Nathan membuka matanya perlahan. Rasa kantuk masih menguasai tubuhnya. Pemuda itu terbangun dari tidur lelap. Ia menoleh ke arah jam dinding, melihat jarum pendek sudah berada di angka empat, sementara jarum panjang menunjukkan menit ke lima belas. Ia geleng-geleng kepala, tak percaya dirinya sudah tidur selama lebih dari tujuh jam, dari pagi hingga sore hari. Nathan bangkit dari tempat tidur dan duduk sejenak di tepinya, mencoba menenangkan tubuh yang baru saja terjaga. Setelah itu, ia segera membersihkan diri dan berganti pakaian. Setelah merasa siap dengan penampilannya, Nathan keluar dari kamar.
Nathan segera berjalan cepat menuju kamar Maya, ingin memastikan keadaan Maya. Namun, saat tiba di kamar itu, ia tidak menemukan Maya di sana. Tanpa membuang waktu, Nathan turun ke lantai satu. Di ruang tengah, ia juga tidak melihat Maya. Ia bergegas menuju ruang kerja Maya, tetapi di sana pun Maya tidak ada. Nathan terus bergerak, memasuki ruangan-ruangan lain dengan langkah cepat, tetapi tetap saja Maya tidak terlihat di mana-mana. Akhirnya, Nathan sampai di dapur dan bertemu Heni. Ia bertanya tentang keberadaan Maya, dan Heni memberi tahu bahwa Maya sedang berada di taman dekat kolam renang.
Nathan melangkah menuju taman dengan langkah cepat. Di antara pepohonan dan bunga yang bermekaran, ia melihat sosok Maya berjalan santai. Maya mengamati bunga-bunga dengan penuh perhatian. Gerakan tangannya lembut saat ia meraih dan mengamati warna-warni yang indah. Nathan melanjutkan langkahnya, mendekati Maya. Setelah beberapa langkah, Nathan sudah cukup dekat dengan Maya. Saat itu, Maya menoleh dan tersenyum. Nathan mengamati penampilan Maya. Dia tampak sehat, wajahnya bersinar, dan sorot matanya cerah. Namun, rasa heran melanda Nathan. Ia ingat betul bahwa biasanya Maya lebih memilih untuk tetap di ruang kerja atau di rumah. Ada sesuatu yang berbeda dalam diri Maya kali ini. Nathan semakin dekat, mengamati senyumnya yang tulus. Ia merasakan kehangatan yang aneh, seolah ada sesuatu yang baru dalam diri wanita itu.
Nathan memulai, suaranya lembut. “Bagaimana keadaanmu? Apa kamu baik-baik saja?”
“Aku baik, Nathan.” Suaranya tenang, bahkan lebih lembut daripada biasanya. “Aku hanya ingin menikmati momen ini. Kadang-kadang kita perlu berhenti sejenak, bukan?”
Nathan mengangguk, tetapi ada kekhawatiran di hatinya. “Kamu memang perlu sedikit beristirahat dari semua beban pekerjaanmu.”
“Ah, itu dia!” Maya mengalihkan perhatian ke arah Nathan, wajahnya berseri-seri. “Aku sudah memutuskan untuk tidak bekerja terlalu keras. Aku akan membatasi jam kerja dan menyisihkan waktu untuk bersosialisasi dengan pegawai. Aku ingin lebih dekat dengan mereka. Membangun hubungan yang lebih baik.”
Nathan terkejut. “Membangun hubungan? Dengan siapa? Para pegawai?”
“Kenapa tidak?” Maya mengangkat bahu, terlihat percaya diri. “Aku ingin membuat suasana kerja yang lebih hangat. Kita harus mengedepankan kebersamaan. Dengan begitu, semua orang bisa merasa nyaman dan berkontribusi lebih banyak.”
Nathan memicingkan mata, mencermati setiap kata yang diucapkan Maya. “Tapi... bukankah ini mengubah caramu menjalankan bisnis? Kamu kan terbiasa dengan pendekatan yang keras dan disiplin tinggi.”
“Justru karena itulah!” Maya menjawab dengan semangat. “Bisnis bukan hanya tentang angka dan target. Ini tentang orang-orang yang ada di belakang angka-angka itu. Jika mereka merasa dihargai dan termotivasi, hasilnya akan jauh lebih baik.”
Nathan terkejut mendengar pemikiran Maya yang baru. Dia tidak pernah membayangkan Maya akan berbicara dengan nada empati dan perhatian terhadap karyawan. Maya, yang dikenal tegas dan otoriter, kini berfokus pada hubungan manusia di balik angka-angka bisnis. Setiap kata yang keluar dari mulutnya membuat Nathan merasa bingung. Rasa bangga bercampur dengan ketidakpastian melanda pikirannya. Perubahan ini terlalu besar untuknya. Ia tidak tahu bagaimana cara menanggapi sikap Maya yang berbeda. Dia bertanya-tanya tentang dampak dari perubahan ini terhadap cara kerja perusahaan.
“Maya, aku menghargai semua perubahan positif yang ingin kamu lakukan. Namun, aku rasa penting untuk tidak mengubah pandangan ini secara ekstrem. Kita sudah terbiasa dengan pendekatan yang lebih tegas selama ini. Mungkin lebih baik jika kita melakukan perubahan ini secara bertahap. Dengan cara itu, kita bisa melihat dampak dari setiap langkah yang diambil. Dengan pendekatan bertahap, kita juga bisa memastikan semua orang bisa beradaptasi dengan baik,” kata Nathan, menyampaikan pendapatnya dengan nada serius.
“Nathan, aku mengerti maksudmu, tetapi aku tidak bisa lagi menjalani cara yang lama. Terlalu banyak waktu yang terbuang dengan pendekatan yang tidak memberi dampak. Kita harus berani mengambil langkah besar untuk melihat perubahan nyata. Jika kita terus melakukan perubahan secara bertahap, kita mungkin tidak akan pernah sampai ke tujuan yang diinginkan. Aku percaya ini adalah waktu yang tepat untuk bertransformasi secara menyeluruh,” jawab Maya dengan tegas, menunjukkan keyakinannya akan keputusan yang diambil.
“Maya, aku menghargai semangatmu, tetapi kita harus mempertimbangkan risiko dari perubahan drastis. Mengambil langkah besar bisa menimbulkan ketidakpastian di antara pegawai. Mereka mungkin tidak siap untuk beradaptasi dengan perubahan yang tiba-tiba. Kita bisa kehilangan fokus dan produktivitas jika tidak berhati-hati. Perubahan yang terlalu cepat bisa mengakibatkan kekacauan, bukan kemajuan. Mari kita pertimbangkan dengan seksama semua konsekuensinya,” kata Nathan, berusaha menyampaikan kekhawatirannya dengan nada tenang namun penuh rasa peduli.
“Nathan, aku tidak akan mundur dari pendirianku. Perubahan drastis adalah hal yang perlu untuk mencapai hasil yang nyata. Selain itu, aku ingin hubungan kita juga berubah. Kita tidak bisa terus beroperasi seperti atasan dan bawahan. Aku ingin hubungan kita kembali ke esensi yang seharusnya, yaitu sebagai ibu dan anak. Sudah saatnya kita saling mengenal dan mendukung satu sama lain. Aku ingin kita lebih dekat, bukan hanya dalam urusan bisnis, tetapi juga dalam kehidupan pribadi kita,” tegas Maya, menatap Nathan dengan penuh keyakinan dan harapan.
“Maya, aku perlu jujur. Perubahan yang kau inginkan terasa sangat mendadak. Aku sudah terbiasa dengan hubungan kita seperti ini, dan itu membuatku nyaman. Mengubahnya menjadi lebih dekat seperti ibu dan anak bisa terasa membingungkan. Kita sudah berfungsi dengan baik dalam peran masing-masing. Tiba-tiba menghapus batasan itu membuatku merasa tidak nyaman. Aku tidak ingin hubungan kita menjadi rumit atau menghadirkan masalah baru. Kita bisa saling mendukung tanpa harus mengubah semuanya. Aku ingin kita tetap seperti ini, karena aku merasa baik-baik saja,” kata Nathan, berusaha menyampaikan perasaannya dengan tulus, tetapi kegelisahan terlihat di wajahnya.
“Aku menghargai perasaanmu, tapi aku tetap pada pendirianku. Aku ingin kita memiliki hubungan yang lebih dekat, seperti ibu dan anak. Mulai sekarang, aku ingin kamu memanggilku ‘ibu’ atau ‘bunda.’ Itu akan membuatku merasa lebih terhubung denganmu. Aku ingin kita saling berbagi lebih banyak, bukan hanya tentang pekerjaan. Aku yakin, dengan panggilan itu, kita bisa mulai menjalin ikatan yang lebih kuat,” tegas Maya, menatap Nathan dengan keyakinan dan harapan yang mendalam.
Nathan tertegun mendengar penjelasan Maya. Setiap kata yang diucapkan ibunya terasa baru dan asing baginya. Dia tidak dapat membayangkan hubungan mereka berubah menjadi seperti ini. Rasanya begitu aneh baginya untuk memanggilnya ‘ibu’ atau ‘bunda’ setelah sekian lama berfungsi dalam hubungan antara pria dewasa dan wanita dewasa. Selama ini, hubungan mereka sampai pada tahap hubungan seks, dan Nathan kini merasa cemas bahwa perubahan ini akan menghapus semua itu. Meskipun ia memahami keinginan Maya, ada kekhawatiran yang menggelayuti pikirannya. Perubahan ini datang begitu mendadak dan drastis, membuatnya merasa tidak nyaman.
Nathan menatap Maya dengan penuh rasa heran. Dia merasa perlu menegaskan satu hal yang tampaknya tidak dipertimbangkan oleh Maya, “Apakah kamu masih ingat bahwa kita pernah melakukan hubungan seks?” tanyanya, suaranya penuh ketidakpastian.
Maya tersenyum mendengar pertanyaan Nathan. “Ya,” jawabnya dengan tenang. “Masalah itu perlu dipertimbangkan lagi oleh kita berdua.”
Nathan merasa bingung dan bertanya, “Apa maksudmu?”
Maya menatap Nathan dengan serius, lalu melanjutkan, “Sudah saatnya hal itu dihentikan. Kita perlu fokus pada hubungan yang lebih sehat dan penuh kasih.”
Nathan menelan ludah mendengar ucapan Maya. Setiap kata yang keluar dari mulut ibunya terasa berat dan menohok. Dalam pikiran Nathan, sosok Maya kini tampak berbeda, tanpa pengaruh entitas kegelapan yang pernah menguasai dirinya. Ia merasakan adanya keaslian dalam diri Maya yang selama ini terpendam. Saat Maya menyampaikan keinginannya untuk menghentikan hubungan seks di antara mereka, Nathan pun mengangguk sambil tersenyum. Senyuman itu menyembunyikan kegelisahan di dalam hatinya. Ia masih merasa ragu dengan keputusan itu.
