𝐋𝐢𝐤𝐚 𝐋𝐢𝐤𝐮 𝐊𝐞𝐡𝐢𝐝𝐮𝐩𝐚𝐧 𝐏𝐚𝐫𝐭 𝟐𝟎

Nathan menginap di sebuah villa di Pantai Utara Jawa, tepatnya di Kota Anyer. Sudah tiga hari Nathan menikmati suasana tenang di villa tersebut. Villa itu terletak di tepi pantai, dikelilingi pohon-pohon kelapa yang tinggi. Dari balkon, ia bisa melihat ombak berdebur lembut di pasir putih. Vila itu memiliki desain minimalis dengan warna-warna cerah, memberikan nuansa hangat. Saat ia duduk di tepi balkon, pandangannya terfokus pada lautan yang berkilauan, pikirannya melayang jauh, teringat pada ritual Sanghyang Jiva yang akan ia hadapi nanti malam.

Nathan dikejutkan dengan suara ponsel miliknya. Ia mengalihkan pandangannya dari laut yang tenang. Ponselnya bergetar di atas meja kayu di balkon villa. Setelah beberapa detik ragu, ia akhirnya mengangkat panggilan tersebut.

"Halo?" sapa Nathan kepada Heni yang meneleponnya di seberang sana.

"Halo, Tuan Muda!" suara Heni terdengar, mencerminkan kecemasan. "Tuan Muda di mana sekarang? Sudah beberapa hari saya tidak melihat Tuan Muda."

Nathan mengangkat alisnya. "Apakah Nyonya Besar atau Tuan Besar tidak memberitahumu tentang kepergianku? Aku sudah bicara pada mereka."

Heni terkejut. "Oh tidak Tuan Muda … Nyonya Besar atau Tuan Besar tidak pernah memberitahu itu padaku."

Nathan menjelaskan, "Aku ada di sebuah villa milik Nyonya Besar di Anyer."

“Villa ..?” Heni terkejut. "Sedang apa Tuan Muda di sana?" Heni bertanya, nada suaranya menunjukkan kekhawatiran.

Nathan tidak langsung menjawab. "Heni … Apakah di dekatmu ada orang lain?"

"Tak ada siapa-siapa," Heni menjawab cepat. "Sekarang saya sedang berada di gedung tempat istirahat, sendirian."

Nathan menghela napas, berusaha menenangkan pikiran yang berlarian. "Baik, Heni. Aku ingin kamu tahu kalau pembicaraan kita ini tidak boleh ada yang tahu. Ini sangat penting."

"Ya, Tuan Muda?" jawab Heni penuh kecemasan.

"Aku hanya ingin memastikan tidak ada orang yang mendengarkan pembicaraan kita," Nathan menjelaskan.

“Baik, Tuan Muda …” jawab Heni lagi.

"Heni, aku berada di villa ini untuk mempersiapkan diri menghadapi ritual Sanghyang Jiva. Aku memerlukan waktu untuk berlatih fisik dan memperkuat mental tanpa gangguan. Ini sangat penting bagiku, dan aku tidak ingin Maya atau siapapun mengetahui hal ini. Aku ingin lebih memahami diriku dan kekuatan yang ada di dalam diri ini. Tenang saja, aku baik-baik saja, tetapi semua ini harus tetap dirahasiakan," Nathan menjelaskan.

"Tuan Muda, sebaiknya Tuan Muda mundur saja dari ritual Sanghyang Jiva itu. Saya sudah memiliki orang lain yang bisa menggantikan Tuan Muda. Saya tidak ingin Tuan Muda menjadi tumbal dalam ritual itu. Keselamatan Tuan Muda jauh lebih penting bagi saya, dan saya khawatir jika Tuan Muda terlibat, nyawa Tuan Muda akan hilang," Heni berkata dengan nada cemas, berharap Nathan mendengarkan kekhawatirannya.

"Heni, aku menghargai kekhawatiranmu, tetapi aku sudah sangat siap untuk menghadapi ritual itu. Aku telah mempersiapkan diri dengan matang dan yakin akan kemampuanku. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Aku akan terus maju dan menghadapi apa pun yang akan terjadi. Percayalah, aku akan baik-baik saja, dan aku ingin kamu menghilangkan semua kekhawatiranmu," Nathan menjelaskan dengan tegas, berusaha meyakinkan Heni bahwa segala sesuatunya akan berjalan lancar.

"Tuan Muda, meskipun Tuan Muda merasa siap, saya tetap khawatir tentang apa yang mungkin terjadi. Saya tidak ingin kehilangan Tuan Muda," Heni berkata dengan suara bergetar, suaranya penuh kekhawatiran di ujung telepon. "Karena saya sangat menyukai Tuan Muda."

"Heni, jangan khawatir. Percayalah, aku akan selamat. Aku telah mempersiapkan diri dengan baik dan tahu apa yang harus dilakukan. Semua ini akan berlalu dengan baik, dan aku akan kembali dengan selamat. Kamu hanya perlu percaya padaku," Nathan menjelaskan dengan nada tenang, berusaha meyakinkan Heni bahwa ia akan baik-baik saja.

"Baiklah, Tuan Muda, saya paham dengan keputusan Tuan Muda," Heni berkata pelan, merelakan pilihan Nathan. "Tuan Muda … Ritual akan dimulai tengah malam nanti, jadi Tuan Muda harus datang setengah jam sebelum ritual dimulai. Dan satu hal lagi, Tuan Muda harus mengenakan pakaian serba hitam."

"Baik, dan aku akan datang sesuai jadwal," Nathan menjawab tegas.

"Tuan Muda, tolong berhati-hati. Saya sangat berharap Tuan Muda selamat dalam ritual nanti," suara Heni terdengar cemas di telinganya, "Saya akan menunggu kabar baik dari Tuan Muda." Setelah menyampaikan pesan itu, Nathan bisa merasakan beban di hati Heni sebelum ia akhirnya mendengar suara klik saat Heni memutus sambungan telepon.

Nathan berdiri tegak di balkon villa, menatap luasnya lautan Pantai Utara Jawa. Di dalam hatinya, ia merasakan kobaran semangat yang tidak pernah pudar. Ritual Sanghyang Jiva menanti di depan, dan Nathan telah mempersiapkan diri dengan sepenuh hati. Setiap latihan fisik dan mental yang dijalaninya menjadi bekal yang kuat. Ia merasa yakin dan percaya diri, tanpa rasa takut yang mengganggu pikirannya. Ketegasan dalam langkah dan kejelasan tujuan membakar semangatnya. Nathan tidak melihat alasan untuk mundur. Dengan keyakinan penuh, ia siap menghadapi setiap tantangan yang ada, siap menjalani ritual ini dengan sepenuh jiwa.

Renungan Nathan terhenti oleh deringan ponsel di tangannya. Ia menatap layar ponsel dengan seksama. Nama Anggi muncul di layar. Nathan merasa sedikit terkejut. Ia tidak menyangka Anggi akan menghubunginya.

Nathan mengangkat ponsel dengan cepat. "Halo, Anggi," sapanya.

"Tuan Muda, di mana Tuan Muda sekarang?" Anggi langsung bertanya, nada suaranya menunjukkan kekhawatiran.

"Aku sedang di villa, menyendiri dan menyepi," Nathan menjelaskan dengan tenang.

"Apakah ada masalah, Tuan Muda? Kenapa harus menyendiri?" Anggi mengajukan pertanyaan, rasa ingin tahunya semakin membesar.

Tiba-tiba, Nathan teringat akan sesuatu yang penting. Ia merasa dorongan untuk meminta Anggi menemuinya di villa. "Anggi, sebenarnya aku butuh kamu di sini."

