๐‚๐ž๐ซ๐ข๐ญ๐š ๐“๐ž๐ง๐ญ๐š๐ง๐  ๐ˆ๐ฌ๐ญ๐ซ๐ข๐ค๐ฎ ๐๐š๐ซ๐ญ ๐Ÿ๐Ÿ [๐๐„๐‘๐“๐„๐Œ๐”๐€๐ ๐‘๐€๐‡๐€๐’๐ˆ๐€]

 


Setelah diberi nomor telepon Vina, aku langsung menghubunginya. Biar lebih jelas langsung saja aku telepon, bukan melalui chat.


“Halo Vin, ini Kang Arief….”, aku membuka percakapan,

“Iya Kang, ada apa nih tumben-tumbenan?”, jawab Vina di seberang sana.

“Ini kamu lagi dimana?”, tanyaku memastikan posisinya.

“Masih di kantor lah Kang jam segini”, ujar Vina. Aku melihat jam di dashboard mobil menunjukan pukul 2 siang. Hmmmm Vina di kantor. Semakin meyakinkanku kalau seminar perusahaan itu hanya akal-akalan Lidya saja.

“Eh sekarang kamu lagi sama Lidya ga? kalo iya…. kamu menjauh dulu”, aku coba memancing untuk memastikan keberadaan Lidya dan menjaga agar upayaku ini tetap bersifat rahasia.

“Ciyeeee… ada yang mau maen rahasia-rahasiaan nih…… ga ada sih, tenang aja”, ujar Vina masih santai dengan karakter cerianya.

Lidya ga ada? Kemana sih dia? Ah sudahlah, jangan berasumsi dulu. Sekarang aku akan fokus dulu untuk membuat janji bertemu dengan Vina, agar semua keresahanku nanti ditanyakan saat bertemu.

“Hari ini kamu ada waktu ga, Akang pengen ketemu……”, tanyaku dengan kalimat yang belum tuntas tapi terlanjur dipotong oleh Vina.

“Widiiiih ngeri baget nih suami orang, to the point aja pengen ketemu hahahaha”, potong Vina menjawab masih dengan nada yang riang dan penuh canda.

“Tong heureuy Vin, maksudnya ada yang pengen dibicarain…..”, aku menimpalinya dengan serius. ‘Tong Heureuy’ artinya ‘Jangan Bercanda’ dalam bahasa Sunda.

“Oke…oke Kang, jam 8 ya, di Cafรฉ ReXXXal”, jawab Vina langsung menentukan tempat. Akupun mengiyakan dan mengakhiri pembicaraan telepon.

Setelah telepon ditutup, ada rasa lega dihatiku… ternyata tak sesulit yang dibayangkan, ternyata Vina mudah untuk diajak bekerjasama. Lalu aku buka dompetku untuk memastikan apakah uangku cukup untuk nongkrong di Cafรฉ, ya setidaknya disana kita harus makan dan minum. Cukup lah, aku pake dulu uang Toko… anggap aja ini urgent.



***

Jam delapan kurang sepuluh aku sudah duduk di salah satu sudut Cafรฉ. Akupun sudah mengabari Lidya melalui chat bahwa hari ini pulang agak larut malam dengan alasan ada urusan Toko yang harus dibereskan. Setelah itu ponsel dimatikan, agar aku fokus pada proses penyelidikan di pertemuan rahasia ini.

Jam 8 lewat Vina belum juga tampak batang hidungnya. Akhirnya karena malu pada pelayan cafรฉ yang sudah bolak balik menawariku untuk memesan, akupun order minuman duluan, Hot Lemon Tea…. Ya, cuma minum!!! Segelas minuman yang paling murah di cafรฉ ini.

Hampir setengah sembilan, kulihat sosok perempuan berkulit sawo matang dengan postur tubuh yang langsing dan cukup tinggi untuk ukuran perempuan Indonesia, mungkin sekitar 167 cm. Hanya sedikit saja dibawah tinggiku yang 170 cm, jauh lebih tinggi dari Lidya yang hanya 158 cm.

Perempuan itu ber-tshirt putih polos longgar hanya potongan lengannya lebih tinggi dibandingkan dengan kaos biasa, bercelana legging hitam sebatas betis dan sepatu kets, membuat penampilannya tampak sporty. Sambil menyelempangkan tas ranselnya yang berukuran sedang, perempuan itu tampak bertanya pada pelayan cafรฉ yang kemudian pelayan itu menunjuk mejaku.

Perempuan berparas manis itu kemudian mendatangi mejaku sambil tersenyum. Ada kesan sensual pada dirinya, aku yakin kalau kesensualannya itu datang dari bibirnya yang agak sexy. Perempuan yang sedang kubicarakan ini bernama Vina.

“Maaf ya Kang terlambat, Pilates dulu… apa kabarnya Kang”, ujar Vina masih dalam posisi berdiri sambil mengulurkan tangannya untuk bersalaman. Aku masih dengan posisi duduk, Vina berdiri di depanku dengan jarak sekitar setengah meter, sekilas terlihat payudara di balik kaos putihnya menyembul, tak lebih besar daripada kepunyaan Lidya.