Maya mengajak Nathan untuk kembali ke rumah karena hari mulai petang. Keduanya berjalan sambil berbincang-bincang, melintasi taman dengan santai. Setelah melewati kolam renang yang airnya tenang, mereka menuju pintu belakang rumah dan masuk ke dapur. Para pembantu rumah tangga langsung berdiri tegak begitu melihat kedatangan mereka. Beberapa dari mereka sedikit membungkukkan badan sebagai tanda hormat. Maya tersenyum sambil menyapa mereka dengan nada hangat, sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya. Maya bahkan bertanya tentang keadaan mereka dengan nada yang ramah. Kejadian itu membuat beberapa pembantu terdiam, tidak bisa menyembunyikan keheranan mereka atas sikap Maya yang tiba-tiba berubah.
"Apakah kalian punya masalah selama bekerja di sini?" tanya Maya dengan nada ramah, jauh dari sikap tegas yang biasa ia tunjukkan.
Heni, yang dikenal sebagai pembantu rumah tangga yang paling dipercaya oleh Maya, langsung menjawab. "Kami baik-baik saja, Nyonya Besar. Tidak ada masalah yang berarti." Suaranya terdengar tenang, meski dari sorot matanya tampak ia juga terkejut dengan perubahan sikap majikannya.
Maya mengangguk sambil tersenyum. "Bagus. Tapi ingat, jika kalian menghadapi masalah apa pun, jangan sungkan-sungkan bicara pada saya. Kalian sudah bekerja keras setiap hari. Saya ingin memastikan kalian merasa nyaman di sini. Kalau ada hal yang kurang, apa saja, baik di tempat tinggal atau pekerjaan kalian, katakan saja.”
Perkataan Maya terdengar tulus, sebuah sikap yang benar-benar baru bagi mereka.
Heni tampak tersenyum ragu, masih berusaha mencerna perubahan sikap majikannya, "Terima kasih, Nyonya Besar. Sejauh ini, kami semua baik-baik saja, kok."
Namun, salah satu dari tiga teman Heni, yang biasanya lebih pendiam, tiba-tiba ikut angkat bicara, tak bisa menyembunyikan rasa herannya. "Benar, Nyonya Besar? Kalau misalnya ada yang kurang, kita boleh bilang langsung ke Nyonya Besar?"
Maya mengangguk pelan, senyumnya tidak hilang. "Tentu saja. Jangan ragu. Saya ingin kalian betah bekerja di sini."
Nathan tiba-tiba menyela dengan nada bercanda. "Mungkin ini saatnya kalian bilang keinginan-keinginan kalian ke Nyonya Besar. Mumpung beliau lagi baik," ucap Nathan sambil tersenyum.
Maya menoleh ke arah Nathan dengan mata penuh perhatian, "Apa yang mereka inginkan, Nathan?" tanyanya dengan nada lembut.
Nathan mengangkat bahu, masih dengan senyum di bibirnya. "Lebih baik Ibu tanya langsung. Mereka sebenarnya punya sesuatu yang ingin mereka sampaikan."
Maya kembali mengarahkan pandangannya kepada para pembantu yang berdiri ragu di depannya. "Katakan saja apa yang kalian mau. Jangan ditahan-tahan. Saya akan mempertimbangkannya."
Heni, yang selalu menjadi perwakilan para pembantu, tampak ragu sejenak sebelum akhirnya memberanikan diri untuk berbicara. "Nyonya Besar, sebenarnya... kami sudah lama ingin peraturan tentang larangan membawa laki-laki bagi para pembantu dicabut.”
Maya mendengarnya dan tersenyum dengan tenang. "Baiklah, mulai detik ini peraturan itu saya cabut. Tidak berlaku lagi."
Mendengar hal itu, para pembantu rumah tangga yang lain langsung berteriak senang, tidak bisa menyembunyikan kegembiraan mereka. "Terima kasih, Bu! Terima kasih banyak!" mereka serentak mengucapkan dengan wajah cerah, benar-benar tidak menyangka Maya akan begitu mudah memenuhi permintaan itu.
Namun, sebelum euforia semakin memuncak, Maya mengangkat tangannya sedikit untuk meminta perhatian. "Ingat, dicabutnya peraturan itu tidak berarti pengawasan terhadap pekerjaan kalian berkurang. Saya akan mengawasi sendiri kinerja kalian. Jangan sampai kalian lalai dalam melaksanakan tugas, karena saya tetap ingin kalian bekerja dengan baik."
Heni, yang mewakili para pembantu, mengangguk penuh semangat. "Kami berjanji, Nyonya Besar, kami akan bekerja sebaik-baiknya. Terima kasih atas kepercayaan yang Nyonya Besar berikan kepada kami."
Nathan, yang mendengarkan seluruh percakapan ini, tersenyum tipis. Ia tahu bahwa perubahan besar dalam diri Maya ini masih belum sepenuhnya ia pahami, tetapi satu hal yang jelas, hubungan antara Maya dan para pembantu kini berubah menjadi lebih baik. Meski Nathan masih menyimpan kekhawatiran dalam dirinya, setidaknya untuk saat ini, semuanya tampak berjalan lancar.
Setelah percakapan dengan para pembantu selesai, Nathan dan Maya melanjutkan langkah mereka meninggalkan dapur dan berjalan menuju ruang tengah. Mereka berjalan berdampingan tanpa tergesa-gesa, tidak ada kata yang terucap di antara mereka. Sesampainya di ruang tengah, mereka duduk di sofa panjang, Maya mengambil tempat di sebelah Nathan, keduanya berusaha untuk bersikap santai. Mereka mulai berbincang ringan, membahas hal-hal sederhana yang muncul begitu saja. Namun, di balik obrolan itu, Nathan masih merasakan perubahan Maya yang terasa janggal, seolah ada jarak baru di antara mereka yang belum bisa ia pahami sepenuhnya.
Ketika suasana semakin mencair dengan obrolan ringan yang mengalir, langkah kaki terdengar dari arah lorong. Denis muncul dari sudut pintu ruang tengah, menyapukan pandangannya ke arah Nathan dan Maya yang duduk di sofa. Ia tersenyum tipis, namun ada kilatan penasaran di matanya yang tak bisa disembunyikan.
"Kalian berdua sedang apa di sini?" tanya Denis sambil berjalan mendekat. Suaranya terdengar santai, meski ada sedikit nada ingin tahu di dalamnya. Tanpa menunggu jawaban, ia mengambil tempat di sofa seberang mereka. Nathan melirik Maya sekilas, yang tampaknya tak terlalu terkejut dengan kedatangan Denis.
Maya tersenyum tipis dan menjawab, "Kita lagi santai aja, ngobrol soal situasi di rumah ini."
"Jangan terlalu memikirkan hal-hal sepele seperti itu, rumah ini sudah ada yang bertanggung jawab. Percayakan saja urusan rumah kepada kepala rumah tangga," kata Denis sambil tersenyum.
Maya membalas senyuman Denis dan mengangguk ringan. "Aku cuma ingin memastikan pegawai di sini merasa betah dan senang," katanya. Tapi kemudian, ekspresi Maya berubah, seolah sebuah ide baru muncul di kepalanya. "Oh, ngomong-ngomong, gimana kalau kita makan malam di restoran Dinasti nanti malam?"
Denis sedikit terkejut, alisnya terangkat. "Restoran Dinasti?" tanyanya sambil tertawa kecil. "Aku nggak nyangka kamu masih ingat tempat itu."
Maya tersenyum penuh arti. "Tentu saja aku ingat. Restoran itu mengingatkanku pada kencan pertama kita."
"Kalau begitu, ayo kita makan malam di sana. Nggak ada salahnya mengulang waktu spesial kita dulu," ucap Denis bersemangat.
Maya tersenyum puas, kemudian bangkit berdiri. "Baiklah, kalau begitu kita bersiap-siap sekarang," ucapnya. Ia melirik Denis dengan semangat yang sulit ditutupi, sementara Nathan tetap diam, berusaha menangkap perubahan situasi yang semakin terasa.
Nathan memperhatikan dari tempatnya duduk ketika Maya dan Denis bersiap-siap meninggalkan ruang tengah. Ketika mereka mendekati tangga, Maya tiba-tiba menggandeng tangan Denis. Tangan mereka saling bertautan saat kaki mereka mulai menaiki anak tangga, seolah keduanya sudah sangat terbiasa dengan kebersamaan semacam itu. Nathan mengamati setiap gerakan mereka, matanya terpaku pada keintiman yang terpancar di antara keduanya. Ia belum pernah melihat Maya bersikap semesra ini kepada Denis. Cara Maya menatap Denis sambil tersenyum, cara tangannya tidak melepaskan genggaman, semua itu berbeda dari yang pernah Nathan saksikan sebelumnya.
Pemandangan itu menegaskan satu hal yang Nathan rasakan. Maya memang sudah berubah. Perubahan itu begitu nyata dan tiba-tiba, membuat Nathan merasa tidak nyaman. Entah kenapa, hatinya mulai dipenuhi dengan kekhawatiran. Perasaan yang mengganggu itu terus tumbuh, membuat Nathan bertanya-tanya, apakah semua ini adalah tanda bahwa ada sesuatu yang salah. Nathan berharap Maya bisa kembali seperti dulu, yang tegas, keras, dan otoriter, bukan berubah menjadi sosok yang begitu berbeda seperti sekarang.
Setelah Maya dan Denis menghilang dari pandangan, Nathan bangkit dari sofa dan berjalan menuju dapur. Saat tiba di sana, ia melihat Heni dan Sari sedang sibuk memasak. Panci dan wajan bergemuruh di atas kompor, dan aroma bumbu mengisi ruangan. Nathan mendekati mereka, lalu berdiri di samping Heni. Ia memperhatikan Heni yang cekatan mengaduk masakan, sementara Sari sibuk menyiapkan bahan lainnya.
Heni menoleh dengan senyum nakal, menatap Nathan yang berdiri di sampingnya. “Sudah lapar ya, Tuan Muda?” tanyanya, menggoda.
Nathan tertawa sambil mengelus perutnya yang keroncongan. “Perutku sudah sangat ingin diisi. Sejak kemarin, aku belum menyentuh nasi. Rasanya seperti ada konser di dalam perutku!”
Sari ikut menimpali dengan riang. “Kok Tuan Muda bisa kuat tidak makan?”
Nathan mengangkat bahu dengan nada main-main. “Aku sih kuat menahan lapar, tapi tidak kuat kalau tidak minum susu.” Ia melirik Sari, menatap dada Sari yang menggelembung, membuatnya tersenyum nakal.
Sari langsung memekik, menangkup dadanya seolah terkejut. “Ihk … Tuan Muda nakal!” Ia melemparkan tantangan di matanya, seolah menunggu balasan dari Nathan.