"Eh? Saya malah membutuhkan Tuan Muda di kantor. Ada banyak yang harus diselesaikan," Anggi terkejut.

"Tinggalkan dulu pekerjaanmu. Sekarang aku butuh bantuanmu untuk menyelesaikan masalahku," Nathan menyatakan dengan tegas.

"Masalah? Apa masalah yang sedang Tuan Muda hadapi?" Anggi bertanya, nada suaranya penuh keheranan.

"Aku akan memberitahumu setelah kamu sampai di sini," jawab Nathan.

"Baiklah, saya akan segera ke sana. Kirimkan lokasinya lewat ponsel, ya?" Anggi merespons dengan cepat.

Nathan merasa lega. "Terima kasih, Anggi," katanya sebelum memutuskan sambungan telepon.

Nathan merenung sejenak setelah mengakhiri panggilan dengan Anggi. Ia tahu Anggi memiliki pengetahuan luas tentang hal-hal supranatural. Ia pernah mendengar Anggi membahas ritual-ritual yang terkait dengan kepercayaan dan praktik spiritual. Nathan merasa Anggi bisa membantunya memahami lebih dalam mengenai ritual Sanghyang Jiva. Dalam pikirannya, Anggi adalah orang yang tepat untuk diajak berdiskusi. Dengan keahlian itu, Anggi mungkin dapat memberikan pandangan yang berbeda dan solusi untuk menghadapi situasi ini. Nathan percaya, jika ada yang bisa membantunya memecahkan masalah ini, itu adalah Anggi.

Nathan menunggu Anggi dengan tenang di balkon villa. Ia duduk di kursi kayu yang nyaman, memandangi lautan yang bergelombang lembut. Pikiran Nathan melayang antara berbagai persiapan untuk ritual dan harapan akan kedatangan Anggi. Setiap detik terasa seperti perjalanan panjang, tetapi Nathan tetap sabar. Ia memeriksa ponsel berkali-kali, memastikan tidak ada pesan baru. Setelah sekitar satu jam menunggu, Nathan melihat mobil Anggi memasuki area villa. Ia menyambut kedatangan Anggi dengan melambaikan tangan dari atas balkon. Dengan langkah pasti, Anggi langsung menghampiri Nathan ke balkon.

“Indah juga tempat ini,” ujar Anggi setelah berada di balkon bersama Natan.

“Ambillah minum sendiri dalam kulkas,” kata Nathan sembari duduk kembali di kursinya.

Ia berjalan menuju kulkas yang terletak di dalam villa. Dengan cepat, Anggi membuka pintu kulkas dan mengambil sebotol air mineral. Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, Anggi menutup pintu kulkas dan kembali ke dekat Nathan. Ia duduk di kursi yang terletak di samping Nathan. Minum air mineral di tangannya membuat Anggi merasa lebih segar. Nathan menatap Anggi dengan perhatian, merasa bersyukur atas kehadirannya.

“Jadi?” tanya Anggi seperti ingin langsung pada pokok permasalahan.

“Anggi, aku ingin kamu berjanji. Apa pun yang kita diskusikan hari ini, jangan pernah katakan kepada siapa pun,” Nathan meminta dengan nada tegas.

Dengan nada serius, Anggi menjawab, “Aku akan merahasiakan apa saja yang kita bicarakan, Nathan,” sebutan yang hanya digunakan Anggi untuk Nathan di luar kantor atau di luar hubungan kerja mereka.

Nathan mengangguk, merasa lega mendengar komitmen Anggi. “Apa yang akan kita bicarakan sangat besar. Ini mungkin akan membahayakan keselamatan kita.”

Anggi terkejut, tetapi rasa penasarannya semakin bertambah. “Jangan meragukanku, Aku orangnya sangat menjaga rahasia. Apa yang akan kamu bicarakan denganku? Katakan saja jangan ragu.”

"Kamu pernah dengar atau baca tentang ritual yang namanya Sanghyang Jiva?" tanya Nathan serius.

Anggi mengerutkan dahi, jelas dia tidak familiar dengan nama itu. "Sanghyang Jiva? Nggak, aku nggak pernah dengar. Itu apa?"

Nathan menghela napas, menatap lantai sejenak sebelum menjawab. "Ritual ini... ritual untuk seseorang, biasanya perempuan, supaya bisa terlihat lebih cantik dan awet muda."

Anggi menatap Nathan dengan bingung. "Cantik dan awet muda? Maksudmu, kayak semacam mantra kecantikan gitu? Kok aneh sih?"

Nathan menggeleng pelan. "Ini lebih dari sekadar mantra. Ritual ini melibatkan kekuatan gaib. Pelakunya meminta bantuan dari siluman serigala. Tapi, ada syaratnya... mereka harus memberikan tumbal. Jantung manusia."

Mata Anggi membesar, jelas terkejut. "Tumbal jantung manusia? Serius, Nat? Ini sih gila!"

Nathan melanjutkan tanpa menghiraukan reaksi Anggi. "Iya, itu harga yang harus dibayar. Setelah tumbal diberikan, siluman serigala itu menggantikan sukma pelaku dengan makhluk gaib yang membuat si pelaku terlihat cantik dan awet muda. Tapi, di balik itu, sukma asli pelaku sebenarnya terperangkap. Mereka dikurung di penjara gaib, dijaga oleh siluman serigala yang sangat kuat."

Anggi terdiam, mencoba mencerna penjelasan Nathan yang terdengar masuk akal baginya. "Jadi... tubuhnya tetap hidup, tapi sukma mereka terjebak?”

“Ya … Seperti itu.” Kata Nathan lalu menghela napas kuat-kuat. “Dan … Itu yang dilakukan ibuku, Maya …” lanjut Nathan sedikit mendesah.

Anggi terperangah. "Apa? Jadi... Ibumu melakukan ritual ini?"

Nathan mengangguk pelan, wajahnya suram. "Aku pernah bertemu dengan sukma ibu... dia terperangkap di penjara gaib. Dia minta tolong padaku. Aku harus membebaskannya. Tubuh ibu di dunia nyata memang masih hidup dan terlihat sehat, tapi itu bukan dia. Itu hanya tubuh yang dikendalikan makhluk gaib."

Anggi menatap Nathan, masih dengan ekspresi bingung bercampur heran. "Jadi... kamu mau mengembalikan sukma Ibu Maya ke tubuhnya di dunia nyata?"

Nathan menatapnya lurus, tanpa ragu. "Iya. Malam ini, aku akan menghadapi siluman serigala yang menjaga sukma itu. Kalau aku bisa mengalahkannya, aku bisa membebaskan sukma ibu."

Beberapa detik berlalu tanpa suara. Akhirnya, Anggi membuka mulutnya dengan nada hati-hati, suaranya agak bergetar. "Jadi... apa yang kamu butuhkan dari aku, Nat?"

Nathan menatap Anggi dengan mata penuh tekad. "Aku butuh bantuanmu. Bisa nggak kamu cari informasi tentang siluman serigala itu? Penjaga sukma ibu."

Anggi meneguk ludah, keningnya berkerut. "Siluman serigala...? Kamu serius mau melawan makhluk kayak gitu?"

Nathan mengangguk tanpa ragu. "Malam ini aku akan menghadapinya. Aku harus bebaskan sukma ibu, dan satu-satunya cara adalah mengalahkan siluman itu."

Anggi menatap Nathan dengan ekspresi kaget, hampir tak percaya. “Siluman serigala...?” bisiknya, nadanya jelas menunjukkan bahwa ia keheranan. Namun, tanpa menunggu jawaban lebih lanjut dari Nathan, Anggi tiba-tiba berdiri.

"Tunggu...!" serunya sambil melangkah cepat menuju tangga.

