๐‚๐ž๐ซ๐ข๐ญ๐š ๐“๐ž๐ง๐ญ๐š๐ง๐  ๐ˆ๐ฌ๐ญ๐ซ๐ข๐ค๐ฎ ๐๐€๐‘๐“ ๐Ÿ‘๐Ÿ [ ๐“๐ˆ๐๐”๐€๐ ๐˜๐€๐๐† ๐ˆ๐๐ƒ๐€๐‡ ]


BACK TO POV ARIEF

Beberapa kali di hari Rabu ini Nando menelepon untuk membicarakan ‘acara’ nanti malam, untuk masalah uang 20 juta, Nando mau menerima dalam bentuk perhiasan karena dia paham aku tak bisa kemana-mana, mungkin lagipula dia takut aku akan melarikan diri.. jadi aku hanya tinggal membayar melalui transfer sebesar 8 juta rupiah setelah ‘permainan’ ini selesai. Dia juga menawarkan orang-orangnya untuk mengantar kami ke Apartemen nanti. Lagi-lagi sepertinya ia takut kalau kami kabur, jelas saja aku tolak. Aku tidak ingin istriku melihat orang-orang berbadan besar itu.

Di hari ini, dari pagi hingga sore, aku merasa lega karena istriku sudah lumayan ada perubahan, walau belum benar-benar pulih 100 persen, sudah tidak ada lagi kecemasan dan ketakutan di dirinya. Namun aku masih sering mendapati dia melamun dan menjadi begitu pendiam, ketika berbincang pun dia hanya menjawab pertanyaanku saja seperlunya, tidak berinisiatif membuka obrolan. Padahal di hari-hari sebelumnya, dia tidak seperti ini, bahkan pada saat trauma-nya begitu hebat di hari Minggu, sikap pendiamnya tidak seperti sekarang.

Apakah dia marah? Memang pantas juga sih dia marah, mungkin hari ini adalah puncak kekesalannya padaku. Yang pasti aku tahu, di hari ini dia beberapa kali menghubungi Vina, tapi telepon Vina selalu tidak aktif. Sepertinya istriku memang benar-benar ingin menghindari ‘kegiatan’ hari ini, atau minimal mengurangi jumlah ‘bermainnya’. Kalau sudah begini, yang timbul di diriku adalah perasaan bersalah yang semakin besar pada istriku. Tapi di sisi lain, dengan tidak bisa dihubunginya Vina justru bagiku adalah berita baik. Aku memang tidak ingin orang lain terutama Koh Freddy dilibatkan dalam masalah ini.

Perasaan bersalahku semakin menjadi-jadi ketika usai istriku mandi menjelang kepergian kita ke Apartemen, kudengar dari balik pintu dia menangis lagi di dalam kamar, walaupun bukan tangisan yang hebat, tapi justru tangisan kecil ini sepertinya lahir dari ungkapan luka hati yang paling dalam. Aku hanya bisa menghela nafas panjang.

Istriku sepertinya ogah-ogahan untuk pergi, bahkan ia tidak berdandan sama sekali, rambut disisir seperlunya, bahkan sapuan bedak, parfum dan menggunakan lipstik saja sepertinya tidak. Dia hanya mengenakan t-shirt putih yang kemudian dilapisi lagi oleh sweater berwarna putih juga, celana jeans, dan tentunya tas, sudah begitu saja. Seperti penampilan yang pernah aku lihat ketika dia sedang buru-buru ketika pergi ke minimarket di depan kompleks, ya seperti itu... cuek.

Jam sudah menunjukan pukul 6.30, aku memutuskan untuk berangkat ke apartemen dan memberitahukan Nando bawah kami akan pergi sekarang, aku segera memesan taxi online, Nando meminta nomor kendaraan taxi online itu agar keberadaan perjalanan kami mudah ia lacak melalui orang-orang suruhannya.

Sambil menunggu Taxi datang, aku memeluk istriku lama sekali, kurasakan kepedihan yang teramat sangat dan tak bisa kuungkapkan dengan kata-kata bagaimana hancurnya perasaanku saat ini. Sementara itu kurasakan pelukan istriku pada tubuhku juga sangat erat sekali. Sangat jelas sekali kalau sebenarnya kami sama-sama merasakan kepedihan, meskipun tak diucapkan kata-kata.