Nathan tertawa, “Yang nakal itu pikiranmu yang kemana-mana! Aku cuma nyebut susu, kok.” Ia mengangkat alis, menambah kejenakaan di antara mereka.
Sari, dengan gaya kemayu, mengerling nakal. “Saya kalau lihat wajah Tuan Muda memang bikin pikiran jadi kemana-mana!” Ia tersenyum manis, menggodanya lebih jauh.
Heni menyambar dengan nada riang. “Dasar sangean!”
Sari tidak mau kalah, balas menantang. “Siapa yang lebih sangean? Kamu tuh yang lebih sangean daripada aku!”
Heni tidak tinggal diam dan melanjutkan, “Ya, siapa tahu nanti kita bisa berbagi ‘susu’ sama-sama untuk Tuan Muda,” Ia menggoda sambil menyeringai.
Nathan tertawa, “He he he … Oh, jadi kalian mau menawari aku susu?”
Sari menambahkan, “Kalau Tuan Muda mau, saya bisa jadi ‘penyedia’ susu terbaik di sini!” Ia berbicara dengan nada manja.
“Kamu memang yang terbaik, Sari …” ucap Nathan, menyeringai sambil menatap dada Sari.
Senyum nakal menyebar di wajah Nathan, Heni, dan Sari seiring dengan candaan yang semakin vulgar. Ketiganya semakin larut dalam suasana, mengabaikan batasan yang biasanya ada di antara mereka. Nathan merasakan aliran energi yang memicu hasrat, saat tatapannya terus menelusuri lekuk tubuh Sari, sementara Heni tidak kalah menantang dengan gerakan-gerakan kecil yang menggoda. Candaan demi candaan, yang kian berani, meluncur deras dari bibir mereka, seolah menghapus semua rasa malu.
Nathan meninggalkan dapur setelah candaan sensual mereka perlahan mereda. Ia merasakan lapar yang semakin menyengat. Heni dan Sari pun sibuk menyiapkan hidangan, aroma nasi dan lauk pauk memenuhi ruangan. Tak lama, meja makan sudah tertata rapi dengan berbagai hidangan yang menggoda. Nathan melangkah menuju ruang makan, mengamati piring berisi sayur, ikan, dan daging yang tersaji dengan apik. Rasa lapar semakin membara saat ia mendekat ke meja. Nathan duduk di salah satu kursi sambil menatap Heni dan Sari.
“Heni … Sari … Dudulah! Ayo kita makan malam bersama,” ajak Nathan.
Heni terlihat ragu dan menjawab, “Tuan Muda, kami tidak pantas untuk makan bersama Tuan Muda.”
Sari menambahkan, “Ya, kami khawatir jika Nyonya Besar tahu, kami bisa mendapat masalah.”
Nathan tersenyum meyakinkan. “Nyonya Besar dan Tuan Besar sedang keluar. Mereka sedang makan malam di luar. Tidak ada yang perlu kalian khawatirkan.”
Heni dan Sari saling bertukar pandang. Heni masih bimbang. “Tapi, Tuan Muda, kami…”
“Tidak ada ‘tapi’. Aku ingin kalian bergabung. Ayo, kita nikmati bersama,” kata Nathan dengan tegas.
Sari mengangguk pelan. “Baiklah, Tuan Muda. Kalau itu yang Tuan Muda inginkan.”
Heni menghela napas dan akhirnya setuju. “Baiklah, Tuan Muda ... Tapi tolong, jangan beri tahu Nyonya Besar.”
Nathan tersenyum, “Kalau pun Nyonya Besar tahu, kalian tidak akan diapa-apakan. Tenang saja. Duduklah!”
Nathan duduk di meja makan dengan Heni dan Sari di seberangnya. Awalnya, suasana terasa canggung. Heni dan Sari terlihat ragu untuk berbicara, menjaga jarak meski hidangan menggiurkan di depan mereka. Namun, seiring waktu, ketegangan itu mulai mereda. Mereka mulai menikmati makanan dengan tenang. Tawa Nathan yang tulus dan lelucon ringan membuat Heni dan Sari merasa lebih nyaman. Senyum merekah di wajah mereka, dan pembicaraan mengalir lebih lancar. Heni dan Sari terlihat lebih santai dan bahagia. Mereka saling melirik dengan senyum lebar saat menikmati hidangan yang terhidang.
“Tuan Muda, terima kasih sudah ngajak kami makan malam,” ucap Heni setelah makan malam usai.
Sari menambahkan dengan antusias, “Iya! Biasanya kami hanya lihat Tuan Muda dari jauh. Ini luar biasa!”
Nathan tersenyum mendengar ucapan mereka. “Aku sebenarnya kurang suka dengan formalitas di rumah ini. Bagiku, lebih baik kita semua bersikap biasa saja. Saling menghormati satu sama lain membuat kita lebih dekat. Tak perlu ada jarak di antara kita. Kita semua di sini untuk saling mendukung dan menciptakan kebersamaan.”
Heni tersenyum lebar dan berkata, “Kami senang bisa merasakan suasana seperti ini. Rasanya sangat berbeda dan menyenangkan.”
Sari menambahkan, “Iya, Tuan Muda ... Saya berharap bisa lebih sering seperti ini. Makan malam dengan Tuan Muda ini membuat saya merasa dihargai.”
Nathan mengangguk dan menjawab, “Aku juga berharap demikian. Kalian adalah bagian penting dari rumah ini.”
“Ehm... Tuan Muda,” suara Heni terdengar pelan tapi penuh rasa syukur, "Saya dan kawan-kawan ... Kami semua ingin mengucapkan terima kasih atas kebijaksanaan Tuan Muda terkait aturan pelarangan pegawai perempuan menerima tamu laki-laki. Terima kasih karena sudah memperhatikan kami."
Nathan tersenyum tipis, menyadari bahwa perubahan aturan tersebut memang sangat berarti bagi para pegawai wanita di rumah besar ini. "Kalian tidak perlu berterima kasih begitu," jawab Nathan santai, sembari bersandar di kursinya. "Itu memang hak kalian sebagai perempuan. Aku hanya berpikir, tidak adil kalau kalian dilarang menerima tamu, apalagi kalau itu keluarga atau pacar." Nathan lalu tertawa kecil, menambahkan, "Lagian, aku kasihan juga sama kalian … Aku yakin para pegawai perempuan di sini gersang karena kurang disirami air kehidupan."
Sontak Heni dan Sari tertawa cekikikan mendengar ucapan Nathan. Bukan hanya karena nada bicaranya yang ringan, tetapi juga karena ucapan Nathan terdengar sedikit nyeleneh dan menyinggung hal yang, bagi mereka, terasa agak lucu dan sedikit "nakal".
"Astaga, Tuan Muda!" Sari berkata sambil terbahak, "Saya tuh paling suka air kehidupan, loh!" candanya, jelas menanggapi maksud tersembunyi dari perkataan Nathan. "Sudah lama nggak ngerasain!"
Nathan tertawa bersama mereka, merasa puas dengan reaksi mereka. "Wah, Sari... kamu ini," ujarnya sambil menggelengkan kepala, masih tersenyum lebar.
Setelah tawa mulai mereda, Nathan memandang Heni. "Kalau kamu sendiri, Hen? Punya pacar nggak?"
Heni terlihat sedikit tersipu mendengar pertanyaan Nathan, namun ia segera menjawab, "Punya, Tuan Muda, tapi jauh di kampung. Jarang sekali bisa ketemu. Paling cuma video call sekali-sekali." Senyum kecil tersungging di wajahnya. "Rata-rata kami di sini begitu, pacarnya jauh-jauh. Jadi jarang bisa ketemu."
Sari kembali menimpali sambil tersenyum penuh arti, "Iya, Tuan Muda, kalau sudah lama nggak ketemu, rindu tuh susah diobatin," katanya dengan nada bercanda yang membuat suasana kembali hangat.
Nathan, yang duduk di ujung meja, menatap mereka dengan pandangan iseng. Ia tampak sedang berpikir, lalu tiba-tiba membuka pembicaraan dengan nada serius tapi penuh canda, "Begini saja... Supaya kalian nggak gersang lagi, gimana kalau kalian punya cowok cadangan di sini?"
Heni dan Sari, yang baru saja mulai membereskan meja makan, berhenti sejenak dan menatap Nathan dengan bingung.
Nathan melanjutkan, kali ini dengan senyum jahil di wajahnya, "Kalian bisa pilih salah satu dari pegawai laki-laki di rumah ini. Siapa saja yang kalian suka. Kalau mereka nggak mau, gampang... Saya akan memaksa mereka supaya mau sama kalian."
Heni dan Sari langsung terbelalak. Mereka saling berpandangan, wajah mereka terkejut namun bercampur dengan rasa geli yang tak bisa disembunyikan. Sejenak, suasana terasa kikuk. Meskipun terkejut, ada bagian dari diri mereka yang merasa usulan itu... menarik, meski sulit dipercaya.
"Itu, serius, Tuan Muda?" Heni akhirnya membuka suara, tertawa kecil tapi jelas masih kaget dengan usulan tersebut. Wajahnya memerah, tapi matanya berbinar. "Kalau beneran bisa gitu, ya... siapa yang nggak mau, Tuan Muda?"
Sari, yang sudah lebih dulu cekikikan, akhirnya tertawa lebih keras. "Iya, Tuan Muda," ujarnya dengan nada setengah bercanda, setengah berharap, "kalau sampai beneran dipaksa, kayaknya nggak ada yang nolak, deh!" Matanya menyiratkan rasa penasaran yang jujur. "Ya siapa tahu, kan?"
Nathan tertawa lebih keras, jelas puas dengan reaksi mereka. "Lho, kenapa nggak? Kalau ada yang kalian suka, bilang aja. Nanti biar aku yang atur!" katanya dengan nada bercanda, tapi tetap ada sedikit tantangan di balik ucapannya. "Kalian bilang sendiri, pacar kalian jauh. Ya kan, biar nggak kesepian."
Heni dan Sari tertawa, tapi kali ini ada rasa antusias di balik ekspresi mereka. Mereka tahu Nathan mungkin hanya bercanda, tapi di lubuk hati mereka, ide tersebut tak terdengar seburuk itu. Sari bahkan menambahkan, "Kalau beneran bisa gitu, saya sih nggak keberatan, Tuan Muda. Di sini banyak pegawai laki-laki yang lumayan, loh."
Heni mengangguk setuju sambil tersenyum malu-malu, "Iya, Tuan Muda... kalau beneran ada kesempatan, siapa tahu, kan?" katanya dengan suara yang pelan namun terdengar penuh harapan.
Nathan masih tersenyum lebar melihat reaksi antusias Heni dan Sari. Tatapannya kini menyiratkan candaan yang licik, seolah-olah ia menikmati membuat mereka sedikit terkejut namun tetap tertarik. Sambil menatap mereka dengan ekspresi nakal, Nathan melanjutkan, kali ini dengan ide yang lebih nyeleneh lagi.
