𝐑𝐢𝐭𝐮𝐚𝐥 𝐆𝐮𝐧𝐮𝐧𝐠 𝐊𝐞𝐦𝐮𝐤𝐮𝐬 ( 𝐁𝐚𝐠.𝟒𝟕 : 𝐌𝐚𝐭𝐢𝐧𝐲𝐚 𝐂𝐨𝐝𝐞𝐭 )


Aku terbangun oleh ciuman lembut di bibirku. Mataku masih terpejam membiarkan bibirku dicium. Dari wangi tubuhnya pasti Ningsih. Aku bisa membedakan bau tubuh Ningsih dan Lilis tanpa melihatnya.

"Aa sudah bangun, belum?" suara Lilis bertanya ke Ningsih. Tepat dugaanku yang menciumku Ningsih.

"Ini lagi dibangunin, Teh." jawab Ningsih kembali mencium bibirku dengan mesra. Aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak membalas ciuman istriku tercinta. Aku tetap berpura pura tidur menggodanya.

"Ngebangunin A Ujang jangan dicium bibirnya, gak akan bangun bangun
" kata Lilis, suaranya semakin dekat. Tiba tiba celanku ditarik ke bawah, otomastis kontolku yang selalu bangun di pagi hari keluar dari kukungannya.

"Nih begini ngebangunin si Aa." kata Lilis langzung mencaplok penisku. Tanpa dapat kutahan, aku mengerang nikmat.

"Aa, jahat. Pura tidur." Ningsih mengomel dan mencubit tanganku. Lumayan sakit. Aku langsung memeluknya dengan mesra.

"A, mandi dulu sana. Ambu mau pulang. Anterin ke terminal, y!" kata Lilis, suaranya terdengar lembut.

"Minta tolong Mang Udin buat nganter sampe Garut. Kan kasian kalau Ambu pulang sendiri naik bis." kataku.

"A Ujang berangkat kerjanya naik apa?" tanya Lilis.

"Kan mobil ada dua, nanti Aa nyari supir pengganti Mang Udin selama ke Garut. " kataku memberi solusi.

Selesai mandi aku menemui Mang Udin yang sedang membantu ibuku berjualan. Meminta tolong agar Mang Udin mengantar Ambu sampai Garut.

"Nanti yang mengantar Akang berangkat kerja, siapa?" tanya Mang Udin.

"Nanti saya bicarakan dengan Mang Karta, kira kira siapa yang bisa ngegantiin Mang Udin sementara." kataku.

"Neng, Akang beberapa hari gak bisa bantuin Neng Kokom jualan, gak apa apa kan?" tanya Mang Udin ke ibuku membuatku curiga ada apa apa dengan mereka berdua.

"Gak apa apa, Kang. Kasian Ceu Imas kalau pulang ke Garut sendiriian." suara ibuku terdengar lembut membuat kecurigaanku semakin tebal.

"Ya udah, Kang Ujang, Mamang siap siap dulu. Akang pamit ya, Neng." Mang Udin berpamitan dan ibuku mendahuluiku menjawab ucapan salam Mang Udin.

"Ibu pacaran ya sama Mang Udin?" tanyaku terus terang. Aku memandang wajah ibuku dengan seksama, di usia ke 40 ibuku terlihat cantik. Walau pakaian dan penampilannya sederhana hanya memakai bedak bubuk namun kecantikannya tetap menonjol. Bahkan banyak tetanggaku di kampung bilang kalau saja ibuku mau bersolek, kecantikannya tidak kalah dengan artis.

"Kamu ngeliatin ibu seperti itu, Jang? Emang gak boleh kalau ibu nikah lag" kata ibuku menggodaku.

Baru aku menyadari ibuku ternyata cantik. Tapi kenapa ayahku bisa menghianati ibuku. Tiba tiba aku teringat Ningsih, aku punya istri secantik Ningsih dan sebentar lagi aku juga akan menikahi Lilis yang wajahnya lebih cantik dari pada Ningsih, tapi kenapa semalam aku tergoda dengan Bu Dhea. Kalau dibandingkan dengan Ningsih, sepertinya lebih cantik Ningsih. Waduh, ternyata ini penyakit turunan. Semoga saja ke dua adikku yang cantik tidak mendapatkan suami sebejat ayahnya dan kakaknya.

"Jang, kamu malah diam ditanya, Ibu." kata ibu membuyarkan lamunanku.