Dan mungkin untuk yang terakhir kali aku mengatakan hal ini pada istriku, “Mah, apa yang terjadi di malam ini, buatlah diri Mamah nyaman, walaupun pasti berat.. tapi Papah ga mau ini jadi beban pikiran Mamah. Papah mohon dengan sangat, jangan pedulikan Papah…. Anggap Papah ga ada…. Papah janji ga akan marah, apapun yang Mamah lakukan, Papah terima….“.

Istriku menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menatap ke arahku, “Mamah ga bisa…“. Tidak ada senyuman di wajahnya, raut mukanya tampak tegang, aku tahu hatinya pasti remuk walau tak ada tangisan yang kulihat keluar dari matanya yang tak bercahaya, mungkin air matanya sudah mengering. Justru aku yang kini menangis lagi di depannya. Ah, aku jadi mudah menangis akhir-akhir ini.

Taxi datang, kami pun berangkat menuju Apartement N, tapi ketika mobil ini baru sampai gerbang kompleks, aku lihat ada 2 mobil langsung mengikuti taxi yang kami tumpangi. Aku pura-pura tak melihat dan mencoba mengalihkan perhatian istriku pada keadaan di luar sana, untunglah… sepertinya Lidya tidak menyadari kalau kami diikuti.

Kami sudah berada di Apartemen tepat pukul 7 malam. Kami duluan masuk ke kamar setelah mengambil kunci yang sudah dititipkan Nando pada petugas resepsionis. Nando memang mengatakan akan datang sedikit telat, jadi mengizinkan kami untuk masuk duluan.

Begitu aku masuk, aku lihat ruangan 505 ini cukup luas dan lantainya full menggunakan kayu atau parket yang membuat kesan ruangan menjadi hangat, dari pintu masuk di sebelah kiri ada sofa putih yang muat untuk 3 orang dan single seat yang dipisahkan oleh meja kecil. Aku tidak melihat ada dapur di ruangan ini, hanya ada kamar mandi dan balkon, lebih mirip ke kamar hotel. Entahlah ini kamar tipe apa, aku tak tahu. 

Hampir sepanjang jalan menuju Apartemen tadi, hingga kini berada di ruangan, hampir tidak ada pembicaraan diantara kami. Sepertinya kami mengalami hal yang sama, ada rasa gugup, cemas, marah, kesal yang bercampur baur di hati kita masing-masing. Ketika aku sempat berkeliling melihat-lihat ruangan ini, Lidya hanya duduk di sofa panjang, tatapannya kosong, kakinya digerak-gerakan yang menunjukan dia gelisah.. dan gerakannya itu seperti untuk melawan rasa gelisahnya itu. Aku pun kemudian duduk dan meminta Lidya untuk bergeser duduknya ke tengah sofa. Dalam posisi berdampingan bahkan sedikit bersentuhan seperti ini pun kami tidak saling bicara, entah apa yang harus kubicarakan.

Sampai 15 menit kemudian ketukan di pintu terdengar, aku langsung membukanya dengan perasaan tak karuan. Nando datang dengan membawa kantung plastik belanjaan sepertinya dari mini market dan sebuah goody bag.

Tidak seperti pertemuan sebelumnya, kali ini aku berusaha untuk tidak emosi sama sekali, walaupun hati ini sangat ingin marah ketika melihat wajahnya, sementara Nando ketika datang langsung tersenyum mengajak bersalaman dan memelukku erat. Aku langsung lepaskan pelukannya yang entah apa maksudnya dia memelukku begitu. Permintaan maaf kah? Dia pun sangat ramah dan kembali memanggilku dengan sebutan ‘Kang’. “Maaf Kang, sudah lama nunggu ya?”, ucapnya sambil meletakkan barang bawaannya di meja kayu depan sofa.