"Kalau begitu," Nathan berkata dengan nada yang sedikit lebih serius tapi tetap bercanda, "mulai sekarang, tiap Sabtu dan Minggu, semua pegawai perempuan di rumah ini nggak perlu pakai seragam. Kalian pakai pakaian bebas, dan harus dandan secantik mungkin."
Heni dan Sari menatap Nathan dengan wajah bingung, meskipun senyum mereka tetap merekah.
"Tujuannya?" tanya Heni penasaran, meskipun dia sudah bisa menebak ke mana arah ucapan Nathan.
"Biar kalian bisa menarik perhatian pegawai laki-laki di sini, dong!" Nathan melanjutkan sambil terkekeh. "Siapa tahu, kalau kalian tampil lebih cantik dan bebas, ada yang mulai tertarik. Kan, kalian sendiri yang bilang, di sini banyak pegawai laki-laki yang lumayan. Jadi, kalian harus tampil maksimal buat dapat perhatian mereka."
Heni dan Sari tertawa cekikikan mendengar saran tersebut, meskipun kali ini tak bisa disangkal ada rasa antusias yang semakin muncul di hati mereka.
"Ah, Tuan Muda, beneran gitu? Kita disuruh dandan secantik mungkin?" Sari bertanya dengan mata berbinar, setengah bercanda tapi setengah berharap.
Nathan mengangguk, menahan tawanya. "Iya, dong! Anggap aja Sabtu dan Minggu jadi hari spesial kalian. Siapa tahu ada yang naksir atau ngajak jalan."
Sari tak bisa menahan tawanya, tetapi dalam hatinya, saran itu terdengar menarik. "Kalau gitu, kita harus siap-siap dari sekarang, ya?" katanya dengan nada menggoda, meskipun jelas ada keseriusan yang tersirat.
Malam itu, tawa mereka memenuhi ruang makan, dengan Heni dan Sari yang semakin penasaran bagaimana suasana rumah akan berubah saat Sabtu dan Minggu tiba. Meski awalnya terdengar seperti candaan, mereka tak bisa menahan rasa senang memikirkan kemungkinan yang Nathan tawarkan.
Setelah makan malam selesai, Heni dan Sari mulai membereskan meja makan. Piring, gelas, dan sendok dikumpulkan, lalu mereka membawa semuanya ke dapur. Mereka bekerja dengan cepat, membersihkan sisa-sisa makanan dan merapikan meja. Heni menyapu lantai di sekitar meja, memastikan tidak ada sisa makanan yang tercecer. Sari mencuci piring dan menatanya kembali ke rak dengan rapi.
Sementara itu, Nathan meninggalkan meja makan dan berjalan santai menuju ruang tengah. Ia menuju ke arah sofa, mengambil remote televisi dari meja kecil di sampingnya, lalu menyalakan televisi. Ia menyesuaikan volume televisi dan memilih saluran olahraga. Cahaya dari layar televisi menerpa wajah Nathan, sementara pemuda itu duduk dengan nyaman di sofa. Nathan menyaksikan siaran langsung pertandingan sepak bola yang sedang berlangsung.
Sekitar setengah jam kemudian, sebuah suara keributan terdengar dari arah dapur. Nathan yang awalnya fokus pada pertandingan, tiba-tiba menoleh. Suara itu semakin jelas, dan ia menyadari ada sesuatu yang tidak beres di dapur. Ia segera bangkit dari sofa, berjalan cepat menuju dapur dengan langkah tegas. Saat tiba di dapur, Nathan menemukan Heni dan Tuti tengah beradu mulut. Mereka berdiri berhadapan, suara mereka terdengar tegang dan emosional. Saat Nathan memasuki dapur, keduanya langsung berhenti berbicara. Keduanya segera menunduk, menghindari tatapan Nathan, dengan wajah memerah dan tangan mereka gelisah meremas pakaian masing-masing.
“Apa yang sedang terjadi di sini? Kenapa kalian bersitegang seperti itu?” tanyanya sambil memandang keduanya bergantian.
Keduanya terdiam. Heni dan Tuti tampak semakin menunduk, seolah tak berani menatap Nathan. Wajah mereka memerah, dan suasana menjadi canggung. Namun tiba-tiba, suara Sari yang lebih berani memecah keheningan.
“Tuti ingin menemui Tuan Muda,” kata Sari pelan, sambil mencuri pandang ke arah Nathan. “Tapi Heni melarangnya.”
Nathan mengernyit heran mendengar penjelasan itu. Ia menoleh kepada Heni, matanya mencari jawaban. “Kenapa kau melarang Tuti menemuiku?” tanyanya, nadanya kali ini sedikit tegas.
Heni masih menunduk, tampak ragu sebelum akhirnya menjawab dengan suara lirih namun tegas, “Karena... Tuti akan mengganggu Tuan Muda.”
“Itu gak benar, Tuan Muda!” seru Tuti, dengan nada yang penuh keberatan. “Heni hanya cemburu. Saya tidak bermaksud mengganggu Tuan Muda. Dia yang selalu menghalangi saya, seolah-olah dia saja yang punya hak untuk dekat dengan Tuan Muda.”
"Kalau begitu, ada keperluan apa kamu ingin menemuiku, Tuti?" tanya Nathan sambil menatap langsung ke mata Tuti, berharap mendapatkan jawaban yang jelas.
Tuti terlihat ragu sejenak, namun akhirnya ia menjawab, suaranya lebih pelan. "Saya... saya hanya ingin bicara, Tuan Muda. Ada sesuatu yang ingin saya sampaikan secara pribadi."
Nathan mengernyit, merasa semakin bingung dengan jawaban Tuti yang samar. “Aku tidak mengerti, Tuti … Hal apa yang ingin kamu bicarakan sampai harus disampaikan secara pribadi? Kalau memang ada masalah, kamu bisa katakan saja sekarang.”
Tuti tampak gelagapan, matanya berkedip gugup, seolah mencari kata-kata yang tepat. Wajahnya sedikit memerah, dan tangannya mulai bergerak gelisah. Ia tidak mungkin mengatakan keinginannya di depan Heni dan Sari.
“Saya... saya...” ucapnya terbata-bata, tanpa kelanjutan yang jelas.
Nathan memperhatikan Tuti yang semakin terlihat gelisah setelah ia tergagap di depannya. Tatapan Nathan tajam, mencerminkan rasa curiga yang terus bertambah. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres dalam perilaku Tuti. Tuti sendiri tidak berani mengungkapkan keinginannya dengan jelas, terutama karena Heni dan Sari masih berada di ruangan itu. Rasa takut dan malu membuatnya sulit untuk mengatakan apa yang sebenarnya ingin ia sampaikan. Ucapannya terhenti pada kalimat-kalimat yang tak jelas, hanya berupa kata-kata yang tidak tuntas, membuat Nathan semakin ragu dan mempertanyakan apa yang sedang disembunyikan.
Heni sudah mengetahui apa yang sebenarnya diinginkan Tuti. Dengan penuh kecemasan, ia menatap Tuti dengan tajam. Rasa tidak nyaman menjalari pikirannya ketika melihat Tuti berusaha mendekati Nathan. Heni menyadari bahwa Tuti ingin menggoda Nathan dengan harapan dapat melakukan hubungan intim dengan Nathan. Heni merasa terancam, seolah-olah posisinya tergeser. Dia sudah memiliki hubungan khusus dengan Nathan, dan perasaan cemburu mulai menggerogoti hatinya.
Melihat ketegangan yang semakin meningkat antara Heni dan Tuti, Sari merasakan perlu untuk campur tangan. Ia melangkah mendekati Nathan, “Tuan Muda,” ucapnya, suaranya lembut nyaris berbisik. “Heni dan Tuti bersaing untuk mendapatkan perhatian Tuan Muda. Semua orang tahu kalau mereka berdua memperebutkan Tuan Muda.”
Nathan berdiri tegak dan memandang Tuti dengan serius. Ia mulai paham apa yang terjadi. “Tuti,” ucapnya tegas, “kalau ada yang ingin kamu sampaikan, lebih baik bicara langsung.” Tuti terdiam dan tidak langsung menjawab.
Nathan kemudian beralih ke Heni. “Heni, kamu juga harus terbuka. Kita tidak bisa terus seperti ini. Persaingan di antara kalian tidak baik.”
Tuti mengangkat kepala dan berkata, “Tuan Muda, saya hanya ingin tahu apakah saya bisa dekat dengan Tuan Muda.”
Nathan menggelengkan kepala. “Aku akan memperlakukan kalian berdua sama seperti pegawai perempuan lainnya. Jika kalian saling bersaing, tidak ada yang akan mendapat perhatian lebih dariku. Kita semua bekerja di sini dan harus saling menghargai.”
Heni mengangguk. “Saya mengerti, Tuan Muda. Tapi kami berdua merasa berbeda.”
Nathan menatap keduanya. “Kalau begitu, ungkapkan perasaan kalian. Aku siap mendengar.”
Tuti tampak gelisah. Ia tidak bisa lagi menahan perasaannya. Dengan suara pelan, ia berkata, “Tuan Muda, saya ingin dekat dengan Tuan Muda. Saya ingin merasakan keintiman seperti yang Heni alami.” Nathan terdiam, mendengar pengakuan Tuti.
“Apa maksudmu?” tanyanya, masih terkejut.
Tuti menjawab dengan jujur, “Saya ingin merasakan hubungan yang lebih. Saya tidak bisa mengabaikan perasaan ini.”
Nathan menghela napas. “Ini tidak mudah, Tuti. Kita perlu membicarakannya.”
Tuti menatap Nathan dengan penuh harap. “Saya siap, Tuan Muda. Saya ingin jujur tentang perasaan saya.”
Setelah mendengar pengakuan Tuti, Heni langsung bereaksi. Ia terlihat gelisah dan wajahnya menunjukkan tanda-tanda cemburu. Ia tidak suka jika Nathan juga dekat dengan Tuti. Meskipun begitu, Heni tahu Nathan adalah majikannya. Ia merasa tidak bisa melarang Nathan untuk dekat dengan orang lain.
Nathan melihat Heni yang tampak tidak nyaman. “Heni, bagaimana menurutmu?” tanyanya.
Heni menjawab dengan nada datar, “Ya, Tuan Muda. Saya hanya merasa aneh saja.”
“Apakah ini tentang Tuti?” Nathan bertanya, ingin tahu lebih lanjut.
Heni menghela napas. “Sejujurnya saya hanya merasa cemburu, Tuan Muda. Saya tidak ingin Tuan Muda dekat dengan Tuti.”
Nathan menatap Heni dengan serius. “Heni, aku tidak bisa membatasi hubunganku dengan orang lain. Kamu harus mengerti itu.”
