Belum hilang rasa terkejutku, Mang Karta menendang pinggangku. Reflek aku berguling menghindar setelah jaraknya agak jauh, aku bangun.
Mang Karta tersenyum melihat jatuh tunggang langgang menghindari pukulannya. Dia terlihat tenang menghampiriku, tidak terlihat akan menyerang. Tapi dari tatapan matanya aku harus tetap waspada. Dan benar, sebuah pukulan yang sangat cepat mengarah ke wajahku.
Cepat dan bsrtenaga, reflek aku menangkis dengan jurus pepedangan menggunakan tulang kering pergelangan tangan sehingga menimbulkan bunyi cukup nyaring.
Pertama kali dalam hidupku aku bertarung dengan cara brutal, tanpa jurus baku yang selama ini sering kami latih bersama. Yang ada hanyalah bergerak secara efektif. Gerakan reflek menjadi modal utama untuk keluar sebagai pemenang dalam swbuah pertarungan jalanan yang brutal dan tanpa aturan.
Jurus yang aku latih melebur dengan sendirinya. Menjadi bagian dari tubuhku. Aku tidak perlu berpikir harus bergerak dengan jurus apa, kuda kudanya harus bagaimana, semuanya hanya akan membatasi gerakanku.
Satu satunya yang harus aku lakukan dalam pertempuran yang sesungguhnya adalah bergerak secepat yang aku bisa, menjatuhkan lawan secepatnya sebelum kehabisan tenaga.
Dan ahirnya aku bisa mengimbangi gerakan Mang Karta. Di usia 50, tahun ternyata stamina Mang Karta masih bagus dan yang membuatku heran nafasnya tetap stabil setelah bertarung cukup lama. Sedangkan nafasku mulai tidak beraturan.
"Cukup...!" Mang Karta bsrgerak mundur. Wajahnya tsrlihat puas melihatku sudah mahir dalam pertarungan japundakku, Mang Karta merangkul pundakku Bibirnya tersenyum senang.
"Mamang senang kemampuanmu sudah meningkat dan kamu sudah menjadi lebih kuat dibandingkan yang kemaren. Kamu sudah memahami arti sebuah pertarungan jalanan yang brutal tanpa aturan. Kamu sudah jauh lebih siap menghadapi Dia." kata Mang Karta menepuk nepuk pundakku.
"Dia siapa,Mang? Apa benar ayahku masih hidup?" tanyaku mengharapkan sebuah jawaban yang pasti bukan sebuah teka teki yang membuat kepalaku pusing.
"Nanti kamu akan tahu sendiri dan kamu harus menemukan jawaban sendiri." kata Mang Karta tersenyum seperti kebiasaannya selama ini.
"Lalu kenapa Bi Narsih mengatur supaya aku menjadi seorang Bos Club malam seperti sekarang?" tanyaku semakin penasaran.
"Kamu bisa tanyakan langsung ke Bibimu. Kita bicara di dalam saja, ya...!" kata Mang Karta mengajakku masuk rumah besar yang berada di depan.
Mang Karta menyuruhku memanggil Rani dan Rini. Tidak lama aku sudah kembali bersama Rani dan Rini. Aku juga menyerahkan surat yang dititipkan Ratna ke Mang Karta. Rani dan Rini juga masing menyerahkan satu surat ke Mang Karta. Entah apa isi ke 3 surat itu, Mang Karta sama sekali tidak membahasnya. Dan aku tidak berani bertanya.
"Kenapa Ratna tidak bersama kalian? " tanya Mang Karta heran.
"Ratna minta pulang ke rumah Anis ibunya yang sekarang tinggal di Cirebaon dengan Pamannya Pak Shomad Guru Besar Perguruan Silat xxx." kataku menerangkan.
"Hmmm, Shomad, sudah lama aku tidak bertemu dengannya." kata Mang Karta ternyata mengenal Pak Shomad. Aku heran dan tidak habis pikir, kenapa semuanya berhubungan. Berputar secara acak namun pada ahirnya menjadi sebuah bentuk yang utuh.
Mang Karta kembali membaca surat dari Codet, berulang ulang agar benar benar mengerti apa yang dimaksud Codet. Setelah merasa mengerti dengan apa yang dibacanya, dia memandang ke dua gadis cantik itu.
Kalian sedang terancam bahaya, karena ayah kalian menyembunyikan sesuatu yang sangat berharga milik, Dia. Kalian tanpa disadari tahu tempat benda itu disimpan." kata Mang Karta memandang ke dua gadis itu penuh selidik.
"Apa itu?" tanya Rani dan Rini berbarengan. Wajah mereka terlihat gelisah.
"Aku tidak tahu, ayah kalian tidak menjelaskannya di dalam surat ini. Memang kalian tidak diberi tahu ayah kalian?" tanya Mang Karta terlihat jengkel. Jarang sekali aku melihat Mang Karta berespresi seperti sekarang. Ini artinya masalah yang dihadapi sangat rumit.