Aku hanya menganggukan kepala, sulit rasanya untuk memasang tampang ramah kepadanya walaupun aku sudah mencoba untuk menenangkan diri. Aku duduk di tempat semula, aku lihat Nando mengulurkan tangan pada istriku, tampak sekali istriku agak ragu untuk membalasnya… walaupun akhirnya dia mengulurkan tangannya juga dan ditariknya kembali dengan cepat. Ketika melakukannya, mata istriku pun tak menatap Nando sama sekali, tak ada senyum tersungging di bibirnya. Nando melihat istriku dengan raut wajah yang heran, aku duga bukan kecewa karena sikap Lidya yang dingin, tapi mungkin dia kecewa karena melihat penampilan Lidya yang apa adanya, walaupun menurutku masih tetap terlihat cantik.

Kini Nando duduk di sebelah Lidya. Terasa sekali kalau Lidya duduk dengan sangat tegang, tasnya tak ia lepaskan dan berada di pangkuannya, dia seperti memeluk erat tasnya itu untuk mengusir ketidaknyamanan yang ia rasakan. Posisi duduk istriku terjepit diantara aku dan Nando. Darahku berdesir, baru saja melihat istriku bersalaman dan duduk berdampingan sudah membuatku panas, gerah walaupun AC di ruangan ini cukup dingin. Aaaaargggh!!!

Tak lama kemudian Lidya bangkit dari duduknya tanpa bicara apapun dan memilih untuk duduk di kursi single seat. Sepertinya dia tak ingin duduk berdampingan dengan mantan kekasihnya sekaligus temanku itu.

“Kang, sepertinya ada sedikit kesepakatan yang pengen aku ubah dulu deh..”, ucap Nando santai.

Ingin rasanya aku marah mendengar dia ingin merubah seenak jidatnya tentang kesepakatan yang sudah disepakati, tapi aku menjaga mental istriku, aku tahan marahku.

“Maksudnya gimana ngerubah kesepakatan? Kan kemaren semuanya udah sepakat..”, jawabku mencoba tetap tenang.

“Cuma 1 kok, dari 6x ejakulasi… jadi 5x keluar aja, yang sekali diganti sama striptease….”, tutur Nando tentang keinginan barunya itu.

Aku diam dan berpikir, daripada dia memasukkan penisnya ke dalam vagina istriku, menurutku striptease lebih baik. Tanpa penetrasi sama sekali. Belum juga aku memutuskan, terdengar Lidya memanggilku pelan, aku pun mendatanginya.

Aku merundukan badan karena Lidya yang sedang duduk seperti ingin membisikan sesuatu ke telingaku.

“Pah, aku malu… aku ga bisa kayak gitu…”, bisik Lidya di telingaku.

“Tapi lumayan Mah, ngurangin jatah… ga boleh ada penetrasi juga kalo striptease”, balasku, berbisik bergantian.

“Papah tau sendiri kan aku orangnya ga bisa joget-joget gitu.. apalagi striptease… iiihh…”, bisik Lidya lagi sepertinya dia jijik membayangkan hal itu. Aku tahu betul istriku ini memang sama sekali tidak bisa menari atau berjoget, bergoyang-goyang seperti perempuan-perempuan di aplikasi Tikotok, seumur hidupku aku sama sekali tidak pernah melihatnya begitu.

“Biarin kaku juga, salah sendiri dia mintanya gitu…… gimana? Mau?... tapi semuanya terserah Mamah…”, ucapku walau memberikan alasan tapi aku tidak mau memaksakan kehendak.

Lidya mengangguk walau sangat terlihat itu adalah anggukan yang sangat berat.

“Papah obrolin dulu aturannya ya…”, bisikku lagi dan kemudian aku kembali lagi ke tempat duduk yang sebelumnya.

Nando melihatku dengan tatapan yang sangat berharap agar kami mengabulkan permintaanya itu.

“Ok Do boleh, tapi disamain ya waktunya sama kebiasaan cepetnya lo keluar, 5 menit kan biasanya? Jadi striptease juga cuma 5 menit, terus sama sekali ga ada penetrasi selama striptease….. kalo ada, berarti udah langsung diitung 2 kali”, ucapku kali ini setengah menyindir kemampuan seksnya. Aku tahu tentang sebentarnya Nando mencapai ejakulasi itu dari cerita istriku saat di mobil usai peristiwa Wisma Pelatihan.

“Waduh ngga 5 menit deh kayaknya… 15 menit juga bisa… iya tanpa penetrasi lah, 15 menit aja ya, deal?”, tukas Nando terlihat malu tapi dia mencoba untuk membela kemampuannya di ranjang.