"Ibu masih muda, Ujang gak akan melarang Ibu menikah lagi. " kataku dengan tulus. Sudah waktunya Ibuku bahagia dengan pria yang dicintainya. Apakah pria yang dicintai Ibu adalah Mang Udin?

"Ibu kenal dengan Codet?" tanyaku tiba tiba teringat Codet.

"Codet siapa?" tanya Ibuku heran. Aku baru sadar, Codet adalah nama panggilan dan aku belum tau nama aslinya.

"Gak apa, Bu. Ibu gak ke rumah Lilis? Kan Ambu sudah mau pulang." tanyaku mengalihkan pertanyaanku tentang Codet.

"Ibu gak tau kalau Ceu Imas mau pulang hari ini, kalau tahu ibu gak akan jualan." kata ibuku. "Teh, Ibu ke rumah Aa ya, kamu jaga sendiri dulu,ya!" kata ibuku ke adik pertamaku yang selalu dipanggil Teteh oleh kami.

Sepanjang jalan aku merangkul ibuku, entah kenapa sudah sebesar ini aku selalu merangkul ibuku setiap ada kesempatan.

Di teras ternyata sudah ada Mang Udin yang sudah berganti pakaian.

"Mang Udin, nama si Codet siapa?" tanyaku mengalihkan perhatian Mang Udin yang tertuju kepada ibuku.

"Komar, " jawab Mang Karta singkat.

Wajah ibuku terlihat pucat mendengar nama Komar. " Komar temannya A Gobang. Dulu Ibu tinggal di Jakarta waktu pertama kali nikah. Codet sering datang ke rumah nyari ayahmu. Sampai suatu hari ayahmu datang saat Codet ada di rumah. Ayahmu marah besar. Komar wajahnya diiris golok neberapa kali. Ibu belum pernah melihat ayahmu semarah itu. Sejak itu Ibu memilih tinggal di desa." kata Ibuku menerangkan. Wajahnya terlihat sangat ketakutan mengingat kejadian di depan matanya. Pertama kali dalam hidupnya dia melihat darah berceceran.

Lanunan ibuku buyar saat Ningsih keluar menyambut kedatangan ibuku.

"Ibu, kok gak langsung masuk?" Ningsih keluar lalu mencium tangan ibuku. Dirangkulnya ibuku masuk rumah.

Di dalam ternyata Ambu sudah siap pulang. Ibu dan Ambu saling berpelukan dan menempelkan pipi kiri dan kanan.

"Ceu Kokom, Abdi (saya) pulang dulu ke Garut. Nitip Lilis dan Ningsih, Ceu.!" kata Ambu berpamitan.

Kami mengantar Ambu masuk mobil yang sudah disiapkan Mang Karta. Setelah mobil yang membawa Ambu pergi, Ningsih dan Lilis mengajak Ibuku masuk tapi ibuku menolak dengan halus. Ahirnya Lilis dan Ningsih masuk rumah.

"Jang, ada rahasia yang mau ibu beritahukan padamu." kata Ibu setelah Ambu pulang dan Lilis serta Ningsih sedang sibuk dengan urusannya.

"Apa, Bu?" tanyaku penasaran.

"Ibu curiga ayahmu belum mati. Waktu mayat ayahmu ditemukan wajahnya hancur dan mulai membusuk. Tapi ibu tidak melihat tanda hitam sebesar uang benggol di atas kemaluannya." penjelasn Ibu membuatku sangat terkejut.

"Itu sebabnya Ibu meminta tolong Mang Karta untuk menyelidikinya. Karena Mang Karta dan ayahmu adalah sahabat akrab sejak mereka kecil." kata ibu lagi.

Rahasia apa lagi? Kenapa hidupku berubah menjadi serumit ini. Apakah karena aku sudah melakukan ritual sesat yang menjadikan hidupku seperti ini?

"Jang, Ibu jualan lagi." kata ibuku pamit. Mataku mengantar kepergiannya dengan jiwa yang terguncang.

Bi, apa benar bahea Ayahku masih hidup?" tanyaku ke Bi Narsih yang baru saja membuka pintu rumahnya.

"Teh Kokom yang bilang? Ini baru kecurigaan tapi belum terbukti. Kamu masuk dulu" kata Bi Narsih.

Aku duduk di ruang tamu sementara Bi Narsih membuatkanku kopi kesukaanku. Baru jam 2, Mang Karta masih lama pulangnya. Tidak lama Bi Narsih keluar membawakan kopi untukku.