Akhirnya Nathan mencoba menenangkan mereka dengan cara yang sederhana. Ia berbicara dengan nada lembut, “Dengar, Heni dan Tuti. Tidak perlu ada persaingan di antara kalian. Kita semua di sini untuk saling mendukung. Cemburu tidak akan membawa kita ke mana-mana. Kita bisa memiliki hubungan yang lebih baik jika kita saling mengerti. Aku menghargai kalian berdua. Kalian memiliki tempat di hatiku. Aku ingin kita semua bisa nyaman dan bahagia bersama. Kita tidak perlu merasa tertekan satu sama lain. Mari kita coba untuk saling terbuka dan berbagi. Itu jauh lebih baik daripada hanya menyimpan perasaan cemburu.”
Setelah beberapa saat berlalu, Heni dan Tuti saling memandang. Mereka mulai menyadari bahwa persaingan hanya akan merusak hubungan di antara mereka. Nathan dan Sari berdiri di samping, memberikan dukungan yang mereka butuhkan. Nathan berkata, “Kalian berdua penting untukku. Jangan sampai hubungan ini hancur hanya karena salah paham.”
Heni mengangguk pelan. “Saya terlalu cemburu, Tuan Muda. Saya takut Tuti mengambil Tuan Muda untuk dirinya sendiri.”
Tuti menjawab, “Saya juga tidak ingin membuat keadaan lebih buruk, Tuan Muda. Saya hanya ingin dekat dengan Tuan Muda, bukan untuk bersaing.”
Sari menambahkan, “Bagus. Kalau kalian saling mengerti, pasti semuanya bisa lebih baik. Cobalah untuk saling terbuka dan tidak saling menghalangi.”
Heni menatap Tuti dan berkata, “Aku minta maaf jika aku terlalu mengekangmu, Tuti. Aku ingin kita bisa saling mendukung.”
Tuti tersenyum. “Aku juga minta maaf, Heni. Aku tidak seharusnya memaksakan keinginanku. Kita bisa saling membantu.”
Nathan tersenyum melihat keduanya mulai berbaikan. “Lihat? Ini jauh lebih baik kan …”
Setelah melihat Heni, Tuti, dan Sari berkompromi, Nathan merasa senang. Suasana di antara mereka sudah lebih baik. Ia menganggap momen ini tepat untuk melangkah lebih jauh dalam hubungan mereka. Nathan menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara.
“Gadis-gadis,” kata Nathan, “aku senang kalian bisa saling mendukung. Ini awal yang baik. Aku ingin kita bisa lebih dekat. Jika kalian setuju, kita bisa menjalin hubungan yang lebih intim. Tidak perlu ada kecemburuan atau persaingan. Kita bisa saling memahami dan menjalani hubungan ini bersama.”
Sari mengangkat tangannya sedikit, menunjukkan kebingungan. “Tapi, Tuan Muda,” ia bertanya dengan suara hati-hati, “apa maksud Tuan Muda dengan hubungan yang lebih intim? Bagaimana cara kita menjalani itu?”
Nathan menatap ketiga wanita itu dengan serius. “Aku ingin kita bercinta bersama-sama. Kita bisa saling menikmati pengalaman ini tanpa ada rasa cemburu atau persaingan. Aku ingin kita semua merasa nyaman dan saling memahami satu sama lain.”
Heni, Tuti, dan Sari terkejut mendengar pernyataan Nathan. Secara bersamaan, mereka mengeluarkan suara "Oh!" dengan ekspresi terkejut di wajah masing-masing. Ketiganya tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar. Namun, setelah beberapa detik saling menatap, senyum kecil mulai mengembang di bibir mereka. Raut wajah cemas perlahan berganti dengan rasa penasaran. Mereka saling berbisik, mencoba memahami tawaran Nathan, sebelum akhirnya ketiganya tertawa kecil.
Setelah suasana menjadi lebih tenang dan ketiga gadis tersebut tampak setuju, Nathan merasa saatnya untuk bertindak. Ia berdiri dengan tenang, menatap Heni, Tuti, dan Sari satu per satu. Nathan berkata, “Aku ingin kita bercinta bersama-sama. Kalian aku tunggu di kamarku.”
Nathan mengamati reaksi mereka, memastikan tidak ada yang merasa tertekan atau terpaksa. Setelah itu, ia mulai melangkah ke arah ruang tengah, menunggu ketiga gadis itu mengikutinya. Nathan melewati ruang tengah dan naik ke lantai dua. Ia berjalan cepat menuju kamarnya. Setibanya di pintu, Nathan membukanya dan masuk ke dalam. Ia menutup pintu dengan hati-hati. Ia kemudian melepas semua pakaiannya, kecuali boxer yang masih dikenakannya. Setelah itu, ia berbaring di atas tempat tidur. Nathan menunggu ketiga gadis itu muncul.
Beberapa menit berselang, terdengar ketukan di pintu kamar Nathan. Tanpa menunggu jawaban, Heni dan Tuti langsung membuka pintu dan masuk. Nathan terkejut melihat keduanya. Ia hanya melihat Heni dan Tuti, sementara Sari tidak tampak bersama mereka.
Nathan bertanya, “Kemana Sari?”
Tuti menjawab, “Sari tidak ikut, Tuan Muda. Dia masih takut.” Sementara Heni menutup pintu dengan perlahan.
Nathan menatap keduanya, lalu bertanya lagi, “Kenapa Sari takut?”
Tuti menjawab, “Sari masih perawan.”
Nathan tersenyum mendengar bahwa Sari masih perawan. Dia merasa puas dengan jawaban itu. Nathan memandang Tuti dan Heni yang hanya berdiri di sana. Keduanya tampak tidak tahu harus berbuat apa. Nathan ingin melanjutkan suasana ini.
“Nah, Heni, Tuti,” ucap Nathan. “Lepaskan pakaian kalian.” Nathan bersikap santai. Ia ingin keduanya merasa nyaman. Heni dan Tuti saling berpandangan sejenak. Setelah beberapa detik, mereka mulai bergerak untuk mengikuti perintah Nathan.
Heni dan Tuti saling bertukar pandangan, kemudian perlahan-lahan mereka mulai melepaskan pakaian yang melekat di tubuh mereka. Heni membuka kancing blusnya satu per satu. Dengan hati-hati, ia melepaskan blusnya dan membiarkannya jatuh ke lantai. Setelah itu, Heni melepas bra-nya dan membiarkannya tergeletak di samping blus. Tuti mengikuti langkah Heni. Ia menarik zipper pada rok dan melepaskannya dengan lembut. Roknya meluncur ke bawah, menumpuk di kakinya. Selanjutnya, ia juga melepas celana dalamnya, sehingga kini keduanya berdiri tanpa pakaian. Keduanya berdiri kaku dan malu-malu menunggu instruksi selanjutnya dari Nathan.
Nathan mengamati tubuh telanjang Heni dan Tuti dengan seksama. Bentuk tubuh mereka terlihat sempurna dalam pandangannya. Heni memiliki kulit halus dengan lekuk tubuh yang indah. Tuti berdiri dengan percaya diri, menonjolkan keindahan alami yang membuatnya tampak menawan. Payudara mereka penuh dan kulit mereka terlihat bersinar. Nathan merasakan ketertarikan yang kuat. Keduanya berdiri di depannya tanpa pakaian, menampilkan keindahan yang mengundang.
“Kemarilah …!” pinta Nathan agar Heni dan Tuti naik ke tempat tidurnya.
Heni dan Tuti bergerak perlahan menuju tempat tidur Nathan. Heni mendahului, mengangkat kakinya satu per satu sebelum naik ke atas tempat tidur. Tuti mengikuti di belakang, tetap mempertahankan gerakan lembutnya. Nathan mengamati mereka, lalu memberi perintah dengan suara yang tenang, “Berbaringlah di sisi kiri dan kananku.”
Heni dan Tuti segera mengikuti arahan Nathan. Heni berbaring di sisi kiri, sementara Tuti mengatur posisi di sisi kanan. Nathan berbaring di tengah, mengatur posisinya agar nyaman. Dengan gerakan lembut, kedua tangan Nathan bergerak ke belakang leher Heni dan Tuti. Ia menarik mereka agar lebih dekat. Heni dan Tuti merapatkan tubuh mereka kepada Nathan. Heni bahkan memeluk tubuh Nathan, merasakan kehangatan dan ketenangan di dekatnya. Keduanya menyesuaikan diri, merasakan kenyamanan yang menyambut tubuh mereka.
Nathan merasa nyaman dengan kedekatan itu. Dia memecah keheningan dengan nada ringan, “Jadi, bagaimana kita semua sampai di sini?”
Heni tersenyum dan menjawab, “Saya selalu merindukan dipelukmu, Tuan Muda. Rasanya nyaman dan hangat saat berada di dekat Tuan Muda.”
Tuti menambahkan, “Iya, Tuan Muda. Kami sering membicarakan betapa baiknya Tuan Muda memperlakukan kami. Kami merasa sangat beruntung.”
“Kalau begitu … Apa yang akan kalian lakukan sekarang?” goda Nathan.
Heni yang terlebih dahulu berinisiatif. Gadis itu perlahan bergerak menuruni tubuh Nathan, lalu menarik boxer yang dikenakan Nathan. Setelah itu, Heni mulai menciumi ujung kepala penis Nathan sambil tersenyum, memberikan tatapan penuh cinta kepada tuannya yang terbaring di atas ranjang. Nathan tersenyum menatap wajah manis Heni, yang memerah karena hasrat yang berkobar. Ia menerima pelayanan dari gadis itu sambil membelai rambut panjangnya dengan lembut.
Tuti kemudian bergerak ke bawah tubuh Nathan. Sepertinya Heni tahu bahwa ia juga menginginkan kejantanan Nathan. Heni pun memberikan kesempatan kepada Tuti. Nathan menatap Tuti dengan mata terbuka lebar saat Tuti tiba-tiba melahap, mengocok-ngocok, dan menghisap penis Nathan sekuat-kuatnya sampai membuat Nathan mendesis dalam kenikmatan. Dengan tangan yang mencengkeram kuat kepala Tuti, dengan penuh nafsu, ia menghujamkan penisnya ke dalam mulut Tuti sambil menggerakkan kepala Tuti maju dan mundur, naik ke atas dan turun ke bawah, mengentot liang mulut Tuti yang hangat dan basah dengan penuh gairah.
Tuti hampir tersedak karena kaget. Namun, dengan cepat ia terbiasa dan mulai menikmati setiap sodokan penis Nathan yang mengaduk-aduk lidah dan mulutnya. Tuti pasrah saat kepalanya dipegang oleh Nathan dan digerakkan secara paksa mengikuti irama sodokan dan tarikan penis Nathan yang berada di dalam mulutnya. Di tengah hasrat yang menggelora, Nathan tetap memperhatikan Tuti dan melepaskan pegangan tangannya dari kepala Tuti, yang beristirahat sejenak untuk mengambil napas yang hampir putus.
