𝐃𝐞𝐦𝐢 𝐀𝐥𝐚𝐬𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐬𝐞𝐡𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐄𝐩𝐢𝐬𝐨𝐝𝐞 𝟐𝟕

 


Hari minggu paginya, setelah sarapan suamiku dan anak-anakku langsung berangkat meninggalkanku yang masih belum mandi sendiri di rumah. Katanya mereka akan balik setelah isya’, mumpung ketemu saudara jauh, seperti pas momen lebaran. Entah juga kenapa hari itu aku nggak punya pikiran sama sekali dengan aktivitas seksual. 

Padahal kesempatan sangat-sangat terbuka. Suami dan anak-anakku keluar, pun juga Herman dan anaknya pulang ke pare, hanya Inah yang ada di rumah. Dan kalo pembantuku ini sudah terbiasa dengan ulah dan kelakuanku.


Seperti nggak ada gairah sama sekali, padahal terakhir kali aku berhubungan seks waktu hari jum’at sore. Sebenarnya aku bisa aja hubungi si Faris untuk datang atau ke tempat pak Kandar yang baru sekali kupake, hehe. Tapi nggak, saat itu aku hanya ingin melakukan tugas rumahan yang jarang sekali kuemban. Ya cuma killing time aja, nggak lebih. 

Setelah ashar, Aldo dan Vira, mantan pegawaiku yang kini sudah jadi pasangan suami isteri datang. Mampir setelah pulang kampung ke rumah orang tuanya Vira. Kangen kata mereka.

Malam hari nya pun hampir sama, tidak ada hal-hal yang bisa diceritakan selain rutinitas biasa. Baru lah di hari senin, ketika bangun pagi tiba-tiba hasrat seksualku mulai muncul, ya tiga hari memang maksimal buatku untuk tidak disentuh. “Hmmm.. kok nggak kemarin sih, pas ada kesempatan” gumamku dalam hati. Atau tadi malam lah, biar bisa “minta” ke suamiku. 

Sambil menyelesaikan aktivitas rutin di senin pagi, aku akhirnya memutuskan nanti mau ke pak dokter, jadi pasien bohong-bohongan, hehe.

“Nuk, kamu nanti ikut ke lahan kan?” tanya suamiku ketika datang dari mengantar Bayu sekolah. “Nggak mas, emang kenapa?” tanyaku. “Kamu ikut aja ya, nanti kamu ke agen pupuk, tanyakan jatah buat sawah kita. 

Aku ga enak kalo tanya lagi, terakhir kali aku kesana, aku marah-marah ke agennya” kata suamiku kemudian beranjak ke meja makan untuk sarapan.

Haduh, bakal gagal rencana mau ke pak dokter. Otakku langsung beralih ke pak Kandar atau Wanto. Tapi gimana caranya ya. “Kamu nggak mandi ta Nuk?” tanya suamiku yang langsung membuyarkan lamunanku. “Apa kata nanti dah” gumamku.

“Iya mas, ini mau mandi, siap-siap” jawabku ke suamiku yang masih di belakang meja makan. Sekitar sejam kemudian kami pun sudah ada di lahan pertanian milik suamiku. “Kamu coba sekarang ke agen ya Nuk, coba tanyakan. Ini kartunya” kata suamiku. Setelah menerima ancer-ancer tempatnya aku pun segera berangkat.

“Oh, jadi istilahnya harus daftar ulang gitu ya pak?” tanyaku mencoba menarik kesimpulan dari penjelasan yang disampaikan oleh pemilik agen pupuk. “Iya bu, saratnya mudah saja kok, hanya KK, KTP dan pipil pajak tahunan. 

Ngurusnya di kantor kecamatan bu” kata laki-laki pemilik agen itu. “Setelah itu surat keterangannya dibawa kesini ya, nanti biar saya yang membawanya ke distributor barulah nanti pupuknya bisa langsung turun kesini bu. Kapan hari saya sudah coba jelaskan ke Pak Hadi, tapi beliau sepertinya kurang begitu faham” lanjutnya.

“Biar Ninuk yang urus sudah mas” kataku ketika bertemu suamiku setelah dari agen. “Sebenarnya agennya bukan mempersulit mas, memang katanya ada aturan baru sehingga orang-orang harus daftar ulang untuk pengajuan pupuknya” jelasku. “Oh gitu ya, pikirku ya biasanya dapat, kok sekarang malah namaku ga ada Nuk, jadi ya sempet emosi juga waktu itu” kata suamiku.

Aku akhirnya yang berangkat mengurus semuanya kala itu. Lumayan juga untuk mengalihkan pikiran dari birahiku. Sekitar jam 11 siang aku pun sudah kembali ke lahan tempat suamiku berada. “Sudah mas, tadi sudah Ninuk urus semuanya. 

Suratnya juga sudah Ninuk kasih ke agen. Tinggal tunggu kabar, katanya sudah punya nomornya mas” kataku. “Kok cepet Nuk.. moga-moga dalam minggu ini bisa mupuk. Soalnya kalo nggak, hasilnya bakal ga maksimal” kata suamiku. “Iya mas, cepet kok.. lancar tadi juga. Mas aja yang males ruwet kayaknya” jawabku.

Oh, ini juga yang mungkin jadi pikiran suamiku. Belum lagi masalah warisan. Mungkin banyak pikiran yang ada di benaknya sampai-sampai ia pun tidak pernah menjamahku.

“Eh, gimana ya ceritanya si Kandar bisa sama istrinya Wanto?” gumam suamiku tiba-tiba yang mengingatkanku pada kejadian kapan hari, pak Kandar menggunakan alasan si Mbak Yanti itu untuk menutupi perbuatanku. 

“Aku belum tanya lagi Nuk.. penasaran juga” lanjut suamiku. “mas ini… ngapain juga pikir urusan orang” jawabku. “Nggak gitu Nuk… hehe.. Kandar itu dulu sampe tak bilang gay orangnya gara-gara ga mau nikah lagi, trus kayak ga mau ama perempuan.

Kamu tau nggak Nuk? Dulu aku pernah nawarin sama kamu” kata suamiku. “Hah??! Apaan sih mas… masak istri sendiri disuruh main sama orang lain” kataku. “Nggak gitu juga Nuk… tapi jujur aja, aku kayak terangsang banget kalo sampe umpama kamu ama orang lain. Kemarin aja liat kamu dilirik ama si Wanto, aku langsung pengen. Inget kamu?” katanya yang menjelaskan pertanyaan pada pikiranku kapan hari. 

Ternyata memang itu yang membuat suamiku bergairah. “ya kayak takut aja.. pas kita ama pak dokter dan bu dokter pun gitu Nuk.. aku takut kalo kamu melakukannya tidak hanya untuk seks aja. Tapi ada perasaan disitu” jelasnya yang semakin meyakinkanku.

“Trus pak Kandar mau??” tanyaku. “Ya nggak mau lah… mungkin ya sungkan atau gimana juga, mungkin dikira aku bercanda” jawabnya. “Bilang aja mas, Ninuk mau” kataku untuk memancing cemburunya. “eh, kamu ya…” kata suamiku sambil mencibut hidungku. “mas, ga jemput Bayu?” tanyaku ketika jam sudah menunjukkan pukul setengah 1 siang. “Oh iya, ayo.. tapi aku nanti balik lagi kesini Nuk. Nanti jam 4 masih harus janjian dengan ulu-ulu daerah sini” kata suamiku kemudian berdiri dan kami pun pulang setelah menjemput anakku sekolah.

“huh, gagal lagi hari ini… panggil si Faris pun percuma, paling bisanya juga nanti malam. Anak-anak kantor jam 1 kan sudah datang” pikirku. Setelah mengurus kantor sebentar rencana aku akan tidur. Berusaha melupakan rencanaku hari ini, tetapi tiba-tiba terbersit pikiran untuk mendatangi distributor pupuk yang tadi sempat dikasih alamat oleh agen. 

“Ya paling nggak mau tanya lah, kira-kira kapan. Karena kata suamiku, dalam minggu ini sudah harus dipupuk. Juga untuk mengalihkan pikiran juga, daripada ditambah juga nggak ngapa-ngapain.

Sekitar setengah jam kemudian mobil yang kukendarai sudah hampir sampai di lokasi yang membuatku memelankan lajunya. Setelah kupastikan tempatnya aku kemudian berhenti di sebuah gudang yang sangat besar. Ada rumah bagus juga di sampingnya. 

Kulihat ada beberapa truk yang parkir ketika aku berjalan masuk ke salah satu pintu gudang yang terbuka. Ada beberapa orang yang sepertinya kuli angkut ada di dalamnya sedang duduk santai. Salah satu dari mereka menunjukkan pintu sebuah ruangan ketika aku menanyakan nama pak Rudi.

Beberapa saat kemusian pintu itu terbuka dan munculah seorang pria setangah baya dengan pawakan agak gendut, tapi tinggi besar. “Iya bu? Cari siapa?” tanyanya menyambutku. “Oh, saya cari pak Rudi” jawabku. “Oh iya, silahkan masuk. Mari silahkan duduk” ajaknya.

“Oh iya bu, email notifikasinya kayaknya sudah kita terima. Nanti kita akan secepatnya mengirim ke Agen. Tapi kayaknya baru dua minggu lagi baru bisa. Soalnya masih harus re-stock dari pusat” katanya setelah tahu maksud kedatanganku. “Oh gitu ya pak.. mungkin ada stock sisa atau gimana, soalnya katanya harus minggu ini dipupuknya pak” kataku agak memelas. “Maaf bu, tapi nanti akan kami usahakan” katanya.

“Iya pak… mungkin bisa diusahakan gitu, gimana lah caranya pak. Mungkin bisa dengan cara lain… “kataku yang harus terhenti ketika kudengar HP ku berbunyi di dalam tas ku. Apesnya ketika aku mengambil Androidku, tak kusadari kalau sebungkus kondom yang minggu lalu kubeli ikut keluar dan jatuh pas di atas meja yang memisahkan aku dengan lelaki itu. Aku segera memasukkan HP ku dan kondom yang ada di meja ke dalam tas ku lagi ketika aku selesai telepon.

“Ya, kalo gitu, jangan kan dua minggu bu… hari ini bisa langsung saya kirim “ kata lelaki itu kemudian berdiri. “Sial, pasti dia mengira aku…” pikirku. Tapi terlambat untuk menolak atau bahkan hanya untuk berpikir ketika ia sudah berdiri di sampingku. “Pastikan dulu pak, hari ini” kataku nekat, kepalang basah juga, pas juga memang aku sedang menginginkan aktivitas seksual juga, dan ini completely stranger. 

“Oke… “ kemudian dia kembali duduk dan sepertinya menuliskan sesuatu sambil membaca laptopnya. “Diantar langsung ke lahan atau tetep ke Agen?” tanyanya. “Ya ke Agen pak” jawabku yang langsung disetujuinya. Kemudian ia menelepon lalu beberapa saat kemudian seseorang pegawainya masuk ke ruangan. “Ini, langsung diantar. Carikan stock yang buat pengiriman terakhir” katanya. Tak lama pegawainya pun keluar.

“mari bu, di rumah saya saja” katanya kemudian berdiri dan beranjak. Aku pun mengikutinya. Aku kembali terpesona dengan rumah yang sangat mewah, bahkan lebih bagus dari punya pak dokter. Sesaat kemudian kamu pin sudah di dalam salah satu kamar di rumah itu. “Pak, saya ga mau ciuman bibir, dan harus pakai kondom” kataku. 

Ia hanya mengangguk lalu masuk ke kamar mandi yang ada di kamar itu. Tak lama kemudian ia keluar hanya dengan memekai handuk putih yang dililitkan di tubuhnya. Haduk itu juga ia lepas ketika berjalan mendekatiku. Kulihat penis lelaki itu yang ukurannya lumayan, lebih besar dikit dari punya suamiku dan ternyata dia tidak sunat. Hehe, ini kedua jalinya aku bakal merasakan penis berkulup, setelah punya pak Zen dulu.

“Ayo kok bajunya belum dilepas…” kata lelaki itu. Aku hanya tersenyum lalu langsung jongkok di depannya dan langsung mengulum penisnya. “Oooochhh…” rintihnya. Penis itu langsung mengeras maksimal, siap menyalurkan kenikmatan pada empunya. Beberapa menit aku memberikan sensasi kenikmatan oral pada lelaki itu, sambil kadang memainkan kulup penisnya.

Aku lalu berdiri dan mengambil kondom yang ada di tasku dan memberikannya padanya. Lelaki itu pun kemudian duduk di tepian ranjang ketika aku melucuti satu persatu pakaian yang menutup tubuhku tepat di depannya seakan aku memberi sensasi striptease kepada lelaki itu. 

Aku lalu merebahkan tubuhku di atas ranjang. “masukin pak, punyaku sudah basah” ajakku agar lelaki itu segera memulai permainannya. Ia pun kemudian merayap di atasku. Tangaku kemudian meraih batang kemaluannya lalu kuarahkan ke liang vaginaku dan dengan sekali dorong, batang itu sudah masuk. 

“plok.. plok…plok” suara tubuh kamu berbenturan ketika ia menggenjotku. “Ohhhh… enak banget bu,… ohhhh… aduh buuu…. Eergggghhhh…. Occchhhhhhh” ia menyodokkan penisnya dalam-dalam. Baru juga semenit dia sudah mencapai klimaksnya, dan aku masih belum apa-apa. “Keluar pak?” tanyaku yang dijawabnya dengan anggukan. Kemudian ia mencabut penisnya dan merebahkan tubuhnya di sisiku. Kulihat kondomnya penuh dengan cairan spermanya. 

“Kok cepet amat sih?” sialan, pikirku yang berharap dia juga bisa memberiku kepuasan. Segera aku ambil beberapa foto waktu dia sedang telanjang, untuk jaga-jaga.

Setelah bebersih aku pun langsung pamit pulang. Ia sempat meminta nomor hp ku juga. Dan ketika baru saja aku masuk ke dalam mobil dan menstartnya, suamiku telepon bilang kalau pupuknya sudah ada di agen dan besok sudah bisa diambil. “Wah, sip mas kalo gitu.. untung tadi Ninuk urus semuanya” kataku pada suamiku yang terdengar senang.