Aku sudah malas untuk berdebat lagi, akhirnya aku menyetujuinya karena sebenarnya tadi di otakku berpikir bahwa Nando akan meminta jatah setengah jam, lumayan lah sudah jauh di bawah perkiraanku.

“Oh iya, ini Lid… pake ini ya striptease nya, ntar di tengah mau dilepas juga ga apa-apa, terserah kamu aja…”, kali ini Nando langsung berkata pada Lidya sambil memajukan badannya karena posisi duduk Lidya terhalang olehku.

Nando membuka sebuah box dari goody bag nya, yang ternyata berisi sebuah lingerie berwarna pale pink. Astagaaaa…. Baru membayangkannya saja aku sudah panas dingin, meskipun aku tidak tahu bagaimana bentuknya lingerie itu, karena masih dalam keadaan terlipat.

Aku lihat Lidya melihat sekilas lingerie yang ada di tangan Nando itu, lalu melemparkan lagi pandangannya ke arah lain. Untuk memecah kekakuan, maksudnya agar acara pembayaran utang ini cepat selesai, aku segera mengambilkan lingerie itu dari Nando dan diserahkan pada Lidya, menurutku ada bagusnya juga pake lingerie, istriku ga harus telanjang.

Lidya pun bangkit ke toilet tanpa pamit atau berucap apapun, sepertinya dia akan bersiap dengan memakai lingerie itu. Hatiku mulai berdebar-debar. Belum apa-apa penisku mengeras!!!

Karena posisi duduk Nando ada di sofa panjang dan sepertinya tidak beranjak, maka aku menduga bahwa pertunjukan striptease akan berlangsung di depan sofa itu. Maka aku pindah tempat dudukku sedikit menjauh yaitu ke single seat yang tadi bekas diduduki oleh Lidya.

Sepuluh menit lebih sudah, Lidya masih belum keluar juga dari toilet. Aku mulai khawatir apabila terjadi apa-apa dengan Lidya atau mungkin dia menangis lagi, kuhampiri toilet dan kuketuk pintunya perlahan..

“Mah, ada masalah?”, tanyaku dari balik pintu toilet.

“eu.. ng… ngga Pah.. ini susah pakenya, talinya…”, jawab Lidya pelan, dia sepertinya sedang kesulitan memakaikan lingerie pemberian Nando. Memang lingerie kayak gimana sih? Tapi aku bersyukur karena ternyata kondisi istriku tidak seperti yang aku khawatirkan.

Aku pun duduk lagi di kursiku, Nando tetap bersikap santai, kali ini ia duduk dengan menopangkan kedua kakinya ke atas meja di depannya sambil menikmati cemilan yang ia bawa. Dia juga menawarkannya beberapa makanan dan minuman itu kepadaku, tapi aku tolak.

Sepuluh menit kemudian, kudengar suara pintu toilet terbuka. Detak jantungku semakin tak beraturan. Beberapa saat kemudian… “Lidya?!? Ada apa dengan kamu, Lid?!?!?”, gumamku dalam hati, saking terkejutnya hampir tubuhku melonjak bangkit berdiri setelah melihat apa yang aku lihat sekarang ini.

Lidya berdiri mematung menatapku di depan lorong menuju toilet, dari posisinya itu hanya aku yang bisa melihat sosoknya, sementara dari posisi Nando tak bisa melihat ke arahnya karena terhalang oleh dinding toilet.

Lidya yang kini kulihat sudah jauh berbeda dengan Lidya yang datang dari rumah dengan dandanan apa adanya. Rambutnya kini tertata dan agak mengembang, riasan wajahnya aku ingat hampir sama dengan riasan yang Lidya lakukan saat hendak mengantar Koh Freddy bermain Squash… riasan wajah yang membuat kecantikannya menjadi begitu sempurna!!! Rupanya tas yang selalu dia bawa sejak tadi itu berisi peralatan make-up-nya. Sepertinya dia sudah merencanakan semua ini!

Seniat itukah kamu melakukan ini semua, Lid? Se-spesial itukah orang yang akan menjamahmu nanti? Inikah caramu menikmati malam ini seperti permintaanku? Atau kamu sengaja kamu lakukan ini untuk melampiaskan kekesalanmu kepadaku? Aku merasa dibohongi oleh Lidya…. merasa tertipu! Sebuah tipuan yang menyesakkan sekaligus indah dipandang mata.