Nathan mengerutkan kening, sedikit bingung melihat reaksi Anggi. Dia kemudian melihat Anggi berjalan ke arah mobilnya yang terparkir di luar. Beberapa menit kemudian, Anggi kembali dengan membawa laptopnya di tangan. Anggi membuka laptop dan menekan tombol daya. Layar menyala, memancarkan cahaya biru. Dia menghubungkan laptop dengan ponselnya menggunakan kabel USB. Setelah proses penghubungan selesai, dia membuka browser dan mengetik kata kunci “ritual Sanghyang Jiva.” Jari-jari Anggi bergerak cepat di atas keyboard, mengharapkan informasi yang relevan muncul di layar. Nathan berdiri di sampingnya, memperhatikan setiap gerakan Anggi. Hasil pencarian pertama muncul, tetapi tidak memberikan informasi yang diinginkan. Anggi terus menggulir halaman demi halaman. Ia membaca artikel demi artikel dengan seksama, mencatat setiap detail yang dianggap penting. Nathan sesekali memberi masukan, menunjukkan hasil pencarian yang menarik perhatian. Mereka berdua bekerja sama dalam mencari tahu lebih banyak tentang siluman serigala, penjaga sukma.

Setelah beberapa menit berlalu, Anggi menemukan sebuah laman web berbahasa India yang tampaknya menjelaskan tentang siluman tersebut. Tanpa ragu, Anggi membuka halaman tersebut dan tentu saja bahasa yang digunakan membuatnya kesulitan memahami isi informasi itu. Akhirnya Anggi memutuskan untuk menerjemahkan teks tersebut menggunakan Google Translate. Jari-jarinya menari di atas keyboard, memasukkan kalimat demi kalimat ke dalam aplikasi. Begitu hasil terjemahan muncul, Anggi tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.

Siluman serigala itu dikenal dengan nama Sangkara, sosok setengah wanita dan setengah serigala yang berasal dari zaman purba. Dalam mitologi kuno, Sangkara dianggap sebagai dewi kecantikan dan kekuatan, sering diasosiasikan dengan keangkuhan dan daya tarik. Sangkara mampu memengaruhi kecantikan wanita melalui pesona dan khasiat magis yang dimilikinya, sehingga banyak orang terpesona dan terjerat dalam pesonanya. Setiap empat tahun, Sangkara meminta tumbal jantung manusia dalam Ritual Sanghyang Jiva. Anggi pun menemukan bahwa Sangkara memiliki kelemahan terhadap sesuatu yang berwarna putih, yang dapat menetralkan energi negatif dan melemahkan kekuatannya.

Nathan dan Anggi duduk di depan laptop, merenungkan informasi terbaru yang mereka temukan tentang Sangkara, "Apa maksudnya sesuatu yang berwarna putih itu? Apakah itu hanya sekadar warna?"

Anggi menggelengkan kepala, bingung. "Aku juga tidak tahu. Tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang itu dalam artikel ini."

Nathan berpikir sejenak, lalu berspekulasi. "Mungkin itu bisa berupa kain atau pakaian berwarna putih. Dalam ritual yang akan aku lakukan, disyaratkan agar aku berpakaian serba hitam. Mungkin ada hubungannya dengan itu."

Anggi mengangguk, menerima pendapat Nathan. "Itu bisa diterima.”

Anggi dan Nathan terus mencari informasi tentang siluman serigala yang berkaitan dengan Ritual Sanghyang Jiva. Mereka membuka berbagai situs, membaca artikel, dan mencoba mengumpulkan detail yang mungkin berguna bagi Nathan. Setiap temuan baru mereka diskusikan, mulai dari asal-usul Sangkara hingga berbagai kemungkinan cara untuk menghadapi makhluk gaib itu. Nathan semakin fokus, menyerap setiap informasi yang didapatkan. Anggi juga berusaha membantu dengan mengingatkan berbagai hal yang pernah ia dengar tentang entitas gaib.

Waktu terus berjalan. Suasana di dalam villa perlahan berubah, cahaya matahari mulai meredup. Mereka hampir tidak menyadari bahwa senja sudah tiba. Anggi melihat jam di tangannya, menyadari bahwa waktunya untuk pulang sudah tiba. Ia berpamitan kepada Nathan, yang hanya mengangguk sebagai balasan. Setelah Anggi pergi, Nathan kembali sendiri di villa, merenungkan semua informasi yang telah mereka temukan.

Nathan menyadari masih ada beberapa jam tersisa sebelum dia harus berhadapan dengan siluman serigala. Dia memutuskan untuk menggunakan waktu itu sebaik mungkin. Nathan duduk di lantai dengan kaki bersila, memejamkan mata, dan mulai bermeditasi. Dia fokus pada pernapasannya, menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Dalam keheningan, Nathan berusaha menenangkan pikirannya dan menguatkan mentalnya. Setiap detik meditasi membuatnya semakin fokus.

Nathan membuka matanya setelah merasa cukup bermeditasi. Dia melihat jam di tangannya yang menunjukkan pukul 21.45. Waktu sudah semakin dekat, dan Nathan segera bangkit. Dia menuju lemari, membuka pintunya, dan mengambil pakaian serba hitam yang sudah disiapkan sebelumnya. Nathan mulai berganti pakaian, mengenakan celana dan kaos hitam, lalu mantel panjang berwarna hitam. Namun, di balik pakaian hitam itu, Nathan mengenakan pakaian serba putih. Setelah memastikan semuanya sudah lengkap dan siap, Nathan berjalan keluar dari villa. Mobilnya terparkir di halaman. Nathan berjalan menuju mobil itu dengan langkah mantap, siap menghadapi pertempuran yang akan menentukan nasib ibunya dan dirinya sendiri.

Nathan masuk ke dalam mobil dan duduk di belakang kemudi. Dia menghela napas sejenak, lalu meraih ponselnya. Nathan mengetik pesan singkat kepada Heni bahwa dirinya akan segera berangkat. Pesan itu segera terkirim. Tanpa banyak pertanyaan, Heni langsung membalas dengan kata "Ya" dan mengatakan bahwa dia akan menunggu di tempat yang sudah mereka rencanakan sebelumnya. Setelah memastikan segalanya, Nathan menyalakan mesin mobil dan melajukannya ke arah rumah megah milik Maya.

Dalam perjalanan menuju rumah Maya, Nathan berusaha menenangkan pikirannya. Dia tahu, tantangan besar menantinya, namun dia tidak boleh membiarkan ketakutan menguasai dirinya. Nathan sadar bahwa rasa takut bukan hanya musuh mental, tapi juga senjata bagi siluman serigala. Setiap detik yang dihabiskan dengan hati gelisah hanya akan memberi kekuatan lebih besar pada Sangkara. Nathan memperkuat tekadnya, mengingat tujuan utamanya, yaitu membebaskan sukma ibunya. Dia paham, ketenangan dan keyakinan adalah kunci utama untuk menghadapi apa pun yang ada di hadapannya. Keteguhan hatinya semakin kokoh seiring deru mobil yang terus melaju. Nathan memutuskan bahwa tidak ada ruang untuk keraguan atau ketakutan dalam dirinya malam ini.

Nathan akhirnya tiba di lingkungan rumah Maya. Dia memarkir mobilnya di pinggir jalan, sekitar 500 meter dari rumah megah itu. Lokasinya cukup tersembunyi dan sepi, jauh dari keramaian. Nathan memutuskan untuk menunggu di dalam mobil. Waktu terus berlalu, suasana di sekitar terasa semakin sunyi. Setelah sekitar 15 menit, Nathan melihat sebuah motor matic mendekat. Motor itu berhenti tepat di depan mobilnya. Heni turun dari motor dan memarkirkan kendaraannya dengan cepat. Nathan segera keluar dari mobil.

