku tetap saja, seperti tidak lagi bergairah denganku. Kalau urusan kebutuhanku sih aku masih bisa dapat dengan yang lain, seperti si Faris yang juga hampir tiap minggu kujatah, sebenarnya bukan buatku yang utama sih, tapi buat si Faris juga sebagai bentuk pertanggungjawabanku karena telah mengenalkannya dengan apa yang namanya seks. 

Rencana yang akan kulakukan untuk tiba-tiba main dengan pak Kandar di depan suamiku masih belum terlaksana. Dan juga swing dengan pasangan pak dokter dan bu dokter masih terjadwal seminggu lagi. Aku kembali kepikiran tentang masalah prostat suamiku, sudah hampir tiga minggu spermanya menumpuk.

“Tetep harus dicoba” gumamku dalam hati. Ingin merubah keadaan bagaimana pun caranya. Ide yang pertamanya dengan pak Kandar, akhirnya beralih ke Faris. Bagaimanapun anak muda itu dalam kendaliku sepenuhnya, dia bakal mau melakukan apa yang kurancang. Tapi model skenarionya bagaimana, ini yang juga membuatku agak kebingungan juga. Sempet juga terpikir untuk minta saran ide dari ibuku, tapi kubatalkan.

Beberapa hari kemudian, seperti biasanya, aku turut ikut suamiku ke lahan. Tapi lagi enak-enaknya di sana, lelaki itu mengajakku untuk ke kantor kecamatan, ada urusan katanya. “Ah, mas kok ga tadi aja sekalian waktu berangkat… Ninuk di sini aja ya?” pintaku. “Oh, ya udah ga papa, cuma sebentar kok Nuk, ambil form aja” kata suamiku kemudian pergi dengan sepeda motornya.

Sesaat setelah suamiku pergi, terlihat pak Kandar yang ada di kejauhan berjalan agak tergesa ke arahku. “Bu, maaf, saya mau tanya. Apa bapak tahu kejadian kapan lalu itu bu, saya dengan Wanto dan ibu?” tanya lelaki ketika sudah berdiri di hadapanku. “Nggak pak. Emangnya kenapa?” tanyaku agak terkejut dengan pertanyaan lelaki itu. “Oh, gitu ya. Soalnya, beberapa hari lalu bapak suruh saya sama si Made sih, bukan Wanto untuk tes kesehatan di Klinik” jawabnya yang semakin membuatku bingung. “lho buat apa pak tes kesehatan?” tanyaku.

“Ya itu bu, saya pikir bapak tahu yang kemarinan itu, trus suruh saya tes kesehatan, biar tahu saya bersih atau nggak katanya. Tapi yang membuat saya juga bingung, kenapa saya dengan Made, bukan dengan Wanto yang kapan hari juga dengan ibu” lanjutnya. “Trus sudah jadi hasilnya?” tanyaku. 

“Sudah bu, sebentar.” Jawab lelaki itu kemudian mengambil sesuatu dari tas nya yang tergantung di sepeda motornya yang diparkir tidak jauh dari situ. Ia lalu menyerah dua amplop putih berjudul nama lab kesehatan ternama yang ada di pusat kota.

Kubuka salah satunya tanpa melihat namanya dulu. Hanya ingin melihat isinya dan ternyata hasil lab lengkap. Semmuanya negatif, termasuk item yang menunjukkan tes HIV, Hepatitis, dll. “Itu punya Made bu, kalo punya saya yang ini” kata pak Kandar yang langsung kuambil dan kulihat isinya, bagaimanapun, kapan hari waktu aku main kedua kali dengannya, dia nggak pake pengaman lain dengan si Wanto. Dan yang membuatku lega, semuanya negatif juga.

“Yang jelas saya nggak kasih tahu pak. Pak Kandar sama Wanto juga tolong untuk tidak kasih tahu meski ditanya bapak. Nggak tahu nanti, kenapa bapak kok suruh cek lab segala. Sudah pak Kandar kesana saja, tadi katanya bapak nggak lama ke kecamatan. atau mungkin juga ada kaitan sama form yang diambil bapak di kecamatan” kataku sambil menyerahkan dua amplop tadi kembali kepadanya. Lelaki itu kemudian berlalu dari pandanganku dan kembali bekerja. Tak lama kemudian suamiku pun datang kembali dari kantor kecamatan.

***
Seharian itu aku berpikir, penasaran kenapa juga suamiku meminta dua orang yang sering kerja dengannya untuk tes kesehatan, bahkan cek lab nya yang super lengkap. Kalo suamiku tahu tentang aku dan pak Kandar dan Wanto, ya bakalan yang disuruh pak Kandar dengan si Wanto, bukannya si Made, yang ceritanya anak sebatang kara yang ditinggal mati kedua orang tuanya karena covid beberapa tahun lalu, hampir bersamaa dengan istrinya pak Kandar katanya. Usianya masih muda, pertengahan 20 an kayaknya mungkin seumuran sama si Aldo, aslinya dari pulau Bali katanya. Akhirnya dia kerja serabutan untuk menyambung kehidupannya sendiri dan adik perempuannya, termasuk ikut suamiku menggarap sawah. Atau mungkin saja cek laboratorium itu berhubungan dengan form yang tadi diambil suamiku di kantor kecamatan.

Keesokan harinya aku sengaja tidak ikut ke lahan, dengan harapan bisa menghubungi pak Kandar via telepon yang tadi sempat kucatat dari HP suamiku ketika mandi. Terus terang aku masih penasaran dan kepikiran apa yang akan terjadi. Moga-moga aja medical check up itu benar-benar hanya berkaitan dengan format isian yang ada di kecamatan.

“Mas, Ninuk nanti nggak ikut ke lahan. Rencana mau ke pasar hari ini, plastik pembungkus barang dagangan sudah menipis, takut nanti kehabisan” kataku beralasan untuk bisa menghubungi pak Kandar pagi itu ketika anak-anak sarapan persiapan berangkat sekolah. “Oh, naik mobil apa sepeda motor Nuk?” tanya suamiku. “Mobil aja mas, sekalian nanti Ninuk bawa, kalo pake g*send, kadangan lama, sore baru diantar” jawabku berbohong, padahal barang yang kumaksud baru dua hari lalu re-stock dan cukup untuk kebutuhan satu bulan. “Oh, kalo gitu, setelah antar Bayu, aku langsung aja ke lahan ya” jawab suamiku. “Iya mas, tapi sarapan dulu aja sekalian kalo gitu” kataku yang di amininya.

Sesaat setelah suamiku dan anakku, si Bayu berangkat, aku segera menghubungi pak Kandar via telepon. Lama orang itu tidak mengangkat panggilanku, mungkin dari nomor baru yang tidak dikenal sehingga lelaki itu enggan mengangkatnya. “Huh, sial, ga ada WA nya lagi,” gerutuku. Baru di usaha yang ketiga kalinya, pak Kandar akhirnya mengangkat teleponya.

Aku : “Halo, pak Kandar?”

Pak Kandar : “Iya, dengan siapa ini ya?”

Aku : “Ini saya pak, bu Hadi..”

Pak Kandar : “Oh iya bu Hadi, maaf saya barusan selesai mandi. Ada apa bu?”

Aku : “pak tolong, nanti hubungi saya ya.. kalo pak Kandar kasih hasil laborat kemarin. ada apa suami saya kok suruh gitu”

Pak Kandar : “Iya bu, nanti saya kabari, ke nomor ini kan ya?”

Akhirnya pagi itu aku memutuskan untuk menemani si Inah belanja di pasar. Ngapain juga di rumah sendiri, malah jadi tambah kepikiran. Kemudian sekitar jam 10 an, pak Kandar meneleponku. Ia mengatakan kalau suamiku tidak tanya-tanya tentang medical check up itu. Hanya saja setelah membuka dan membaca hasilnya, ia menyuruh pak Kandar sama Made untuk tidak pulang dulu setelah pekerjaan selesai. Mau omong-omong sebentar katanya.

Aku semakin penasaran tapi harus masih menunggu lagi, entah siang nanti waktu suamiku jemput Bayu sekolah atau bahkan bisa sore hari seperti saat biasanya suamiku pulang. Bener aja, siang ketika suamiku mengantar Bayu pulang, masih belum ada kabar dari pak Kandar. Barulah di jam 4 sore, lelaki itu meneleponku tapi tiap kali kuangkat, langsung terputus. Mungkin dia kehabisan pulsa, sadar akan hal itu aku lalu yang meneleponnya.

Aku : “Halo…”

Pak Kandar : “Halo, iya bu. Maaf pulsa habis.”

Aku : “Iya pak, ga papa, gimana pak?” pak…”

Beberapa saat lelaki itu terdiam.

Pak Kandar : “ Bu, barusan bapak pulang setelah omong-omong dengan saya dan Made”

Aku : “Iya pak, terus.. bapak ngomong apa?”

Kembali dalam beberapa saat lelaki itu terdiam.

Pak Kandar : “Anu bu, eh… gimana ya ngomongnya bu… Bapak minta saya sama Made anu sama ibu”

Aku : “Hah? Maksudnya pak?”

Pak Kandar : “iya bu, itu… anu maksudnya… saya sama Made gituan sama ibu. Sama Bapak juga. Bareng-bareng, kata bapak gitu, besok lusa bu, hari jum’at malam”

Aku sangat terkejut mendengar informasi yang disampaikan oleh pak Kandar dan akhirnya aku mengerti kenapa suamiku menyuruh pak Kandar dan Made tes laborat kemarin. tapi kok Made itu yang aku belum tahu alasannya. “Tapi benarkah?? Sungguhkah suamiku akan melakukan itu??. Aku langsung membayangkan si Made ini, kalo pak Kandar kan memang sudah pernah kapan hari itu. Nah si Made ini, tapi eh… kalo orang asli Bali, ga sunat kah? Hmmm… sejenak aku terdiam, berpikir lalu tiba-tiba suara pak Kandar di telepon mengaketkanku.

Pak Kandar : “Bu… Halo… bu”

Aku : “Eh, Halo… iya pak”

Pak Kandar : “Kata bapak, itu sebagai kado aniversary atau apa gitu buat ibu dan soalnya ibu pernah ijinkan bapak main sama orang lain selain ibu”

Aku : “ Oh gitu pak?” Trus Bapak mau? Si Made?”

Pak Kandar : “Ya jelas mau lah bu. cuma tadi si Made bilang belum pernah gituan bu. kan memang dia belum nikah. Oh iya bu, Aniversary apa ya bu?”

Aku : “Aniversary itu ulang tahun pak. Trus kenapa kok pak Kandar sama si Made yang dipilih pak?”

Pak Kandar : “Oh ulang tahun… kalau masalah itu, kata bapak soalnya hanya saya sama Made yang tidak mempunyai pasangan bu. Kalo yang punya pasangan atau istri, Bapak takut akan menyakiti pasangannya. Bapak ga mau itu”

Aku : “Oh, gitu pak…”

Pak Kandar : “Iya bu, cuma kata bapak, bapak juga mau tanya dulu ke ibu, mau atau nggak”

Aku : “Oh, iya pak. Makasih infonya ya pak. Tolong jangan bilang bapak kalau saya tahu akan rencana ini”

Kemudian lelaki itu menutup sambungan teleponnya. Aku kemudian duduk di sofa ruang tengah. Pikiranku kupaksa untuk berusaha memahami apa yang akan dilakukan oleh suamiku. Dia bahkan menyiapkan kejutan spesial di hari yang kadang aku pun lupa akan hal itu. Hanya saja yang menjadi pertanyaanku, kenapa waktu aku bilang ke dia, aku mau dengan pak Kandar, dia nggak langsung menyuruh kami untuk melakukannya.