"Setahun setelah kematian ayahmu, Mang Karta mendengar kabar ada seseorang yang juga hanyut pada saat ayahmu hanyut di sungai. Mayatnya tidak pernah ditemukan. Sejak itu Mang Karta juga mulai curiga ayahmu masih hidup. Apa lagi Mang Karta ikut mengafani mayat ayahmu yang sudah mulai busuk. Sedangkan menurut ibumu ada tanda hitam sebesar uang logam benggol di atas kemaluan ayahmu. Dan Mang Karta tidak melihat tanda tersebut di mayat ayahmu. " kata Bi Narsih.

Saat kami mengobrol tiba tiba Mang Karta masuk tanpa mengetuk pintu. Mukanya terlihat tegang.

"Kebetulan kamu di sini, Jang. Mang Karta dapat kabar Codet mati kecelakaan. Mobilnya tabrakan dengan truk. Kita kehilangan jejak, lagi." kata Mang Karta marah.

"Kehilangan jejak apa, Mang?" tanyaku heran.

"Jejak siapa di belakang semua ini. Kamu pikir sebuah kebetulan kamu bisa jadi Bos Club malam terkenal di Jakarta?" coba kamu belajar berpikir, Jang. " suara Mang Karta terdengar lebih keras dari biasanya.

Aku tersentak mendengar penjelasan Mang Karta. Berarti bukan sebuah kebetulan aku jadi Bos Club malam, ada yang sudah mengaturnya termasuk kematian Pak Budi.

Apakah Ritual Sec di Gunung Kemukus juga sudah diatur seseorang? Karena setelah ritual Mas Gatot dan Mbak Wati tiba tiba mempunyai kios besar dan pindah rumah lebih besar. Dari mana mereka mendapatkan uang sebanyak itu?

"Apakah Mang Karta curiga orang yang mengatur semuanya adalah ayahku?" tanyaku dengan suara bergetar.

Mang Karta tampak terkejut. Lalu menoleh ke arah Bi Narsih.

"Teh Kokom yang cerita." kata Bi Narsih menjelaskan sebelum Mang Karta bertanya.

Aku termenung mendapatkan kejadian yang tidak pernah aku duga sebelomnya. Kejadian yang membuatku shock. Kalau benar yang mengatur semuanya adalah ayahku, lalu tujuannya untuk apa? Aku benar benar marah.

Berarti dalang di balik pembunuhan Pak Budi adalah ayahku. Lalu kenapa harus mengorbankan.Pak Budi. Agar aku bisa mengambil alih Club malam miliknya, mungkin. Tapi untuk apa.

"Mang, Ujang mau ke rumah temen." kataku mencium tangan Mang Karta dan Bi Narsih.

"Kamu gak mau denger cerita Mang Karta?" tanya Mang Karta melihatku dengan penuh kasih sayang.

"Biar Ujang nenangin diri dulu." kataku sambil berjalan meninggalkan mereka.

Aku berpikir untuk mendatangi Mas Gatot dan Mbak Wati untuk membuktikan kecurigaanku. Apakah benar mereka juga terlibat. Lalu apa tujuannya menggiringku ke Gunung Kemukus? Rasanya tak masuk akal, dengan ritual Gunung Kemukus, hanya dalam waktu singkat kita menjadi kaya dan sukses. Ini hanya ada dalam cerita dongeng.

Dulu aku memulai ritual Gunung Kemukus dengan Mbak Wati, maka penyelidikanku akan kumulai dari Mbak Wati juga.

Tidak memerlukan waktu terlalu lama untuk sampai kios Mas Gatot dan Mbak Wati, sekitar 30 menit aku sudah sampai.

Kios Mas Gatot semakin maju saja, sudah punya 4 orang pelayan. Jadi tugas mas Gatot hanya membuat baso dan meracik bumbu. Hebat, dalam waktu singkat mereka sudah mempunyai pelayan. Padahal Mbak Wati baru 3 x ritual dan kehidupan mereka sudah berubah drastis. Melihat penampilan Mbak Wati yang semakin mencolok. Badannya dipenuhi perhiasan emas.

"Jang, kok baru muncul lagi? Kirain sudah lupa." kata Mbak Wati menyambut kedatanganku.

"Mas Gatot ke mana, Mbak?" tanyaku katena tidak melihat Mas Gatot.