Nathan dan Heni saling berhadapan. Wajah Heni tampak pucat, penuh kekhawatiran. Nathan mendekat dan memeluknya, mencoba menenangkan. Tiba-tiba, Heni menangis, tidak mampu lagi menahan rasa gundah yang menghimpitnya.

Nathan memeluk Heni dengan lembut. "Jangan bersedih. Percayalah, aku akan selamat. Kita bisa bersama lagi setelah ini selesai," kata Nathan dengan nada tenang, berusaha menenangkan wanita di pelukannya.

Heni terisak pelan, air mata masih membasahi pipinya. "Saya... Saya sangat mengkhawatirkanmu, Tuan Muda. Maafkan aku... aku menyesal pernah menyarankan Tuan Muda untuk jadi tumbal ritual," katanya sambil terbata-bata, suaranya dipenuhi rasa bersalah.

Nathan menggeleng pelan. "Walaupun kamu tidak menyarankannya, aku tetap akan menghadapi ini. Ada sesuatu yang sedang aku kejar, dan aku harus melakukannya," balas Nathan, suaranya tegas namun penuh keyakinan.

Heni merenggangkan badannya sedikit, mencoba menenangkan diri. "Apa yang Tuan Muda kejar?" tanyanya dengan nada bingung dan heran, masih berusaha memahami keputusan Nathan.

Nathan tersenyum tipis. "Nanti akan aku ceritakan setelah ritual ini selesai," jawabnya singkat. "Sekarang, lebih baik kamu segera mengantarku ke tempat ritual."

Heni mengangguk pelan, meski rasa heran masih tersirat di wajahnya, dia tahu ini bukan waktunya untuk bertanya lebih lanjut. Mereka bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Nathan mengenakan topeng Spider-Man berwarna hitam sebelum naik motor di belakang Heni. Topeng itu telah dipersiapkan Nathan beberapa hari sebelumnya. Perjalanan mereka hanya berlangsung beberapa menit, dan akhirnya mereka sampai di rumah megah Maya. Nathan yang bertopang mengikuti langkah Heni, berjalan menuju taman belakang melalui samping rumah megah tersebut. Mereka melewati beberapa pohon besar dan taman yang indah. Sesampainya di gerbang besi, dua orang penjaga segera membuka gerbang itu. Heni dan Nathan melangkah masuk, memasuki area yang tenang dan penuh misteri. Mereka terus berjalan ke arah gedung paling kiri, mendekati pintu kuil yang megah.

Heni yang berdiri di sampingnya memperhatikan gerakan Nathan dengan cermat. Raut wajahnya menunjukkan ketakutan luar biasa, dan ia bertanya, “Tuan Muda, ini yang terakhir saya memperingatkan Tuan Muda … Mundur saja Tuan Muda sebelum terlambat.”

“Tidak … Lebih baik kamu buka pintunya sekarang dan biarkan aku masuk,” jawab Nathan tegas.

“Baiklah Tuan Muda,” ucap Heni serak hampir menangis.

Heni meminta Nathan berdiri di sampingnya, berjarak hanya beberapa sentimeter dari pintu kuil. Nathan merasa terkejut saat melihat Heni mulai menggerakkan bibirnya. Ia seperti membaca mantra, suara yang rendah dan berirama mengalir dari mulutnya. Gerakan Heni terasa berbeda, seolah ia telah menguasai sesuatu yang tidak dapat dipahami Nathan. Hati Nathan berdebar, mengingat pengalaman pertama Heni mengantarnya ke ruangan ini. Saat itu, Heni membukakan pintu kuil dengan kunci, layaknya sebuah pintu biasa. Namun kali ini, Heni membuka pintu dengan mantra.

Tiba-tiba, bau busuk menyengat menyerang penciuman Nathan. Bau bangkai yang menyengat menyebar di udara, mengganggu konsentrasi dan membuatnya merasa mual. Ia berusaha menahan napas dan fokus pada situasi di depan. Sedetik kemudian, tanpa peringatan, pintu kuil terbuka sendiri. Nathan semakin terkejut melihat ruang di balik pintu itu. Terang sedikit menyilaukan, meskipun sinar itu agak redup. Dalam keterkejutan yang menyelimuti, Nathan merasakan genggaman tangan Heni yang tiba-tiba memegang tangannya. Nathan menoleh ke wajah Heni, yang kini tampak serius namun penuh harapan. Heni mengangguk, memberikan tanda bahwa Nathan harus segera masuk ke dalam ruangan itu.

Nathan melangkah masuk, dan saat seluruh tubuhnya melintasi ambang pintu, suasana langsung berubah. Ruangan yang sebelumnya terang redup kini menjadi padang luas yang tak berujung. Awan mendung menggantung rendah di atas, menutupi langit dengan warna kelabu yang suram. Angin berdesir pelan, membawa rasa dingin yang meresap ke dalam kulit. Tanah di bawah kaki Nathan tampak keras dan kering, seakan sudah lama tidak tersentuh air hujan. Suasana begitu sunyi sekali, sunyi seperti dunia yang mati. Keheningan ini menimbulkan rasa mencekam, seolah tidak ada waktu di tempat ini. Bau bangkai sangat menyengat, menusuk hidung dan membuat perut mual. Aroma busuk ini menyelimuti Nathan, seakan berasal dari sesuatu yang sudah lama terpendam di bawah tanah.

Mata Nathan berkedip, dan begitu matanya terbuka, seekor serigala besar sudah berada di hadapannya, hanya berjarak kurang dari satu meter. Makhluk itu muncul secara tiba-tiba, tanpa suara, dengan bulu hitam pekat dan mata merahnya menatap tajam. Nathan terperangah karena dengan gerakan kilat makhluk itu melompat menyerang, menciptakan angin kencang yang menyapu wajah Nathan. Nathan tidak bisa mengelak. Secara refleks, dia menyilangkan tangannya di depan kepala. Kekuatan dari Ajian Brajamusti mengalir dalam dirinya, memberi sedikit harapan.

Blaarr!

Ledakan sangat dahsyat terjadi di tempat Nathan berdiri. Gelombang suara dan energi memekakkan telinga, menggetarkan tanah di sekelilingnya. Dalam sekejap, tubuh Nathan terpental hampir sepuluh meter. Di lain pihak, sang serigala melayang di udara dengan gerakan yang terlihat anggun, sebelum akhirnya jatuh ke tanah. Makhluk itu menggelosor beberapa meter, menciptakan jejak goresan di tanah.

Nathan merasakan sakit di bagian tangannya akibat benturan. Nyeri itu terasa tajam, namun pemuda itu tidak menyerah. Dia segera bangkit dan bersiap menghadapi serangan berikutnya. Satu tujuan terpahat dalam benaknya, yaitu mengalahkan siluman serigala yang telah menantang hidupnya.

Dalam hati, dia berkata, "Tanganku terasa sakit. Tapi aku harus tetap bergerak. Tidak boleh lengah." Dia mengedarkan pandangan ke sekitar, mencari tahu di mana posisi sang siluman.

Nathan menyaksikan sang serigala bangkit, tubuhnya bergetar saat mengambil posisi menyerang. Siluman itu melompat dengan kecepatan luar biasa, mengeluarkan gulungan sinar hitam yang menyerang ke berbagai arah. Sinar itu menyasar bagian kemaluan, pusar, ulu hati, tenggorokan, pundak kanan, pundak kiri, dan di antara mata. Satu serangan mengenai salah satu bagian tubuh, malapetaka akan menantinya. Nathan tahu bahwa tidak ada waktu untuk ragu. Dengan tenaga yang ada, dia menggerakkan kakinya, menginjak tanah dengan kuat. Tubuhnya melesat ke udara, menghindari serangan maut yang datang beruntun. Saat berada di udara, Nathan melakukan jungkir balik, mempersiapkan serangan balasan dengan posisi kepala di bawah dan kedua tangan membentuk cakar.