Oh, mungkin ini terkait cek laborat itu juga. Mungkin suamiku ingin memastikan kalau lelaki yang akan menjadi pasanganku nanti benar-benar bersih, meskipun dana yang dikeluarkan juga nggak sedikit, kemarin sempat kulihat kwitansinya hampir setengah juta per orang.

Anganku kembali menerawang pada sikap dan tingkah laku suamiku akhir-akhir ini yang menurutku agak aneh sih. Lelaki itu tiba-tiba menjadi seorang yang pendiam. Jangankan untuk berhubungan badan, ngajak ngomong pun ketika memang benar-benar ada perlu dibicarakan saja....

Read More

𝐃𝐞𝐦𝐢 𝐀𝐥𝐚𝐬𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐬𝐞𝐡𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐄𝐩𝐢𝐬𝐨𝐝𝐞 𝟐𝟖

 


 Di perjalanan pulang pikiranku berkecamuk. Kok bisa hal yang barusan terjadi, rasa penyesalan mulai merasuk dalam benakku. Entahlah, mungkin kalau yang namanya pak Rudi tadi bisa memberiku kepuasan, mungkin penyesalan itu takkan muncul hehe. Tapi paling tidak masalah pupuk yang dialami suamiku di kegiatan pertaniannya sudah teratasi.

Keesokan harinya, setelah mengantar Bayu, aku dan suami langsung ke agen untuk meminta pupuk agar langsung diantar. Memang terlalu pagi kala itu, para pekerja masih belum datang. Akhirnya aku dan suamiku duduk berdua di tempat biasa. “Aku nggak nyangka Nuk, proses nya pupuk bisa secepat itu. 

Bahkan kamu tadi lihat agen nya juga agak terkejut kalau jatah kita sudah datang. Biasanya butuh dua bulanan katanya” kata suamiku yang membuatku tersenyum dalam hati. Kalo ga gara-gara kemarin, ga bakalan jadi begini. Pikirku.

Sekitar jam setengah delapan, para perkerja suamiku pun pun berdatangan, diawali Wanto dan kemudian pak kandar, lalu tiga orang lainnya yang tidak kukenal. Rata-rata orang sekitar situ juga sih katanya. “Mas…” kataku yang langsung membuat lelaki yang duduk di sebelahku menoleh. “Nggak… nggak jadi” sahutku mengurungkan niatku. Apa sih Nuk” tanya suamiku penasaran. Tak lama kemudian sebuah Tossa datang membawa tumbukan beberapa karung berwarna putih yang kupastikan itu adalah pupuk yang kita tunggu. Suamiku lalu menghampirinya dan kemudian sudah beraktivitas dengan para kekerja lainnya.

Kulihat ada beberapa pesan WA yang masuk. Ada yang dari pak Rudi, distributor kemarin. Text nya sangat mengganggu dan sepertinya ingin untuk kejadian kemarin berulang. Pertama-tama aku tanggapi tapi kemudian agak risih juga, sampai-sampai dia berusaha meneleponku yang pastinya tidak kuindahkan. Sampai baru setelah aku kirimkan fotonya yang lagi telanjang bulat dengan ancaman akan kusebar apabila tetap menggangguku, ia meminta maaf dan menghentikan aksinya. Setelah itu aku pun memblock nomornya. Malas juga berinteraksi dengannya.

Hal tersebut sangat berpengaruh pada mood ku, padahal aku sudah merencanakan sesuatu dengan pak Kandar saat itu. Pikirku aku bisa main di depan suamiku dengan pak Kandar. Biar lah besok saja, pikirku. Kalo nanti malam aku tidak disentuh lagi oleh suamiku, besok aku bakal pasti melakukannya, tapi ga tau lah apa kata besok. Yang jelas, aku sudah mengetahui kalo suamiku bakal tambah nafsu ketika aku disentuh orang lain. Tinggal eksekusi prakteknya saja yang belum. Kenapa kok pak Kandar, ya pertimbangannya kalo si Faris umpama, suamiku bakal tahu kalo memang sebelumnya aku ada main dengannya.

Ketidak beruntungan ternyata juga berlanjut sampai keesokan harinya ketika aku diingatkan untuk mengambil raport sisipan dari kedua anakku yang membuatku tidak bisa ikut suamiku ke lahan dan memuluskan rencanaku. Semesta sepertinya tidak berpihak kepadaku.

Kupacu mobilku agak kencang ketika setelah selesai mengambil raport di tempat sekolah Bayu untuk menuju ke sekolah tempat Doni belajar. Dan memang jam undangan yang hanya selisih 1 jam saja tidak mampu memberiku kesempatan untuk hadir tepat waktu. Apalagi tadi di sekolahnya Bayu juga agak molor. 

Dan benar saja ketika aku melangkah ke kelasnya di Doni, ruangan itu sudah penuh sesak oleh para wali murid. Tradisinya, memang kalo yang ibu-ibu biasanya duduknya di depan, yang bapak-bapak, meskipun minoritas yang hadir, ada di belakang. “Silahkan bu” kata bu Gurunya Doni mempersilahkan aku masuk. “Itu bu, di belakang kosong 1” lanjutnya ketika aku terlihat kebingungan mencari tempat duduk yang kosong. 

Untungnya ternyata yang kosong kursi di sebelah lelaki yang seperti kukenal, dengan wajah seperti ke arab-arab an, dan ternyata benar, itu pak Bambang, ayahnya Irfan yang dulu pernah ke rumahku bersama istrinya.

“Lho mana bu Bambang pak? Biasanya bu Bambang yang ambil raportnya Irfan” tanyaku membuka omongan ke lelaki yang ada di sebelahku. “Oh, istri saya lagi ikut wisata sama ibu-ibu perumahan, rombongan ke Jogja, baru tadi pagi berangkat” kata pak Bambang ramah. “Waduh, jadi bujangan lagi nih pak” tanyaku sambil bergurau yang dibalasnya dengan senyuman. 

Terlihat ia masih mengenakan seragam salah satu perusahaan rokok terbesar di negeri ini. “Wah, boleh juga nih pak Bambang, hehe” pikirku. Tapi ya ga mungkin lah. Gimana juga aku tiba-tiba ngajak gitu, ya nggak lucu lah. Apalagi, aku juga kenal dengan istrinya. Meskipun bisa dipastikan dia bakal mau. “Oalah Nuk, Ninuk… horni ya horni, tapi ya masak semua mau diembat” gumamku dalam hati.

“Bu, bener ini kah nomornya?” tiba tiba lelaki itu menyodorkan HP nya yang ada kontak namaku disana. “Oh iya pak benar. Kenapa pak?” jawabku agak terkejut juga, rupanya dia menyimpan nomorku. Entah dari mana, mungkin dari istrinya, secara kan mereka pernah ke rumahku. 

Tiba-tiba pula HP ku bergetar. “Ini saya bu, Bambang” pesan dari nomor yang tidak ada di kontakku, bisa kupastikan kalau itu dari lelaki di sebelahku. “Oh, pak Bambang yang duda itu ya?” balasku lengkap dengan ikon tertawanya. “Iya bu, duda hanya 3 hari, hehehe” jawabnya. Akhirnya kita pun hanyut dalam chatting wa sendiri, tanpa memperdulikan wali kelas Doni yang sedang ada di depan memberi pengarahan tentang parenting dan sepertinya juga peringatan tentang bahaya narkoba. Tapi aku tidak begitu jelas mendengarkannya.

“Doni Indra Wijaya”.. tiba-tiba nama anakku dipanggil yang sampai membuatku terkejut dan langsung maju ke depan untuk mengambil raport nya dan langsung menuju mobilku untuk segera pulang. Pikirku langsung bisa lanjut chatting dengan lelaki itu setelah sampai di rumah. Sesampainya di gubug ku, kulihat ada tiga pesan yang dihapus oleh pak Bambang di chat nya. Aku pun menanyakan kenapa kok pesannya dihapus, aku belum baca karena barusan lagi nyetir, bahaya kalo lagi nyetir sambil pegang gadget. 

Pesanku pun tidak dibalas lelaki itu. Hanya dibacanya. Sial nih orang, padahal andai dia tahu, tinggal 1 klik aja, bakal kejadian deh, hehe. Hanya saja kupikir dia juga pastinya sudah balik kantor waktu itu dan mungkin saj sudah sibuk dengan kerjaannya.

Setengah jam berlalu dari pukul sepuluh tepat ketika aku sampai di rumah, masih belum ada balasan dari pak Bambang yang membuatku semakin penasaran. Akhirnya aku pun chat dia lagi, menanyakan sibuk atau nggak. “Nggak bu, pak Hadi?” jawabnya singkat padat dan jelas. Oh rupanya dia mengira di rumah aku sedang dengan suamiku dan mungkin nggak enak kalo chat-chat an denganku. “Misua lagi di sawah pak, nanti sore baru pulang” jawabku. “Oh tau gitu tak ajak jalan-jalan tadi bu, haha” wa nya yang mulai menjurus ke sesuatu. “Jangan jalan lah pak… capek” jawabku. Lalu hingga satu jam kemudian kami pun tetap saling balas di chat whatsapp.

***
Aku yang sedang duduk sendiri di ruang tamu sambil chatting an dengan pak Bambang tiba-tiba dikejutkan dengan suara pagar yang dibuka. Kulihat dari balik jendela ternyata pak Bambang yang datang. Gila, bakal kejadian nih!! Pikirku. Tak lama, pintu utama pun terdengar diketuk. Aku putuskan langsung membukanya tanpa harus ganti baju dulu atau menambah penutup tubuhku. Kala itu aku hanya memakai tanktop tunik warna krem yang tadi kugunakan sebagai daleman.

“Eh, pak Bambang.. kejutan” kataku pura-pura terkejut melihat lelaki itu ketika aku membuka pintu. “Ayo masuk pak” ajakku. Dia pun tersenyum. “Nggak bu, hanya mau kasihkan ini aja, buat cemilan” katanya lalu memberikan sekotak donat J.c* padaku. Setelah itu ia pun segera pamit pulang. Aku pun segera mengambil androidku yang kutaruh di meja ruang tamu.