Read More

𝐃𝐞𝐦𝐢 𝐀𝐥𝐚𝐬𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐬𝐞𝐡𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐄𝐩𝐢𝐬𝐨𝐝𝐞 𝟐𝟔

 


Kembali ke laptop, eh kembali ke rumah. Sesampainya di rumah aku sempatkan untuk tidur, maklum lah, habis dihajar habis-habisan sama pak Kandar dan Wanto siang tadi. Malam harinya sekitar jam 11 suamiku datang, namun sebelum seperti biasanya sebelum tidur dia meminta jatah, aku pun yang menawari mengajaknya berhubungan badan duluan. 

Salah satu cara untuk tidak menimbulkan kecurigaan pada suamiku kalau tadi aku dah “dipake” orang lain dan bahkan 2 orang itu di luar list yang pernah dibilang suamiku. Sebenarnya suamiku pun enggan karena capek katanya. “Ayo mas, dah 3 hari Ninuk ga disambangi” kataku berpura-pura.

Keesokan harinya seperti yang sering kulakukan aku pun ikut lelaki itu ke lahan sawahnya. Sekalian juga mau lihat reaksi dari 2 orang pekerja suamiku yang kemarin siang sudah main gila denganku. Untunglah semua tampak biasa saja. Hari itu bukan hanya pak Kandar dan Wanto saja yang sedang bekerja, ada beberapa orang lagi. Cuma si Wanto ini yang kayaknya agak salah tingkah, sampai-sampai ketika aku ada kesempatan ngomong dengan pak Kandar, aku juga minta tolong untuk memperingatkannya.

Suamiku kemdian duduk di sebelahku. “Eh, Nuk kamu liat tadi orang-orang..” kata suamiku membuka pembicaraan. “Kenapa mas?” tanyaku balik. “Kamu sih pake turun juga ke sawah, orang-orang jadi pada lirik in kamu semua” lanjut suamiku. “Ihh, apaan sih mas… emang ada yang salah sama Ninuk? Bajuku kah? Perasaan ya sama aja pake ginian kalo kesini, dan juga ini bukan yang pertama kali aku turun. Dulu bahkan pernah jatuh itu sampe harus pulang karena bajuku kotor” jawabku.

“Tak tahulah… apalagi liat itu si Wanto… kamu tahu kan si Wanto? Itu tuh yang pake baju putih” lanjut suamiku. “Yang pake baju putih kan ada dua mas” jawabku, aku semakin ga enak aja dengan pertanyaan-pertanyaan suamiku itu, entah kenapa juga, mungkin ada rasa bersalah paling. Padahal sering juga suamiku menggoda-goda seperti itu. Yang tukang becak lah, yang tukang parkir lah, sampe pemulung pun pernah dibilang ngelirik aku.

“Iya, yang satunya kan Kandar. Yang satunya lagi” kata suamiku. “Oh itu, iya tahu mas, oh namanya Wanto… dulu sepeda motornya pernah dipake pak Kandar waktu antar aku yang kesini sendirian itu” jawabku. “Emang kenapa mas?” tanyaku. “matanya nek liat kamu, kayak kucing lihat ikan pindang” gumam suamiku lalu tertawa. “Ihh.. emangnya Ninuk Ikan Pindang” jawabku.

“Nuk, aku pengen..” kata lelaki itu. “Ihh.. mas tadi malem kan udah” jawabku. “Iya tadi malem ya tadi malem, tapi ini liaten..” kata mas Hadi kemudian meraih tanganku untuk menyentuh bagian depan celananya. “Ihh apaan sih mas… ya ayo pulang, kalo pengen.. masak mau main di sini, hehe.. ga lucu ah” jawabku. “Ya nggak di gerdu ini juga lak… di rumah pak Kandar aja. 

Kamu kan tahu sih rumahnya” kata suamiku. “Ihhh… masak mau main di rumah orang sih mas?? Trus pak Kandar gimana? Ibunya pak Kandar?” tanyaku. “Aman Nuk, ibunya ga mungkin tahu.. sik bentar” kata suamiku. Lelaki itu kemudian melambaikan tangannya seperti memanggil seseorang. Dan ternyata pak Kandar yang di panggilnya. Ia kemudian sempat berbincang pula dengan lelaki itu.

Was-was juga sih, entah kenapa kok kayaknya hari ini semua seperti ingin memnunjukkan pada suamiku tentang kejadian kemarin. Moga-moga aja hanya kebetulan. “Ayo Nuk, ke rumah Kandar” ajak suamiku. “Beneran nih mas?? Kok ga pulang aja sih” kataku kemudian berdiri dan menyusul suamiku yang sudah di dekat motor. Perjalanan dari sawah menuju rumah nya pak Kandar memang sangat dekat, paling lima menitan kita sudah sampai.

Rumah itu masih terlihat lengang ketika kami datang. “Tenang Nuk, aku sering kesini kok, siang-siang, kadang juga istirahat bahkan sampe tidur disini” kata suamiku. Rumah itu memang sepertinya tidak pernah dikunci, dan mungkin gara-gara masih ada ibunya pak Kandar di dalam. Btw, beberapa kali kesana, aku masih belum pernah ketemu dengan ibunya pak Kandar. “Ayo Nuk, langsung ke kamar aja, tutup pintunya” kata suamiku setengah berbisik. “Beneran nih mas?? Serius?” kataku. “Iya lah… ayo” kata suamiku meyakinkanku.

Aku kemudian mengikuti suamiku masuk ke kamar tempat aku melayani pak Kandar dan Wanto kemarin siang. Deg-deg an juga sih. Terlihat sprei kasurnya masih tetap yang kemarin. Tapi sudah sangat tertata rapi, aku semakin was-was ketika melihat kresek putih bertuliaskan warna biru milik salah satu swalayan yang tersebar hampir di seluruh indonesia itu masih tetap ada di atas meja, botol poc*ri swe*at masih tampak, tapi ada di bawah meja. Kondom… iya, disana ada sisa satu kondom yang kemarin tidak dipakai. Waduh, gimana ini.

“Lho Nuk, eh liat sini… ada tisu basah.. ngapain juga Kandar beli tisu basah… eh.. Nuk ada kondom juga.. tinggal satu..” gumam suamiku ketika melihat isi kresek itu. “Iya mas, Ninuk tahu lha Ninuk yang beli itu semua kemarin” kataku dalam hatiku yang semakin tergerus perasaan nggak enak dan khawatir. 

“Hehehe, pasti si Kandar habis bawa perempuan kesini.. “ gumam suamiku lagi. “Iya mas…. Itu aku kemarin yang beli” jeritku dalam hati. “Wah, wah ada perkembangan nih si Kandar” kata suamiku lagi.

“Ayo mas, gimana ini jadi nggak??” tanyaku pada lelaki itu yang sepertinya konsentrasinya sedang terpusat di barang-barang yang ada di kamar itu. “Ya iya Nuk… ayo” jawabnya kemudian melepas celananya. Tampak penisnya sudah separuh tegang, menandakan bahwa ia memang benar-benar menginginkannya, lain dengan demalam yang mengharuskanku mengulumnya untuk menjadikannya tegang.

Aku pun lalu melepas bajuku. Gimana-gimana, aku takut pakaianku lusuh. BH tetap kupakai, nahanya CD yang kemudian kutanggalkan. “basahin dulu mas” kataku. Suamiku lalu menjilat bagian kewanitaanku dan ketika sudah benar-benar basah, ia pun segera menyetubuhiku. Tak lama, sekitar lima menitan ia pun sepertinya akan keluar, tapi ia malah menghentikan aksinya. “Lho kenapa mas?” kayaknya tadi dah mau keluar” tanyaku.

Kulihat lelaki itu mengambil kondom dan memasangkannya di penisnya. “Lho mas, itu kan punya pak Kandar?” tanyaku. “Biar Nuk, nanti biar kuganti. Ntar juga biar kamu ga lama untuk bersihin punyamu kalo aku pake ini” katanya lalu kembali menyetubuhiku. Tak lama kemudian ia pun mencapai klimaksnya.

Sebenarnya kala itu aku tidak seberapa menikmatinya. Hatiku masih tidak tenang. Bayangkan saja, aku main dengan suamiku di rumah dan di kamar yang sama dengan tempatku berhubungan badan dengan pemilik rumah itu dan juga keponakannya kemarin siang. Iya baru kemarin siang.

Sekitar lima menit kemudian, suamiku menyusulku duduk di ruang tamu setelah dari kamar mandi. Ia kemudian tampak menelepon seseorang dan dari nada pembicaraannya rupanya dia menelepon pak Kandar untuk memintanya membeli makanan.

“Aku minta Kandar beli lalapan Nuk” maem disini aja ya.. lapar” kata suamiku. Kekawatiranku masih belum berhenti disitu. Nanti ketika pak Kandar datang, suamiku bakal tanya tentang pengaman dan tisu basah yang ada di kamarnya.

Setengah jam kemudian pak Kandar datang dengan membawa pesanan suamiku lengkap dengan air mineral botolannya. “Ayo kamu kan beli 3 sih.. ayo makan sini juga” ajak suamiku. “Iya pak..” jawabnya lalu duduk di depan tempatku duduk bersama suamiku. “Nuk, Pak Kandar ini sudah mulai ada perkembangan” kata suamiku. “Maksudnya?” tanyaku pura-pura tidak tahu, padahal aku mengerti kalau dia akan membicarakan kondom dan tisu basah yang ada di kamarnya. 

“ini Nuk, mulai dulu Kandar ini ga mau dan kayaknya seperti ga doyan ke perempuan, eh ternyata… ada kondom sama tisu basah di kamarnya” kata suamiku langsung tanpa basa-basi lagi. “Oh, itu anu mas.. eee” kata Pak Kandar seperti kebingungan, demikian juga aku yang akhirnya hanya bisa pasrah kalaupun pak Kandar sampai ngomong kalau yang beli kondom itu aku, kemarin siang.

Sebenarnya sih, kalaupun harus ketahuan aku ada main dengan orang lain, tidak seberapa fatal. Bahkan juga kan sering suamiku sepertinya ingin aku main dengan laki-laki lain, tapi kalau ketemu aku ada main dibelakangnya aku ga tahu bakal jadi apa. Katanya sih, yang penting bilang. Tapi buatku, malah lebih greng kalo memang main di belakang itu, sembunyi-sembunyi.

“Halah, ga usah bohong kamu Ndar. Aku tahu kok. Kamu sudah bawa perempuan kesini” kata suamiku. “Mas… jangan gitu ah… kan malu pak Kandarnya” kataku mencoba untuk mencegah pembicaraan lebih lanjut. “Ga papa Nuk” kata suamiku. “Siapa Ndar? Kalo boleh tahu” tanya suamiku lagi. Aku hanya bisa diam, pasrah. 

“Jangan bilang-bilang tapi ya mas, bu…” kata pak Kandar buka suara. “Iya… aman Ndar” kata suamiku. Jantungku seakan berhenti berdetak ketika menunggu apa yang akan dikatakan pak Kandar, kata-kata yang menentukan nasibku kedepannya.

“Aman Ndar, istriku juga ga bakal kasih tahu siapa-siapa” lanjut suamiku sambil terus melahap makanannya. “Yanti pak” kata pak Kandar pelan. “Tapi tolong jangan bilang Wanto ya pak… bu…” lanjutnya cepat. “Hah, Yanti?? Gila kamu Ndar” hehehe…” sahut suamiku sampai tersedak karena terkejut dengan jawaban pak Kandar. Aku ga tahu siapa wanita yang bernama Yanti itu, hanya saja jawaban pak Kandar membuatku lega.

“Yanti itu istrinya Wanto Nuk” jelas suamiku. “Kok bisa Ndar?” tanya suamiku lagi. “Ihh mas ini, jangan cerita sudah pak Kandar…masak ada aku cerita-cerita gitu” kataku. “Iya-iya, nanti aja Ndar, ceritanya. Ga enak ada istriku” kata suamiku kemudian beranjak dan berlalu ke belakang setelah menyelesaikan makannya, mungkin dia mau mencuci tangan. “Makasih ya pak” kataku pelan pada pak Kandar yang menutupi rahasiaku dengannya. “Iya bu, aman” jawabnya pelan yang membuatku tersenyum lega.

===========
Karena hari itu hari Jum’at, sekitar jam setengah 12 aku dan suamiku pun sampai rumah sambil sekalian jemput si Bayu sekolah. Sekitar jam satu aku pun kembali beraktivitas di kantor tempat usaha online ku. Sebenarnya sudah berjalan dengan para pegawaiku saja, tapi hanya memastikan. Sambil juga berpikir tentang kejadian tadi pagi yang sangat banyak menguras otak dan perasaanku. Sampai-sampai aku tidak seberapa menikmati aktivitas seksualku dengan suamiku tadi pagi. Dan untungnya pak Kandar masih bisa memberikan jawaban yang membuat rahasiaku aman terjaga.

Ada kesimpulan menarik dari apa yang dilakukan suamiku tadi pagi dan memang itu pernah terjadi, ketika aku ingat dulu waktu pak Maman memijatku, suamiku begitu bergairah. Mungkin terbakar cemburu atau apa. Tadi pun demikian, hanya karena aku dilihatin oleh pekerja-pekerja nya, dia bahkan langsung mengajakku berhubungan intim bahkan sebelumnya seperti ingin menyuruhku main sama pak Maman tapi aku menolaknya. Entah kenapa memang, aku nggak seberapa klik dengan lelaki itu. Atau mungkin gara-gara ada istrinya juga, meski sempat juga aku terangsang berat.

Kalo umpama sampe aku ada kontak tubuh dengan pria lain, entah gimana reaksi suamiku. Tiba-tiba aku ingin membuktikan hipotesa yang kubuat sendiri. Tapi gimana caranya, sama siapa juga. Masak dengan pak Maman yang dulu pernah aku tolak meski disuruh oleh suamiku, bahkan sampe kita bertengkar karenanya. Pak maman… okelah, pak Maman.