Sang serigala tidak gentar. Dalam kecepatan yang sama, makhluk itu melompat, menghadapi Nathan di udara. Kaki depan serigala bergetar dan mengeluarkan suara yang mengguntur, angin yang ditimbulkan menyapu cepat ke arah Nathan. Suara plak! plak! desss… brettttt…! terdengar nyaring saat serangan bertubi-tubi itu terjadi. Nathan berusaha jungkir balik dan melakukan salto beberapa kali sebelum akhirnya mendarat di tanah. Dia meraba jaketnya yang robek di bagian dada, merasakan sakit yang mengganggu. Dalam sekejap, Nathan kembali siap menghadapi serangan berikutnya dari sang serigala, yang sudah bersiap untuk melancarkan serangan kembali.

Pikirannya berputar, Nathan pun membatin, “Pukulan brajamustiku tidak mempan. Aku sudah menggunakan kekuatan penuh. Siluman ini memang kuat luar biasa. Aku harus menemukan cara untuk mengalahkannya.”

Serigala siluman itu melangkah maju. Langkahnya pelan, tetapi setiap gerakan menyiratkan kekuatan. Moncongnya menyeringai ganas, memperlihatkan gigi runcing dan besar, siap untuk menyerang. Nathan perlahan menggerakkan tubuhnya. Kaki kiri maju, lutut ditekuk, tubuhnya merendah. Kaki kanan terjulur lurus, hanya ujung ibu jari kaki yang menyentuh tanah. Tangan kiri melintang di depan dada dengan kepalan yang dilapisi cahaya merah menyala, tangan kanan terlentang menempel pinggang dalam posisi sama. Wajahnya menghadap lurus ke depan, mata mencorong, mulut sedikit terbuka. Nathan menghirup udara dalam-dalam, mengeluarkannya sedikit demi sedikit. Dadanya terasa mengembung penuh hawa sakti. Kuda-kuda Ajian Brajamusti yang dilakukannya sudah sempurna, dan ia siap bertempur.

Serigala itu meloncat ke depan, cakarnya siap menyerang. Nathan juga menerjang maju, kedua tangannya bergerak cepat menyambut terjangan lawan. Tumbukan antara mereka terjadi dengan dahsyat. Suara bergemuruh seperti kilat menyambar, tubuh sang siluman terlempar melayang, jatuh terbanting keras. Meskipun terjatuh dengan keras, serigala itu mampu bangkit kembali. Makhluk itu memang sakti, atau memiliki tubuh yang sangat kebal.

Pertarungan antara Nathan dan siluman serigala berlangsung sengit dan menegangkan. Selama lebih dari satu jam, keduanya saling bertukar serangan dengan kecepatan dan kekuatan luar biasa. Nathan menggunakan seluruh teknik Ajian Brajamusti yang dimilikinya. Ia menyerang dengan serangan bertubi-tubi, memanfaatkan gerakan cepat dan akurasi yang tinggi. Setiap kali Nathan melancarkan pukulan atau tendangan, serigala siluman itu menghindar dengan gesit dan balas menyerang.

Sinar merah bercahaya dari tangan Nathan bertemu dengan cakar runcing siluman, menciptakan dentuman yang mengguncang udara. Meskipun serangan-serangan itu sangat kuat, Nathan tidak luka sedikit pun. Ia telah dilindungi oleh kekuatan ajian yang menjadikannya kebal terhadap serangan. Siluman serigala menunjukkan ketahanan luar biasa, mampu bangkit kembali meski menerima serangan hebat. Geramannya menggema, memperlihatkan bahwa ia tidak akan mundur dengan mudah.

Serangan demi serangan terus dilancarkan, tetapi Nathan tetap berdiri teguh. Badan siluman itu terhempas setiap kali terkena pukulan, tetapi ia cepat bangkit, menunjukkan ketangguhan yang luar biasa. Nathan menyadari bahwa siluman ini juga sangat kuat dan cepat, sehingga ia harus tetap waspada. Keduanya saling memperhatikan, menilai satu sama lain, mencari peluang untuk memanfaatkan kelemahan.

Pertarungan antara Nathan dan siluman serigala telah berlangsung lebih dari satu jam. Nathan mulai merasakan kelelahan. Otot-ototnya terasa berat, napasnya semakin tersengal, tetapi sang serigala tetap tampak bugar dan tidak menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Gerakan siluman itu cepat dan gesit, menunjukkan kekuatan luar biasa. Hati Nathan bergejolak. Ia tidak ingin kalah, tetapi fisiknya mulai menyerah.

Tiba-tiba, tanpa ada penjelasan, perasaan yang kuat muncul di dalam hatinya. Nathan menjerit dalam hati, meminta pertolongan leluhurnya, Prabu Brajamusti. Dalam momen hening itu, keajaiban terjadi. Tangan Nathan tiba-tiba memegang sebuah keris dari perak putih yang berkilau. Nathan terkejut melihat keris itu. Tetapi itu tak berlangsung lama. Nathan menatap keris itu dengan penuh kekaguman. Cahaya berkilau dari senjata tersebut memberi rasa damai yang tidak terduga. Semangatnya pulih dengan cepat. Ia merasakan kehadiran leluhurnya yang memberikan kekuatan dan keberanian baru.

Serangan sang serigala semakin cepat dan hebat. Setiap gerakannya penuh dengan ketepatan dan kekuatan. Nathan tidak tinggal diam. Ia menggerakkan keris perak di tangannya. Suara berdenting nyaring menggema di udara, bersamaan dengan kilauan bunga api yang muncul saat keris dan kuku serigala saling beradu. Pertarungan berlangsung sengit, menunjukkan betapa mengerikannya pertempuran ini. Sepuluh menit kemudian, dalam satu serangan yang terarah, Nathan melancarkan serangan yang sangat kuat. Tubuh sang serigala terpental, salah satu kaki depannya terpenggal oleh keris perak yang bersinar. Serigala siluman itu mengeluarkan suara mirip tangisan, menggetarkan udara sekitar. Namun, dalam sekejap, dengan kecepatan kilat, serigala itu menyerang lagi Nathan.

Nathan berfokus pada serigala yang mendekat. Ia tahu ini adalah momen krusial. Dengan gesit, Nathan melangkah ke samping untuk menghindari serangan dan memanfaatkan momentum. Dalam satu gerakan cepat, ia mengangkat keris peraknya tinggi-tinggi, bersiap untuk mengayunkan senjatanya. Serigala itu, dengan marah, melompat ke arahnya. Nathan mengarahkan kerisnya ke depan, mengantisipasi gerakan lawan. Saat serigala meluncur mendekat, Nathan menyerang. Dengan ketepatan dan kecepatan yang luar biasa, keris perak putihnya berhasil menancap di leher sang serigala.

“Dukkk……! Cressss……!” Suara keras terdengar saat keris perak putih itu menancap di leher siluman serigala. Bukan darah yang mengalir, tetapi asap hitam mengepul keluar dari leher makhluk itu. Asap tersebut menggulung dan menyelubungi tubuh sang serigala dengan cepat. Dalam sekejap, asap hitam itu mulai menyusut dan akhirnya lenyap tanpa sisa. Pertanda jelas bahwa pertempuran telah berakhir. Nathan berdiri di tengah arena, napasnya berat. Ia merasakan campuran emosi antara kemenangan dan kelegaan. Seluruh tubuhnya masih bergetar akibat adrenalin yang mengalir. Dalam detik-detik setelah pertarungan, suasana hening menyelimuti area tersebut, menandakan bahwa ancaman telah berlalu. Bersamaan dengan itu keris di tangannya lenyap tak berbekas.