11.41 Aku : “Lho, kok langsung pulang. Katanya tadi mau ajak jalan”

11.45 Pak Bambang : “hehe emangnya mau? Tadi kayaknya mager“

11.46 Aku : “Ya mau lah pak. Trus ini sapa yang mau makan donat segini banyak?”

11.48 Pak Bambang : “Kan bisa buat anak-anak bu”

11.49 Aku : “Eh kirain buat aku aja, tiwas GR”

11.50 Aku : “Kenapa tadi ga masuk dulu?”

11.53 Pak Bambang : “ takut bu”

11.54 Aku : “Lah kok Takut? Takut apa?”

11.59 Pak Bambang : “Ya takut terjadi hal-hal yang diinginkan bu, hehe”

12.01 Aku : “wkwkwk” namanya takut tuh, ke hal-hal yang tidak diinginkan pak”

12.01 Aku : “Bukan ke hal2 yang diinginkan, wkwkwkwkwk”

12.02 Aku : “Nah itu bu.. hehehe”

Di poin ini jelas kalau lelaki itu sudah mengetuk pintu, keputusan ada di aku saja yang klik jadi membuka atau tidak. Sejenak aku berpikir tapi yang ada akal sehatku semuanya tertutup balutan birahi yang belum tersalurkan beberapa hari ini. Gairah yang entah sengaja atau tidak, dibiarkan begitu saja menumpuk di dalam tubuhku oleh suamiku. Bahkan kemarin pun ketika dengan pak Rudi, tidak bisa menyembuhkan tumpukan itu.

12.15 Aku : “ayo kl mau jalan tapi jangan jemput di rumah. Di mall selatan alun2”

12.15 Aku : “Setengah jam dari sekarang”

12.16 Pak Bambang : “Ok”

Keputusan sudah aku buat. Aku lalu segera memakai baju yang kukenakan tadi ketika ambil raport anak-anakku. “Inah, kamu nanti jemput Bayu ya” perintahku kepada pembantuku ketika akan berangkat. Setengah jam kemudian mobilku sudah terparkir di salah satu mall pertama di kotaku, setekah itu aku pun masuk, tidak untuk belanja, hanya mencari jalan tembusan ke samping bangunan di mana mobil pak Bambang seharusnya menungguku.

Dengan memakai kacamata hitam dan masker kesehatan aku berjalan keluar menuju jalan yang kalau di malam hari ramai dengan para pedagang makanan. Terlihat mobil SUV putih milik pak Bambang bergerak menuju ke arahku. Sesaat kemudian aku pun sudah berada di dalam mobil lelaki itu.

“Kemana ini pak?” tanyaku ketika lelaki itu mulai melajukan mobilnya. “Terserah bu Hadi aja” jawab lelaki itu. “Eh jangan panggil gitu dong… panggil Ninuk aja” kataku. Agak risih juga di telinga ketika mendengar nama suami ketika jalan dengan laki orang. Hampir setengah jam kita berkeliling dari tiap sudut kota sambil ngobrol ngalor-ngidul.

“Kerumah aja ya bu? Eh, Nuk eh” tanya lelaki itu masih agak canggung memanggil namaku. “Emang ga ada orang mas? Irfan?” tanyaku. “Oh biasanya dia ke rumah neneknya di deket sekolahannya sana, baru nanti sore dia balik pulang. “jawab lelaki itu. “Pastiin dulu mas” kataku. Ga lucu juga nanti pas aku dirumah lelaki itu, tiba-tiba anaknya yang juga teman anakku datang. Lelaki itu kemudian menyerahkan hpnya padaku seakan menyuruhku untuk membacanya sendiri. Irfan bilang kalo mau ke rumah temannya baru ke uti, sore nanti pulang.

Akhirnya mobil lelaki itu diarahkan menuju rumahnya yang sebenarnya juga tidak jauh dari rumahku, paling ya kalo naik mobil atau motor sekitar 15 menitan. “Nanti turunnya kalo sudah di dalam garasi ya. Trus langsung masuk, saya kunci pagar dulu” kata pak Bambang kemudian turun dari mobil dan membuka pagar serta rolling door garasinya.

Aku kemudian masuk ke dalam rumah itu ketika pak Bambang selesai menutup rolling door garasinya. Rumah itu biasa saja sih, 11 12 sama rumahku. Tak sampai lima menit lelaki itu pun masuk melalui pintu utama. Tanpa banyak bicara dan memang seharusnya tak perlu banyak bicara ataupun sekedar ajakan. Ketika aku mau diajak lelaki itu kerumahnya atau ke tempat berdua seperti hotel atau apa, tidak perlu ditanya apa yang diinginkan sudah. Apalagi yang dicari buat laki-laki beristri dan perempuan bersuami selain seks. Kemudian lelaki itupun langsung mendekatiku. Aku pun segera bersiap menerima apa yang akan dilakukan lelaki itu yang ternyata langsung mencium bibirku. Aku yang sudah lumayan lama memendam nafsu birahi itu juga langsung meladeni permainan bibirnya. Lidah kami berpagutan satu sama lain. Hampir lima menit dia menciumku hingga akhirnya dia melepaskan bibirnya dari bibirku. “Di kamar” katanya dengan suara parau. Tanda dia sudah benar-benar terangsang dan ingin segera menuntaskannya dengan berhubungan badan denganku. Aku yang sudah bernafsu juga kemudian berjalan mengikuti langkah pria itu pergi dan masuk ke dalam kamar yang letaknya di belakan, sepertinya kamar utama rumah itu. Tidak ada AC disana, hanya sebuah kipas angin besar yang menempel di dinding yang langsung dihidupkan lelaki itu setelah menutup kamar.

Aku kemudian mulai melepas pakaianku ketika lelaki itu melepas seragam kantornya. Aksiku terhenti ketika di tubuhku hanya menyisakan bra dan CD hitam yang kontras dengan warna kulitku. Pandanganku tertuju pada bagian bawah perut yang agak buncit dari lelaki itu. Ada tonjolan besar di dalam boxer biru tuanya seakan ingin meloncat. Dan benar saja, ketika lelaki itu melepas satu-satunya kain yang tersisa yang menutup tubuhnya, penisnya yang berwarna coklat tua itu langsung terlihat berdiri sempurna, ukurannya yang gila, tampak kurang lebih sama seperti punya pak Zen dulu, tapi yang ini sudah dikhitan alias tidak ada kulupnya.

Aku lalu melepas CD dan Bra ku sehingga akupun juga telanjang bulat. Lelaki itu kemudian mendekatiku dan langsung menghisap putting susuku gantian kanan dan kiri sambil meremasnya.. “SSSttttsss….” Aku merintih keenakan, tapi kubiarkan lelaki itu melakukan aksinya. Ia lalu menjilat leherku. “Ohhhh… kamu cantik sekali…. Ooohhh” racaunya yang semakin membuatku bergairah. Tangan kananku meraih batang kemaluannya dan mengelusnya pelan. Aku yang sudah tak tahan, akhirnya kemudian jongkok untuk menghisap penisnya. Lelaki itu mengerang keenakan dengan permainan oralku.

Lelaki itu kemudian menarik tubuhnya ke belakang dan mengangkat tubuhku yang jongkok di depannya. Aku pun merebahkan tubuhku di ranjang. Ingin segera permainan inti dimulai. Lelaki itu sepertinya masih ingin bermain-main denganku. Ia lalu menjilati vaginaku yang sebenarnya sudah basah kuyup. “Masukin mass… dah basah kok…. Ohhhh” rengekku tapi tidak diindahkannya. Ia terus melahap bagian kewanitaanku dengan mulut dan lidahnya. Lelaki itu kemudian berdiri dan mengarahkan penisnya ke liang kewanitaanku. Aku pun membuka lebar-lebar kedua kakiku untuk memudahkannya. “Oooooohhhhhh….” Suara dari mulut kami ketika batang kemaluannya masuk perlahan dan liang vaginaku. “Aduuuhhh… gila enak sekali mas…ooochhhh” jeritku.

Ia kemudian mulai menyodok-nyodokannya. Tak sampai lima menit aku pun merasakan akan mencapai puncak kenikmatanku. Kulihat lelaki itu pun demikian. Ia semakin mempercepat gerakannya. Tak lama kemudian kami pun hampir bersamaan meraih orgasme. Dan momen seperti itu memang langka dan sangat nikmat sekali ketika berhasil meraih puncak kenikmatan bersama-sama.

Lelaki itu kemudian duduk di tepi ranjang pas di sebelahku. Aku pun bangkit dan kemudian duduk agar sperma lelaki itu cepat keluar dari tubuhku. Kulihat penis lelaki itu yang sudah agak turun. Aku lalu kembali mengulum penisnya agar kembali mengeras. Usahaku pun berhasil dan tidak membutuhkan waktu lama. Kemudian ronde kedua pun dimulai dimana dia dapat membawaku mencapai orgasme beberapa kali sebelum dia akhirnya menyemprotkan air maninya untuk yang kedua kalinya di dalam rahimku.

Kami lalu sama-sama berbaring berdampingan dengan tubuh bermandikan keringat sambil mengatur nafas kami yang ngos-ngosan. “Akhirnya jadi kenyataan bu” gumam lelaki itu. “Apanya mas?” tanyaku. “Iya saya sering bayangin ini” lanjutnya yang membuatku tersenyum. “Lho kok bisa?” tanyaku. Ia lalu menceritakan kalau setelah kejadian ia menemukan fotoku di hp nya anaknya, androidnya Irfan dia kloning, jadi semua wa yang masuk, juga masuk ke hp lelaki itu. “Kamu nggak percaya?” ia lalu bangkit dan mengambil gadgetnya. Dan ternyata benar, di dalamnya banyak sekali fotoku. “Ihhh… tapi enak mana mas, yang asli apa yang di bayangan?” tanyaku. “Ya yang asli lah” jawabnya.

Kemudian kami dikagetkan dengan suara gembok pagar yang akan dibuka. “Siapa mas??” tanyaku dengan panik. Ia lalu membuka aplikasi hp nya dan melihat cctv rumahnya. “Irfan sama Doni datang” kata lelaki itu. “Hah Irfan sama Doni???” tanyaku seakan tidak percaya dan semakin membuat panik keadaan.
Read More

𝐃𝐞𝐦𝐢 𝐀𝐥𝐚𝐬𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐬𝐞𝐡𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐄𝐩𝐢𝐬𝐨𝐝𝐞 𝟐𝟕

 


Hari minggu paginya, setelah sarapan suamiku dan anak-anakku langsung berangkat meninggalkanku yang masih belum mandi sendiri di rumah. Katanya mereka akan balik setelah isya’, mumpung ketemu saudara jauh, seperti pas momen lebaran. Entah juga kenapa hari itu aku nggak punya pikiran sama sekali dengan aktivitas seksual. 

Padahal kesempatan sangat-sangat terbuka. Suami dan anak-anakku keluar, pun juga Herman dan anaknya pulang ke pare, hanya Inah yang ada di rumah. Dan kalo pembantuku ini sudah terbiasa dengan ulah dan kelakuanku.


Seperti nggak ada gairah sama sekali, padahal terakhir kali aku berhubungan seks waktu hari jum’at sore. Sebenarnya aku bisa aja hubungi si Faris untuk datang atau ke tempat pak Kandar yang baru sekali kupake, hehe. Tapi nggak, saat itu aku hanya ingin melakukan tugas rumahan yang jarang sekali kuemban. Ya cuma killing time aja, nggak lebih. 

Setelah ashar, Aldo dan Vira, mantan pegawaiku yang kini sudah jadi pasangan suami isteri datang. Mampir setelah pulang kampung ke rumah orang tuanya Vira. Kangen kata mereka.