Aku kemudian kembali ke rumah dan mendapati suamiku sedang membetulkan sepeda pancal Doni yang lama rencana akan dipakai Bayu untuk belajar. “Bisa mas?” tanyaku membuka pembicaraan. “Bisa Nuk, tinggal beli bannya saja, karetnya kayaknya sudah mati, ga bakal bisa dipake lagi” kata lelaki itu. “Oh ya dibelikan mas… daripada harus beli sepeda baru… toh juga bakal ga terpake lama, lha sepedanya kecil gitu” jawabku.

“Mas…” kataku. “Mas ga kepingin pijet kah ?” tanyaku. “Nggak, Kenapa Nuk? Kamu pengen pijet ta?” tanyanya. “Ya kalo mas pijet, ya sekalian ga papa, Ninuk juga pijet, tapi kalo mas nggak ya ga usah, kapan-kapan aja” jawabku seolah tidak begitu menginginkannya. “Ya ga papa kalo kamu mau, ke pak Maman tah? Eh sebentar… oh sekarang hari jum’at ya… dia sudah pulang jam 2, nanti habis ashar aja wis sekalian. Aku selesaikan ini dulu” kata suamiku sambil terus mengutak-atik barang di depannya. “Ok mas, Ninuk mandinya sekalian nanti aja ya” setelah pijat.” Kataku kemudian berlalu. Yes, rencana masuk.

Sekitar jam setengah tiga kamipun berangkat ke rumah pak Maman dan ternyata pas bareng dengan orangnya ketika kami sampai di rumahnya. “Lho baru pulang Man?” tanya suamiku. “Iya pak Hadi, ini tadi langsung sekalian antar istri ke stasiun, mau ke Malang, tilik anaknya soalnya ga bisa pulang lagi minggu ini” kata lelaki itu sambil membuka pintu rumahnya dan kemudian mempersilahkan kami masuk. Pas juga pikirku, istrinya ga ada di rumah. Semesta sepertinya mendukungku, hehe.

“Waduh kamu capek nggak Man? Ini istri saya mau pijat katanya” kata suamiku. “Oh nggak pak, ga papa, kalo pak Hadi juga nggak pijat? Sekalian juga ga papa” tanya lelaki itu. “Kalo aku nggak Man, kan kapan hari aku juga habis kesini, 2 minggu lalu kayaknya” kata suamiku santai. “Oh iya. Kalau begitu, saya mandi dulu ya pak. Sebentar kok. Gerah ini pake seragam” katanya kemudian berlalu ke belakang. “Eh, mas pak Maman ada handbody ga? Kalo ga, biar ninuk beli dulu. Lupa tadi mau bilang” tanyaku. “Ya nanti tanya dulu lah Nuk, ya mana tau aku” kata suamiku.

Tak lama kemudian lelaki itu muncul, bahkan dia juga membawa secangkir kopi dan teh untuk kami. Terlihat dari rambutnya yang masih belum disisir, ia baru saja keramas. “Ya gini ini mas, kalo istri ga ada, buat kopi sendiri, hehe” katanya. “Eh Man, kamu punya handbody ga? Ninuk ga mau kalo pake minyak.” Tanya suamiku. “Oh ada mas, sebentar” jawabnya kemudian ia kembali masuk ke bagian dalam rumahnya. “Kayak gini bu.. ga papa?” tanya lelaki itu ketika kembali. Tampak ia juga membawa kain jarik seperti dulu, tapi ingetku itu bukan kain yang sama, terlihat dari corak dan warnanya.

“Ini bu.. seperti dulu itu ya, katanya sambil menyerahkan kain jarik yang dibawanya padaku. Aku kemudian masuk ke dalam kamar yang sama seperti dulu, tempat suamiku dan aku pijat. Tanpa ragu aku buka seluruh penutup tubuhku, bahkan aku sengaja melepas bra ku lalu membalutnya dengan kain jarik pemberian pak Maman. Kalau CD aku masih memakainya. Aku lalu membuka pintu kamar. “Sudah bu?” tanya pak Maman. “Aku disini aja ya” lagian Bu Maman ga ada” kata suamiku. Mungkin dia mau merokok. “lah, rencanaku nanti bagaimana kalo memang mas Hadi ga ada di kamar” mungkin dia masih ingat kalau aku ga mau dengan pak Maman ini jadi hari itu memang aku benar-benar kan pijat, bukan yang lain. Dan juga syaratnya kalau dengan pak Maman, harus dengan istrinya juga.

Betul juga apa yang aku khawatirkan, kala itu memang benar-benar hanya pijat. Dan aku pun tidak berani macam-macam lagi sampai sesi massage nya selesai. Tidak ada ekshib yang kusengaja. Kalaupun buah dadaku terlihat, itu pun gara-gara aku memang tidak memakai bra. Tak ada komentar atau gimana. Hanya saja suamiku tampak agak tergesa ketika perjalanan pulang. Tak banyak omong juga seperti dulu ketika pertama kali pijat ke rumah pak Maman.

Benar juga perkiraanku. Sesampainya di rumah suamiku langsung mengajakku berhubungan badan, padahal paginya sudah sewaktu di rumah pak Kandar. Hal yang persis sama sewaktu kalau kita ada jadwal dengan pasangan pak dokter dan bu dokter. Sepulangnya dia sepertinya sangat bergairah untuk melakukannya denganku. Entah kenapa karena memang hal tersebut tidak pernah kami omongkan juga sih.

Malam harinya setelah menemani si Bayu, anakku yang kedua tidur, aku mendapati suamiku sedang duduk di teras rumah sambil menikmati rokoknya. Setelah membuat kopi panas, aku kemudian bergabung dengan lelaki itu.

“Mikir apa mas? Tanyaku kemudian duduk di kursi yang ada di seblah lelaki itu. Dia tampak menghela nafas panjang. “Masalah warisan yang kemarin belum selesai Nuk” katanya pelan. “Besok minggu keluarga besar ngumpul. Di rumah mas Harjo. Yang dari Jakarta sama Makassar juga datang” lanjutnya. “Ninuk nggak ikut mas” kataku. “Iya Nuk, tapi kayaknya anak-anak tak ajak” sahutnya. Beberapa saat kamipun ngobrol tentang masalah yang ada di keluarga besarnya.

“Nuk, kamu seneng nggak sih… maksudku bahagia’” tanya lelaki itu. “Eh, kenapa sih mas… kok tanya gitu?” sahutku. Kemudian suasana kembali hening. Hanya ada beberapa sepeda motor yang lewat di depan rumah. Saat itu sekitar jam setengah sepuluhan, anak-anak kantor juga sudah pada pulang. Sebenarnya aku ingin menanyakan hal yang ada di pikiranku. Kenapa kok lelaki itu terasa lebih bersemangat ketika aku, misal ada yang ngelirik seperti tadi pagi, atau setelah pijat dengan pak Maman. Bahkan ketika habis main dengan pak dokter pun demikian. Tapi aku tidak tahu harus memulainya dari mana. “Ntar aja udah, biar langsung praktek, hehe” pikirku.

Read More

𝐃𝐞𝐦𝐢 𝐀𝐥𝐚𝐬𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐬𝐞𝐡𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐄𝐩𝐢𝐬𝐨𝐝𝐞 𝟐𝟓

 


Waktu berjalan terasa sangat lambat. Kulirik jam di dinding, belum menunjukkan jam sebelas. Sempat terpikir olehku untuk ke lahan sawah milik suamiku untuk menghilangkan penat, tapi yang jelas jam segini mungkin para pekerja juga sudah pulang. “Pak Kandar” gumamku. Tapi gimana mungkin untuk melakukannya dengannya. Terbayang sesosok lelaki berusia sekitar 40 an. Kulitnya coklat tua karena sering terbakar matahari.

Fetish ku sendiri memang orang-orang yang berkulit gelap, bukan seperti cowok-cowok artis korea an gitu. Dari beberapa orang yang pernah main sama aku, hanya pak dokter yang kulitnya putih, lainnya lebih gelap dari kulitku. Entah mungkin kalo pak dokter itu ada yang lain, status mungkin, hehe. Tapi yang jelas laki-laki berkulit gelap buatku, seperti lebih macho saja.

Nah pak Kandar ini sebenarnya juga masuk kriteria, tapi ya masak tiba-tiba aku datang terus minta dia gituan sama aku. Ya kan ga lucu juga. Meskipun kira-kira 99,9 persen pastinya dia ga bakal menolak. Lalu juga masih kepikiran dia bersih apa nggak, terkait statusnya yang duda beberapa tahun. tidak menutup kemungkinan kalau dia sudah sering “jajan” PSK atau apa sebutan lainnya untuk memenuhi kebutuhan seksualnya.

“Kondom”… ya kondom lah, meskipun memang tidak seenak yang polosan, tapi pengaman itu perlu ketika kita tidak yakin akan pasangan kita, terlebih itu pasangan baru. Kalau resiko hamil aku masih percaya dengan spiral yang kupakai. Sperma-sperma fresh punya Aldo, Faris dan yang lain terbukti tidak bisa menembusnya.

Rasanya seperti tidak kuat lagi kalau harus menunggu nanti malam. Akhirnya aku pun bersiap dan segera berangkat menuju daerah tempat lahan suamiku berada. Saking tergesanya aku sampai lupa untuk membeli karet pengaman. Untunglah di dekat belokan jalan besar ke jalan kecil yang aku tuju masih ada swalayan bercat merah.

Jalanan kecil beraspal rusak yang berada di tengah-tengah area persawahan itu terlihat sepi. Barulah disitu aku memikirkan bagaimana kalau aku bertemu dengan dua pemuda yang dulu pernah menggangguku. Tanpa menghentikan laju sepeda motorku, aku langsung menuju ke rumah pak Kandar setelah mengetahui di sawah suamiku tidak ada orang.

Rumah itu tampak sepi meski pintu ruang tamunya sedikit terbuka. Kulihat sepeda motor matic yang dulu pernah digunakan pak Kandar mengantarku, terparkir di samping bangunan. Barulah disitu keraguanku muncul. Gimana aku bisa senekat ini sampe datang ke rumah pak Kandar. Entah lah apa yang kurasakan kala itu, semuanya bergejolak jadi satu.

Aku segera mengetuk pintu kayu yang sebagian catnya mengelupas dengan memanggil nama pemiliknya. “Oh, bu Hadi mari silahkan bu” sapa seorang laki-laki yang tak lain adalah Wanto, yang juga merupakan pekerja suamiku. “Pak Kandar baru saja berangkat ke sawahnya sendiri yang ada di dusun sebelah. Saya baru bereskan rumah bu” kata laki-laki yang kuperkirakan usianya masih di bawahku dan memang masih ada hubungan saudara dengan pak Kandar. Keponakannya kalo nggak salah.

“Ada apa ya bu? Kok tiba-tiba kesini?” tanyanya ketika aku duduk di kursi panjang yang ada di ruang tamu rumah itu. Ia pun menempatkan dirinya duduk di kursi plastik di depanku. “Oh, nggak ada Wan. Hanya mampir. Tadi dari sawah nggak ada orang, makanya langsung kesini” jawabku. “Oh.. saya kira mau ngapain” jawabnya. “Maksudnya?” tanyaku, seperti nggak paham, kata-kata yang keluar dari mulutnya tadi seakan seperti meledek, seolah dia anggap aku ada main sama pak Kandar.

Sejenak kami terdiam. Perasaan nggak enak tiba-tiba muncul menyelimuti suasana siang itu. Tiba-tiba laki-laki itu langsung mendekat ke arahku dan langsung berusaha menciumku. Tangan kirinya berusaha meremas buah dadaku. “Aku ya mau bu… bukan hanya pak Lik Kandar” gumamnya. Aku yang berusaha menghindar, malah tertekan oleh tubuhnya yang kekar dan ya ampun, bau badannya menyengat. “Eh, apa-apaan kamu.. jangan.. apa-apaan kamu!” jeritku seadanya berusaha melawan aksi lelaki itu.

Memang sebenarnya kala itu aku sedang nafsu-nasfunya, tapi ya bukan begitu caranya. Dan kedatanganku kesana pun memang kalau ada kesempatan aku ingin mengajak pak Kandar berhubungan badan, tapi ini malah si Wanto yang dengan paksaan ingin aku melakukannya. Aku pun berontak, tapi apa daya kekuatan lelaki itu sungguh tidajk mampu aku atahn. “jangan, tolo…” jeritku yang kemudian ditahan oleh tangan kanannya. Untunglah tiba-tiba terdengar suara mesin motor 2 tak yang kupastikan itu adalah pak Kandar.

Wanto pun sadar kalau pak liknya datang. Ia segera menghentikan aksinya dan langsung masuk ke dalam rumah tepat ketika pak Kandar memarkir sepeda motornya di depan rumah yang tidak berpagar itu. “Loh bu Hadi.. sudah lama bu?” mana Wanto?” sapa pak Kandar ketika memasuki rumah. Aku hanya diam dan berusaha menata perasaanku yang kacau saat itu. “Kenapa bu?” tanya pak Kandar ketika melihatku seperti orang yang ketakutan.

Tiba-tiba terdengar suara sepeda motor matic yang dihidupkan dan dijalankan dengan kencang. Ternyata si Wanto sudah kabur lewat pintu belakang rumah. Pak Kandar sejenak tampak terkejut tapi dia akhirnya mengerti apa yang terjadi meski aku tidak memberitahunya. “Wanto bu??” apa ibu di..” tanya pak Kandar. Aku hanya mengangguk. “Bangsat! Sialan anak itu. Ga tahu malu. 

Sebentar bu. Saya cari dia!” kata pak Kandar kemudian berjalan agak tergesa keluar dan langsung menstart sepeda motornya dan pergi. “Nggak usah pak” kataku tapi tidak dihiraukannya. Gimanapun aku juga khawatir nanti kalau pak Kandar benar-benar emosi dan tidak bisa mengontrolnya.