Begitu penis Nathan lepas dari mulut Tuti, Heni yang tidak ingin kehilangan kesempatan emas ini langsung menyambar organ pria itu dan melahap seluruh bagian batangnya bulat-bulat hingga tertanam sampai ke dasar tenggorokannya. Dengan tangan yang terampil, Heni memainkan kedua buah zakar Nathan sambil mengocok-ngocok batang penisnya yang telah basah dan licin karena dilumasi oleh air liur Tuti dan dirinya. Heni memberikan oral sex kelas profesional kepada Nathan dengan penuh ketelatenan.
Akhirnya, kedua gadis itu mulai bekerja sama mengocok buah zakar Nathan di kiri dan kanan sambil menjilati batang kejantanannya dengan lidah-lidah mereka, secara bergiliran menghisap penisnya. Tuti meng-handle bagian kiri, sementara Heni menangani sebelah kanan. Nathan merasakan rangsangan ganda dari kedua gadis tersebut dengan sensasi yang luar biasa.
“Sudah cukup … Sekarang siapa yang ingin duluan …” pinta Nathan pada kedua gadisnya.
Kedua gadis itu saling melempar senyum sambil mengangguk kecil. Ternyata, Tuti yang menunggangi selangkangan Nathan, sementara Heni duduk di atas dada Nathan dan menyodorkan bokongnya yang indah ke wajah Nathan. Tuti segera memposisikan penis Nathan agar siap menembus liang kenikmatannya dan dijepitnya ujung batang kejantanan Nathan yang kuat itu dengan bibir vaginanya yang telah basah dan lapar.
Heni yang pantatnya dipegang oleh Nathan memegang dan meremas-remas payudara Tuti yang sudah sangat ranum dengan puting susu yang telah mengeras. Dipermainkannya kedua buah dada temannya itu sambil sesekali menyeruput puting susu Tuti, yang membuat gadis tersebut langsung mengerang penuh kenikmatan.
Paha Tuti yang gemetaran penuh nikmat akhirnya tidak kuat lagi menahan tubuhnya dan akhirnya jatuhlah dia terduduk di atas selangkangan Nathan, dengan penis Nathan yang langsung melesak masuk menghujam tubuhnya dari bawah. Gelombang kenikmatan yang begitu dahsyat langsung menyebar dari daerah pribadi Tuti menjalar ke seluruh tubuhnya dan cairan cintanya membanjiri selangkangan Nathan.
Heni yang melihat betapa nikmat yang dialami oleh Tuti dengan nakal terus memainkan buah dada dan puting susu Tuti. Diremas dan dihisapnya payudara Tuti kuat-kuat sembari menikmati sensasi nikmat yang juga dialami oleh dirinya sendiri tatkala madu kembang yang masih mengalir di daerah kewanitaannya diseruput oleh Nathan sambil memijat-mijat kedua belah pantatnya yang putih dan mulus tersebut.
"Akh....! Kontol Tuan enak banget!" Seru Tuti yang telah diguyur habis-habisan di bagian atas dan bawah oleh teman dan tuannya tersebut. "Enaaakkk.... Enakkk banget.... Ahh.... .... Tuaann....!"
Sambil meracau merasakan kenikmatan di bagian payudara dan vaginanya, Tuti mulai menggerak-gerakkan pinggulnya dan dengan gerakan memompa naik dan turun, dipacunya penis Nathan keluar masuk liang vaginanya, menyodok-nyodok bagian terdalam lubang kenikmatannya dan mengirimkan sensasi nikmat yang langsung menjalar naik ke atas sampai menembus ubun-ubunnya.
Dengan nafas yang terengah-engah dan tangan yang bertumpu pada kedua belah paha sang lelaki yang ditungganginya, disodorkannya payudaranya yang membusung agar terus dilahap oleh sahabatnya sambil memacu pinggangnya naik dan turun memompa penis Nathan dengan gerakan yang semakin cepat.
“Aaahh... Aaahh... Aaahh...” Tuti terengah-engah, napasnya memburu, seolah-olah setiap helaan itu berjuang keluar dari dalam tubuhnya.
"Hebat! Memek Tuti sampai melar begitu!" ucap Heni takjub.
Akhirnya kedua pembantu rumah tangga itu pun saling menggenggamkan kedua tangan mereka dan saling bersandar pada diri yang lainnya sambil menikmati kenikmatan yang diberikan oleh Nathan kepada mereka. Tuti yang menikmati penis Nathan di vaginanya dan Heni yang menikmati permainan lidah sang lelaki di daerah pribadinya saling bertumpu dan tubuh kedua gadis tersebut seolah membentuk sebuah piramida dengan Nathan sebagai fondasinya. Wajah Tuti dan Heni yang semakin mendekat dan nafas mereka yang bercampur penuh dengan nafsu membuat tubuh mereka menjadi semakin lengket satu sama lain dan kedua gadis itu pun mulai saling berciuman dengan payudara mereka yang saling beradu dan bergesekan memberikan kenikmatan satu sama lainnya.
Permainan lidah Nathan di dalam vagina Heni menjadi semakin intens dan kadang-kadang digunakannya juga jari-jarinya untuk merangsang Heni. Diusapnya vagina Heni dan dibelainya kedua belah pantatnya sambil menyeruput nektar yang keluar dari kembang kewanitaannya sambil sesekali dihisapnya klitoris Heni sambil mengaduk-aduk vagina sang gadis dengan jari-jarinya hingga nektar yang keluar dari kembang kewanitaan Heni mengucur semakin deras karena gadis itu mengalami orgasme yang disebabkan oleh permainan lidah dan jari Nathan di daerah pribadinya.
Sementara itu, Nathan pun tidak lupa menghentak-hentakkan pinggulnya ke atas dan ke bawah mengikuti irama gerakan Tuti dan memompa penisnya semakin dalam melesak masuk menghantam daerah terdalam lubang kenikmatan Tuti sehingga memberikan rangsangan ekstra kepada sang gadis.
Tubuh kedua wanita tersebut bergetar dan mulai menggelinjang, bergolak pertanda gelombang klimaks sudah semakin dekat siap menghantam mereka. Penis Nathan yang sudah besar dan keras karena terus-menerus dirangsang oleh gesekan-gesekan yang bercampur dengan pijatan kuat otot-otot dinding vagina Tuti yang liat dan kencang serta dengan mulus keluar-masuk memompa lubang kenikmatan sang gadis karena telah dilumasi oleh cairan kenikmatan yang keluar dari daerah pribadinya juga terasa semakin panas dan berkedut-kedut pertanda sudah siap meledak. Gerakan tubuh ketiga insan yang sedang memadu kasih di atas ranjang tersebut menjadi semakin panas dan intens seiring dengan semakin dekatnya mereka bertiga dengan puncak kenikmatan masing-masing.
"Tuttiii.... Aku sudah mau keluar...!"
"Tuaann, aku juga.... Keluarin aja.... di dalam....!"
"Aaaakkkhhh....! Aku juga udah mau muncratttt....!"
Tidak lama berselang mereka bertiga pun saling menyesuaikan irama percumbuan mereka hingga akhirnya Tuti, Heni dan Nathan dapat meraih klimaks secara bersamaan.
"Ayo, keluarr!"
"Aaakkkhh....! Keluarrr.... Aku keluaarrrr....!!!!"
"Aaaahhhhh..... Tuti.... Tuan... Aku juga muncrattt...!!!!"
Tubuh Tuti, Heni dan Nathan bergetar hebat digoyang oleh kenikmatan dahsyat yang dibawa oleh gelombang klimaks yang menghantam tubuh mereka. Penis Nathan yang memuncratkan madu putih kentalnya yang memenuhi liang senggama Tuti terus dipijat dan diperah dengan rakus oleh otot-otot dinding vagina Tuti yang kencang dan kuat. Sementara vagina Heni yang berkedut-kedut memuncratkan madu cintanya yang langsung diteguk oleh Nathan yang telah termabukkan dengan manisnya kepuasan seksual yang telah mereka raih bersama-sama. Hisapan mulut Nathan tak henti-hentinya merangsang vagina Heni untuk terus mengeluarkan cairan nektar yang memuaskan dahaga nafsu pemuda itu. Tubuh Tuti dan Heni yang saling berpelukan jatuh bergumul di atas tubuh Nathan, tenggelam dalam gelombang kenikmatan yang menerpa diri mereka semuanya.
Cukup lama Tuti dan Heni saling berpelukan dalam dekapan tubuh Nathan di atas ranjang. Nafas mereka yang memburu saling bercampur dan tubuh mereka yang masih panas dibakar oleh api nafsu yang berkobar-kobar dalam diri mereka masih belum berhenti bergetar dan berkedut, yang saling menghantarkan rangsangan sensual satu sama lain.
Perlahan Heni merayapi tubuh Nathan dan mengecup mesra tuannya itu. Dengan tatapan lapar, dipintanya Nathan untuk memenuhi hasrat nafsunya yang masih belum terpuaskan.
"Tuan Muda... giliran aku ya... Aku juga mau..."
"Walaupun kamu sudah muncrat? Kamu masih belum puas, Hen?" Tanya Nathan dengan senyum menggoda.
Heni membalas senyumannya dan diciumnya kembali Nathan sambil berbisik lembut di telinganya. "Kalau belum ditusuk pakai senjata Tuan Muda, saya mana bisa puas..." Lalu dengan senyum nakal dikecupnya lagi Nathan yang membalas dengan mengulum bibir dan lidahnya.
Tuti yang memperhatikan keduanya dengan penuh pengertian menyingkir ke samping dan memberikan ruang kepada kedua insan itu untuk memadu kasih. Nathan bangkit dan menciumi Tuti dengan penuh gairah sebelum mulai kembali bercumbu dengan Heni yang masih terbaring di atas ranjang. Dipegangnya pinggang Heni dan dengan kedua tangannya, Nathan mulai bergerak menyusuri dan membelai setiap bagian paha Heni yang putih dan mulus sambil membuka selangkangan sang gadis lebar-lebar ke samping. Heni menerima setiap belaian dari Nathan yang membuat tubuhnya merasa rileks dan membiarkan dirinya kembali tenggelam dalam kenikmatan cinta.
Tubuhnya yang begitu indah dan mulus dengan lekuk-lekuk yang menawan terbaring dengan kedua tangan dan kaki yang terentang ke samping bagaikan busur yang membentang di atas ranjang. Nathan menatap tubuh indah Heni yang bagaikan sebuah masterpiece ciptaan Tuhan dan perlahan diangkatnya pinggul Heni dan dipaskannya posisi batang kejantanannya yang sudah siap beraksi kembali tepat di hadapan lubang kewanitaanya yang tersingkap oleh selangkangannya yang terbuka lebar mengangkang di hadapan Nathan.
Dengan sekali hentakan, Nathan menancapkan penisnya langsung hingga ujungnya melesak ke bagian terdalam vagina Heni. Tanpa basa-basi lagi, langsung saja dipompanya liang kenikmatan Heni dengan penuh nafsu sehingga batang kejantanannya berpacu dengan cepat keluar-masuk lubang kewanitaan sang gadis.