Malam hari nya pun hampir sama, tidak ada hal-hal yang bisa diceritakan selain rutinitas biasa. Baru lah di hari senin, ketika bangun pagi tiba-tiba hasrat seksualku mulai muncul, ya tiga hari memang maksimal buatku untuk tidak disentuh. “Hmmm.. kok nggak kemarin sih, pas ada kesempatan” gumamku dalam hati. Atau tadi malam lah, biar bisa “minta” ke suamiku. 

Sambil menyelesaikan aktivitas rutin di senin pagi, aku akhirnya memutuskan nanti mau ke pak dokter, jadi pasien bohong-bohongan, hehe.

“Nuk, kamu nanti ikut ke lahan kan?” tanya suamiku ketika datang dari mengantar Bayu sekolah. “Nggak mas, emang kenapa?” tanyaku. “Kamu ikut aja ya, nanti kamu ke agen pupuk, tanyakan jatah buat sawah kita. 

Aku ga enak kalo tanya lagi, terakhir kali aku kesana, aku marah-marah ke agennya” kata suamiku kemudian beranjak ke meja makan untuk sarapan.

Haduh, bakal gagal rencana mau ke pak dokter. Otakku langsung beralih ke pak Kandar atau Wanto. Tapi gimana caranya ya. “Kamu nggak mandi ta Nuk?” tanya suamiku yang langsung membuyarkan lamunanku. “Apa kata nanti dah” gumamku.

“Iya mas, ini mau mandi, siap-siap” jawabku ke suamiku yang masih di belakang meja makan. Sekitar sejam kemudian kami pun sudah ada di lahan pertanian milik suamiku. “Kamu coba sekarang ke agen ya Nuk, coba tanyakan. Ini kartunya” kata suamiku. Setelah menerima ancer-ancer tempatnya aku pun segera berangkat.

“Oh, jadi istilahnya harus daftar ulang gitu ya pak?” tanyaku mencoba menarik kesimpulan dari penjelasan yang disampaikan oleh pemilik agen pupuk. “Iya bu, saratnya mudah saja kok, hanya KK, KTP dan pipil pajak tahunan. 

Ngurusnya di kantor kecamatan bu” kata laki-laki pemilik agen itu. “Setelah itu surat keterangannya dibawa kesini ya, nanti biar saya yang membawanya ke distributor barulah nanti pupuknya bisa langsung turun kesini bu. Kapan hari saya sudah coba jelaskan ke Pak Hadi, tapi beliau sepertinya kurang begitu faham” lanjutnya.

“Biar Ninuk yang urus sudah mas” kataku ketika bertemu suamiku setelah dari agen. “Sebenarnya agennya bukan mempersulit mas, memang katanya ada aturan baru sehingga orang-orang harus daftar ulang untuk pengajuan pupuknya” jelasku. “Oh gitu ya, pikirku ya biasanya dapat, kok sekarang malah namaku ga ada Nuk, jadi ya sempet emosi juga waktu itu” kata suamiku.

Aku akhirnya yang berangkat mengurus semuanya kala itu. Lumayan juga untuk mengalihkan pikiran dari birahiku. Sekitar jam 11 siang aku pun sudah kembali ke lahan tempat suamiku berada. “Sudah mas, tadi sudah Ninuk urus semuanya. 

Suratnya juga sudah Ninuk kasih ke agen. Tinggal tunggu kabar, katanya sudah punya nomornya mas” kataku. “Kok cepet Nuk.. moga-moga dalam minggu ini bisa mupuk. Soalnya kalo nggak, hasilnya bakal ga maksimal” kata suamiku. “Iya mas, cepet kok.. lancar tadi juga. Mas aja yang males ruwet kayaknya” jawabku.

Oh, ini juga yang mungkin jadi pikiran suamiku. Belum lagi masalah warisan. Mungkin banyak pikiran yang ada di benaknya sampai-sampai ia pun tidak pernah menjamahku.

“Eh, gimana ya ceritanya si Kandar bisa sama istrinya Wanto?” gumam suamiku tiba-tiba yang mengingatkanku pada kejadian kapan hari, pak Kandar menggunakan alasan si Mbak Yanti itu untuk menutupi perbuatanku. 

“Aku belum tanya lagi Nuk.. penasaran juga” lanjut suamiku. “mas ini… ngapain juga pikir urusan orang” jawabku. “Nggak gitu Nuk… hehe.. Kandar itu dulu sampe tak bilang gay orangnya gara-gara ga mau nikah lagi, trus kayak ga mau ama perempuan.

Kamu tau nggak Nuk? Dulu aku pernah nawarin sama kamu” kata suamiku. “Hah??! Apaan sih mas… masak istri sendiri disuruh main sama orang lain” kataku. “Nggak gitu juga Nuk… tapi jujur aja, aku kayak terangsang banget kalo sampe umpama kamu ama orang lain. Kemarin aja liat kamu dilirik ama si Wanto, aku langsung pengen. Inget kamu?” katanya yang menjelaskan pertanyaan pada pikiranku kapan hari. 

Ternyata memang itu yang membuat suamiku bergairah. “ya kayak takut aja.. pas kita ama pak dokter dan bu dokter pun gitu Nuk.. aku takut kalo kamu melakukannya tidak hanya untuk seks aja. Tapi ada perasaan disitu” jelasnya yang semakin meyakinkanku.

“Trus pak Kandar mau??” tanyaku. “Ya nggak mau lah… mungkin ya sungkan atau gimana juga, mungkin dikira aku bercanda” jawabnya. “Bilang aja mas, Ninuk mau” kataku untuk memancing cemburunya. “eh, kamu ya…” kata suamiku sambil mencibut hidungku. “mas, ga jemput Bayu?” tanyaku ketika jam sudah menunjukkan pukul setengah 1 siang. “Oh iya, ayo.. tapi aku nanti balik lagi kesini Nuk. Nanti jam 4 masih harus janjian dengan ulu-ulu daerah sini” kata suamiku kemudian berdiri dan kami pun pulang setelah menjemput anakku sekolah.

“huh, gagal lagi hari ini… panggil si Faris pun percuma, paling bisanya juga nanti malam. Anak-anak kantor jam 1 kan sudah datang” pikirku. Setelah mengurus kantor sebentar rencana aku akan tidur. Berusaha melupakan rencanaku hari ini, tetapi tiba-tiba terbersit pikiran untuk mendatangi distributor pupuk yang tadi sempat dikasih alamat oleh agen. 

“Ya paling nggak mau tanya lah, kira-kira kapan. Karena kata suamiku, dalam minggu ini sudah harus dipupuk. Juga untuk mengalihkan pikiran juga, daripada ditambah juga nggak ngapa-ngapain.

Sekitar setengah jam kemudian mobil yang kukendarai sudah hampir sampai di lokasi yang membuatku memelankan lajunya. Setelah kupastikan tempatnya aku kemudian berhenti di sebuah gudang yang sangat besar. Ada rumah bagus juga di sampingnya. 

Kulihat ada beberapa truk yang parkir ketika aku berjalan masuk ke salah satu pintu gudang yang terbuka. Ada beberapa orang yang sepertinya kuli angkut ada di dalamnya sedang duduk santai. Salah satu dari mereka menunjukkan pintu sebuah ruangan ketika aku menanyakan nama pak Rudi.

Beberapa saat kemusian pintu itu terbuka dan munculah seorang pria setangah baya dengan pawakan agak gendut, tapi tinggi besar. “Iya bu? Cari siapa?” tanyanya menyambutku. “Oh, saya cari pak Rudi” jawabku. “Oh iya, silahkan masuk. Mari silahkan duduk” ajaknya.

“Oh iya bu, email notifikasinya kayaknya sudah kita terima. Nanti kita akan secepatnya mengirim ke Agen. Tapi kayaknya baru dua minggu lagi baru bisa. Soalnya masih harus re-stock dari pusat” katanya setelah tahu maksud kedatanganku. “Oh gitu ya pak.. mungkin ada stock sisa atau gimana, soalnya katanya harus minggu ini dipupuknya pak” kataku agak memelas. “Maaf bu, tapi nanti akan kami usahakan” katanya.

“Iya pak… mungkin bisa diusahakan gitu, gimana lah caranya pak. Mungkin bisa dengan cara lain… “kataku yang harus terhenti ketika kudengar HP ku berbunyi di dalam tas ku. Apesnya ketika aku mengambil Androidku, tak kusadari kalau sebungkus kondom yang minggu lalu kubeli ikut keluar dan jatuh pas di atas meja yang memisahkan aku dengan lelaki itu. Aku segera memasukkan HP ku dan kondom yang ada di meja ke dalam tas ku lagi ketika aku selesai telepon.

“Ya, kalo gitu, jangan kan dua minggu bu… hari ini bisa langsung saya kirim “ kata lelaki itu kemudian berdiri. “Sial, pasti dia mengira aku…” pikirku. Tapi terlambat untuk menolak atau bahkan hanya untuk berpikir ketika ia sudah berdiri di sampingku. “Pastikan dulu pak, hari ini” kataku nekat, kepalang basah juga, pas juga memang aku sedang menginginkan aktivitas seksual juga, dan ini completely stranger. 

“Oke… “ kemudian dia kembali duduk dan sepertinya menuliskan sesuatu sambil membaca laptopnya. “Diantar langsung ke lahan atau tetep ke Agen?” tanyanya. “Ya ke Agen pak” jawabku yang langsung disetujuinya. Kemudian ia menelepon lalu beberapa saat kemudian seseorang pegawainya masuk ke ruangan. “Ini, langsung diantar. Carikan stock yang buat pengiriman terakhir” katanya. Tak lama pegawainya pun keluar.

“mari bu, di rumah saya saja” katanya kemudian berdiri dan beranjak. Aku pun mengikutinya. Aku kembali terpesona dengan rumah yang sangat mewah, bahkan lebih bagus dari punya pak dokter. Sesaat kemudian kamu pin sudah di dalam salah satu kamar di rumah itu. “Pak, saya ga mau ciuman bibir, dan harus pakai kondom” kataku. 

Ia hanya mengangguk lalu masuk ke kamar mandi yang ada di kamar itu. Tak lama kemudian ia keluar hanya dengan memekai handuk putih yang dililitkan di tubuhnya. Haduk itu juga ia lepas ketika berjalan mendekatiku. Kulihat penis lelaki itu yang ukurannya lumayan, lebih besar dikit dari punya suamiku dan ternyata dia tidak sunat. Hehe, ini kedua jalinya aku bakal merasakan penis berkulup, setelah punya pak Zen dulu.

“Ayo kok bajunya belum dilepas…” kata lelaki itu. Aku hanya tersenyum lalu langsung jongkok di depannya dan langsung mengulum penisnya. “Oooochhh…” rintihnya. Penis itu langsung mengeras maksimal, siap menyalurkan kenikmatan pada empunya. Beberapa menit aku memberikan sensasi kenikmatan oral pada lelaki itu, sambil kadang memainkan kulup penisnya.

Aku lalu berdiri dan mengambil kondom yang ada di tasku dan memberikannya padanya. Lelaki itu pun kemudian duduk di tepian ranjang ketika aku melucuti satu persatu pakaian yang menutup tubuhku tepat di depannya seakan aku memberi sensasi striptease kepada lelaki itu. 