Pikiranku semakin kalut ketika sampai sekitar setengah jam pak Kandar belum kembali. Aku ga tahu apa yang harus kulakukan. Hingga kemudian terdengar suara motor pak Kandar mendekat, yang membuatku agak lega. “Sudah bu, sudah saya hajar anak itu. Ga tahu malu. 

Mohon jangan bilang ke pak Hadi ya bu… atau melaporkan ke polisi. saya mohon, mewakili keponakan saya, saya minta maaf” katanya yang sebenarnya membuatku lega adalah mengetahui pak Kandar dan Wanto tidak apa-apa.

“Iya pak… tapi suruh dia minta maaf sendiri ya. Jangan pak Kandar yang begitu” jawabku. “Baik bu” sahutnya kemudian mengeluarkan telpon genggam bututnya. “Ayo kamu kesini! Minta maaf sendiri ke bu Hadi” katanya dengan suara yang agak keras.

Beberapa saat kemudian Wanto pun datang, terlihat bajunya compang camping. Ada bercak darah di tepi bibirnya. Mata kirinya pun merah. “Ayo le.. minta maaf ke bu Hadi” sambut pak Kandar. “Ini tadi habis saya hajar bu” kata pak Kandar lagi. “Bu… maaf, saya tadi khilaf” kata Wanto pelan dengan wajah tertunduk. 

Suasana kemudian hening. Menunggu apa jawabanku. “Iya sudah, ga papa…” kamu mandi dulu sini.. jangan pulang dengan keadaan seperti itu. Nanti istri anakmu bertanya-tanya” kataku. “Iya sana mandi” perintah pak Kandar.

Tanpa kata-kata lelaki itu pun masuk ke dalam rumah. “Sekali lagi maaf bu.” Kata pak Kandar. Aku pun mengangguk. “Terima kasih bu” lanjutnya. “Gimana kabar ibu pak? Tanyaku kemudian, menanyakan keadaan ibunya pak Kandar yang memang ada di dalam rumah itu. “Ya seperti itu bu. Memang sudah tua, mungkin tadi ada keributan pun beliau nggak akan denger. Mungkin itu juga yang membuat Wanto tadi berani macam-macam ke ibu” balas pak Kandar.

Birahiku yang tadi langsung raib dengan perlakuan Wanto, kembali muncul, perlahan tapi pasti. Meski begitu aku pun masih bingung gimana memulainya. Pak Kandar ini tampaknya sopan sekali dan dia bahkan rela menghajar Wanto yang tak lain adalah keponakannya sendiri. Terus aku tiba-tiba mengajaknya. Gimana caranya juga. Bingung.
“Ya memang mungkin saya juga salah pak. Tiba-tiba datang kesini, sendirian” kataku memecah keheningan yang beberapa saat tercipta. “Oh, nggak bu… bu Hadi nggak salah, bu Hadi boleh kapan aja datang kesini” jawab pak Kandar. “Emang kenapa ya, Wanto tadi kok sampe nekat gitu” kataku berusaha memancing di kolam yang ada 2 ikan besarnya. “Ya gimana ya bu…” jawab lelaki itu. “Kenapa pak?” desakku. “Ya memang, kalo bu Hadi siapa sih yang nggak tertarik” kata pak Kandar yang langsung membuaiku dan semakin memacu hormon-hormon kewanitaanku. “Maaf bu” katanya lagi.

“Ahh… masak sih… berarti pak Kandar juga tertarik?” tanyaku dengan tersenyum berusaha memancing laki-laki itu. “Ya saya masih normal bu” jawabnya dengan malu-malu. “Tapi saya ya ga berani lah bu” lanjutnya. “Kenapa pak?” tanyaku. “Ya saya sangat menghormati pak Hadi bu..” jawabnya. “Ya… pak Hadi jangan sampe tau lah” kataku santai. “hah, maksud ibu??” tanya lelaki itu seperti penasaran atau tidak percaya dengan apa yang barusan didengarnya. “Ya itu syarat utamanya… tapi masih ada sarat lainnya” sahutku lagi-lagi dengan santai. “A.. apa itu bu??” tanyanya dengan penuh semangat.

“Pertama… hmmmm… apa ya… Anu pak… anggap aja ini bonus, tapi buat pak Kandar agar lebih semangat kerja untuk suami saya” kataku memberi jawaban asal-asalan, padahal sebenarnya kala itu aku memang benar-benar ingin berhubungan badan untuk menuntaskan hasrat seksualku. “Iya bu, saya janji. Bakal lebih giat lagi” jawabnya yang membuatku tersenyum. “Kedua…” kataku terhenti dan memang benar-benar memikirkan apa yang harus kukatakan. “Iya bu, apa sarat yang kedua?” tanyanya.

“Harus pakai pengaman” sahutku. “Pengaman?” tanyanya. “Iya pak, kondom” timpalku. “Oh.. tapi saya nggak punya bu” kata lelaki itu. “Ya beli pak… nah itu Wanto sudah selesai mandi… sebentar” kataku kemudian mengambil selembar uang berwarna merah dari dompet dan menyerahkan ke Wanto yang baru saja selesai mandi. “Apa ini bu? Tanyanya. “ke Ind*mart ya. Tolong belikan kondom, terserah merk apa, tisu basah yang kecil aja sama poc*ri sw*at yang botol besar” kataku. “hah gimana bu? Tanya Wanto kebingungan. “Ke Ind*mart, beli kondom, tisu basah sama p*cari” kini pak Kandar yang menjawab. “Cepat, ga usah banyak nanya” lanjutnya. Wanto kemudian berangkat.

Sebenarnya aku sendiri sudah beli kondom tadi ketika berangkat, tapi agar tidak terlalu kelihatan kalau aku memang benar-benar menyiapkan hal ini, aku tetap menyuruh salah satu lelaki itu untuk membelinya. Toh juga pengaman itu kadaluarsanya juga lama, hehe.

“emang di sini ga papa pak? Ibu?” tanyaku. “Aman bu, ibu ga bakal denger” jawab pak Maman pasti. “Ya kalo gitu tolong bersihkan kamarnya pak. Trus pak Kandar mandi. Nanti satu-satu ya pak.. jangan sama-sama pak Kandar dengan Wanto. Terserah nanti siapa yang duluan” kataku. “Baik bu, saya siapkan kamar dan mandi dulu” katanya kemudian berlalu masuk ke dalam rumah. “Gila” gumamku. Malah kini aku akan berhubungan badan sama 2 orang pekerjanya suamiku gumamku ketika benar-benar sadar apa yang akan aku lakukan.

“sebelah mana kamarnya pak? Tanyaku pada pak Kandar yang baru muncul dari dalam rumah, ia tampak segar setelah mandi. “Oh, sini bu… maaf rumahnya jelek” jawabnya kemudian menunjukkan kamar yang pas di sebelah ruang tamu. Dan sepertinya rumah kecil itu hanya ada dua kamar. Dan mungkin kamar ibunya yang sebelah belakang.

“Itu kayaknya Wanto datang pak. Rundingan sana, siapa yang duluan dan bilang sarat-sarat saya tadi, kalo dia mau” kataku kemudian masuk ke kamar yang sederhana tapi tampak rapi dan bersih. Sprei yang membungkus kasur kapuk itu juga tampaknya sudah diganti dengan yang baru sesuai dengan petunjukku tadi.

Tak lama kemudian pak Kandar masuk kamar di mana aku berada. “Oh, pak Kandar dulu ya, hehe” sambutku. “Iya bu” jawabnya lalu menyerahkan tas kresek berisi belanjaan yang tadi si Wanto beli. Setelah mengambil kondom merk dur*x berwarna merah, aku meletakkan kreseknya di atas meja yang ada di kamar itu. “pinter juga milih” ini kan yang featherlite” Tipis” gumamku. “Pak, nanti saya ga mau ciuman bibir. Kalau bapak mau cium yang lain silahkan” kataku sambil berusaha membuka bungkus plastik pengaman, tapi karena kesulitan, aku serahkan ke lelaki itu untuk membukanya. “Iya bu” kata lelaki itu yang ternyata sudah telanjang bulat. Terlihat kemaluan lelaki itu sudah mengeras. Ukurannya biasa aja sih, seperti punya suamiku.

“ihhh kok udah ngaceng aja pak… padahal aku belum apa-apa. Eh Bisa pak? Hati-hati kebalik lho” sini-sini tak pasangkan” kataku ketika melihat lelaki itu akan memasang caps di penisnya. Aku lalu memakaikan kondom itu. Kemudian kuhisap sebentar penisnya. “Ohhh…” erangnya.

“Pak Kandar kan duda nih… biasanya ke mana kalo buang hajat?” tanyaku sambil berdiri dan melepas hijab yang kupakai. “Nggak bu… nggak ke sapa-sapa” jawabnya. “Masak sih… trus kalo pengen gimana?” tanyaku sambil melepas terusan panjang yang kukenakan. “Ya anu bu… eee… maninin sendiri” jawabnya dengan malu-malu. “Ihh… masak ngocok sendiri, kayak anak kecil ah” sahutku lalu melepas tanktop panjang yang melekat di tubuhku. “Iya bu Sumpah demi apa aja saya mau, saya ga pernah lagi setelah istri saya meninggal” kata lelaki itu berusaha meyakinkanku.

Aku kemudian melepas BH dan CD yang kukenakan sehingga aku benar-benar telanjang bulat. “Langsung masukin ya pak… punya ku sudah basah kok” kataku kemudian membaringkan tubuhku di atas kasur. Lelaki itu kemudian merangkak di atasku dan memasukkan penisnya dalam liang senggamaku. “Ohhhhh….” Mulut kami sama-sam mendesah ketika kedua kemaluan kami bertemu untuk memberikan kenikmatan masing-masing. Ia langsung menyodok-nyodokan kemaluannya yang semakin lama semakin cepat dan membuatku semakin menggelinjang keenakan. Tapi tak sampai semenit, lelaki itu sudah mencapai klimaknya. “Oooooccchhhh…..” jeritnya ketika spermanya keluar.

Sial, belum apa-apa dia udah keluar, pikirku. “Maaf bu… saya nggak tahan… nggak bisa kontrol” katanya sambil mengatur nafasnya. “Enak pak?” tanyaku. Ia mengangguk pasti. Ini juga meyakinkanku memang benar apa yang dikatakannya, ini yang pertama kali ia berhubungan intim setelah istrinya meninggal. Aku kemudian duduk di kasur ketika lelaki itu mulai memakai pakaiannya kembali da meninggalkanku sendiri. Sesaat kemudian Wanto pun masuk. “Kondomnya di meja” kataku. Ia lalu melucuti semua pakaiannya sampai telanjang bulat. Terlihat kemaluannya agak lebih besar sedikit dari pak Kandar, masih setengah tegang. Setelah memasang caps, ia pun langsung menyetubuhiku. Keponakan pak Kandar ini benar-benar bisa mengendalikan birahinya. Ia mampu membawaku ke puncak kenikmatanku, dua kali di posisi WOT dan misionary. Kecuali wajah, hampir tiap jengkal tubuhku dijilatinya, bahkan sampai ketiakku pun tak luput dari aksinya. Hingga akhirnya ia tak bisa bertahan di posisi doggy style setelah sekitar lima belas menit bergumul denganku. Ia juga tampak bangga beberapa kali membuatku orgasme.

“Pak Kandar tanyain Wan… mungkin mau lagi, tak tunggu disini” kataku sambil minum Poc*ri sw*at yang tadi dibeli. “Iya bu” sahutnya. “Eh iya Wan, tolong belikan maem ya, terserah apa wis. Lalapan kah, nasi padang kah, beli 3 ya” kataku sambil memebrikan beberapa lembar uang kepadanya sebelum dia keluar kamar. “Baik bu” jawabnya singkat.

Tak lama kemudian, pak Kandar kembali masuk ke dalam kamar. “Gimana lagi pak?” tanyaku. “Ya kalo boleh bu” tanyanya. “Ya ayo lah” mumpung masih belum pake baju. Jawabku. Ia lalu kembali melepas baju yang dipakainya. “Pake kondom atau nggak pak?” tanyaku. “Terserah ibu, tapi kalo ibu ragu ya pake gpp” jawabnya. “Ga usah lah pak… lebih enak” kataku.

Kemudian ronde kedua bagi pak Kandar dan ketiga buatku siang itu pun dimulai. Disitu lelaki itu benar-benar sudah membuktikan kelelakiannya. Ia sudah mampu mengendalikan hawa nafsunya sehingga permainan pun bisa berlangsung lama. Bahkan dia juga mampu beberapa kali membuatku mencapai puncak kenikmatanku sebelum akhirnya dia memuntahkan spermanya di dalam rahimku di posisi Man on Top atau missionary. “Maaf bu, keluar di dalam” katanya dengan suara serak dan sambil mengatur nafasnya yang terengah. “Nggak papa pak… saya pake KB kok.. aman” jawabku sambil membiarkan lelaki itu menikmati sisa-sisa kenikmatannya. Penisnya masih menancap di dalam liang kewanitaanku. Keringat laki-laki itu menetes membasahi tubuhku yang juga basah mengkilap.

Kemudian lelaki itu perlahan mulai menggerakkan pinggulnya kembali. “Auw… sttss… auw…. “ ocehku merasakan gesekan penisnya yang sudah agak turun memberikan sentuhan kenikmatan di syaraf-syaraf dinding dalam vaginaku yang sudah banjir dengan cairanku sendiri ditambah air mani lelaki itu. Goyangan pak Kandar pun semakin lama semakin cepat. “errrgghhh… ooohhhh…. Oooohhh” mulutnya meracau. Aku pun tersadar kalau lelaki itu langsung memulai ronde berikutnya, tanpa jeda sedikitpun. Gila! Pikirku yang merasakan gairahku kembali muncul melalui ritme permainan lelaki itu. “Lagi paak?” tanyaku yang dijawabnya dengan hentakan-hentakan keras penisnya yang kembali mengeras seperti tadi di dalam liang vaginaku. “Iya bu… mumpung ibu mau… ga tau kesempatan ini bisa datang lagi besok atau nggak… ooocchhh” katanya.