“Baik Vin… ga apa-apa koq… tenang aja”, jawabku sambil menyalaminya. Aku lihat Vina masih tampak sedikit berkeringat, namun dengan keringatnya itu justru membuat perempuan yang ada di depanku ini terlihat semakin eksotis.

Usai bersalaman Vina berbalik arah menuju kursi tepat di depanku. Saat berbalik itulah aku baru sadar kalau Vina ternyata memiliki bentuk bokong yang wow. Bentuknya padat dan agak naik, ya seperti pantat itik lah kira-kira. Sumpah, aku tak bermaksud jelalatan memandangi setiap lekuk tubuhnya, tapi khusus untuk pantatnya ini…. tanpa diperhatikan pun memang sudah pasti terlihat!

Aku disini hanya berkata jujur untuk penilaian tentang fisik Vina, bukan berarti aku tertarik. Tidak sekalipun terlintas di benakku untuk menyukai atau berpikiran mesum tentangnya. Bagaimana bisa seorang suami yang sudah memiliki istri yang menurutku sempurna masih tertarik pada wanita lain? Hampir dikatakan mustahil bagiku.

“Pilates bareng Lidya barusan?”, tanyaku memulai obrolan dengan basa-basi.

“Ngga Kang. Lidya ga pernah mau diajak Pilates…. tau ga Kang kenapa?” ujar Vina dengan pertanyaan yang membuatku merasa dag dig dug.

“Kenapa?”, tanyaku penasaran.

“Dia ga mau cuma gara-gara instrukturnya laki-laki… padahal mah biasa aja ya Kang, Akang juga ga akan kenapa-napa kan?”, jawab Vina sambil tertawa menceritakan tentang perilaku sahabatnya sekaligus istriku itu.

Aku hanya tersenyum tak membalas ucapannya. Ada rasa bahagia di hati ini mendengar Lidya yang tidak mau berinteraksi dengan laki-laki lain. Dan untuk ucapan Vina tadi, kali ini aku menganggap bahwa sikap yang diambil istriku itu sudah benar.

Pelayan cafรฉ pun datang kembali dengan daftar menunya, aku beralasan sudah makan dan memepersilahkan Vina untuk memesan makanan. Ia pun memesan spaghetti ditambah salad buah, plus minuman Lava Flow Hawaiian Tropical. Buset, berapa ya kira-kira nanti aku harus bayar? Aku aja cuma Lemon Tea!!!!

Sambil menunggu pesanan datang aku mulai melancarkan pertanyaan, “sedeket apa sih kamu sama Lidya?”, tanyaku tanpa basa-basi.

“Deket sih Kang, gimana ga deket kalo tiap hari ketemu….. tapi ya deket aja, ga pacaran koq… sumpah!”, jawab Vina yang masih juga diakhiri dengan bercanda dan tawa tergelak.

“Berarti kamu tau keseharian Lidya kan? Gimana sih sikap Lidya sama laki-laki?”, tanyaku pelan-pelan dan tidak langsung pada pokok persoalan. Aku berpikir Vina itu sahabatnya Lidya, yang mungkin saja tak jujur dengan jawabannya untuk menutupi. Karena itu aku mencoba pelan-pelan agar bagaimana caranya Vina mau berpihak kepadaku.

“duh… duh… duh… ada yang lagi curiga nih keliatannya?”, bukannya menjawab Vina malah balik menggoda. Masih dengan tawanya yang renyah.

“Tong heureuy wae atuh Vin”, aku segera mematahkan ucapan Vina dengan bahasa Sunda. Artinya jangan bercanda aja dong, Vin.

“Ya gitu aja Lidya mah Kang, sama kaya Akang… kaku!! Makanya kalian cocok banget jadi suami-istri hahaha”, jawab Vina yang masih tidak memberikan jawaban memuaskan.

“Kaku gimana Vin? Maksudnya Lidya sama laki-laki lain sikapnya kaku?”, tanyaku lagi.

“Ya gitu lah Kang, dia mah ga kaya aku… aku mah nemplok kesana kesini tapi ga pernah dapet hahahaha”, jawab Vina masih juga dengan kelakarnya. Oh Iya, sekedar info… Vina ini memang berstatus janda tanpa anak, usianya kini 28 tahun, diatas Vina 3 tahun. Itu aku tahu karena dulu Lidya pernah bercerita, walau aku tak terlalu menanggapinya, sebab malas untuk mau tahu urusan orang lain.

“Kalo kaku, berarti ga mungkin kalo Lidya sekarang lagi deket sama seseorang?”, tanyaku mulai masuk ke inti permasalahan.

“Ih cemburuan bangeeeet, hahaha…… Akang itu harusnya bersyukur punya istri kaya Lidya… dia mah ga bakalan macem-macem, percaya deh”, jawab Vina sedikit melegakan, tapi belum cukup meredakan kecurigaanku.