Aku lalu merebahkan tubuhku di atas ranjang. “masukin pak, punyaku sudah basah” ajakku agar lelaki itu segera memulai permainannya. Ia pun kemudian merayap di atasku. Tangaku kemudian meraih batang kemaluannya lalu kuarahkan ke liang vaginaku dan dengan sekali dorong, batang itu sudah masuk. 

“plok.. plok…plok” suara tubuh kamu berbenturan ketika ia menggenjotku. “Ohhhh… enak banget bu,… ohhhh… aduh buuu…. Eergggghhhh…. Occchhhhhhh” ia menyodokkan penisnya dalam-dalam. Baru juga semenit dia sudah mencapai klimaksnya, dan aku masih belum apa-apa. “Keluar pak?” tanyaku yang dijawabnya dengan anggukan. Kemudian ia mencabut penisnya dan merebahkan tubuhnya di sisiku. Kulihat kondomnya penuh dengan cairan spermanya. 

“Kok cepet amat sih?” sialan, pikirku yang berharap dia juga bisa memberiku kepuasan. Segera aku ambil beberapa foto waktu dia sedang telanjang, untuk jaga-jaga.

Setelah bebersih aku pun langsung pamit pulang. Ia sempat meminta nomor hp ku juga. Dan ketika baru saja aku masuk ke dalam mobil dan menstartnya, suamiku telepon bilang kalau pupuknya sudah ada di agen dan besok sudah bisa diambil. “Wah, sip mas kalo gitu.. untung tadi Ninuk urus semuanya” kataku pada suamiku yang terdengar senang.

Read More

𝐃𝐞𝐦𝐢 𝐀𝐥𝐚𝐬𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐬𝐞𝐡𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐄𝐩𝐢𝐬𝐨𝐝𝐞 𝟐𝟔

 


Kembali ke laptop, eh kembali ke rumah. Sesampainya di rumah aku sempatkan untuk tidur, maklum lah, habis dihajar habis-habisan sama pak Kandar dan Wanto siang tadi. Malam harinya sekitar jam 11 suamiku datang, namun sebelum seperti biasanya sebelum tidur dia meminta jatah, aku pun yang menawari mengajaknya berhubungan badan duluan. 

Salah satu cara untuk tidak menimbulkan kecurigaan pada suamiku kalau tadi aku dah “dipake” orang lain dan bahkan 2 orang itu di luar list yang pernah dibilang suamiku. Sebenarnya suamiku pun enggan karena capek katanya. “Ayo mas, dah 3 hari Ninuk ga disambangi” kataku berpura-pura.

Keesokan harinya seperti yang sering kulakukan aku pun ikut lelaki itu ke lahan sawahnya. Sekalian juga mau lihat reaksi dari 2 orang pekerja suamiku yang kemarin siang sudah main gila denganku. Untunglah semua tampak biasa saja. Hari itu bukan hanya pak Kandar dan Wanto saja yang sedang bekerja, ada beberapa orang lagi. Cuma si Wanto ini yang kayaknya agak salah tingkah, sampai-sampai ketika aku ada kesempatan ngomong dengan pak Kandar, aku juga minta tolong untuk memperingatkannya.

Suamiku kemdian duduk di sebelahku. “Eh, Nuk kamu liat tadi orang-orang..” kata suamiku membuka pembicaraan. “Kenapa mas?” tanyaku balik. “Kamu sih pake turun juga ke sawah, orang-orang jadi pada lirik in kamu semua” lanjut suamiku. “Ihh, apaan sih mas… emang ada yang salah sama Ninuk? Bajuku kah? Perasaan ya sama aja pake ginian kalo kesini, dan juga ini bukan yang pertama kali aku turun. Dulu bahkan pernah jatuh itu sampe harus pulang karena bajuku kotor” jawabku.

“Tak tahulah… apalagi liat itu si Wanto… kamu tahu kan si Wanto? Itu tuh yang pake baju putih” lanjut suamiku. “Yang pake baju putih kan ada dua mas” jawabku, aku semakin ga enak aja dengan pertanyaan-pertanyaan suamiku itu, entah kenapa juga, mungkin ada rasa bersalah paling. Padahal sering juga suamiku menggoda-goda seperti itu. Yang tukang becak lah, yang tukang parkir lah, sampe pemulung pun pernah dibilang ngelirik aku.

“Iya, yang satunya kan Kandar. Yang satunya lagi” kata suamiku. “Oh itu, iya tahu mas, oh namanya Wanto… dulu sepeda motornya pernah dipake pak Kandar waktu antar aku yang kesini sendirian itu” jawabku. “Emang kenapa mas?” tanyaku. “matanya nek liat kamu, kayak kucing lihat ikan pindang” gumam suamiku lalu tertawa. “Ihh.. emangnya Ninuk Ikan Pindang” jawabku.

“Nuk, aku pengen..” kata lelaki itu. “Ihh.. mas tadi malem kan udah” jawabku. “Iya tadi malem ya tadi malem, tapi ini liaten..” kata mas Hadi kemudian meraih tanganku untuk menyentuh bagian depan celananya. “Ihh apaan sih mas… ya ayo pulang, kalo pengen.. masak mau main di sini, hehe.. ga lucu ah” jawabku. “Ya nggak di gerdu ini juga lak… di rumah pak Kandar aja. 

Kamu kan tahu sih rumahnya” kata suamiku. “Ihhh… masak mau main di rumah orang sih mas?? Trus pak Kandar gimana? Ibunya pak Kandar?” tanyaku. “Aman Nuk, ibunya ga mungkin tahu.. sik bentar” kata suamiku. Lelaki itu kemudian melambaikan tangannya seperti memanggil seseorang. Dan ternyata pak Kandar yang di panggilnya. Ia kemudian sempat berbincang pula dengan lelaki itu.

Was-was juga sih, entah kenapa kok kayaknya hari ini semua seperti ingin memnunjukkan pada suamiku tentang kejadian kemarin. Moga-moga aja hanya kebetulan. “Ayo Nuk, ke rumah Kandar” ajak suamiku. “Beneran nih mas?? Kok ga pulang aja sih” kataku kemudian berdiri dan menyusul suamiku yang sudah di dekat motor. Perjalanan dari sawah menuju rumah nya pak Kandar memang sangat dekat, paling lima menitan kita sudah sampai.

Rumah itu masih terlihat lengang ketika kami datang. “Tenang Nuk, aku sering kesini kok, siang-siang, kadang juga istirahat bahkan sampe tidur disini” kata suamiku. Rumah itu memang sepertinya tidak pernah dikunci, dan mungkin gara-gara masih ada ibunya pak Kandar di dalam. Btw, beberapa kali kesana, aku masih belum pernah ketemu dengan ibunya pak Kandar. “Ayo Nuk, langsung ke kamar aja, tutup pintunya” kata suamiku setengah berbisik. “Beneran nih mas?? Serius?” kataku. “Iya lah… ayo” kata suamiku meyakinkanku.

Aku kemudian mengikuti suamiku masuk ke kamar tempat aku melayani pak Kandar dan Wanto kemarin siang. Deg-deg an juga sih. Terlihat sprei kasurnya masih tetap yang kemarin. Tapi sudah sangat tertata rapi, aku semakin was-was ketika melihat kresek putih bertuliaskan warna biru milik salah satu swalayan yang tersebar hampir di seluruh indonesia itu masih tetap ada di atas meja, botol poc*ri swe*at masih tampak, tapi ada di bawah meja. Kondom… iya, disana ada sisa satu kondom yang kemarin tidak dipakai. Waduh, gimana ini.

“Lho Nuk, eh liat sini… ada tisu basah.. ngapain juga Kandar beli tisu basah… eh.. Nuk ada kondom juga.. tinggal satu..” gumam suamiku ketika melihat isi kresek itu. “Iya mas, Ninuk tahu lha Ninuk yang beli itu semua kemarin” kataku dalam hatiku yang semakin tergerus perasaan nggak enak dan khawatir. 

“Hehehe, pasti si Kandar habis bawa perempuan kesini.. “ gumam suamiku lagi. “Iya mas…. Itu aku kemarin yang beli” jeritku dalam hati. “Wah, wah ada perkembangan nih si Kandar” kata suamiku lagi.

“Ayo mas, gimana ini jadi nggak??” tanyaku pada lelaki itu yang sepertinya konsentrasinya sedang terpusat di barang-barang yang ada di kamar itu. “Ya iya Nuk… ayo” jawabnya kemudian melepas celananya. Tampak penisnya sudah separuh tegang, menandakan bahwa ia memang benar-benar menginginkannya, lain dengan demalam yang mengharuskanku mengulumnya untuk menjadikannya tegang.

Aku pun lalu melepas bajuku. Gimana-gimana, aku takut pakaianku lusuh. BH tetap kupakai, nahanya CD yang kemudian kutanggalkan. “basahin dulu mas” kataku. Suamiku lalu menjilat bagian kewanitaanku dan ketika sudah benar-benar basah, ia pun segera menyetubuhiku. Tak lama, sekitar lima menitan ia pun sepertinya akan keluar, tapi ia malah menghentikan aksinya. “Lho kenapa mas?” kayaknya tadi dah mau keluar” tanyaku.

Kulihat lelaki itu mengambil kondom dan memasangkannya di penisnya. “Lho mas, itu kan punya pak Kandar?” tanyaku. “Biar Nuk, nanti biar kuganti. Ntar juga biar kamu ga lama untuk bersihin punyamu kalo aku pake ini” katanya lalu kembali menyetubuhiku. Tak lama kemudian ia pun mencapai klimaksnya.

Sebenarnya kala itu aku tidak seberapa menikmatinya. Hatiku masih tidak tenang. Bayangkan saja, aku main dengan suamiku di rumah dan di kamar yang sama dengan tempatku berhubungan badan dengan pemilik rumah itu dan juga keponakannya kemarin siang. Iya baru kemarin siang.

Sekitar lima menit kemudian, suamiku menyusulku duduk di ruang tamu setelah dari kamar mandi. Ia kemudian tampak menelepon seseorang dan dari nada pembicaraannya rupanya dia menelepon pak Kandar untuk memintanya membeli makanan.

“Aku minta Kandar beli lalapan Nuk” maem disini aja ya.. lapar” kata suamiku. Kekawatiranku masih belum berhenti disitu. Nanti ketika pak Kandar datang, suamiku bakal tanya tentang pengaman dan tisu basah yang ada di kamarnya.

Setengah jam kemudian pak Kandar datang dengan membawa pesanan suamiku lengkap dengan air mineral botolannya. “Ayo kamu kan beli 3 sih.. ayo makan sini juga” ajak suamiku. “Iya pak..” jawabnya lalu duduk di depan tempatku duduk bersama suamiku. “Nuk, Pak Kandar ini sudah mulai ada perkembangan” kata suamiku. “Maksudnya?” tanyaku pura-pura tidak tahu, padahal aku mengerti kalau dia akan membicarakan kondom dan tisu basah yang ada di kamarnya. 

“ini Nuk, mulai dulu Kandar ini ga mau dan kayaknya seperti ga doyan ke perempuan, eh ternyata… ada kondom sama tisu basah di kamarnya” kata suamiku langsung tanpa basa-basi lagi. “Oh, itu anu mas.. eee” kata Pak Kandar seperti kebingungan, demikian juga aku yang akhirnya hanya bisa pasrah kalaupun pak Kandar sampai ngomong kalau yang beli kondom itu aku, kemarin siang.