Stamina lelaki itu benar-benar luar biasa, tak ayal dia kembali bisa membuatku meraih orgasmeku untuk kesekian kalinya. Sampai-sampai tubuhku lemas, seperti kehabisan energi. “Ayo pak, keluarin… aku capek” pintaku. “Iya bu. Ia kemudian menyruhku menungging untuk memulai posisi doggy style. Di situlah ia kembali mencapai klimaksnya untuk mengakhiri permainan itu.

Sekitar lima belas menit kemudian aku dan pak Kandar pun keluar kamar, kembali ke ruang tamu dimana Wanto sedang menunggu. Tampaknya dia sudah kembali dari membeli nasi. Kita pun makan bersama. “Bu, saya kok nggak boleh nambah?” tanya Wanto. “Jangan, kasihan istrimu nanti dirumah, kalo kuhabiskan disini” jawabku yang membuat kami tertawa. Sekitar menjelang ashar, aku pun pulang dengan dibarengi oleh kedua lelaki perkasa itu sampai di jalan besar, takut ada yang ganggu, katanya.

Read More

𝐃𝐞𝐦𝐢 𝐀𝐥𝐚𝐬𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐬𝐞𝐡𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐄𝐩𝐢𝐬𝐨𝐝𝐞 𝟐𝟒


Keesokan harinya, aku tidak ikut suamiku yang akan pergi ke rumah dokter Mel*ni untuk meminta “jatah” . Tidak ada kegiatan juga dirumah, kantor juga baru buka nanti jam 1 an. Paling sekarang hanya ada si Herman yang lagi bersih-bersih. Suntuk juga. Akhirnya aku memutuskan untuk ke lahan tempat suamiku bercocok tanam. Mungkin pemandangan alami bisa membuat pikiran ini lebih tenang. Untung saja mas Hadi tadi membawa mobil, jadi motornya tidak terpakai dan bisa kugunakan.

Sekitar lima belas menit kemudian, aku pun sudah di atas motorku dan beberapa saat setelahnya, sampailah aku di tempat yang kutuju. Sawah itu tampak lengang, bahkan bisa dibilang sepi. Terlihat hanya ada satu orang di kejauhan dan itu bukan lahan suamiku. Entah kenapa juga tidak ada yang berkerja hari ini. Aku memang tidak seberapa paham, biar tetap jadi urusan suami. Yang penting ketika panen, pundi-pundi nya masuk ke aku, hehe. Aku pun segera duduk di tempat aku biasa menunggu suamiku kalau sedang bersama di situ. Memang pemandangan yang sangat menyejukkan.

Tak terasa sekitar satu jam sudah berlalu ketika tiba-tiba ada dua pemuda yang menghampiriku. Bahkan salah satu diantaranya, yang di kedua tangannya dipenuhi tato langsung duduk di sebelahku. Mengetahui hal itu, aku langsung menggeser tubuhku mepet ke balok bambu yang menopang atap pos gardu itu.

“Kok sendirian aja bu… tersesat atau mogok sepeda motornya?” tanya pemuda yang duduk di sampingku. “Iya nih, ga baik melamun, lebih baik ajak kita-kita senang senang” kata pemuda yang satunya lagi yang berdiri di depanku. Dari mulutnya tercium bau tape alias alkohol.

Aku rasa aku tidak perlu menjawab pertanyaan mereka. “Loh kok diam saja, bisu ya… wah cantik-cantik bisu ternyata” lanjut pemuda yang berdiri. “Iya, ga papa, boleh dong… mumpung sepi nih” kata pemuda yang duduk dan menggeserkan tubuhnya mendekatiku sehingga aku pun langsung berdiri untuk menghindarinya. “Apaan sih. Siapa kalian?” hardikku. Tapi pemuda yang berdiri seolah menghadangku dengan tubuhnya. “Tak perlu kenal lah” yang penting rasanya” kata nya. Aku semakin takut. “Jangan macam-macam ya, kalo nggak aku teriak” ancamku yang tampaknya tidak digubris oleh mereka.

“Nggak macam-macam, satu macam aja… teriak aja yang kenceng, ga ada orang di sekitar sini” kata pemuda yang bertato yang kemudian juga beranjak berdiri. “Rom, ada motor” kata salah seorang dari mereka yang sepertinya menghentikan aksi mereka padaku. Terdengar suara motor dua tak semakin mendekat dan bahkan berhenti di dekat kami berdiri. “Loh, bu Hadi… sendirian bu?” tanya lelaki berbadan gelap dan kekar. Aku bisa mengenali kalau dia ini salah sorang pekerja yang ikut suamiku, meski aku tidak pernah berbincang dengannya. “Rom, Jun.. kalian ngapain disini? Kalian jangan macam-macam sama ibu ini ya. Tak pacul ndasmu nanti!” kata lelaki itu dengan nada tinggi setelah melihat wajahku yang dipenuhi rasa ketakutan. “udah pergi sana! Awas kalo kamu ganggu bu Hadi lagi. Urusannya denganku!” lanjutnya. “Iya pak lik” jawab salah satu dari pemuda itu kemudian pergi meninggalkan kami dengan agak tergesa.

“Bu Hadi ga papa?” tanyanya. “Maaf bu, itu tadi anak-anak sini, pengangguran, ga jelas. Mereka ga ngapa-ngapain kan bu?” tanyanya. “Untung ada bapak… terima kasih ya pak” kataku lega. “Oh nama saya Kandar bu, Iskandar. Saya ikut kerja dengan pak Hadi” katanya mengenalkan diri, mungkin dia sadar aku ga tahu namanya. “Iya pak, saya tahu, saya cuma nggak tahu nama bapak. Terima kasih pak” kataku kembali megucapkan terima kasih.

“Lho memang bapak kesini bu? Kayaknya nggak deh, baru besok janjian dengan saya untuk cari orang cabutin rumput liar” tanya lelaki yang bernama Iskandar itu. “Iya, nggak, tadi bapak ada urusan. Trus saya juga kebetulan lewat daerah sini, langsung aja mampir” jawabku beralasan. “Oh, hati-hati bu, mending kalo kesini sama bapak saja, takut ada yang ganggu kayak anak-anak tadi” katanya. “Loh ini pak Kandar mau berangkat kerja atau mau pulang?” tanyaku. Kulihat ada sebuah cangkul diikatkan di motor suz*ki RC yang sudah ga karuan bentuknya.

“Oh, ini mau pulang sebentar bu. Mari kalau mau mampir kerumah?” katanya. “Oh nggak pak, biar saya pulang saja, kejadian barusan buat deg-deg an juga” jawabku. “Oh kalau begitu, biar saya antar sampe jalan besar bu, eh maksud saya biar saya temani sampe sana. Takutnya anak-anak tadi masih nungguin” katanya. “Oh, gitu ya pak… baik. Pak. Terima kasih” jawabku kemudian segera naik ke sepeda motorku. Apesnya, ban motorku saat itu gembos.

“Waduh, bocor ya bu… gimana ya.. hmmm.. kalau ibu nunggu disini sendirian juga bahaya… sebentar bu” katanya kemudian sepertinya menelepon seseorang dengan HP tulalitnya. “Saya baru telpon teman bu biar susul kesini. Biar nanti dia yang bawa motor ibu ke tukang tambal. Saya nemani ibu disini. Atau, mungkin ibu mau mampir kerumah? Deket kok bu.. itu setelah belokan dikit” kata lelaki itu. “Iya udah, terserah pak Kandar, gimana baiknya” jawabku.

Sepuluh menit kemudian ada seseorang datang dengan motor matic juga. “Wan, ini sepeda motornya bu Hadi bocor. Biar bu Hadi tak ajak kerumah, kamu nunggu disini ya jagain motornya bu Hadi, pinjam motormu juga, punyaku ga bisa buat boncengan” kata pak Kandar ke seseorang yang entah sapa namanya, Iwan atau wawan atau Wanto, yang jelas ia memanggilnya “Wan”. “Oh iya pak.. bu….” Kata lelaki itu yang juga menyapaku. “Dia juga kadang juga ikut kerja dengan pak Hadi bu” jelas pak Kandar.

Sesaat kemudian aku sudah berada di atas motor, pak Kandar mengantarkanku ke rumahnya untuk menunggu sepeda motorku ditambalkan. “Kalau disini aman bu. Di rumah tinggal ibu saya, ada di dalam. Sudah jarang sekali keluar, sudah tua, usianya hampir 90 tahun” kata lelaki itu mempersilahkan aku masuk di ruang tamu rumahnya yang sederhana. Rumah itu terletak agak masuk ke pelosok, meski tidak terlalu jauh. Tapi sepertinya tetangganya pun tidak ada. Yang ada hanya kumpulan pohon bambu yang menggerumbul yang orang sini menyebutnya barongan.

“Oh iya pak, terima kasih. Ini uangnya untuk tambal ban, kalau umpama ban dalamnya sudah jelek sekalian diganti saja pak” kataku kemudian menyerahkan selembar uang merah kepadanya. Setelah itu ia pun meninggalkan aku sendiri di rumah itu. Eh nggak sendiri ding, ada ibunya katanya di dalam rumah.

Hampir sejam kemudian barulah pak Kandar datang kembali dengan membawa sepeda motorku. “Ini bu, kembaliannya. Tadi jadi ganti ban dalam, sialnya tambalannya sudah banyak. Trus sekalian saya belikan bensin” kata lelaki itu sambil menyodorkan beberapa lembar uang kepadaku. “Biar udah, buat bapak saja kembaliannya” jawabku. “Loh, sepeda motor bapak gimana? Ditinggal di sawah?” tanyaku. “Iya bu, kalo itu sih, ga ada yang bakal mau, aman” jawabnya sambil tersenyum. Kemudian aku pun diantarnya ke tempat sepeda motornya dan langsung pulang.

Sore harinya aku menceritakan pengalamanku tadi ke suamiku. “Untung aja ada Kandar, kalo nggak… kamu sih makanya, ngapain juga sendirian kesana” respon suamiku. “Udah lah, yang penting kamu ga apa-apa. Btw, kasian itu si Kandar. Istrinya meninggal, kena covid. Dua anaknya merantau ke ibukota. Dia tinggal sendiri sama ibunya yang sudah tua sekali, kayaknya hampir 100 paling umurnya, udah ga bisa aktivitas, pendengarannya pun sudah ga seberapa fungsi” jelas suamiku. “Tadi juga Kandar nelpon ceritanya gimana, kasih tahu aku kalo kamu kesana dan ada kejadian itu” lanjutnya lagi. “Iya mas” jawabku singkat.
Beberapa bulan kemudian, di suatu pagi, hari kamis kalau ga salah, aku sudah akan bersiap ikut suami ke lahan sawahnya, memang akhir-akhir ini aku sering ikut suamiku, tinggal menunggunya mengantar si Bayu sekolah, kalau si Doni sekolahnya sudah naik sepeda pancal sendiri. Pemandangan alam, meski hanya sawah yang membentang cukup luas itu sangat menarik keinginanku untuk terus datang dan datang lagi.

“Lho kamu mau kemana?” tanya suamiku. “Lah, kan mau ke lahan mas, ikut mas” jawabku. “hehe, iya aku lupa bilang ya Nuk, hari ini rencana aku mau ke Tulungagung, ada urusan dikit sama tanah sangkolan yang disana. Kalo kamu mau ikut ya ga papa, paling sore atau malam nanti dah pulang kok” kata lelaki itu. “owalah, ga mas, Ninuk ga enak kalo urusan sangkolan, biar mas sendiri aja. Takut dikiranya Ninuk ikut-ikut urusan warisan nanti” jawabku. Setelah itu lelaki itu pun sarapan, dan setelahnya ia pamit untuk berangkat. “Naik Mobil mas?” tanyaku. “Iya Nuk, nanti kan juga rombongan. Orang 4 sih” jawabnya.

Setelah suamiku berangkat, pikiran nakalku pun kembali menyeruak menyelimuti otakku, karena sudah tiga hari ini birahiku dibiarkan menumpuk oleh suamiku, tanpa disentuhnya sama sekali dan tiba-tiba kesempatan itu pun datang pagi ini. “Faris atau pak Dokter ya” gumamku langsung menimang-nimang siapa yang bakal menjadi partnerku hari ini. Tapi saat enak-enaknya memikirkan dan membayangkan apa yang akan kulakukan, tiba tiba pagar rumah terbuka yang lumayan mengejutkanku. Siapa kah gerangan yang datang sepagi ini.

“Oh, ternyata si Doni, anakku”. “Kok udah pulang mas?” tanyaku menyambutnya, agak aneh juga sepagi ini dia kok sudah pulang lagi. “Iya ma, ini juga mau balik lagi, ada pertandingan basket di SMP **, Doni mau ganti baju olah raga dulu. Ini temen-temen Doni juga mau mampir ke sini nanti berangkat sama-sama” katanya sambil melepas sepatunya. “Ikut main atau hanya suporter? Tanyaku lagi. “Suporter ma.. doni kan ga bisa Basket, tapi tapi semua siswa diwajibkan ikut jadi penyemangat” sahutnya.

“Hmmm… seragam olah raga ya? Anu, kayaknya masih belum disetrika deh, kan dua hari lalu baru kamu pake, tapi kayaknya sudah dicuci sama bi Inah. Ke bi Inah aja, minta setrikain dulu aja” kataku memberi solusi pada anak lelakiku. “Iya ma.. “ sahutnya singkat dan berlalu ke belakang. Kemudian terdengar pintu pagar terbuka lagi. Kulihat rupanya si Irfan dan satu lagi temannya Doni yang ga pernah kukenal datang.

Hati kecilku pun tersenyum. Tiba-tiba pikiran untuk menggoda teman-teman anakku pun hadir. Mungkin ini saatnya.. rencana ekshib ke teman-teman anakku kapan hari juga masih belum pernah terlaksana. Baru hari ini mereka datang ke rumah. Kebetulan juga kala itu aku hanya memakai tanktop panjang warna cokelat susu yang kugunakan sebagai daleman gamisku ketika tadi pagi mau berangkat tapi nggak jadi. Tapi tetep aku masih pakai CD dan BH. Rambutku pun tetap terikat sehingga leher dan sebagian pundakku yang putih mulus juga terpampang manis.