Dari gerakan mulutnya yang tanpa suara kepadaku, sepertinya dia sedang kebingungan dan bertanya mengenai tempatnya untuk melakukan striptease. Kemudian aku menunjuk ke satu titik tepat di depan Nando yang hanya terhalang oleh meja. Ah… mengapa jadi aku yang mengatur tempatnya sih? Seolah-olah aku sudah benar-benar merelakan istriku ini untuk dinikmati oleh temanku itu.

Lidya pun berjalan perlahan dengan sangat elegan namun tidak terkesan murahan. Semakin mendekat aku semakin jelas melihatnya, dengan lingerie pendek berwarna pale pink yang sangat pas di tubuhnya itu dia sudah tidak mengenakkan bra!! Kedua putingnya terlihat di balik kain lingerie yang memang tipis menerawang. Aku tahu Lidya memiliki beberapa koleksi lingerie di lemarinya, tapi dia tidak punya yang seperti ini.

Dari depan, tampak bentuk lingerie berpotongan rendah ini ibarat sebuah bra longgar yang tidak mampu memuat dua payudara Lidya yang putih dan sangat indah itu, namun ‘bra’ ini menyambung ke bawah sebatas paha seperti lingerie pada umumnya.

Ketika Lidya berbelok menuju tempat pertunjukannya, aku mencium dengan sangat jelas aroma wangi parfumnya yang sangat membakar gairahku, parfum yang sama ketika ia hendak menemani Koh Freddy bermain Squash. Parfum ini biasanya hanya ia semprotakan saat akan pergi menghadiri acara-acara khusus, tapi dia memakainya juga di malam ini. Sepenting itukah acara ini bagimu, Lid?!

Dari arah belakang aku lihat lingerie ini hampir sama sekali tidak memiliki kain penutup di bagian punggung bahkan hingga ke bagian sisi tubuhnya. Jika saja dia mengangkat tangannya, maka dari pinggir sudah pasti terlihat bagian sisi gundukan payudaranya. Di punggungnya hanya ada tali tipis dari sisi kain bagian payudaranya lalu menyilang dan mengait di pundaknya. Sementara di bagian bokongnya tertutup kain seperti lingerie pada umumnya, namun karena bahannya yang tipis aku bisa melihat celana dalam G-string berwarna hitam yang Lidya pakai di malam ini, tentunya memperlihatkan jelas kedua bongkahan indah bokongnya itu.

Aku hampir tidak bisa bernafas melihat pemandangan ini, dadaku sesak terlebih saat ku melirik ke arah Nando yang kini menurunkan kedua kakinya dan posisi duduknya menjadi sedikit maju ke depan tak lagi menyender santai di senderan sofa, dengan mata tak berkedip. Jangankan Nando, aku saja yang hampir 3 tahun terakhir sudah beratus kali melihat Lidya telanjang, baru kali ini merasakan gairah yang sangat hebat melihat penampilannya yang semi nude ini.

Kini Lidya beradu tatap dengan Nando, tapi tatapannya bukan tatapan tajam atau menggoda, seperti tatapan yang kosong dan kebingungan. Di balik ke-eleganan penampilannya saat ini, kini Lidya seperti anak kelas 1 SD yang berdiri mematung di depan kelas ketika disuruh menyanyikan lagu wajib yang tidak dia hafal, tegang dan kaku!

Nando tiba-tiba melihat ke arahku, aku kaget setengah mati karena aku sedang serius menikmati pemandangan dari tubuh istriku sendiri.

“Kang, dimulai saja… Stopwatch-nya di aktifin, 15 menit ya…”, ujar Nando memberi komando untuk segera dimulainya kegiatan di malam ini. Aku benci dengan keadaan ini, aku menekan tombol ‘Start’ di Stopwatch ponselku dengan jari gemetar, seolah-olah aku lah yang mempersilahkan tubuh istriku untuk mulai dinikmati oleh temanku ini.​


Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Categories

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.
You will be redirected to the script in

seconds

BTemplates.com

Blogroll

About

Copyright © Cerita Panas | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com