Heni yang menerima hantaman penis Nathan yang cepat, kuat dan penuh gairah bergesek-gesekan dengan setiap bagian sensual di dalam liang cintanya sambil menyodok-nyodok pintu rahimnya yang terbuka lebar-lebar siap untuk menerima benih cinta Nathan tak ayal kemudian menggelinjangkan tubuhnya yang mengangkang di hadapan Nathan sambil berteriak penuh kenikmatan.
"Akkhhh! Tuaaann....! Enak Tuaann....!"
Nathan yang menahan kedua belah paha Heni yang terbuka mengangkang dengan kedua tangannya sambil memacu penisnya yang besar, panas dan keras yang dengan ganas merogol vagina Heni yang ketat, kencang, hangat dan liat. Otot-otot vagina Heni dengan penuh ketekunan menjepit dan berkedut-kedut memijat-mijat penis Nathan yang merangsang seluruh organ seksualnya hingga ke bagian yang terdalam hingga pintu rahimnya terbuka lebar dengan penuh suka cita. Tubuh indah Heni yang putih dan mulus dengan lekuk-lekuk yang menggoda bergetar hebat dalam gema kenikmatan surgawi dan mulutnya terus meracau dengan pelupuk mata yang tertutup bergetar menikmati hubungan badannya dengan sang lelaki yang ia sukai.
Tuti yang tersenyum melihat betapa temannya itu telah tenggelam dalam kenikmatan seksual yang diberikan oleh Nathan memeluk tubuh Heni yang terbaring di atas ranjang dan tangannya mulai mempermainkan payudara temannya tersebut. Tuti mengecup dan menjilati pipi Heni yang lembut seperti marshmallow yang lezat sambil meremas dan memutar-mutar puting susunya yang telah begitu keras menerima rangsangan seksual yang diberikan oleh dirinya dan Nathan.
Heni yang menerima rangsangan ganda dari Nathan di bagian bawah daerah pribadinya dan Tuti di bagian atas payudara dan wajahnya mengerang semakin kuat dan mengalami puncak kenikmatannya sendiri.
"Aku keluarrrr.....! Tuan... Tuti...! Aku keluarrr....!!!! Keluaaarrrr!!!!"
Vagina Heni yang mengalami orgasme langsung menjepit kuat batang kejantanan Nathan dan memuncratkan cairan cintanya hingga membasahi selangkangan mereka yang saling beradu. Penis Nathan yang saat itu telah tertancap di bagian terdalam vagina Heni menerima ciuman dan hisapan dari mulut rahim sang gadis sambil menikmati pijatan-pijatan kuat dari otot-otot dinding vagina Heni yang begitu kuat menjepit dan meremas-remas penis Nathan dengan rakus. Vagina Heni yang berkedut-kedut dengan sensual seolah mencoba untuk memerah susu putih kental Nathan yang masih belum keluar juga padahal lubang kenikmatan sang gadis telah mengucurkan nektar cintanya dengan sangat deras.
Nathan tersenyum menatap wajah cantik Heni yang telah tenggelam ditelan gelombang kenikmatan yang menerpa dirinya dengan begitu dahsyat hingga membuat matanya terpejam dan mulutnya megap-megap terbuka dan tertutup memburu nafasnya yang terengah-engah setelah mengerang-erang dengan penuh gairah sementara vagina sang gadis dengan rakus melahap batang kejantanannya hingga ke bagian terdalam lubang kenikmatannya.
Tubuh Nathan bergerak turun ke bawah meniduri tubuh Heni yang masih terbaring di atas ranjang sambil menikmati batang kejantanan sang lelaki yang telah begitu dalam menancap hingga mencium pintu rahim sang gadis. Dipeluknya tubuh sang gadis yang begitu lembut dan hangat, yang masih berkedut-kedut dalam kenikmatan seksual yang telah diraihnya dan perlahan dipacunya kembali penisnya yang belum mengalami orgasme dan masih besar dan keras tertancap dalam lubang cinta Heni.
Penisnya dengan penuh gairah mulai bergerak kembali keluar-masuk lubang kenikmatan Heni yang telah menjadi begitu hangat dan basah melumasi penis nathan yang dipompa dengan semakin cepat dan intens menyodok-nyodok liang cintanya kembali hingga ke bagian yang paling dalam. Tubuh Heni yang masih begitu sensitif karena belum selesai menikmati kenikmatan orgasme yang baru saja diraih oleh dirinya kembali menggelinjang dan bergetar hebat sambil melingkarkan kedua tangannya untuk memeluk leher Nathan dan memantapkan posisinya sembari meraung dengan penuh nikmat.
"Aaakkkkhhh!!!! Aku dari tadi sudah keluarrr!!!! Aaaakkkh aahhhh! Tidak....! Lagiii!! Lagiiii!!!! Vagina aku tidak bisa berhenti muncraatttt!!!!! Tuaaannn..!!!! Jangan disaanaaa!!!! Jangan disanaaaa....!!!!"
Penis Nathan dengan ganas merogol vagina Heni dengan begitu intens. Tidak dihiraukannya racauan sang gadis dan tak lama kemudian Heni pun akhirnya kembali mengalami klimaks, dengan saling berpelukan erat seolah tubuh mereka yang saling berkait telah menempel dengan kuat tak ingin lepas satu sama lainnya.
Setelah memuaskan diri Heni yang terbaring mengangkang penuh kenikmatan di atas ranjang, Nathan beralih membelai pipi Tuti yang sedang memeluk temannya dari sebelah kanan. Tuti yang tahu kalau kali ini gilirannya telah tiba dengan segera melepaskan pelukannya dari tubuh Heni dan merangkul leher Nathan yang membungkukkan badannya. Nathan pun segera berpindah posisi dari Heni ke Tuti. Ditindihnya tubuh Tuti sambil mulai saling berciuman dengan panas dan tubuh mereka semakin erat berpelukan saling menempel dan bergesek-gesekan satu sama lain. Lubang kenikmatan Tuti mulai becek membanjir karena sensasi merangsang yang dia rasakan ketika payudara dan puting susunya bergesekan dengan dada Nathan yang bidang dan selangkangan mereka yang saling bertemu membuat organ kelamin mereka yang telah begitu sensitif saling beradu satu sama lain.
Penis Nathan yang sedang asyik mematuk-matuk bibir vagina Tuti semakin mengeras merasakan sensasi hangat dan basah di selangkangan Tuti. Dalam kobaran hasrat nafsu yang tersulut membakar jiwa mereka, Tuti dan Nathan pun tak lama kemudian mulai saling bergumul di atas ranjang, tepat di samping tubuh Heni yang masih terengah-engah merasakan setiap momen puncak kenikmatan yang telah diraihnya. Nathan segera memacu penisnya yang langsung melesak masuk ke bagian terdalam liang kenikmatan Tuti. Tuti yang mendesah penuh kenikmatan merangkul leher Nathan semakin erat dan membawa tubuh sang lelaki semakin menempel dengan tubuhnya. Kedua tangan Nathan pun juga ikut memeluk menahan tubuh Tuti yang bergetar dan menggelinjang dalam kenikmatan. Tangan kiri Nathan menahan pinggul Tuti yang ramping sementara tangan kanannya bergerak jauh ke belakang menahan punggung mulus sang gadis.
Kedua insan yang telah dimabuk birahi itu pun saling berciuman sembari memacu selangkangan mereka yang saling beradu dan mempertemukan kelamin mereka dalam sebuah peraduan cinta yang penuh dengan kenikmatan hasrat nafsu birahi. Nathan memeluk tubuh Tuti semakin erat dan Tuti juga semakin mengencangkan rangkulan tangannya di leher Nathan sementara ciuman mereka menjadi semakin panas dan basah dan cumbuan kelamin mereka menjadi semakin kuat dan intens. Payudara Tuti yang ranum, besar dan lembut benar- benar terhimpit dalam desakan dada Nathan dan denyut jantung mereka berdua saling bertemu dan beresonansi satu sama lain.
Mereka berdua pun memejamkan mata mereka menikmati persetubuhan mereka yang sudah semakin dekat akan segera mencapai puncaknya. Hingga akhirnya ciuman mereka berdua terputus dan mulut mereka yang terbebas saling mendesah dan meraungkan teriakan penuh kenikmatan yang menggema memenuhi seluruh ruangan. Tuti dan Nathan meraih klimaks mereka secara bersamaan ketika tubuh mereka yang penuh gairah hasrat birahi benar-benar terasa menyatu lahir dan bathin.
Penis Nathan dengan penuh semangat menyemburkan susu putih kental yang diterima langsung oleh rahim Tuti yang terbuka lebar dengan penuh suka cita menerima benih-benih cinta Nathan. Otot-otot dinding vagina Tuti yang begitu liat, ketat dan kencang terus menggenjot, memijat dan memerah penis Nathan tanpa mengenal lelah, seolah mencoba untuk memeras susu putih kental nan nikmat yang terus mengucur keluar dengan derasnya dari batang kejantanan Nathan hingga tetes terakhir.
Tubuh Nathan akhirnya roboh dan jatuh dalam pelukan Tuti yang sudah terbaring di atas ranjang dan kedua insan itu pun tenggelam dalam gelombang kenikmatan yang begitu dahsyat menyapu setiap bagian diri mereka dalam puncak kenikmatan Surgawi.
“Tuan Muda sangat tangguh…” kata Heni, matanya berbinar penuh kagum. “Bisa membuat saya dan Tuti bahagia.”
Tuti menambahkan dengan semangat, “Iya! Hanya Tuan Muda yang bisa membuat saya keluar dua kali dalam satu babak. Itu luar biasa!”
Nathan tersenyum, merasa sedikit bangga namun tetap merendah. “Ah, masih banyak laki-laki lain yang lebih kuat. Kalian seharusnya mencari mereka.”
Heni menatap Nathan, ragu akan ucapannya. “Tapi Tuan Muda, siapa yang bisa dibandingkan dengan ketangguhan Tuan Muda? Saya merasa beruntung bisa berada di sini bersama Tuan Muda.”
“Benar!” Tuti menyahut sambil tertawa. “Tuan Muda pasti akan menjadi rebutan para wanita di rumah ini. Bayangkan saja, banyak yang akan jatuh hati sama Tuan Muda!”
Nathan, tak mau ketinggalan, menjawab dengan nada bercanda. “Kalau itu terjadi, bisa bahaya ... Jangan-jangan, aku bisa mati kehabisan sperma!”
Ketiganya pun tertawa lepas, suasana hangat semakin terasa di antara mereka. Heni dan Tuti memandang Nathan dengan rasa kagum dan pengagungan, terpesona oleh ketangguhan serta kepribadian tuannya yang menyenangkan.