Ada perasaan deg-deg an juga sih ketika aku memutuskan beranjak keluar untuk menemui mereka. Dan memang itu baru pertama kali aku lakukan dengan sengaja dengan penampilan seperti itu. “Eh Irfan, trus mas nya ini siapa?” tanyaku. Kulihat mata mereka melihatku tapi nampak seperti malu-malu. “Oh, ini Bejo tante…” kata Irfan mengenalkan teman yang duduk di sebelahnya. “Bukan tante, Bejo hanya panggilan, nama saya Johan, bukan Bejo” sahut anak laki-laki yang tampak duduk di teras, mungkin mereka enggan untuk membuka sepatunya. “Oh, belum pernah main kesini ya?. Kalo Irfan sering” jawabku. “Iya Tante, ini pertama kali kesini” jawab si Johan.

“Oh, iya… tunggu sebentar ya. Doni masih ganti baju. Ayo kalau mau masuk” kataku. “Biar tante, kami di sini saja. Habis ini juga berangkat lagi kok” jawab si Bejo eh Johan. “Ya udah, tante masuk dulu ya” kataku kemudian berjalan perlahan memasuki rumah kembali. Di bayangan yang tampak di jendela kaca depan terlihat kalau kedua anak itu terus memandangiku ketika berjalan yang membuatku tersenyum.

Tidak hanya tersenyum, juga seperti apa ya. Seperti aneh gitu, geli, lucu tapi yang jelas, hal itu juga mengundang syahwatku. Lalu aku mengambil 2 botol air mineral yang kugunakan sebagai alasan untuk kembali ke teras di mana dua teman anakku itu duduk menunggu. “Ini ada air mineral, mungkin nanti bisa untuk bekal, katanya ada pertandingan basket ya?” kataku sambil menyerahkan botol yang aku bawa ke mereka. “Eee.. nggak usah… tapi… terima kasih bu” kata Irfan. Entah apa yang mereka pikirkan tapi yang jelas kurasakan mata itu kembali terpusat padaku. Aku lalu berpura-pura menata sandal-sandal yang ada di teras lalu mengambil sapu dan mulai membersihkan teras yang sebanarnya sudah bersih.

“Sebentar ya, mau Tante sapu dulu.. jangan duduk di bawah situ. Kotor” kataku sambil terus menyapu. Sama sekali tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut kedua anak itu. Entah apa yang mereka lakukan. Tapi yang pasti mata mereka sesekali melirikku. Dan aku tahu itu. Tak lama kemudian si Doni muncul dari dalam garasi, tampaknya dia sudah siap berangkat. “Ayo Fan, Jo” katanya. “Ma, Doni berangkat..” pamit anakku kemudian salim dan cium tanganku. Hal yang kemudian berurutan dilakukan oleh Irfan dan Johan. “Tante, kami berangkat dulu.” Pamit Irfan. Kemudian terakhir si Johan dan tak sengaja kulihat bagian depan celana olah raga anak itu, ternyata benar. Ada gundukan. “Ngaceng kah?” tanyaku dalam hati.

Aku kemudian duduk di sofa tengah sesaat setelah Doni dan teman-temannya berangkat. Masih bingung juga di pikiranku. Semakin kalut ketika birahi sudah semakin menggebu. Kemaluanku pun basah merindukan sesuatu masuk di dalamnya.

Kulihat jam yang sudah menunjukkan hampir setengah sepuluh. Opsi dengan pak dokter pun segera kubuang karena biasanya jam 10 pasiennya habis dan bu dokter juga pasti sudah balik ke rumahnya, tinggal Faris kemungkinan yang bisa. Iya si Faris. Hanya saja ternyata kala itu si Faris pun tidak bisa karena pagi itu dia mengantarkan ibunya kontrol. “Maaf bu, sekarang Faris masih antar ibu ke RS. Tapi kalau nanti malam bisa” jawabnya di text WA yang menambah kesialanku pagi itu. Gagal total rencana pagi ini.

Kesempatan ada, eh orangnya yang ga yang bisa. Ahh, mungkin harus menunggu nanti malam memang. Akhirnya aku pun memutuskan untuk menanti suamiku saja. Atau mungkin kalau ada kesempatan ya si Faris yang katanya siap lembur juga. Tapi ya, gimana ini, birahi rasanya sudah tidak bisa kutahan lagi. Masturbasikah? Ahh, itu hal yang tak pernah kulakukan lagi semenjak mengenal seks yang sebenarnya setelah nikah dengan mas Hendra dulu.


 

Read More

𝐃𝐞𝐦𝐢 𝐀𝐥𝐚𝐬𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐬𝐞𝐡𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐄𝐩𝐢𝐬𝐨𝐝𝐞 𝟐𝟑


Keesokan harinya sekitar jam setengah sepuluh aku dan suamiku sudah berada di atas mobil meramaikan kondisi jalanan kota untuk menuju ke rumah dimana disana menunggu pasangan dokter sesuai dengan rencana yang disusun. Sekitar dua puluh menit kemudian kami pun sampai di rumah yang pagarnya masih tertutup itu. Terlihat beberapa kendaraan terparkir di dekat prakteknya.

“Lewat mana ini Nuk? Apa lewat tempat praktek itu kah? Coba kamu hub bu dokter” kata suamiku. “Oh iya bu, sebentar” jawab suara wanita kemudian menutup telponku. Beberapa saat kemudian kulihat pintu utama rumah ber cat hijau itu terbuka. “Itu mas, ayo” ajakku kemudian keluar dari mobil. “Ayo, mari silahkan masuk bu Hadi.. pak Hadi” sambut wanita yang masih memakai seragam kebesaran nakes. “Oh iya, pak Hadi, saya Mel*ni” kata wanita itu kemudian bersalaman dengan suamiku.

Ia mempersilahkan kami duduk di ruang tamu kemudian masuk ke dalam. Beberapa saat kemudian wanita itu pun kembali dan menempatkan dirinya duduk di hadapan kami. “Maaf, masih pakai baju begini. Baru datang. Trus mas R*ny masih ada satu pasien lagi” katanya membuka pembicaraan pagi itu.

Kami bertiga pun ngobrol panjang lebar. Suasana yang pertama nya agak kaku, akhirnya menjadi semakin akrab diselingi candaan dan guyonan. Ternyata juga kota kelahiran wanita itu sama denganku. Setengah jam kemudian, akhirnya suami wanita itu pun bergabung.

Pembicaraan kemudian berlanjut pada rencana yang tersusun. “Gimana bu Hadi, apa sudah cerita ke pak Hadi?” tanya wanita itu. “Sudah bu” jawabku. “Pak Hadi setuju?” tanya suaminya. “Ya jelas setuju lah dok” la bu dokter orangnya cantik begitu” jawabku yang langsung menerima cubitan ringan di tangaku. “Ah bu Hadi bisa saja… bu Hadi juga cantik kok… ” kata wanita itu tersipu.

“Iya, mungkin ini juga usaha yang kita lakukan karena kita juga mempunyai masalah yang sama. Tapi tolong, ini tetep jadi rahasia kita berempat” kata pak dokter. “Dan kayaknya kita sama-sama klik ya” lanjutnya yang mebuat kami semua tersenyum. “Kapan bisa mulai?” celetuk suamiku. “Tuh kan bu… ngebet” sahutku yang kembali mengundang tawa kami berempat.

“Ayo bu Hadi, kita ngobrol di ruang tengah. Biar sama-sama kayak pacaran lagi dulu, hehe” ajak lelaki itu. “Ijin ya pak Hadi” katanya kemudian berdiri yang segera kuikuti. Kamipun duduk di ruang tengah dimana kemarin aku dan dokter itu berhubungan badan.

“Biar mereka ngobrol dulu ya” katanya kemudian duduk pas di sebelahku. “Iya dok” jawabku. “Eh, hayo kalo lagi gini jangan panggil dok dong… panggil mas atau apa gitu..” katanya. “Iya mas… trus mas juga panggil Ninuk atau dik juga ga papa” jawabku.

Tidak sampai sepuluh menit, kemudian terlihat suamiku dan bu dokter berjalan berdua menuju sebuah kamar yang terletak di sebelah ruang tamu. Wanita itu sempat melambaikan tangannya pada kami sebelum menutup pintunya. “Eh, ayo mereka sudah masuk kamar” ajak lelaki itu kemudian kami pun masuk juga di kamar yang sama, tempat kami dulu pertama melakukannya.

“Aku kok pengen lihat mereka ya… sebentar” katanya kemudian mengambil hp nya. Aku tertarik juga apa yang dilakukan lelaki itu juga melihat apa yang dilakukannya. “Aku sengaja pasang cctv bu, di kamar itu. Nah ini” gumamnya. “Sebentar… sebentar..” Katanya kemudian menghidupkan sebuah TV LED yang super besar yang ada di kamar itu. Entah berapa inch, 75 kali.

“Nah… bisa. Sini bu” gumamnya kemudian duduk di tepi ranjang. Kamipun melihat Live show yang ada di kamar sebelah. “Aduhh mamaaa… “ Gumam lelaki itu ketika melihat suamiku sedang menjilati buah dada istrinya yang tampak tidak begitu besar, masih besar punyaku, hehe. Baju wanita itu tampak sudah terlepas. “Andai ada suaranya, tambah greget ya mas” gumamku yang santai melihat adegan itu. Aku kan memang sudah beberapa kali melihat suamiku berhubungan intim dengan wanita lain, bahkan bersama di satu tempat.

Lelaki itu tampak panas dingin melihat istrinya sedang berhubungan badan dengan suamkiku, meski hanya lewat layar televisi. Lalu ia langsung berusaha melepas baju yang kupakai, ingin juga segera melakukannya denganku. “Mas, gimana kalo kita nanti aja, setelah mereka selesai” kataku. “Gimana maksudnya?” tanyanya. Aku kemudian berdiri melepas terusan lengan panjang yang kupakai. Aku sengaja memakai baju dinas malam sebagai daleman, tapi tetap menggunakan bra dan CD juga karena dalemannya terlalu tipis.

“Nanti kita mainnya pas bareng mereka, gimana? Kayaknya bu dokter ga mau kalo mainnya bareng-bareng, malu katanya. “ sahutku. “Oh gitu ya, aku juga ga pernah gitu, bisa nggak ya” katanya. “aku juga mas, coba aja” jawabku. Akhirnya kami menikmati live show antara suamiku dan istrinya kala itu. Tapi beberapa menit kemudian, lelaki itu pun menyetubuhiku juga. Ga kuat katanya nahan sampe nanti. Aku yang juga sebenarnya menahan birahi juga langsung melayani permainan lelaki itu hingga ia melepaskan spermanya di dalam tubuhku. Terlihat suamiku masih menggenjot tubuh bu dokter di posisi doggy style.

Sekitar lima belas menit kemudian suamiku tampak mencapai puncak kemikmatannya. Sebenarnya aku juga terbakar rasa iri, bagaimana tidak, beberapa waktu belakangan ini, ia tampaknya tidak bergairah sama sekali denganku. Tapi pas lihat dengan wanita itu, ia kembali seperti sedia kala.

“Ayo bu, mereka sudah keluar kamar” kata lelaki itu mengajakku. Kemudian ia terlihat hanya memakai singlet dan celana pendek ketika keluar. “Eh, sudah selesai juga ternyata” kata lelaki itu menyapa suamiku dan bu dokter yang duduk di sofa tengah. “Ahhh… papa kok ga pake baju… bu Hadi…” gumam wanita itu ketika melihatku bahkan memakai baju dinas malam. Sehingga bagian-bagian pentingku tampak samar. Kami kemudian membicarakan tentang apa yang kami lakukan. Pengalaman, dan sensasinya.

Terus terang obrolan tentang hubungan intim pagi itu kembali membuat birahiku muncul. Aku kemudian langsung menarik celana pendek pak dokter yang duduk di sebelahku dan mengulum penisnya yang masih lemas. “Ahhh… bu Hadi…” gumam istri lelaki itu yang tak kuhiraukan. Aku tetap menjilati penis suaminya sampai mengeras dan siap melaksanakan tugasnya lagi.

“Ayo dong maa” kata lelaki itu pada istrinya. “Kasihan tuh punya pak Hadi, nganggur” katanya lagi. “Ahhh… papa” gumam wanita itu. Beberapa saat kemudian ternyata wanita itu juga sudah menghisap penis suamiku yang hanya berjarak tidak sampai dua meter dengan posisiku. Wanita yang kemarin bilang tidak mau kalau main bersama-sama akhirnya luluh juga.

Aku kemudian berdiri dan melepas baju dinasku sehingga aku telanjang bulat dan langsung menaiki tubuh pak dokter untuk memulai permainan yang kuawali dengan posisi WOT. Kulihat wanita itu juga melakukan hal yang sama pada suamiku. Ia melepas dasternya dan langsung menaiki tubuh suamiku.

Akhirnya kami berempat pun terlibat permainan penuh nafsu dan kenikmatan. Sebuah hal baru yang belum pernah kami lakukan sebelumnya. Kadang pun kami bergantian. Kadang pak dokter yang menuyetubuhiku, kadang pula suamiku. Hingga sekitar hampir empat puluh lima menit pak dokter tak kuasa lagi membendung klimaksnya dan memintahkan air maninya di dalam tubuhku untuk yang kedua kalinya. Beberapa saat kemudian suamiku pun demikian, ia juga mencapai puncak kenikmatannya bersama bu dokter dan mengakhiri permainan gila itu. Sekitar jam satu siang, kami pun pamit untuk menjemput anak-anak pulang sekolah. Dan di malam harinya, suamiku mengajakku kembali berhubungan badan.

“Ahh. Dia sudah sembuh” gumamku.

Setelah pertama kali aku, suamiku, pak dokter dan istrinya melakukan tukar pasangan dan orgy itu, akhirnya kamipun rutin melakukannya dengan perjanjian tiap dua minggu sekali, bisa dirumah mereka, bisa di tempat kami. Tapi meski demikian, kadang-kadang aku juga datang menyamar sebagai pasien untuk bisa quickie sex dengan pak dokter seperti yang kulakukan kapan hari. Memang, menurutku sih, ketika main belakang itu terasa lebih greng. Ada bumbu deg-deg anya, keburu waktu. Malah di saat-saat itu aku sering cepat orgasme.