Tiba-tiba Nathan melihat cahaya putih muncul di hadapannya. Cahaya itu bergerak cepat dan mulai berputar-putar di atas kepalanya. Beberapa detik kemudian, cahaya itu melesat ke angkasa dan lenyap tanpa jejak. Saat Nathan masih mencoba memahami apa yang terjadi, suasana di sekelilingnya berubah. Kini ia berada di dalam ruangan ritual yang pernah ia kunjungi beberapa hari lalu. Ini adalah tempat di mana Sanghyang Jiva dipuja. Di tengah rasa terkejutnya, Nathan melihat sosok Maya tergeletak di dekat kakinya, tanpa sehelai kain pun menutupi tubuhnya. Dada wanita cantik itu naik turun perlahan, dia tampak tak sadarkan diri, seperti sedang tertidur atau pingsan.

Nathan segera melangkah menuju pintu kuil. Dia mengulurkan tangan untuk mencoba membukanya, dan tanpa kesulitan, pintu itu berderak terbuka. Di luar, Heni berdiri terpaku, matanya terbelalak lebar, bibirnya terbuka seolah ingin berkata sesuatu, tapi tidak ada suara yang keluar. Wajahnya menunjukkan keterkejutan yang sangat mendalam saat melihat Nathan keluar dari dalam kuil.

“Jangan bicara dulu … Aku harus kabur tanpa diketahui siapa-siapa,” bisik Nathan di telinga Heni.

Heni mengangguk singkat dan segera menarik Nathan menuju ujung bangunan. Di sana, sebuah pintu tampak terkunci, namun Heni dengan cepat memasukkan kunci yang dibawanya. Pintu itu terbuka. Nathan bersiap melangkah cepat, namun tiba-tiba tangan Heni menahannya. Ia tampak ingin mengatakan sesuatu. Nathan merespons cepat, meletakkan telunjuk di bibirnya sebagai tanda untuk diam. Sekejap kemudian, Nathan melesat keluar dengan gerakan tajam, meninggalkan kompleks rumah Maya. Dalam hitungan menit, ia sudah tiba di mobilnya, langsung masuk, lalu pergi dari lokasi itu tanpa menoleh lagi.

-------

Mobil sedan hitam itu melaju perlahan, berhenti di dalam garasi. Nathan turun dengan langkah mantap dan segera memasuki rumah. Di dalam, beberapa pembantu tampak sibuk membersihkan ruangan, tapi tak ada satu pun yang menarik perhatiannya. Ketika sampai di ruang tengah, pandangannya tertuju pada seseorang yang berpakaian serba putih sedang berbicara dengan Denis. Rasa penasaran menggelitik Nathan. Tanpa ragu, ia melangkah mendekat untuk mengetahui dengan jelas apa yang sedang dibicarakan.

“Tidak perlu khawatir, Tuan … Nyonya hanya butuh istirahat,” ucap pria berpakaian serba putih itu.

“Ada apa ini?” Nathan menyambar pembicaraan.

“Maya sakit,” jawan Denis singkat.

“Sakit?!” Nathan benar-benar terkejut.

“Tidak parah, Tuan Muda … Hanya kelelahan saja,” ungkap dokter keluarga itu.

“Apakah saya bisa melihatnya, dok?” tanyaku merasa khawatir.

“Beliau sedang tidur. Biarkan beliau istirahat dulu,” jawab sang dokter.

“Baiklah Dok … Terima kasih atas semuanya. Saya harap Maya baik-baik saja,” kata Denis sambil menyalami sang dokter.

Setelah dokter meninggalkan ruangan, Denis merangkul bahu Nathan, memberi isyarat untuk ikut dengannya menuju bar mini di sudut ruangan. Denis dan Nathan berjalan menuju bar tanpa banyak bicara. Denis dengan cekatan menuangkan dua gelas minuman. Ia menyodorkan satu gelas kepada Nathan, sementara dirinya duduk di kursi tinggi yang ada di sebelah Nathan.

Nathan merasa dadanya semakin sesak, "Apa dia baik-baik saja? Apa dia butuh bantuan medis?"

Denis tersenyum tipis, mencoba menenangkan sahabatnya. "Tidak perlu khawatir sampai sejauh itu. Maya hanya kehilangan banyak energi. Tubuhnya pasti butuh waktu untuk pulih, tapi dia kuat. Kita semua tahu itu."

Nathan mengangguk, meski kegelisahannya belum hilang. Ia mengenal Maya cukup lama untuk tahu bahwa dia selalu kuat dan jarang sekali terlihat lemah. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Maya terlihat sangat lelah, hampir seolah-olah ada yang merenggut sebagian jiwanya.

"Kamu yakin dia akan baik-baik saja?" Nathan bertanya lagi, matanya menatap Denis dengan tajam.

Denis menepuk bahu Nathan dengan lembut. "Aku yakin, Nate. Maya sudah sering melewati hal-hal seperti ini. Mungkin kali ini lebih berat dari biasanya, tapi dia pasti cepat pulih. Jangan terlalu mengkhawatirkannya."

"Aku berharap Maya bisa cepat pulih," kata Nathan pelan, suaranya penuh harapan. "Aku tak suka melihatnya seperti ini."

Denis tersenyum lagi, kali ini lebih lembut. "Dia akan baik-baik saja. Beri dia waktu. Maya adalah orang yang terkuat di antara kita."

Nathan dan Denis duduk di bar mini di sudut ruang tengah rumah mereka. Bar tersebut terbuat dari kayu gelap yang mengkilap, dengan beberapa botol minuman tertata rapi di rak belakang. Lampu kecil di atas bar memancarkan cahaya hangat yang menyinari meja, menciptakan suasana yang tenang. Denis duduk di kursi tinggi, mengaduk minuman di gelasnya dengan perlahan, sementara Nathan bersandar di kursi seberang, sesekali menatap botol minuman yang ada di depan mereka. Di antara mereka, obrolan berlangsung tanpa tergesa-gesa, dengan topik yang mengarah pada kejadian yang sejak tadi membebani pikiran Nathan.

Nathan merasa terus-menerus dihantui kekhawatiran sejak pertarungannya dengan Maya yang dirasuki siluman serigala. Kemenangan itu tidak membawa ketenangan bagi Nathan, karena ia takut dampaknya terhadap Maya jauh lebih dalam daripada yang terlihat. Maya saat itu bukan dirinya yang biasa, dan Nathan dipaksa melawan tanpa ampun. Setiap serangan yang ia berikan, meski terpaksa, menimbulkan rasa bersalah yang kini membebani pikirannya. Ia tidak tahu seberapa parah kondisi Maya sekarang. Nathan hanya bisa berharap Maya segera pulih sepenuhnya, meski hatinya tetap diliputi rasa cemas yang tidak kunjung reda.

Tiba-tiba Denis bangkit dan berkata, “Aku mau ke kantor,” kata Denis sambil merapikan jaketnya. “Kamu ikut nggak, atau mau lanjut istirahat di sini?”

Nathan memandang Denis sejenak, lalu menggeleng pelan. “Aku masih ingin istirahat, mungkin baru mulai kerja besok.”

Denis mengangguk, tidak terkejut dengan jawaban Nathan. “Baiklah,” katanya singkat. Ia melangkah menuju pintu.

Kejadian tadi malam terus menghantui Nathan. Pikirannya tak bisa lepas dari keadaan Maya. Rasa gelisah mendorong Nathan untuk memastikan keadaan Maya, hingga ia memutuskan untuk melihatnya langsung di kamar. Tanpa berpikir panjang, Nathan bergerak cepat menuju kamar Maya. Setelah menaiki tangga, Nathan langsung menuju pintu kamar yang tertutup. Ia membuka pintu itu perlahan, berharap tidak mengganggu tidur Maya. Namun, begitu kepalanya menyelinap masuk, ia melihat Maya sudah bergerak. Mata Maya terbuka dan menatap Nathan. Senyum tipis muncul di wajah Maya, membuat Nathan terhenti sejenak, terkejut dengan sambutan yang tidak ia duga.