"Di rumah, sekarang aku dan mas Gatot bagian masak di rumah. Kios kan sudah ada pelayannya. Ke rumah yuk, Jang. Mas Gatot sering nanyain kamu." ajak Mbak Wati.

Rumah Mba Wati tidak jauh dari Kiosnya. Rumah yang ditempatinya cukup besar dibandingkan saat dia ngontrak. Mas Gatot yang sedang duduk diluar kesenangan melihat kehadiranku.

Kami duduk di ruang keluarga, masih seperti dulu kami duduk dilantai beralas tikar. Mbak Wati membuatkanku kopi walau aku sudah berusaha menolak, tapi Mbak Wati memaksaku.

"Mas, dulu yang nyuruh Mas ngajak aku ke Gunung Kemukus, siapa? " tanyaku langsung pada tujuan kedatanganmu menemuinya.

Wajah Mas Gatot terlihat seperti terkejut mendengar pertanyaanku yang begitu tiba tiba.

"Gak ada yang nyuruh. Aku emang sudah niat nyuruh Wati ritual Gunung Kemukus biar cepat kaya. Alhamdulillah sekarang sudah terlihat hasilnya." kata Mas Gatot.

Aku tahu Mas Gatot berbphong karena saat dia bicara dia tidak menatap wajahku. Hal yang bukan kebiasaanya. Karena biasanya Mas Gatot selalu memandang wajah orang yang diajak bicara.

"Codet, bukan?" aku bertabya lagi. Entah kenapa aku mengucapkan nama itu.

"Codet siapa? Aku tidak kenal." kata Mas Gatot tanpa melihat wajahku.

"Ngomongin apa, sich?" tanya Mbak Wati dengan membawa nampan berisi kopi

*ini loh Ujang tiba tiba jadi aneh. Dia bertanya siapa yang nyuruh kita buat ngajak dia ritual di Gunung Kemukus. " kata Mas Gatot"Gak ada yang nyuruh, Jang." kata Mbak Wati mencium bibirku dengan cueknya di depan Mas Gatot.

Aku baru ingat, Mas Gatot CUKOLD, kenapa tidak aku manfaatkan untuk mengorek keterangannya. Aku membalas ciuman Mbak Wati dengan bernafsu. Tanganku meremas payudara jumbonya denga keras. Karena Mbak Wati paling suka payudaranya diremas keras.

"Ujang, payudara Mbak maen remes aja, ada Mas Gatot juga." kata Mbak Wati melihat ke arah mas Gatot. Ucapan yang sengaja ditujukan ke Mas Gatot agar semakin terangsang.

Aku membuka baju Mbak Wati sehingga menyisakan BH dan celana dalamnya yang segera menyusul terlepas dari tubuhnya. Mas Gatot menyingkirkan gelas ke pojok ruangan.

"Mas, liat si Ujang kurang ajar. Wati ditelanjangin." kata Mbak Wati ke Mas Gatot sambil merebahkan tubuhnya terlentang di antara aku dan mas Gatot.

Aku membungkuk menghadap ke arah mas Gatot, sambil aku menjilati puting payudara Mbak Wati yang sudah mengeras. Sementara jariku meraba memek Mbak Wati yang ternyata sudah basah. Dua jariku masuk ke memeknya sambil aku kocok kocok membuat Mbak Wati merintih keenakan.

"Mas, memek Wati dikobel si Ujang." kata Mbak Wati histeris.

Tiba tiba aku menghentikan aktifitasku. Aku bangkit ke kamar mandi, minta ijin mau kencing. Sehabis kencing kulihat Mbak Wati mengicok memeknya dengan jarinya sambil meremas payudaranya.

*Mas, aku mau pulang dulu, ya!" kataku pamitan membuat Mbak Wati menghentikan aktifitasbya dan Mas Gatot terkejut mendengar aku mau pulang.

"Kok gitu, Jang? Watikan belom kamu entot!" kata Mas Gatot keberatan.

"Niat saya ke sini pengen tahu siapa yang nyuruh Mas Gatot supaya ngajak aku ritual di Gunung Kemukus." kataku sambil berjalan ke ruang tamu.

"Pak Budi yang menyuruhku ngajak kamu ke Gunung Kemukus." kata Mas Gatot membuatku sangat terkejut.

Bersambung.....


Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Categories

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.
You will be redirected to the script in

seconds

BTemplates.com

POP ADS

Blogroll

About

Copyright © Cerita Panas | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com