Kami pun juga sepakat apabila misal aku mens, suamiku boleh meminta bu dokter untuk melayaninya, demikian pula sebaliknya, ketika wanita itu halangan, suaminya pun boleh berhubungan badan denganku.

Untuk hubungan gelapku dengan Faris dan Aldo, masih tetap kujaga, meskipun secara kebutuhan biologisku sudah terpenuhi dengan suamiku bahkan dengan bantuan pak dokter, rutin aku tetap membagi dengan mereka. Bagaimanapun aku yang telah mengajari Faris mengenal apa yang namanya surga dunia. Tapi untuk si Aldo, aku sudah menghentikannya ketika dia sudah menikah dengan Vira sebulan yang lalu, dia pun memahami itu.

Di rumah juga demikian, anak-anakku juga sudah paham kalau kung nya ini yang menggantikan ayahnya. Dengan berjalannya waktu mereka pun sepertinya memahami. Tapi hal ini yang juga membuatku repot untuk mencari alasan, apalagi ketika si Doni sudah minta untuk punya kamar sendiri, tidak sama-sama adiknya. Kamar atas yang biasa jadi tempat berolah raga sama Faris dan suamiku, bahkan dengan pak dokter pun sekarang sudah dikuasai anakku yang pertama.

Hari-hari pun berganti, minggu pun berlalu, bulan pun terus berjalan hingga tahun pun turut mengikuti berputarnya waktu. Kehidupanku dan keluargaku pun berjalan biasa-biasa saja. Hubungan dengan keluarga pak dokter pun juga tetap berlangsung, si Faris pun juga tetap ku ”pelihara” sesuai janjiku sampai dengan dia menemukan wanita idamannya untuk dinikahi meskipun intensitasnya juga tidak sesering sebelumnya. Hanya saja si Vira dan Aldo beberapa bulan setelah menikah, ternyata mereka harus pindah ke kota asal si Aldo untuk menemani orang tuanya dan melanjutkan usaha keluarganya juga.

Untuk posisi Vira aku sudah menemukan gantinya, namanya Elly, baru lulus juga dari perguruan tinggi lokal di kotaku. Sedangkan tenaga packing, sementara dibantu Herman yang tak lain adalah suaminya si Inah, pembantuku. Karena itu pula akhirnya si Toni, anak mereka pun ikut di rumah kami. Si Toni ini yang kemudian sering diajak main ama si Bayu, anakku yang mulai ditinggal kakaknya yang baru menginjak SMP karena sibuk dengan urusannya sendiri.

Kehidupan ekonomi keluarga kami pun masih baik-baik saja bahkan bisa dibilang lebih dari cukup dengan tambahan usaha pertanian yang dilakukan suamiku. Ya mungkin kebutuhan juga masih belum terlalu besar, sekolah anak-anak masih sepenuhnya disokong bantuan pemerintah, entah nanti kalau mereka sudah kuliah, nggak tahu lagi bagaimana. Beberapa investasi tanah, yang memang cukup menjanjikan sudah kami lakukan, paling tidak ketika anak-anakku nanti dewasa, mereka sudah punya tabungan sepetak tanah.

Kebutuhan batin pun juga demikian, mungkin di akhir-akhir ini juga tidak se intens dulu, tapi menurutku juga masih cukup. Memang mungkin faktor usia juga yang sudah lebih dari 60 tahun. Kesehatan prostat mas hadi juga tidak ada masalah. Belum terpikirkan untuk menambah partner baru lagi dalam dosa yang menyenangkan. “Bantuan” mamaku juga sudah terhenti karena sudah ada pak dokter dan istrinya.

MMF yang dulu pernah menjadi impianku, sekarang juga sudah tidak lagi setelah kejadian dengan Faris dan Aldo dulu, boleh dibilang sangat menguras energi. Pernah juga terbayang pak Zen yang ada di Malang dengan penisnya yang oversize SNI, tapi juga ya hanya terbayang saja, entah tidak ada kesempatan atau gimana. Pak Maman juga belum kesampaian. Dan memang dari aku nya yang sepertinya tidak klik dengan orang itu.

“Mas… Doni kapan hari minta sunat. Katanya malu, temen-temnnya sudah banyak yang sunat” kataku pada suamiku di suatu malam setelah makan. “Lho iya, memang sudah waktunya Nuk… dah bisa ngaceng juga hehe… paling juga tititnya dah bisa keluarin mani. Jangankan Doni yang kelas 1 SMP. Toni anaknya si Inah aja yang masih kelas 3 SD kalo liatin kamu, hehehe, ga kedip” jawab suamiku sambil tersenyum. “Hush… apaan sih mas” sahutku. “Lha iya memang kan… ayo udah, kapan. Mungkin liburan cawu ini bisa. Nanti sekalian tak carikan tanggalnya” kata suamiku. Memang di tradisi jawa khususnya di tempat kami untuk acara-acara penting yang penting seperti sunat, nikahan, tasyakuran, untuk mulai merehab atau membangun rumah dan bahkan hanya untuk pindahan rumah pun harus ada hitungan hari baiknya. “Iya mas, nanti juga tak bilang ke si Doni” jawabku. “Nggak perlu acara yang mewah-mewah Nuk. Mungkin nanti dananya bisa dibuat tabungannya si Doni aja” sambung suamiku.

Kata-kata suamiku tadi sempat membuatku menerawang, mengingat momen ketika anaknya Inah itu saat melihat atau melirikku. Bener juga sih. Padahal aku kalo di rumah, sewaktu siang, pakaianku tidak pernah terlalu vulgar. Paling banter hanya daster tanpa lengan, itu pun aku selalu memakai BH. Ah, laki-laki kayaknya begitu semua, dari yang sudah berumur sampai bocah ingusan kayak si Toni itu. Tak jarang, mas-mas melijo yang sering mampir untukku dan Inah belanja, juga kalau melihat kayak menelanjangiku. Bahkan pernah ketika aku terpaksa naik becak untuk mengantarku ke minimarket, pak becaknya sampa mencari jalan yang memutar ketika mengarkan aku pulang. Katanya jarang-jarang bu Hadi naik becak saya. Ada-ada saja.

Pun juga teman-teman sekolah si Doni ketika main-main kerumah. Apalagi si Irfan, yang memang satu sekolahan lagi dengan anakku. Sempat juga menggoda mereka, maksudnya ya hanya menyempatkan ngobrol lebih lama dengan mereka. Itupun sepertinya sudah membuat mereka gugup, tapi untuk ekshib, biarlah. Aku juga ga ingin mereka dewasa sebelum waktunya. Biarlah mereka tumbuh bersama fantasinya sendiri, seperti apa yang dikatakan suamiku.

Toh juga yang menjadi imajenasi anakku bukan aku, ibunya sendiri. Kata suamiku, kalau hal itu yang terjadi, sampai si Doni nafsu atau menyimpan birahinya padaku, itu hal yang sangat aneh dan tidak wajar mungkin bisa dianggap kelainan. Kalau dengan ibu temannya, atau kakak temannya, itu masih lumrah. Memang anak-anak cowok kadang juga suka yang lebih dewasa darinya bukan yang seusia dengan mereka. “Tetep dikontrol Nuk, HP nya di Doni” kata suamiku. Secara berkala aku pun melakukannya, secara diam-diam sih, kalau aku memintanya dari anakku, pasti dia sudah clear chat atau apa. Dan untung juga semua anakku cowok, entah bagaimana kalau punya anak cewek, harus lebih ekstra untuk proteksinya.

“Heh, kok malah ngelamun… bayangan apa hayo… titit-titit bocil ya??” kata suamiku sambil tertawa yang langsung mengagetkanku. “Ihhh… apa sih mas… nggak” jawabku. “Yang tua udah, yang seumuran udah, eh belum ya kalo seumuran. Yang muda belum, apalagi yang punya bocah” kata suamiku sambil tetawa kecil. “Apaan sih mas” sahutku. “Emang kamu ga pengen coba yang muda-muda ta Nuk?” tanya suamiku lagi.

“Emangnya boleh ya??” tanyaku dengan nada agak menggoda sambil mengikat rambutku. “Ya kalo kamu mau… tuh ama Toni atau teman-temannya Doni” jawab lelaki itu. “Itu ya kemudaan mas!” ga mau lah!” sahutku. Memang suamiku masih belum tahu hubunganku dengan Faris, atau si Aldo dulu. “Kenapa sih, kok mas malah kayak suruh aku ama bocil-bocil itu?” tanyaku. “Ya ga gitu Nuk.. dulu mas aku jaman kecil, ya bayanginnya ya itu-itu. Tapi ya cuman bayangin, hehe” jawabnya. “Terus?” tanyaku. “ya ga pernah kesampaian sih, sampe baru pertama ngerasakan ya waktu nikah. Kalo dulu itu, liat tetangga sedang netekin anaknya aja aku dah sueneng pol. Cerita ke taman-teman ga selesai-selesai” lanjutnya. “Ihh… itu sih mas yang dulunya ganjen. Masak liat orang netek’i anaknya aja udah ngaceng” jawabku.

Tapi kupikir-pikir, lucu juga sih.. eh asik juga sih, kalo sampe ekshib tipis-tipis ke mereka. Kata suamiku, bahkan liat orang nyusui aja sudah greng. Hehe. Kapan-kapan ah dicoba. Cuman ekshib aja, ga sampai ke yang lainnya. Ga boleh. Mungkin menambah bahan untuk imajenasi mereka saja.

“Anak-anak sudah tidur paling Nuk… ayo” ajak suamiku. “Kemana mas? Lupa ya, kalo tamuku dateng tadi pagi” jawabku. “Waduh, iya…” sahutnya. “Cepet sana hubungi bu dokter, minta jatah kesana” jawabku. “Huu, senengnya…” lanjutku yang membuat lelaki itu nyengir.


 

Read More

𝐃𝐞𝐦𝐢 𝐀𝐥𝐚𝐬𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐬𝐞𝐡𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐄𝐩𝐢𝐬𝐨𝐝𝐞 𝟐𝟐

 

Siang itu sekejap aku sempat terlelap dan terbangun ketika suami dan anak-anakku datang sekitar jam setengah dua. Sesaat kemudian suamiku pun pamit mau keluar ke sawah lagi, “Ini mas, nanti mampir Lab ya.. “Kataku sambil memberikan pengantar dari dokter yang aku dapatkan tadi. “Oh jadi ke dokter tadi ya?” ok nanti pulangnya tak mampir” kata suamiku kemudian berangkat. Tidak ada yang spesial yang bisa diceritakan siang itu. Kecuali hanya pikiranku sudah terbayang-bayang kegiatan hari sabtu besok lusa.

Malam harinya sekitaran jam 9 suami dan anak-anakku sudah pada tidur bersama di kamar. Dia juga tidak meminta jatah nya lagi. Mungkin masih trauma atau gimana, ketika minta, senjatanya nggak mau bersahabat. Kemudian aku mengambil HP ku dan menanyakan keadaan kantor di grup wa kantor yang hanya berisikan aku, suamiku dan 4 orang karyawanku. Tapi setelah kutimbang-timbang akhirnya aku Wapri si Vira. “Gimana kabar kantor Vir? Tadi ibu nggak sempat kesana sama sekali” tanyaku. “Baik bu. Tadi lumayan agak ramai dari biasanya. Orderan di atas jam 4 juga lumayan. Itu sekarang Mas Aldo dan Faris lembur bu” si Vira langsung merespon pertanyaanku. “Oh baguslah kalau begitu” terimakasih” balasku.

“Hah… Faris sama Aldo lembur?” gumamku dalam hati kemudian segera aku mengecek cctv kantor dan membuktikan bahwa mereka benar-benar di sana. Perlahan tapi pasti, dadaku berdesir yang membuat darahku seakan mengalir lebih cepat dan membangunkan hormon kewanitaanku seolah mengingatkanku bahwa tadi siang ada yang belum tuntas waktu dengan pak dokter.

Setelah memastikan suami dan anak-anakku tidur, aku kemudian melangkah menuju kantor tempat usahaku.. “Kok ga bilang-bilang kalo mau lembur” tanyaku kepada dua anak muda yang sedang duduk santai di ruang depan kantor. Mereka tampak sedikit terkejut melihat kedatanganku. “eee.. mana berani WA ibu dulu…” jawab Faris.

“Ooo.. Sudah selesai lemburnya” tanyaku lagi sambil mengikat rambutku dengan karet. “sudah bu” jawab Aldo. “Wah, berarti tinggal bonus lemburnya dong, yang belum” kataku dengan nada sedikit menggoda. Mereka terdiam sesaat. “Lho mau apa nggak?” tanyaku. “Mau…” “mau bu” jawab mereka hampir bersamaan yang membuatku tersenyum.

“Ayo udah… tapi gantian aja ya. Jangan bareng-bareng. Waktuku ga bisa lama-lama di sini.. Faris.. eh Aldo dulu ya.. Do, bawa kasur palembang utu ke ruang packing ya… disana aja.. Ris, kamu jaga di pintu belakang, dekat tembusan kerumah , takut ada yang datang” peruintahku yang diterjemahkan dengan sangat baik oleh kedua nya.

Aku kemudian membawa box tisu yang ada di meja dan sebuah bantal kursi lalu mengikuti si Aldo menuju ruang packing. Aku melepas CD yang kupakai ketika si Aldo menata kasur palembang berwarna merah marun di dekat tumpukan barang-barang yang sudah di bungkus yang sedianya dikirim besok. Kala itu aku memakai tanktop terusan warna krem. Kulihat Aldo melepas kolor yang dipakainya.

Kemaluannya pun tampak sudah tegang maksimal. Kuangkat sedikkit bagian bawah andrg yang kupakai sampai ke perut sebelum merebahkan tubuhku di atas kasur lipat palembang yang sudah siap menjadi saksi tempat pergumulan malam itu. “Mainin dulu punya ibu… biar basah” perintahku pada Aldo yang disikapinya dengan menjilati vaginaku. Ketika kurasa cukup, aku pun meminta dia memasukkan penisnya.