Maya menatap Nathan dengan senyuman yang menenangkan. "Masuklah," katanya lembut, tanpa mengalihkan pandangan. Nathan ragu sejenak, tapi kemudian melangkah masuk ke kamar. Begitu pintu tertutup, Nathan mendekat dan menatap Maya dengan cemas.

"Kamu baik-baik saja?" tanya Nathan, suaranya terdengar khawatir.

Maya masih tersenyum. "Aku sehat, cuma lelah," jawabnya dengan nada santai, meskipun kelelahan tampak jelas di wajahnya.

Nathan duduk di sisi tempat tidur, lalu bertanya, "Jadi, apa yang sebenarnya terjadi semalam?"

Maya menarik napas dalam, matanya menatap kosong ke arah langit-langit sebelum kembali ke Nathan. "Pertarungan itu... yang terberat yang pernah aku alami. Lawanku sangat kuat. Ilmunya jauh di atas apa yang pernah kutemui sebelumnya."

Nathan mengangkat alis, menatap Maya dengan keyakinan. "Tapi kamu pasti bisa mengatasi orang itu, kan?"

Maya menggeleng pelan, sedikit menunduk. "Aku kalah, Nathan. Orang itu terlalu kuat. Aku ingin bertemu dengannya lagi... entah kenapa, rasanya ada sesuatu tentang dia."

Nathan pura-pura terkejut. "Kalah? Serius? Aku nggak percaya kamu bisa kalah dari orang itu!"

Maya tersenyum, tapi kali ini senyumnya sedikit berbeda. Ia meraih tangan Nathan dan menggenggamnya dengan lembut. "Orang itu membuatku kagum. Aku baru pertama kali melihat seseorang sekuat itu, begitu tenang, tanpa rasa takut. Aku menyukai orang yang seperti itu, Nathan."

Nathan menatap Maya dengan heran setelah mendengar ceritanya. Ia merasa sedikit bingung, tapi tetap penasaran dengan apa yang Maya rasakan.

“Kamu kagum sama dia?” Nathan bertanya, suaranya terdengar lebih lembut. “Aku nggak paham, Maya. Kamu baru aja kalah, tapi malah kelihatan seperti menghormati orang itu. Memangnya apa yang bikin dia istimewa?” Nathan terdiam sejenak, menatap Maya. “Biasanya kamu yang paling merasa terkuat dalam pertarungan. Kenapa kali ini kamu berbeda?”

Maya tersenyum kecil, lalu menatap Nathan dengan tatapan yang lebih dalam. "Aku tidak tahu, Nathan," katanya lembut. "Tapi orang itu… dia beda. Ada sesuatu dalam dirinya yang membuat aku yakin dia bukan orang biasa. Cara dia membawa diri, seolah-olah dia sudah melewati banyak hal. Aku belum pernah bertemu orang seperti itu sebelumnya." Maya terdiam sejenak, lalu melanjutkan, "Aku tidak bisa menjelaskannya secara tepat, tapi aku bisa merasakan kalau dia sangat spesial. Bukan cuma soal apa yang dia lakukan, tapi lebih ke siapa dia sebagai pribadi."

Nathan tertegun mendengar penjelasan Maya. Rasa bingung sempat menguasainya, tapi perlahan berubah menjadi rasa lega yang dalam. Ia sempat mengira Maya akan marah atau menyimpan dendam terhadap orang yang berhasil mengalahkannya, namun kenyataannya berbeda. Kekaguman Maya terhadap orang itu membuat Nathan merasa tenang. Ia tersenyum, menyadari bahwa Maya bisa melihat sesuatu yang lebih dari sekadar kekalahan. Tanpa berkata apa pun, Nathan meraih tangan Maya dan menciumnya dengan lembut, merasa bersyukur atas sikap Maya yang tetap tenang dan bijaksana.

"Tapi Maya, kekalahanmu berarti kecantikanmu akan memudar. Apakah itu tidak menjadi pertimbanganmu? Apa kamu tidak khawatir?" tanya Nathan ingin tahu lebih dalam.

Maya menatap Nathan dengan lembut, senyum tipis menghiasi wajahnya. "Nathan, aku sudah lama tidak memikirkan soal kecantikan. Itu bukan lagi prioritas buatku. Aku bahkan sudah enggan melakukan tumbal untuk ritual itu," jawabnya dengan tenang. "Sebenarnya aku bersyukur ada seseorang yang mengalahkanku tadi malam." Ia terdiam sejenak sebelum melanjutkan, "Atau lebih tepatnya, bukan aku yang kalah, tapi siluman serigala yang menyurup ke tubuhku. Orang itu mengalahkan siluman itu, bukan aku."

Nathan menatap Maya dengan senyum yang mulai mengembang. "Aku sangat senang mendengar itu, Maya," ucapnya dengan nada lebih tenang. "Pola pikirmu sekarang sungguh melegakan. Kamu tidak lagi terjebak dalam hal-hal yang mungkin dulu terasa sangat penting, tetapi sebenarnya sama sekali tidak penting. Aku sempat khawatir kekalahan ini akan membuatmu terpukul, namun ternyata kamu justru melihatnya dari sudut pandang yang berbeda." Nathan mengangguk pelan, tetap tersenyum. "Aku bangga dengan cara kamu memandang situasi ini sekarang."

Maya tersenyum kembali, matanya berbinar. "Terima kasih, Nathan. Aku memang merasa beban berat telah terangkat dari pundakku. Aku tidak ingin lagi terjebak dalam ritual yang mengorbankan diriku sendiri." Dia menarik napas dalam-dalam, seolah ingin menegaskan keyakinannya. "Aku percaya, ada lebih banyak cara untuk menjalani hidup ini tanpa harus mengorbankan diri. Kecantikan sejati berasal dari bagaimana kita memperlakukan diri sendiri dan orang lain, bukan hanya dari penampilan." Maya menatap Nathan, berharap kata-katanya dapat dipahami sepenuhnya. "Aku ingin fokus pada hal-hal yang lebih berarti, seperti hubungan dengan orang-orang terdekatku."

Nathan memandang Maya dengan penuh perhatian. Ia merasa seolah menghadapi sosok Maya yang berbeda, seperti ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Sifat dan karakter Maya kini tampak jauh berbeda dibandingkan yang dia kenal sebelumnya. Nathan merasakan perubahan besar dalam diri Maya, seolah sukma sejatinya telah kembali bersemayam dalam tubuhnya.

Nathan menatap Maya dengan lembut dan berkata, "Aku pamit untuk keluar kamar, Maya. Jangan lupa untuk beristirahat dan memulihkan kondisimu. Ini penting untuk kesehatanmu. Aku akan menunggu di luar jika kamu membutuhkan sesuatu."

Maya mengangguk pelan, senyum ramah menghiasi wajahnya. "Terima kasih, Nathan. Aku akan beristirahat dan memulihkan diri. Kamu tidak perlu khawatir."

Nathan segera keluar kamar dan menutup pintu dengan perlahan. Ia menuruni anak tangga dengan cepat, bersemangat untuk mencari Heni. Pikiran tentang kabar gembira yang ingin disampaikan membuat langkahnya semakin tegas. Nathan menemukan Heni di dapur, duduk di sebuah kursi sambil berbincang dengan dua pembantu rumah tangga lainnya. Saat melihat Nathan, Heni berdiri dengan wajah sumringah, terlihat jelas bahwa ia sangat senang melihatnya. Tanpa ragu, Nathan menarik tangan Heni, mengajaknya menuju taman belakang rumah. Mereka berdua memilih sebuah gazebo di tengah taman.