Sebenarnya sih, kalaupun harus ketahuan aku ada main dengan orang lain, tidak seberapa fatal. Bahkan juga kan sering suamiku sepertinya ingin aku main dengan laki-laki lain, tapi kalau ketemu aku ada main dibelakangnya aku ga tahu bakal jadi apa. Katanya sih, yang penting bilang. Tapi buatku, malah lebih greng kalo memang main di belakang itu, sembunyi-sembunyi.

“Halah, ga usah bohong kamu Ndar. Aku tahu kok. Kamu sudah bawa perempuan kesini” kata suamiku. “Mas… jangan gitu ah… kan malu pak Kandarnya” kataku mencoba untuk mencegah pembicaraan lebih lanjut. “Ga papa Nuk” kata suamiku. “Siapa Ndar? Kalo boleh tahu” tanya suamiku lagi. Aku hanya bisa diam, pasrah. 

“Jangan bilang-bilang tapi ya mas, bu…” kata pak Kandar buka suara. “Iya… aman Ndar” kata suamiku. Jantungku seakan berhenti berdetak ketika menunggu apa yang akan dikatakan pak Kandar, kata-kata yang menentukan nasibku kedepannya.

“Aman Ndar, istriku juga ga bakal kasih tahu siapa-siapa” lanjut suamiku sambil terus melahap makanannya. “Yanti pak” kata pak Kandar pelan. “Tapi tolong jangan bilang Wanto ya pak… bu…” lanjutnya cepat. “Hah, Yanti?? Gila kamu Ndar” hehehe…” sahut suamiku sampai tersedak karena terkejut dengan jawaban pak Kandar. Aku ga tahu siapa wanita yang bernama Yanti itu, hanya saja jawaban pak Kandar membuatku lega.

“Yanti itu istrinya Wanto Nuk” jelas suamiku. “Kok bisa Ndar?” tanya suamiku lagi. “Ihh mas ini, jangan cerita sudah pak Kandar…masak ada aku cerita-cerita gitu” kataku. “Iya-iya, nanti aja Ndar, ceritanya. Ga enak ada istriku” kata suamiku kemudian beranjak dan berlalu ke belakang setelah menyelesaikan makannya, mungkin dia mau mencuci tangan. “Makasih ya pak” kataku pelan pada pak Kandar yang menutupi rahasiaku dengannya. “Iya bu, aman” jawabnya pelan yang membuatku tersenyum lega.

===========
Karena hari itu hari Jum’at, sekitar jam setengah 12 aku dan suamiku pun sampai rumah sambil sekalian jemput si Bayu sekolah. Sekitar jam satu aku pun kembali beraktivitas di kantor tempat usaha online ku. Sebenarnya sudah berjalan dengan para pegawaiku saja, tapi hanya memastikan. Sambil juga berpikir tentang kejadian tadi pagi yang sangat banyak menguras otak dan perasaanku. Sampai-sampai aku tidak seberapa menikmati aktivitas seksualku dengan suamiku tadi pagi. Dan untungnya pak Kandar masih bisa memberikan jawaban yang membuat rahasiaku aman terjaga.

Ada kesimpulan menarik dari apa yang dilakukan suamiku tadi pagi dan memang itu pernah terjadi, ketika aku ingat dulu waktu pak Maman memijatku, suamiku begitu bergairah. Mungkin terbakar cemburu atau apa. Tadi pun demikian, hanya karena aku dilihatin oleh pekerja-pekerja nya, dia bahkan langsung mengajakku berhubungan intim bahkan sebelumnya seperti ingin menyuruhku main sama pak Maman tapi aku menolaknya. Entah kenapa memang, aku nggak seberapa klik dengan lelaki itu. Atau mungkin gara-gara ada istrinya juga, meski sempat juga aku terangsang berat.

Kalo umpama sampe aku ada kontak tubuh dengan pria lain, entah gimana reaksi suamiku. Tiba-tiba aku ingin membuktikan hipotesa yang kubuat sendiri. Tapi gimana caranya, sama siapa juga. Masak dengan pak Maman yang dulu pernah aku tolak meski disuruh oleh suamiku, bahkan sampe kita bertengkar karenanya. Pak maman… okelah, pak Maman.

Aku kemudian kembali ke rumah dan mendapati suamiku sedang membetulkan sepeda pancal Doni yang lama rencana akan dipakai Bayu untuk belajar. “Bisa mas?” tanyaku membuka pembicaraan. “Bisa Nuk, tinggal beli bannya saja, karetnya kayaknya sudah mati, ga bakal bisa dipake lagi” kata lelaki itu. “Oh ya dibelikan mas… daripada harus beli sepeda baru… toh juga bakal ga terpake lama, lha sepedanya kecil gitu” jawabku.

“Mas…” kataku. “Mas ga kepingin pijet kah ?” tanyaku. “Nggak, Kenapa Nuk? Kamu pengen pijet ta?” tanyanya. “Ya kalo mas pijet, ya sekalian ga papa, Ninuk juga pijet, tapi kalo mas nggak ya ga usah, kapan-kapan aja” jawabku seolah tidak begitu menginginkannya. “Ya ga papa kalo kamu mau, ke pak Maman tah? Eh sebentar… oh sekarang hari jum’at ya… dia sudah pulang jam 2, nanti habis ashar aja wis sekalian. Aku selesaikan ini dulu” kata suamiku sambil terus mengutak-atik barang di depannya. “Ok mas, Ninuk mandinya sekalian nanti aja ya” setelah pijat.” Kataku kemudian berlalu. Yes, rencana masuk.

Sekitar jam setengah tiga kamipun berangkat ke rumah pak Maman dan ternyata pas bareng dengan orangnya ketika kami sampai di rumahnya. “Lho baru pulang Man?” tanya suamiku. “Iya pak Hadi, ini tadi langsung sekalian antar istri ke stasiun, mau ke Malang, tilik anaknya soalnya ga bisa pulang lagi minggu ini” kata lelaki itu sambil membuka pintu rumahnya dan kemudian mempersilahkan kami masuk. Pas juga pikirku, istrinya ga ada di rumah. Semesta sepertinya mendukungku, hehe.

“Waduh kamu capek nggak Man? Ini istri saya mau pijat katanya” kata suamiku. “Oh nggak pak, ga papa, kalo pak Hadi juga nggak pijat? Sekalian juga ga papa” tanya lelaki itu. “Kalo aku nggak Man, kan kapan hari aku juga habis kesini, 2 minggu lalu kayaknya” kata suamiku santai. “Oh iya. Kalau begitu, saya mandi dulu ya pak. Sebentar kok. Gerah ini pake seragam” katanya kemudian berlalu ke belakang. “Eh, mas pak Maman ada handbody ga? Kalo ga, biar ninuk beli dulu. Lupa tadi mau bilang” tanyaku. “Ya nanti tanya dulu lah Nuk, ya mana tau aku” kata suamiku.

Tak lama kemudian lelaki itu muncul, bahkan dia juga membawa secangkir kopi dan teh untuk kami. Terlihat dari rambutnya yang masih belum disisir, ia baru saja keramas. “Ya gini ini mas, kalo istri ga ada, buat kopi sendiri, hehe” katanya. “Eh Man, kamu punya handbody ga? Ninuk ga mau kalo pake minyak.” Tanya suamiku. “Oh ada mas, sebentar” jawabnya kemudian ia kembali masuk ke bagian dalam rumahnya. “Kayak gini bu.. ga papa?” tanya lelaki itu ketika kembali. Tampak ia juga membawa kain jarik seperti dulu, tapi ingetku itu bukan kain yang sama, terlihat dari corak dan warnanya.

“Ini bu.. seperti dulu itu ya, katanya sambil menyerahkan kain jarik yang dibawanya padaku. Aku kemudian masuk ke dalam kamar yang sama seperti dulu, tempat suamiku dan aku pijat. Tanpa ragu aku buka seluruh penutup tubuhku, bahkan aku sengaja melepas bra ku lalu membalutnya dengan kain jarik pemberian pak Maman. Kalau CD aku masih memakainya. Aku lalu membuka pintu kamar. “Sudah bu?” tanya pak Maman. “Aku disini aja ya” lagian Bu Maman ga ada” kata suamiku. Mungkin dia mau merokok. “lah, rencanaku nanti bagaimana kalo memang mas Hadi ga ada di kamar” mungkin dia masih ingat kalau aku ga mau dengan pak Maman ini jadi hari itu memang aku benar-benar kan pijat, bukan yang lain. Dan juga syaratnya kalau dengan pak Maman, harus dengan istrinya juga.

Betul juga apa yang aku khawatirkan, kala itu memang benar-benar hanya pijat. Dan aku pun tidak berani macam-macam lagi sampai sesi massage nya selesai. Tidak ada ekshib yang kusengaja. Kalaupun buah dadaku terlihat, itu pun gara-gara aku memang tidak memakai bra. Tak ada komentar atau gimana. Hanya saja suamiku tampak agak tergesa ketika perjalanan pulang. Tak banyak omong juga seperti dulu ketika pertama kali pijat ke rumah pak Maman.

Benar juga perkiraanku. Sesampainya di rumah suamiku langsung mengajakku berhubungan badan, padahal paginya sudah sewaktu di rumah pak Kandar. Hal yang persis sama sewaktu kalau kita ada jadwal dengan pasangan pak dokter dan bu dokter. Sepulangnya dia sepertinya sangat bergairah untuk melakukannya denganku. Entah kenapa karena memang hal tersebut tidak pernah kami omongkan juga sih.

Malam harinya setelah menemani si Bayu, anakku yang kedua tidur, aku mendapati suamiku sedang duduk di teras rumah sambil menikmati rokoknya. Setelah membuat kopi panas, aku kemudian bergabung dengan lelaki itu.

“Mikir apa mas? Tanyaku kemudian duduk di kursi yang ada di seblah lelaki itu. Dia tampak menghela nafas panjang. “Masalah warisan yang kemarin belum selesai Nuk” katanya pelan. “Besok minggu keluarga besar ngumpul. Di rumah mas Harjo. Yang dari Jakarta sama Makassar juga datang” lanjutnya. “Ninuk nggak ikut mas” kataku. “Iya Nuk, tapi kayaknya anak-anak tak ajak” sahutnya. Beberapa saat kamipun ngobrol tentang masalah yang ada di keluarga besarnya.

“Nuk, kamu seneng nggak sih… maksudku bahagia’” tanya lelaki itu. “Eh, kenapa sih mas… kok tanya gitu?” sahutku. Kemudian suasana kembali hening. Hanya ada beberapa sepeda motor yang lewat di depan rumah. Saat itu sekitar jam setengah sepuluhan, anak-anak kantor juga sudah pada pulang. Sebenarnya aku ingin menanyakan hal yang ada di pikiranku. Kenapa kok lelaki itu terasa lebih bersemangat ketika aku, misal ada yang ngelirik seperti tadi pagi, atau setelah pijat dengan pak Maman. Bahkan ketika habis main dengan pak dokter pun demikian. Tapi aku tidak tahu harus memulainya dari mana. “Ntar aja udah, biar langsung praktek, hehe” pikirku.