Sebenarnya aku sih berharap nanti si Faris yang bakal membuatku orgasme, tetapi ternyata sudah jebol duluan dengan si Aldo ini. Entah mungkin karena sisa-sisa birahi siang tadi atau apa, yang jelas aku mendapatkan puncak kenikmatanku hampir bersamaan dengan semprotan sperma si Aldo dalam rahimku. “Ayo sudah, panggil Faris kesini trus kamu yang gantian jaga” kataku pada Aldo. “Iya bu” katanya sambil menarik diri kemudian berdiri. Setelah memakai celananya ia pun keluar meninggalkanku yang sedang membersihkan kemaluanku dengan tisu.

Tak lama kemudian Faris pun masuk. “Ayo sudah.. cepetan” kataku. Ia langsung melepas pakaian bagian bawahnya. Terlihat penis anak itu masih tidak begitu tegang. Akhirnya aku pun duduk dan mengulumnya sebentar. Setelah benar-benar siap, aku pun lalu menungging agar dia menusukku dari belakang. “Ga usah lama-lama Ris” perintahku. “Iya bu” jawabnya. Tak sampai 5 menit, ia pun akhirnya mencapai klimaksnya.

Setelah itu aku kemudian keluar dari ruang packing. Si Aldo pun mendekat, “maaf ya, ibu ga bisa lama-lama. Waktuku tidak banyak. Yang penting bonusnya nyampai” kataku. “Iya bu, terimakasih” kata mereka hampir bersamaan ketika aku beranjak pergi. Kulihat suami dan anak-anakku masih pulas tertidur. “Aman..” gumamku dalam hati. Aku kemudian ke kamar mandi untuk bebersih kemudian tidur di kamarku.

Keesokan harinya, di hari jum’at aktivitas masih sama sebagaimana rutinitas pagi di rumahku. “Mas, nanti diambil jam berapa hasil lab nya?” tanyaku ke suamiku setelah mengantar anak-anak sekolah. “Oh iya Nuk, kemarin lupa mau mampir ke lab” jawab lelaki itu santai kemudian menuju meja makan. “Iya udah, habis ini pas waktu mau berangkat ke lahan, aku tak mampir” ujarnya yang agak menenangkanku. Semoga saja kalau pagi, sore atau malam bisa keluar hasilnya. Tidak harus menginap.

Siang harinya emosiku akhirnya tidak bisa kubendung ketika tahu kalau suamiku belum juga ke lab untuk check up. “Kamu ini kenapa sih?” tanya suamiku ketika aku bener-bener marah kala itu. “Mas ga tau ya, Ninuk susah-susah untuk ambil pengantar, sampe naik gr*b soalnya ban sepeda motor bocor, mas malah santai. Ga menghargai sama sekali” ujarku lalu meninggalkan lelaki itu sendiri. Aku kemudian ke kantor tempat usahaku. Yang pasti rencana besok sabtu pagi akan gagal total. Lelaki itu tidak akan mau untuk kontrol karena hasil lab nya tidak ada. Malam harinya pun suasana masih belum cair. Memang sifatku kalau marah lebih sering diam dan acuh ke semuanya. Terkecuali ke anak-anakku sih.

Pun demikan di sabtu pagi. Aku tidak menyahut ketika di tanya suamiku kenapa kok belum mandi setelah dia mengantar anak-anak sekolah. Aku kemudian memilih membersihkan halaman depan. Setelahnya aku pun mandi. Aku lihat suamiku sedang mengobrol dengan seseorang di teras ketika aku keluar dari kamar mandi. Lalu suamiku pun masuk rumah. “Nuk, itu Maman datang. Kamu siap-siap ya” kata suamiku. “hah, pak Maman? Terus?” tanyaku. “Iya yang kapan hari kita pernah omong-omong itu” jawab lelaki itu. “Ini barusan datang, aku hub dia untuk pijat kamu” lanjut suamiku. Memang dulu pernah ada rencana dengan pak Maman itu, tapi ingetku dulu, harus dengan istrinya juga.

“Nggak mas.. Ninuk ga mau..” kataku kemudian masuk kamar. ”Lho kamu gimana sih?” tanya suamiku menyusulku masuk ke kamar. “Nggak mas… Ninuk ga mau” jawabku lagi kemudian memakai baju dan bersiap keluar. “Kamu mau kemana Nuk?” tanya suamiku yang tidak kuhiraukan. Aku langsung menghidupkan sepeda motorku dan keluar rumah.

 Keesokan harinya, di hari minggu untungnya kami sekeluarga jalan-jalan seperti biasa, tidak jauh hanya di sekitaran kota yang memang beberapa obyek masih belum sempat kita kunjungi. Hal itu lumayan mengalihkan pening di kepalaku yang muncul karena memang terakhir kali aku berhubungan intim di Kamis malam, sama Faris dan Aldo.

Senin pagi yang dinanti pun tiba. Suamiku masih mengantar anak-anak sekolah ketika aku sudah menyelesaikan dandananku selesai mandi. “Sik jam berapa Nuk? Kamu kok wis siap?” tanya suamiku ketika datang dan melihatku sudah siap akan keluar. “hehe, iya sih mas… masih jam setengah 8” jawabku. “hehe, kamu ngebet yoooo…” goda suamiku yang melihatku seperti tak sabar segera ingin ke rumah pak dokter.

“Kamu dah sarapan? Aku mau sarapan dulu” kata suamiku kemudian berlalu ke ruang makan. “Sudah mas, tadi bareng anak-anak” jawabku. Tiba-tiba HP ku berdering. Dokter Mel*ani menelponku dan menanyakan apa bisa rencana hari ini ditunda besok karena dia ada acara dadakan ke Surabaya. “Oh, iya bu. Besok ga papa, hari selasa. Jamnya sama?” tanyaku dengan tetap berusaha menutupi rasa kecewaku dengan nada bicara yang seolah biasa saja. “Iya bu, maaf, ga bisa telp lama-lama ini saya sudah di jalan otw bu” jawab wanita itu.

“Siapa yang telp Nuk?” tanya suamiku ketika sudah selesai dengan sarapannya. “Bu dokter mas, bilang kalo ditunda besok” jawabku dengan nada datar. “Hahaha… tiwas aja sudah dandan rapi, eh ditunda” kata suamiku meledek. “Ihhh… mas” gerutuku kesal. “Ya udah, kalo gitu aku ke lahan lagi aja. Kamu ikut nggak?” tanyanya lagi. “Nggak udah mas… Ninuk dirumah aja” jawabku.

Aku pun lalu ganti dengan pakaian kebesaranku di rumah dan menghempaskan tubuhku di sofa ruang tengah sesaat setelah suamiku berangkat ke lahan sawahnya. Acara TV pun tak ada yang menarik perhatianku. Sesuatu yang ditunggu juga harus tertunda sehari lagi. “Eh, kalo umpama sekarang aku ke tempat praktek pak dokter, bisa lah dapet Quickie Sex dengannya” ide gilaku kembali muncul.

Sebenarnya aku sih bisa telp Faris atau Aldo untuk datang lebih awal ke kantor dan melakukannya dengan mereka, tapi ga tau yang ada di benakku kala itu ya si pak dokter. “Ada yang lama, 20 menit an, ada juga yang cepet, ga sampe 10 menit sudah selesai” pikirku mencoba mengingat rata-rata waktu pemeriksaan pasien yang dilakukan oleh dokter itu. “Ah, 10 menit pun cukuplah” gumamku kemudian bergegas mengganti pakaianku dan segera menuju mobilku untuk keluar rumah.

“Ibu mau keluar? Kemana bu?” tanya si Inah agak mengagetkanku ketika baru akan membuka pintu mobil. “Oh iya Nah, mau ke supermarket. Kamu mau ikut?” tanyaku. Eh kenapa juga aku nawarin Inah ikut. Kalau dia sampai ikut, bakal rusak nih rencana. “Oh, nggak bu. Cuma kalau bisa, nitip belikan pembersih kaca, di toko pojok sana nggak ada soalnya” kata si Inah. “Ok, berangkat dulu ya Nah… tolong pintu tutupkan” kataku kemudian segera berangkat.

Tidak sampai 20 menit aku sudah sampai di tempat praktek dokter itu yang bersebelahan dengan rumahnya. Kulihat ada 3 orang yang mengantri ketika aku datang dan beberapa orang lagi mendaftar setelah aku sudah duduk di kursi antrian. Waktu menunggu itu pun semakin membuatku deg-deg an. Jujur aja ga tau kenapa, hal itu juga sudah membuat punyaku basah kuyub. Gimana nanti caranya, ia mau apa nggak, apa bakal ga ketahuan orang, semua berkecamuk dalam pikiranku.

“Bu Hadi…” panggil suara wanita resepsionis yang seingatku dulu bernama Indah mengagetkanku dari lamunan. “Eh, iya bu, saya” jawabku kemudian berdiri dan masuk ke ruangan setelah menerima selembar kertas dari wanita itu tepat pukul sembilan lewat lima menit. “Pagi Dok” sapaku seperti biasa ketika aku masuk ke ruangan itu lalu kututup pintunya dan menggerendelnya agar melancarkan rencanaku. “Pagi… eh bu Hadi… loh tadi ga dihubungi istri saya kah?” tanya dokter itu yang tampak terkejut dengan kedatanganku.

“Iya dok… ini saya cuma mau periksa…” kataku langsung memikirkan gimana caranya tanpa basa basi. Waktu kita tidak banyak. “Loh, periksa apa? Bu Hadi sakit kah” tanya dokter itu sepertinya masih belum paham dengan maksud kedatanganku.

Aku langsung membuka baju terusan yang kupakai sehingga menyisakan tanktop kamisol dan CD berwarna hitam di tubuhku. Hijab yang kupakai pun ikut hengkang dari kepalaku. Lelaki itu tampak agak terkejut dengan ulahku tapi dia sepertinya masih bisa membawa keadaan. Laki-laki itu kemudian berdiri. Aku lalu melorotkan bagian atas tanktopku sehingga payudaraku tersembuk keduanya. Aku memang tidak memakai bra kala itu karena tanktopku sudah ada busanya yang bisa menyembunyikan puncak gunung kembarku. “Ini lho dok… dada ini kok kayaknya deg-deg an terus” kataku sambil melihat lelaki itu yang mendekatiku ia tampak meletakkan stateskopnya di meja.

“Sebentar bu, saya periksa dulu…” gumamnya kemudian langsung menjilati payudaraku sebelah kiri. Tangan kirinya meremas buah dadaku yang kanan. “Sttttsss…” gumamku menikmatinya. Tak sampai semenit, “Oh yang ini ga papa bu.. coba yang ini” katanya lalu ganti menghisap susuku yang kanan. “Yang bawah nggak dicek juga dok??” tanyaku. Waktu kita tidak banyak, jangan dihabiskan dengan foreplay saja. Kemudian lelaki itu menjilat leherku dan sampai ke telingaku. “kalau yang bawah, ngeceknya di rumah sebelah ya” katanya dengan suara serak lalu beranjak melangkah masuk ke rumahnya yang sudah tak asing bagiku karena memang aku pernah kesana sebelumnya.

Kupikir ia akan mengajakku ke kamar seperti di hari kamis yang lalu, ternyata langkahnya menuju ke sofa besar yang ada di dekat jalan tembusan dari ruang prakteknya. Tanpa pikir panjang aku langsung melepas CD hitan motif renda yang tersisa di tubuhku dan kemudian merebahkan tubuhku si sofa itu. Kupikir lelaki itu akan langsung menusukku tetapi ternyata dia jongkok dan mengarahkan kepalanya ke selangkanganku, rupanya dia benar-benar ngecek vaginaku dengan mulut dan lidahnya. Aku semakin mendesah menikmati permainan lidahnya di klirotisku yang tidak aku dapatkan darinya ketika pertama kali berrhubungan badan dengannya minggu lalu. Sampai-sampai aku pun mencapai orgasmeku hanya dengan permainan mulutnya.

Laki-laki itu kemudian berdiri dan melepas celana panjangnya. Aku pun bangkit dan langsung mengulum penis lelaki itu yang sudah tegang maksimal begitu celana dan dalemannya melorot. Aku ingin juga memberikan kenikmatan permainan oralku kepada lelaki itu. Mulut nya meracau dan nafasnya mendesah menikmati aksiku.

Aku kemudian menempatkan tubuhku menungging agar dia menggoyangku dari belakang. Doggy style, gaya favoritku ketika berhubungan seks dan juga gaya yang biasanya pasangan-pasanganku tidak bisa bertahan lama. Waktu kita tidak banyak!

Mulut kami sama-sama meracau tidak jelas seiring alat kemaluan kami beradu saling memberikan kenikmatan satu sama lain. Akhirnya di posisi ini aku dan lelaki itu mencapai puncak kenikmatan masing-masing di waktu yang hampir bersamaan. Laki-laki itu memberiku beberapa lembar tisu. “Ke kamar mandi ya?” tanyanya yang segera kujawab dengan anggukan. Kami berdua pun kemudian ke kamar mandi untuk bebersih dan kemudian kembali ke ruang praktek dimana pakaianku tadi kutinggalkan. Lime menit kemudian aku pun selesai memakai bajuku.

“Besok tetep jadi dok?” tanyaku. “ Ya iyalah bu, harus jadi… tapi jangan bilang-bilang tentang yang barusan ya” jawab lelaki itu. “Aman dok…” sahutku kemudian pamit. “Eh bentar bu… besok-besok, kalau pas gini jangan panggil dok ya” katanya. Aku hanya terseyum membalasnya kemudian keluar meninggalkan ruangan itu untuk segera pulang. Kulirik jam, ternyata menunjukkan pukul 9 lebih 30 menit, jadi hanya 25 menit tadi aku diperiksa pak dokter.



Read More

Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Categories

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

BTemplates.com

POP ADS

Blogroll

About

Copyright © Cerita Panas | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com