“Saya sangat bahagia, Tuan Muda … Tuan Muda selamat dari ritual Sanghyang Jiva,” ujarnya dengan semangat. Suaranya mencerminkan kegembiraan yang tulus.

Nathan tersenyum dan merespons, “Itu semua berkat dukungan dan doa darimu, Heni. Terima kasih atas semua bantuanmu. Tanpamu, aku tidak akan bisa melawan siluman serigala itu dan berhasil mengalahkannya.”

Heni menggelengkan kepala, merasa rendah hati. “Pengorbanan Tuan Muda lebih berat daripada bantuan saya. Saya malah merasa telah menjerumuskan Tuan Muda.”

“Jangan memikirkan hal itu lagi. Semuanya sudah selesai,” Nathan menjawab dengan tegas. “Sekarang, aku akan menepati janjiku untuk memberikan uang kepadamu. Aku berharap uang itu bisa membantumu memulai usaha. Dengan begitu, kamu bebas dan tidak perlu bekerja di rumah ini lagi.”

Heni menggelengkan kepalanya lagi. “Tuan Muda tidak perlu memberi saya uang. Saya tidak ingin meninggalkan rumah ini. Saya merasa sudah menjadi bagian dari rumah ini. Lagipula, saya tidak mempunyai siapa-siapa lagi. Seluruh orang di rumah ini sudah seperti saudara saya.”

Nathan terkejut dan bingung mendengar keputusan Heni. “Janji adalah janji. Aku tidak ingin mengingkari janji. Aku akan tetap memberi kamu uang yang telah aku janjikan.”

Heni tetap menolak pemberian Nathan. “Terima kasih Tuan Muda … Tapi saya pikir, saya tidak layak menerimanya, dan saya bahkan akan memberikan uang hadiah yang dititipkan Nyonya Besar kepada saya untuk orang yang bisa mengalahkannya.”

Nathan terkejut dan bertanya, “Maksudmu?”

Heni menjelaskan, “Setiap ritual Sanghyang Jiva yang dilakukan Nyonya Besar … Nyonya Besar selalu menitipkan uang sebesar dua milyar untuk hadiah bagi siapa saja yang bisa mengalahkannya dalam ritual itu. Sekarang, uang itu adalah milik Tuan Muda karena Tuan Muda telah berhasil mengalahkan Nyonya Besar.”

Nathan tersenyum santai dan berkata, “Uang itu sekarang milikmu, Heni. Aku memberikannya sebagai pemenuhan janjiku. Mengenai keputusanmu untuk tinggal di sini, aku serahkan sepenuhnya padamu. Yang terpenting bagiku adalah kamu bahagia.”

Heni merasa haru, matanya berkaca-kaca. “Terima kasih, Tuan Muda. Saya sangat beruntung bisa mengenal seseorang yang sangat baik hati seperti Tuan Muda.”

Nathan bercanda, “Kamu terlalu berlebihan menilaiku, Heni.”

Nathan dan Heni melanjutkan obrolan sebelum akhirnya meninggalkan gazebo dan kembali ke rumah besar. Nathan merangkul bahu Heni saat mereka berjalan. Sesampainya di dapur, dua orang pembantu rumah tangga, teman Heni, melihat kedekatan mereka. Ekspresi terkejut, ceria, dan heboh muncul di wajah mereka. Suasana menjadi riuh saat kedua pembantu rumah tangga itu mulai bersikap genit. Mereka mencandai Heni, berkata bahwa Heni keenakan dipeluk oleh Nathan.

“Oh Tuhan … Kamu membuat kita cemburu, Heni,” kata Sari dengan mimik mengerucutkan bibir dan menyilangkan tangan di dada, seolah ingin mengekspresikan rasa iri yang mendalam. “Kapan kita bisa merasakan pelukan Tuan Muda?” tambahnya dengan nada dramatis.

“Iya, Heni! Aku juga mau,” seru Rina sambil melirik Heni dengan penuh rasa ingin tahu. “Apa rahasianya sih?” tanyanya dengan nada genit, menambahkan suasana cemburu dengan sedikit tawa. “Jangan-jangan Tuan Muda cuma sayang sama kamu doang!” lanjutnya, sambil berpura-pura menangis.

“Ah, kalian ini!” Heni menjawab sambil tertawa. Ia berdiri bersebelahan dengan Nathan, yang masih merangkul bahunya. Dengan sengaja, Heni merangkul pinggang Nathan dan memperlihatkan kedekatan mereka. Nathan, yang menyaksikan tingkah Heni, mencium rambutnya dengan lembut. Tindakan itu seolah-olah ingin memanas-manasi Rina dan Sari. “Tuan Muda sangat baik, kalian bisa minta pelukannya juga.”

“Tuan Muda, saya juga mau dipeluk!” pinta Sari dengan nada malu-malu, sambil menatap Nathan dengan tatapan menggemaskan.

Rina yang berdiri di samping Sari ikut tertawa imut, menimpali, “Iya, Tuan Muda. Saya juga mau.”

“Baiklah, kalau begitu, aku akan memeluk kalian berdua,” jawab Nathan dengan senyum lebar. Ia mengulurkan tangan dan memeluk Sari dan Rina secara bersamaan.

Rina berkata, “Saya merasa seperti sedang bermimpi dipeluk Tuan Muda.”

Sari menambahkan dengan wajah berseri, “Rasanya sangat menyenangkan, Tuan Muda. Saya merasa tersanjung sekali.”

Nathan mengelus punggung Rina dan Sari dengan lembut. Ia tersenyum dan berkata, “Kalian berdua sangat berarti bagiku. Aku senang bisa membuat kalian merasa bahagia.”

Tindakan Nathan yang sederhana ini membuat Rina dan Sari semakin merasa nyaman dalam pelukan itu. Mereka merasakan kasih sayang dan perhatian yang tulus dari Nathan untuk mereka. Rina tidak bisa menahan rasa takjubnya. Ia merasa beruntung bisa berada di dekat Nathan. Sementara itu, Sari merasa kagum dan tersanjung. Nathan ternyata mengerti perasaan mereka.

Nathan memeluk Rina dan Sari dengan lembut. Dia ingin mereka merasakan kehangatan dan perhatian yang selama ini mungkin tidak mereka terima. Dalam pelukan itu, Nathan berharap kedua pembantu tersebut merasa dihargai dan diakui sebagai bagian dari keluarga di rumah ini. Kejadian ini menjadi saat penting untuk menegaskan bahwa mereka tidak perlu merasa sebagai warga nomor dua. Nathan ingin menghapus perasaan tersebut dari pikiran mereka. Ia bertekad untuk menciptakan lingkungan yang nyaman, di mana setiap orang merasa diterima dan dicintai tanpa kecuali.

Nathan menguraikan pelukannya setelah merasa cukup. Rina dan Sari merasakan sedikit kekecewaan saat pelukan itu berakhir. Mereka ingin saat-saat itu berlangsung lebih lama. Nathan akhirnya melangkah keluar dari dapur dan berjalan menuju kamarnya. Setibanya di dalam kamar, Nathan merebahkan badan di atas kasur empuk. Suasana tenang dan nyaman langsung menyambutnya. Ia menutup mata dan segera tertidur lelap, mengingat semalaman ia tidak tidur. Kelelahan menyelimuti tubuhnya, dan rasa kantuk membuatnya tak kuasa menahan diri. Nathan akhirnya terlelap dalam tidur yang damai.

Bersambung​


 

Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Categories

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

BTemplates.com

POP ADS

Blogroll

About

Copyright © Cerita Panas | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com