Read More

𝐃𝐞𝐦𝐢 𝐀𝐥𝐚𝐬𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐬𝐞𝐡𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐄𝐩𝐢𝐬𝐨𝐝𝐞 𝟐𝟓

 


Waktu berjalan terasa sangat lambat. Kulirik jam di dinding, belum menunjukkan jam sebelas. Sempat terpikir olehku untuk ke lahan sawah milik suamiku untuk menghilangkan penat, tapi yang jelas jam segini mungkin para pekerja juga sudah pulang. “Pak Kandar” gumamku. Tapi gimana mungkin untuk melakukannya dengannya. Terbayang sesosok lelaki berusia sekitar 40 an. Kulitnya coklat tua karena sering terbakar matahari.

Fetish ku sendiri memang orang-orang yang berkulit gelap, bukan seperti cowok-cowok artis korea an gitu. Dari beberapa orang yang pernah main sama aku, hanya pak dokter yang kulitnya putih, lainnya lebih gelap dari kulitku. Entah mungkin kalo pak dokter itu ada yang lain, status mungkin, hehe. Tapi yang jelas laki-laki berkulit gelap buatku, seperti lebih macho saja.

Nah pak Kandar ini sebenarnya juga masuk kriteria, tapi ya masak tiba-tiba aku datang terus minta dia gituan sama aku. Ya kan ga lucu juga. Meskipun kira-kira 99,9 persen pastinya dia ga bakal menolak. Lalu juga masih kepikiran dia bersih apa nggak, terkait statusnya yang duda beberapa tahun. tidak menutup kemungkinan kalau dia sudah sering “jajan” PSK atau apa sebutan lainnya untuk memenuhi kebutuhan seksualnya.

“Kondom”… ya kondom lah, meskipun memang tidak seenak yang polosan, tapi pengaman itu perlu ketika kita tidak yakin akan pasangan kita, terlebih itu pasangan baru. Kalau resiko hamil aku masih percaya dengan spiral yang kupakai. Sperma-sperma fresh punya Aldo, Faris dan yang lain terbukti tidak bisa menembusnya.

Rasanya seperti tidak kuat lagi kalau harus menunggu nanti malam. Akhirnya aku pun bersiap dan segera berangkat menuju daerah tempat lahan suamiku berada. Saking tergesanya aku sampai lupa untuk membeli karet pengaman. Untunglah di dekat belokan jalan besar ke jalan kecil yang aku tuju masih ada swalayan bercat merah.

Jalanan kecil beraspal rusak yang berada di tengah-tengah area persawahan itu terlihat sepi. Barulah disitu aku memikirkan bagaimana kalau aku bertemu dengan dua pemuda yang dulu pernah menggangguku. Tanpa menghentikan laju sepeda motorku, aku langsung menuju ke rumah pak Kandar setelah mengetahui di sawah suamiku tidak ada orang.

Rumah itu tampak sepi meski pintu ruang tamunya sedikit terbuka. Kulihat sepeda motor matic yang dulu pernah digunakan pak Kandar mengantarku, terparkir di samping bangunan. Barulah disitu keraguanku muncul. Gimana aku bisa senekat ini sampe datang ke rumah pak Kandar. Entah lah apa yang kurasakan kala itu, semuanya bergejolak jadi satu.

Aku segera mengetuk pintu kayu yang sebagian catnya mengelupas dengan memanggil nama pemiliknya. “Oh, bu Hadi mari silahkan bu” sapa seorang laki-laki yang tak lain adalah Wanto, yang juga merupakan pekerja suamiku. “Pak Kandar baru saja berangkat ke sawahnya sendiri yang ada di dusun sebelah. Saya baru bereskan rumah bu” kata laki-laki yang kuperkirakan usianya masih di bawahku dan memang masih ada hubungan saudara dengan pak Kandar. Keponakannya kalo nggak salah.

“Ada apa ya bu? Kok tiba-tiba kesini?” tanyanya ketika aku duduk di kursi panjang yang ada di ruang tamu rumah itu. Ia pun menempatkan dirinya duduk di kursi plastik di depanku. “Oh, nggak ada Wan. Hanya mampir. Tadi dari sawah nggak ada orang, makanya langsung kesini” jawabku. “Oh.. saya kira mau ngapain” jawabnya. “Maksudnya?” tanyaku, seperti nggak paham, kata-kata yang keluar dari mulutnya tadi seakan seperti meledek, seolah dia anggap aku ada main sama pak Kandar.

Sejenak kami terdiam. Perasaan nggak enak tiba-tiba muncul menyelimuti suasana siang itu. Tiba-tiba laki-laki itu langsung mendekat ke arahku dan langsung berusaha menciumku. Tangan kirinya berusaha meremas buah dadaku. “Aku ya mau bu… bukan hanya pak Lik Kandar” gumamnya. Aku yang berusaha menghindar, malah tertekan oleh tubuhnya yang kekar dan ya ampun, bau badannya menyengat. “Eh, apa-apaan kamu.. jangan.. apa-apaan kamu!” jeritku seadanya berusaha melawan aksi lelaki itu.

Memang sebenarnya kala itu aku sedang nafsu-nasfunya, tapi ya bukan begitu caranya. Dan kedatanganku kesana pun memang kalau ada kesempatan aku ingin mengajak pak Kandar berhubungan badan, tapi ini malah si Wanto yang dengan paksaan ingin aku melakukannya. Aku pun berontak, tapi apa daya kekuatan lelaki itu sungguh tidajk mampu aku atahn. “jangan, tolo…” jeritku yang kemudian ditahan oleh tangan kanannya. Untunglah tiba-tiba terdengar suara mesin motor 2 tak yang kupastikan itu adalah pak Kandar.

Wanto pun sadar kalau pak liknya datang. Ia segera menghentikan aksinya dan langsung masuk ke dalam rumah tepat ketika pak Kandar memarkir sepeda motornya di depan rumah yang tidak berpagar itu. “Loh bu Hadi.. sudah lama bu?” mana Wanto?” sapa pak Kandar ketika memasuki rumah. Aku hanya diam dan berusaha menata perasaanku yang kacau saat itu. “Kenapa bu?” tanya pak Kandar ketika melihatku seperti orang yang ketakutan.

Tiba-tiba terdengar suara sepeda motor matic yang dihidupkan dan dijalankan dengan kencang. Ternyata si Wanto sudah kabur lewat pintu belakang rumah. Pak Kandar sejenak tampak terkejut tapi dia akhirnya mengerti apa yang terjadi meski aku tidak memberitahunya. “Wanto bu??” apa ibu di..” tanya pak Kandar. Aku hanya mengangguk. “Bangsat! Sialan anak itu. Ga tahu malu. 

Sebentar bu. Saya cari dia!” kata pak Kandar kemudian berjalan agak tergesa keluar dan langsung menstart sepeda motornya dan pergi. “Nggak usah pak” kataku tapi tidak dihiraukannya. Gimanapun aku juga khawatir nanti kalau pak Kandar benar-benar emosi dan tidak bisa mengontrolnya.

Pikiranku semakin kalut ketika sampai sekitar setengah jam pak Kandar belum kembali. Aku ga tahu apa yang harus kulakukan. Hingga kemudian terdengar suara motor pak Kandar mendekat, yang membuatku agak lega. “Sudah bu, sudah saya hajar anak itu. Ga tahu malu. 

Mohon jangan bilang ke pak Hadi ya bu… atau melaporkan ke polisi. saya mohon, mewakili keponakan saya, saya minta maaf” katanya yang sebenarnya membuatku lega adalah mengetahui pak Kandar dan Wanto tidak apa-apa.

“Iya pak… tapi suruh dia minta maaf sendiri ya. Jangan pak Kandar yang begitu” jawabku. “Baik bu” sahutnya kemudian mengeluarkan telpon genggam bututnya. “Ayo kamu kesini! Minta maaf sendiri ke bu Hadi” katanya dengan suara yang agak keras.

Beberapa saat kemudian Wanto pun datang, terlihat bajunya compang camping. Ada bercak darah di tepi bibirnya. Mata kirinya pun merah. “Ayo le.. minta maaf ke bu Hadi” sambut pak Kandar. “Ini tadi habis saya hajar bu” kata pak Kandar lagi. “Bu… maaf, saya tadi khilaf” kata Wanto pelan dengan wajah tertunduk. 

Suasana kemudian hening. Menunggu apa jawabanku. “Iya sudah, ga papa…” kamu mandi dulu sini.. jangan pulang dengan keadaan seperti itu. Nanti istri anakmu bertanya-tanya” kataku. “Iya sana mandi” perintah pak Kandar.

Tanpa kata-kata lelaki itu pun masuk ke dalam rumah. “Sekali lagi maaf bu.” Kata pak Kandar. Aku pun mengangguk. “Terima kasih bu” lanjutnya. “Gimana kabar ibu pak? Tanyaku kemudian, menanyakan keadaan ibunya pak Kandar yang memang ada di dalam rumah itu. “Ya seperti itu bu. Memang sudah tua, mungkin tadi ada keributan pun beliau nggak akan denger. Mungkin itu juga yang membuat Wanto tadi berani macam-macam ke ibu” balas pak Kandar.

Birahiku yang tadi langsung raib dengan perlakuan Wanto, kembali muncul, perlahan tapi pasti. Meski begitu aku pun masih bingung gimana memulainya. Pak Kandar ini tampaknya sopan sekali dan dia bahkan rela menghajar Wanto yang tak lain adalah keponakannya sendiri. Terus aku tiba-tiba mengajaknya. Gimana caranya juga. Bingung.
“Ya memang mungkin saya juga salah pak. Tiba-tiba datang kesini, sendirian” kataku memecah keheningan yang beberapa saat tercipta. “Oh, nggak bu… bu Hadi nggak salah, bu Hadi boleh kapan aja datang kesini” jawab pak Kandar. “Emang kenapa ya, Wanto tadi kok sampe nekat gitu” kataku berusaha memancing di kolam yang ada 2 ikan besarnya. “Ya gimana ya bu…” jawab lelaki itu. “Kenapa pak?” desakku. “Ya memang, kalo bu Hadi siapa sih yang nggak tertarik” kata pak Kandar yang langsung membuaiku dan semakin memacu hormon-hormon kewanitaanku. “Maaf bu” katanya lagi.

“Ahh… masak sih… berarti pak Kandar juga tertarik?” tanyaku dengan tersenyum berusaha memancing laki-laki itu. “Ya saya masih normal bu” jawabnya dengan malu-malu. “Tapi saya ya ga berani lah bu” lanjutnya. “Kenapa pak?” tanyaku. “Ya saya sangat menghormati pak Hadi bu..” jawabnya. “Ya… pak Hadi jangan sampe tau lah” kataku santai. “hah, maksud ibu??” tanya lelaki itu seperti penasaran atau tidak percaya dengan apa yang barusan didengarnya. “Ya itu syarat utamanya… tapi masih ada sarat lainnya” sahutku lagi-lagi dengan santai. “A.. apa itu bu??” tanyanya dengan penuh semangat.