Malam itu, ketiganya terlibat dalam tarian birahi yang sangat menggairahkan, membuat batasan antara mereka semakin hilang. Birahi yang mengalir di antara mereka seolah membentuk ikatan tak terputus. Desahan dan erangan menjadi irama yang mengisi malam, mengalun lembut di antara ketiga jiwa yang saling bersatu, mengantarkan mereka dalam perjalanan penuh hasrat dan gairah. Mereka menyatu dalam kebersamaan, membiarkan diri mereka hanyut dalam kenikmatan yang tak terlukiskan.
-------
Ruang kerja Nathan memiliki jendela besar yang memancarkan cahaya matahari pagi yang hangat. Meja kayu terletak di tengah ruangan, bersih dan teratur. Di atas meja, terdapat komputer yang menyala, beberapa buku, dan catatan. Tanaman hijau dalam pot menghiasi sudut ruangan. Suara lalu lintas terdengar samar dari bawah, tetapi tidak mengganggu. Aroma kopi segar memenuhi udara. Poster-poster motivasi menghiasi dinding, penambah semangat. Nathan duduk di kursi, fokus pada layar. Ia memeriksa email dan menyusun rencana harian.
Nathan membutuhkan bantuan Anggi untuk menyelesaikan tugas penting. Ia berdiri dari kursinya dan melangkah ke ruangan depan. Ruangan tersebut terang, dengan beberapa kursi dan meja. Anggi duduk di meja kerja, menatap layar komputer. Nathan terkejut melihat lukisan antik di dinding yang berada di atas kepala Anggi. Lukisan itu menggambarkan sosok Prabu Brajamusti dengan detail yang menakjubkan. Di belakang sosok Prabu, terlukis sebuah gunung dengan tiga puncak, memberikan kesan megah dan kuat. Warna-warna cerah pada lukisan membuatnya terlihat hidup. Nathan melangkah sedikit maju untuk melihat lebih dekat. Ia terpesona oleh ekspresi wajah Prabu yang kuat dan penuh kebijaksanaan. Nathan bertanya-tanya dalam hati bagaimana lukisan itu bisa ada di ruangan Anggi.
Anggi menoleh ke arah Nathan dan melihat keterpesonaan di wajahnya. Ia bertanya dengan nada heran, “Apakah Tuan Muda suka lukisan itu?” tanya Anggi sambil bangkit dari duduknya.
Nathan mengangguk pelan, lalu bertanya, “Darimana kamu mendapatkan lukisan ini?”
Anggi menjawab, “Saya beli lukisan ini di sebuah pameran di Yogyakarta dua tahun yang lalu.” Ia menambahkan, “Lukisan ini menarik perhatian saya sejak pertama kali melihatnya.”
“Apa yang membuatmu tertarik dengan lukisan itu?” tanya Nathan dengan tetap memperhatikan lukisan Prabu Brajamusti.
Anggi menjawab, “Saya suka dengan Prabu Brajamusti karena dia sosok yang kuat dan karismatik. Lukisan ini bikin saya merasa bersemangat setiap kali melihatnya.”
“Oh …” gumam Nathan. Ternyata Anggi tahu sosok yang ada dalam lukisan itu.
Nathan mengamati detail-detail lukisan Prabu Brajamusti dengan seksama. Matanya tertuju pada bagian bawah lukisan. Di sana terdapat tulisan Jawa Kuno yang tertulis dengan indah. Tulisan itu terlihat jelas, meskipun sedikit pudar. Nathan merasakan seolah tulisan tersebut memanggilnya. Ia merasa ada sesuatu yang sangat penting dalam pesan itu. Setiap huruf memiliki bentuk yang khas, menciptakan aura misteri.
“Apakah kamu tahu arti tulisan itu, Anggi?” tanya Nathan sambil menunjuk tulisan Jawa Kuno yang ada dalam lukisan Prabu Brajamusti tersebut.
Anggi berkata, “Tulisan itu bilang, jangan biarkan keserakahan anak cucuku menguasai hati. Jika niat jahat mengambil alih, warisan leluhur ini akan musnah.”
Nathan merenungkan kata-kata yang tertulis di lukisan. Pesan dari leluhur itu menggugah pikirannya. Ia merasa bahwa peringatan tersebut tidak hanya sekadar tulisan kuno, tetapi juga sebuah tanda. Keserakahan yang diungkapkan dalam tulisan itu membuatnya berpikir tentang situasi yang sedang dihadapinya. Nathan merasa ada ancaman yang tidak terlihat, seolah-olah ada kekuatan gelap yang ingin merusak warisan yang seharusnya dijaga. Pesan tersebut bergaung di benaknya, mengingatkan bahwa niat jahat bisa muncul dari siapa saja, termasuk orang-orang terdekat.
“Anggi … Aku ingin sekali lukisan itu. Apa kamu mau menjualnya padaku?” tanya Nathan dengan penuh harap.
Anggi tersenyum lebar dan menjawab, “Oh, lukisan ini sangat mahal, Tuan Muda. Harganya bisa bikin dompet Tuan Muda menjerit.”
Nathan tertawa kecil, “Berapa pun itu, aku akan membayarnya.”
Anggi berpura-pura berpikir sejenak, “Hmm, kalau gitu, harganya bisa mencapai angka yang tidak pernah Tuan Muda bayangkan.”
“Aku bilang, aku akan membayar berapa saja untuk lukisan itu!” Nathan menjawab dengan semangat.
“Baiklah, saya setuju. Saya akan menjualnya pada Tuan Muda,” kata Anggi, tidak bisa menahan tawanya.
Nathan berdiri di depan lukisan Prabu Brajamusti dengan rasa puas. Meskipun ia belum membayar, keputusan untuk memilikinya sudah bulat. Dengan hati-hati, ia mengambil lukisan tersebut dari dinding ruangan Anggi. Nathan melangkah menuju ruangannya, memastikan lukisan tidak tergores. Sesampainya di ruangannya, ia menempatkan lukisan di sisi kiri dinding. Tempat itu mendapat cahaya yang cukup dari jendela, sehingga warna-warna cerah pada lukisan terlihat lebih hidup. Nathan mundur sedikit untuk mengamati lukisan dari berbagai sudut. Ia terpesona oleh detail sosok Prabu Brajamusti yang kuat dan aura yang terpancar dari lukisan tersebut. Nathan berdiri di depan lukisan Prabu Brajamusti, merenungkan tulisan yang ada di dalam lukisan itu. Kata-kata tentang keserakahan anak cucu mengusik pikirannya. Ia mulai bertanya-tanya apa dan siapa sebenarnya yang dimaksud dalam tulisan itu.
Tiba-tiba pintu ruangan Nathan terbuka. Denis masuk dengan wajah kurang mengenakan. Ekspresi di wajahnya menunjukkan kegelisahan. Nathan menatapnya dengan penuh perhatian, merasakan ada yang tidak beres. Denis melangkah ke dalam, gerakannya terburu-buru dan tidak tenang.
Denis berdiri di hadapan Nathan dengan wajah penuh tekanan. Ia mengeluarkan napas berat dan berkata, "Aku harus segera terbang ke Cirebon. Lokasi proyek kita ada yang mengacak-acak, dan satu pegawai jadi korban."
Nathan merasa khawatir dan langsung bertanya, "Siapa yang berani membuat onar pada kita?"
Denis menggelengkan kepala, "Aku menduga kelompok Handoko. Mereka memang sejak awal menginginkan proyek di Cirebon itu."
"Aku ingin ikut ke lokasi proyek," kata Nathan dengan tegas.
Denis cepat menjawab, "Tidak, Nathan. Kamu harus tetap berada di gedung perusahaan ini. Aku takut kelompok Handoko membuat onar di sini."
Denis merasa bahwa situasi semakin mendesak. Ia tahu waktu tidak berpihak pada mereka. Dengan keputusan yang cepat, Denis berbalik menuju pintu. Ia melangkah cepat, tidak ingin membuang waktu lagi. Wajahnya menunjukkan ketegangan yang jelas saat ia keluar dari ruangan Nathan.
Sebelum pintu tertutup sepenuhnya, Denis mengucapkan, "Aku akan menghubungimu segera setelah sampai di sana." Pintu pun tertutup, meninggalkan Nathan dalam kebingungan dan kekhawatiran yang mendalam.
Nathan duduk di kursinya, mencoba mencerna semua informasi yang baru diterima. Pikirannya melayang ke proyek di Cirebon dan potensi bahaya yang mengancam timnya. Dalam hati, ia berharap Denis dapat mengatasi masalah ini tanpa ada yang terluka. Dengan satu harapan di dalam hati, Nathan kembali bekerja sambil menunggu kabar dari Denis. Hari kerja baru saja dimulai, tetapi pikiran Nathan terus terfokus pada apa yang mungkin terjadi di proyek tersebut.
Nathan berusaha mengalihkan perhatian dari situasi di Cirebon. Ia membuka komputer dan mulai memeriksa laporan keuangan. Angka-angka di layar mulai menyusutkan ketegangan dalam pikirannya. Ia fokus pada detail setiap angka, berusaha memastikan semuanya akurat dan rapi. Ia juga membaca beberapa dokumen penting terkait proyek lain yang sedang berjalan.
Seiring berjalannya waktu, Nathan menghadiri rapat dengan timnya. Diskusi mengenai proyek baru berlangsung dinamis. Nathan mendengarkan dengan seksama dan memberikan masukan yang konstruktif. Ia merasa terlibat dalam setiap pembicaraan, dan suasana kerja tim membuatnya semakin termotivasi. Setiap pertanyaan yang diajukan oleh anak buahnya mendapat perhatian penuh dari Nathan. Setelah rapat, Nathan kembali ke mejanya dan melanjutkan pekerjaan. Ia menyusun beberapa proposal dan merencanakan langkah-langkah strategis untuk proyek mendatang.
Saat waktu kerja berakhir, Nathan mematikan komputer dan merapikan meja kerjanya. Namun, tiba-tiba pintu terbuka dengan cepat. Seorang pegawai masuk tanpa mengetuk terlebih dahulu. Wajahnya tampak pucat, matanya membesar, dan napasnya tersengal-sengal. Ia berjalan cepat menuju meja Nathan dengan langkah yang terlihat terburu-buru.
Nathan memandang pegawai yang berdiri di hadapannya. “Kenapa kamu begitu panik?” tanyanya dengan nada tenang, meski alisnya sedikit terangkat, menunjukkan rasa penasaran.
Pegawai itu masih terengah-engah, mencoba menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Tuan besar... Tuan Denis... Dia terluka parah... Sekarang kritis di rumah sakit," jawabnya dengan suara bergetar.
Nathan tertegun seketika setelah mendengar kabar itu. Tubuhnya menegang. Detak jantungnya melonjak cepat, seolah sulit berfungsi normal. Wajahnya memucat, pikirannya langsung kacau. Dia berdiri terpaku, sulit menerima kenyataan yang tiba-tiba menghantamnya. Sesuatu dalam dirinya runtuh saat menyadari betapa seriusnya keadaan Denis.
Bersambung