“Yakin Vin? Sekarang ga ada cowok yang deket sama Lidya? Kamu bilang gitu bukan berarti kamu sahabatnya kan?”, tanyaku sedikit mencecar.

“Ngga Kang, beneran ga bo’ong…. Aku bisa bilang gitu karena justru aku sahabatnya, jadi aku tau banget sifat dan keseharian Lidya”, jawab Vina kali ini serius, mungkin karena saat ini dia sudah mulai menyantap makanannya.

“Tapiiii……”, Vina melanjutkan dengan memotong kalimatnya yang membuat aku semakin penasaran. Aku menunggu dengan perasaan campur aduk.

“Kalo soal yang deketin, emang banyak Kang…. bukan cuma sekarang tapi dari dulu juga banyak yang deketin, apalagi yang sekedar suka.. banyak banget. Maklum lah Lidya kan cantik…. cuma ya gitu, jutek Lidya mah sama cowok, apalagi sama cowok yang terang-terangan nunjukin rasa suka….. pasti jutek banget…. jadi yang deketin juga pada mundur”, Vina menjelaskan secara panjang lebar tentang sifat Lidya di luar rumah.

“Emang siapa aja yang suka sama Lidya?”, tanyaku lagi, walau jawaban Vina tadi sangat membanggakanku sebagai suami Lidya, tapi aku masih belum juga yakin.

Vina menggeleng…. “Aku ga akan bilang siapa-siapanya dan sepertinya Akang juga ga perlu tau, takutnya ntar jadi kepikiran…. udah Akang tenang aja… pokoknya aku jamin aman!!!”, jawab Vina merahasiakan nama orang-orang itu.

Aku menghela nafas karena tidak puas dengan jawabannya. Aku memainkan kedua jemari tanganku di atas meja, mungkin ini ekspresi dari rasa geregetan karena penasaran. Melihat aku bersikap seperti itu, tangan kanan Vina langsung menggenggam jemari tanganku. Akupun kaget dan hendak menarik tanganku, namun Vina tetap menggenggam tanganku dengan kuat.

“Kang…. bukan ga mau aku sebutin siapa-siapa aja yang pernah deketin Lidya, menurutku itu ga penting, aku takut Akang malah jadi emosi ke orang-orang itu….. padahal orang-orang itu ga pernah Lidya respon, sama sekali ga pernah! Kondisi rumah tangga kalian yang harusnya baik-baik aja…. malah jadi rusak gara-gara Akang emosi, malah jadi berantakan gara-gara sesuatu hal yang sebenernya ga mengancam rumah tangga kalian….. ga baik cemburu berlebihan Kang”, masih dengan menggenggam tanganku, kini perkataan Vina sungguh menampakkan kedewasaannya.

“Kalau Pak Ridwan?”, tanyaku langsung menikam pada target sasaran. Aku masih tidak mau begitu saja menyerah dan puas dengan jawaban Vina.

Vina melepaskan genggaman tangannya, sambil tertawa ngakak. Kemudian dia masih sempat menyedot minumannya. Dia pun tampak menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Aneh ih si Akang, cemburu sama modelan Pak Ridwan… hahahaha. Ngga lah, ga mungkin. Kalo deket sih iya, sebatas rekan kerja aja. Lidya juga emang ga kaku kalo sama Pak Ridwan, bisa bercanda, semua karyawan juga gitu sama Pak Ridwan, udah nganggap temen biasa aja walaupun atasan”, urai Vina meyakinkanku.

“Emang kenapa koq bisa kepikiran ke Pak Ridwan sih Kang?”, lanjut Vina penasaran. Aku menghela nafas panjang, entah harus memulai dari mana.

“Kalau hari ini beneran ada seminar?”, tanyaku mulai menyelidiki, tanpa menjawab pertanyaan Vina secara langsung.

“iya bener ada… kenapa emang?”, jawab Vina sambil mengerutkan dahi tanda merasa aneh dengan pertanyaanku. Disini aku menduga bahwa Vina sudah bersekongkol dengan Lidya. Aku sudah membuktikan bahwa seminar itu tak pernah ada!!!

“oh ada yah….”, jawabku sambil tersenyum sinis. Vina tampak kebingungan dengan ekspresi yang aku tunjukan.

“Tadi pagi aku anter Lidya ke Hotel V, dia masuk sama Pak Ridwan…. dan siangnya aku cek ke Manager hotelnya ternyata ga ada seminar di hotel itu!!!”, aku memberikan alasan ini dengan nada yang tegas dan sedikit keras, ketegasanku ini juga untuk menunjukkan sikapku kepada Vina, kalau aku kecewa padanya.... yang sudah mencoba membohongiku.​

Bersambung ...


Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Categories

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.
You will be redirected to the script in

seconds

BTemplates.com

Blogroll

About

Copyright © Cerita Panas | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com