“Pertama… hmmmm… apa ya… Anu pak… anggap aja ini bonus, tapi buat pak Kandar agar lebih semangat kerja untuk suami saya” kataku memberi jawaban asal-asalan, padahal sebenarnya kala itu aku memang benar-benar ingin berhubungan badan untuk menuntaskan hasrat seksualku. “Iya bu, saya janji. Bakal lebih giat lagi” jawabnya yang membuatku tersenyum. “Kedua…” kataku terhenti dan memang benar-benar memikirkan apa yang harus kukatakan. “Iya bu, apa sarat yang kedua?” tanyanya.

“Harus pakai pengaman” sahutku. “Pengaman?” tanyanya. “Iya pak, kondom” timpalku. “Oh.. tapi saya nggak punya bu” kata lelaki itu. “Ya beli pak… nah itu Wanto sudah selesai mandi… sebentar” kataku kemudian mengambil selembar uang berwarna merah dari dompet dan menyerahkan ke Wanto yang baru saja selesai mandi. “Apa ini bu? Tanyanya. “ke Ind*mart ya. Tolong belikan kondom, terserah merk apa, tisu basah yang kecil aja sama poc*ri sw*at yang botol besar” kataku. “hah gimana bu? Tanya Wanto kebingungan. “Ke Ind*mart, beli kondom, tisu basah sama p*cari” kini pak Kandar yang menjawab. “Cepat, ga usah banyak nanya” lanjutnya. Wanto kemudian berangkat.

Sebenarnya aku sendiri sudah beli kondom tadi ketika berangkat, tapi agar tidak terlalu kelihatan kalau aku memang benar-benar menyiapkan hal ini, aku tetap menyuruh salah satu lelaki itu untuk membelinya. Toh juga pengaman itu kadaluarsanya juga lama, hehe.

“emang di sini ga papa pak? Ibu?” tanyaku. “Aman bu, ibu ga bakal denger” jawab pak Maman pasti. “Ya kalo gitu tolong bersihkan kamarnya pak. Trus pak Kandar mandi. Nanti satu-satu ya pak.. jangan sama-sama pak Kandar dengan Wanto. Terserah nanti siapa yang duluan” kataku. “Baik bu, saya siapkan kamar dan mandi dulu” katanya kemudian berlalu masuk ke dalam rumah. “Gila” gumamku. Malah kini aku akan berhubungan badan sama 2 orang pekerjanya suamiku gumamku ketika benar-benar sadar apa yang akan aku lakukan.

“sebelah mana kamarnya pak? Tanyaku pada pak Kandar yang baru muncul dari dalam rumah, ia tampak segar setelah mandi. “Oh, sini bu… maaf rumahnya jelek” jawabnya kemudian menunjukkan kamar yang pas di sebelah ruang tamu. Dan sepertinya rumah kecil itu hanya ada dua kamar. Dan mungkin kamar ibunya yang sebelah belakang.

“Itu kayaknya Wanto datang pak. Rundingan sana, siapa yang duluan dan bilang sarat-sarat saya tadi, kalo dia mau” kataku kemudian masuk ke kamar yang sederhana tapi tampak rapi dan bersih. Sprei yang membungkus kasur kapuk itu juga tampaknya sudah diganti dengan yang baru sesuai dengan petunjukku tadi.

Tak lama kemudian pak Kandar masuk kamar di mana aku berada. “Oh, pak Kandar dulu ya, hehe” sambutku. “Iya bu” jawabnya lalu menyerahkan tas kresek berisi belanjaan yang tadi si Wanto beli. Setelah mengambil kondom merk dur*x berwarna merah, aku meletakkan kreseknya di atas meja yang ada di kamar itu. “pinter juga milih” ini kan yang featherlite” Tipis” gumamku. “Pak, nanti saya ga mau ciuman bibir. Kalau bapak mau cium yang lain silahkan” kataku sambil berusaha membuka bungkus plastik pengaman, tapi karena kesulitan, aku serahkan ke lelaki itu untuk membukanya. “Iya bu” kata lelaki itu yang ternyata sudah telanjang bulat. Terlihat kemaluan lelaki itu sudah mengeras. Ukurannya biasa aja sih, seperti punya suamiku.

“ihhh kok udah ngaceng aja pak… padahal aku belum apa-apa. Eh Bisa pak? Hati-hati kebalik lho” sini-sini tak pasangkan” kataku ketika melihat lelaki itu akan memasang caps di penisnya. Aku lalu memakaikan kondom itu. Kemudian kuhisap sebentar penisnya. “Ohhh…” erangnya.

“Pak Kandar kan duda nih… biasanya ke mana kalo buang hajat?” tanyaku sambil berdiri dan melepas hijab yang kupakai. “Nggak bu… nggak ke sapa-sapa” jawabnya. “Masak sih… trus kalo pengen gimana?” tanyaku sambil melepas terusan panjang yang kukenakan. “Ya anu bu… eee… maninin sendiri” jawabnya dengan malu-malu. “Ihh… masak ngocok sendiri, kayak anak kecil ah” sahutku lalu melepas tanktop panjang yang melekat di tubuhku. “Iya bu Sumpah demi apa aja saya mau, saya ga pernah lagi setelah istri saya meninggal” kata lelaki itu berusaha meyakinkanku.

Aku kemudian melepas BH dan CD yang kukenakan sehingga aku benar-benar telanjang bulat. “Langsung masukin ya pak… punya ku sudah basah kok” kataku kemudian membaringkan tubuhku di atas kasur. Lelaki itu kemudian merangkak di atasku dan memasukkan penisnya dalam liang senggamaku. “Ohhhhh….” Mulut kami sama-sam mendesah ketika kedua kemaluan kami bertemu untuk memberikan kenikmatan masing-masing. Ia langsung menyodok-nyodokan kemaluannya yang semakin lama semakin cepat dan membuatku semakin menggelinjang keenakan. Tapi tak sampai semenit, lelaki itu sudah mencapai klimaknya. “Oooooccchhhh…..” jeritnya ketika spermanya keluar.

Sial, belum apa-apa dia udah keluar, pikirku. “Maaf bu… saya nggak tahan… nggak bisa kontrol” katanya sambil mengatur nafasnya. “Enak pak?” tanyaku. Ia mengangguk pasti. Ini juga meyakinkanku memang benar apa yang dikatakannya, ini yang pertama kali ia berhubungan intim setelah istrinya meninggal. Aku kemudian duduk di kasur ketika lelaki itu mulai memakai pakaiannya kembali da meninggalkanku sendiri. Sesaat kemudian Wanto pun masuk. “Kondomnya di meja” kataku. Ia lalu melucuti semua pakaiannya sampai telanjang bulat. Terlihat kemaluannya agak lebih besar sedikit dari pak Kandar, masih setengah tegang. Setelah memasang caps, ia pun langsung menyetubuhiku. Keponakan pak Kandar ini benar-benar bisa mengendalikan birahinya. Ia mampu membawaku ke puncak kenikmatanku, dua kali di posisi WOT dan misionary. Kecuali wajah, hampir tiap jengkal tubuhku dijilatinya, bahkan sampai ketiakku pun tak luput dari aksinya. Hingga akhirnya ia tak bisa bertahan di posisi doggy style setelah sekitar lima belas menit bergumul denganku. Ia juga tampak bangga beberapa kali membuatku orgasme.

“Pak Kandar tanyain Wan… mungkin mau lagi, tak tunggu disini” kataku sambil minum Poc*ri sw*at yang tadi dibeli. “Iya bu” sahutnya. “Eh iya Wan, tolong belikan maem ya, terserah apa wis. Lalapan kah, nasi padang kah, beli 3 ya” kataku sambil memebrikan beberapa lembar uang kepadanya sebelum dia keluar kamar. “Baik bu” jawabnya singkat.

Tak lama kemudian, pak Kandar kembali masuk ke dalam kamar. “Gimana lagi pak?” tanyaku. “Ya kalo boleh bu” tanyanya. “Ya ayo lah” mumpung masih belum pake baju. Jawabku. Ia lalu kembali melepas baju yang dipakainya. “Pake kondom atau nggak pak?” tanyaku. “Terserah ibu, tapi kalo ibu ragu ya pake gpp” jawabnya. “Ga usah lah pak… lebih enak” kataku.

Kemudian ronde kedua bagi pak Kandar dan ketiga buatku siang itu pun dimulai. Disitu lelaki itu benar-benar sudah membuktikan kelelakiannya. Ia sudah mampu mengendalikan hawa nafsunya sehingga permainan pun bisa berlangsung lama. Bahkan dia juga mampu beberapa kali membuatku mencapai puncak kenikmatanku sebelum akhirnya dia memuntahkan spermanya di dalam rahimku di posisi Man on Top atau missionary. “Maaf bu, keluar di dalam” katanya dengan suara serak dan sambil mengatur nafasnya yang terengah. “Nggak papa pak… saya pake KB kok.. aman” jawabku sambil membiarkan lelaki itu menikmati sisa-sisa kenikmatannya. Penisnya masih menancap di dalam liang kewanitaanku. Keringat laki-laki itu menetes membasahi tubuhku yang juga basah mengkilap.

Kemudian lelaki itu perlahan mulai menggerakkan pinggulnya kembali. “Auw… sttss… auw…. “ ocehku merasakan gesekan penisnya yang sudah agak turun memberikan sentuhan kenikmatan di syaraf-syaraf dinding dalam vaginaku yang sudah banjir dengan cairanku sendiri ditambah air mani lelaki itu. Goyangan pak Kandar pun semakin lama semakin cepat. “errrgghhh… ooohhhh…. Oooohhh” mulutnya meracau. Aku pun tersadar kalau lelaki itu langsung memulai ronde berikutnya, tanpa jeda sedikitpun. Gila! Pikirku yang merasakan gairahku kembali muncul melalui ritme permainan lelaki itu. “Lagi paak?” tanyaku yang dijawabnya dengan hentakan-hentakan keras penisnya yang kembali mengeras seperti tadi di dalam liang vaginaku. “Iya bu… mumpung ibu mau… ga tau kesempatan ini bisa datang lagi besok atau nggak… ooocchhh” katanya.

Stamina lelaki itu benar-benar luar biasa, tak ayal dia kembali bisa membuatku meraih orgasmeku untuk kesekian kalinya. Sampai-sampai tubuhku lemas, seperti kehabisan energi. “Ayo pak, keluarin… aku capek” pintaku. “Iya bu. Ia kemudian menyruhku menungging untuk memulai posisi doggy style. Di situlah ia kembali mencapai klimaksnya untuk mengakhiri permainan itu.

Sekitar lima belas menit kemudian aku dan pak Kandar pun keluar kamar, kembali ke ruang tamu dimana Wanto sedang menunggu. Tampaknya dia sudah kembali dari membeli nasi. Kita pun makan bersama. “Bu, saya kok nggak boleh nambah?” tanya Wanto. “Jangan, kasihan istrimu nanti dirumah, kalo kuhabiskan disini” jawabku yang membuat kami tertawa. Sekitar menjelang ashar, aku pun pulang dengan dibarengi oleh kedua lelaki perkasa itu sampai di jalan besar, takut ada yang ganggu, katanya.

Read More

Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Categories

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

BTemplates.com

POP ADS

Blogroll

About

Copyright © Cerita Panas | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com