"Cuma Narsih yang bisa memecahkan masalah serumit, ini." Mang Karta menarik nafas panjang.
Berarti selama ini Bi Narsih yang selalu mengatur strategi. Dengan kata lain, Bi Narsih yang menjadi otak Mang Karta. Perlahan aku mulai bisa membaca dan menyimak apa yang sebenarnya terjadi.
"Ada yang aneh, Jang. Menurut Kang Udin tadi pagi kamu kalah dalam pertarungan. Tapi tadi Mamang lihat kemampuan bertarungmu sangt luar biasa. Kok bisa begitu, Jang? " tanya Mang Karta tiba tiba beralih ke diriku.
Aku menunduk malu. Tidak mungkin aku menceritakan kejadian sebenarnya di hadapan Rani dan Rini.
"Nanti Ujang ceritain, Mang." kataku menghindari pertanyaan Mang Karta. Untungnya Mang Karta mau mengerti.
"Kalau begitu kamu pulang dulu, kasian istrimu pasti was was. Nanti malam kamu ke rumah, ada yang mau Mamang bicarakan." kata Mang Karta membuatku senang diperbolehkan pulang.
"Lalu bagaimana Rani dan Rini?" tanyaku.
"Untuk sementara mereka tinggal di sini. Ini tempat paling aman buat mereka." kata Mang Karta.
Ahirnya aku pamitan pulang, walau aku masih bingung, kenapa Rani dan Rini memerlukan perlindungan Mang Karta. Apa mereka benar benar dalam bahaya besar. Ah biarkan semuanya berjalan secara alami, nanti aku akan tahu jawabannya.
******
Lilis memelukku senang melihatku pulang. Padahal aku baru dua malam tidak pulang, apa lagi kalau seminggu tidak pulang.
"A Ujang ke mana saja sich, gak pulang pulang?" kata Lilis manja.
"Kan Aa udah nelpon. Ningsih mana?" tanyaku yang tidak melihat Ningsih.
"Pulang dari kios langsung bantuin Ibu. Katanya bosen di rumah terus." kata Lilis menerangkan"Lilis juga baru pulang dari mana?" tanyaku curiga melihatnya masih berpakaian rapi lengkap dengan jilbabnya.
"Tadi sama Ningsih ke kios terus ke Toko toko meriksa pembukuan. Kan sekarang Lilis harus ngontrol semuanya. Ningsih gak langsung pulang, mampir ke tempat ibu. Aa cemburu, ya?" Lilis tersenyum lalu mencium bibirku dengan mesra.
Aku memeluk Lilis dan membalas ciumannya. Entah kenapa aku gampang cemburu kalau melihat Lilis dan Ningsih berpakaian rapi kalau aku tidak ada. Mereka terlalu cantik dan banyak pria yang pasti akan tergila gila melihat kecantkan mereka.
"Aa keliatannya cape? Istirahat dulu, nanti malam Aa harus lembur, ada dua lobang yang nungguin, Aa." kata Lilis melihat wajahku yang terlihat lelah.
Hari ini aku benar benar lelah, dipaksa bertarung mulai bangun tidur dan diteruska. Sore harinya.
Mataku melihat jam sudah hampir magrib, tapi kenapa Ningsih belum juga pulang. Bukankah biasanya ibu berjualan paling sore habya sampai jam 4. Baru saja aku mau bertanya, Ningsih sudah muncul dari pintu belakang yang tembus ke rumah kontrakan yang ditempati ibuku.
"Aa, Ningsih kangen...!" kata Ningsih mencium tanganku lalu memelukku. Kami saling berciuman seperti sepasang kekasih yang lama tidak bertemu.
"Aa disuruh ke ibu, ada yang mau dibicarakan." kata Ningsih setelah kami berciuman cukup lama.
"Mau bicara apa?" tanyaku heran.
"Ibu mau nikah lagi sama Mang Udin." kata Ningsih tertawa menggodaku.
Aku mencubit pipi cuby istriku yang semakin lama terlihat semakin cantik di mataku. Entah kenapa aku masih tetap selingkuh. Padahal di rumah ada dua wanita cantik Yang sangat mencintaiku.
"Aa mau nemuin Ibu dulu, ya !" kataku berpanitan sambil berjalan ke luar lewat pintu belakang yang langsung menuju kontrakan.
Di rumah ternyata ibu sedang sendiri. Ke dua adikku entah sedang ke mana. Aku mencium tangan wanita yang sangat aku hormati. Waniya yang sudah melahirkanku dengan taruhan nyawanya. Wanita yang sudah membesarkanku.
"Ada apa, Bu?" tanyaku was was melihat wajahnya yang tanpak pucat. Aku memeluk pundaknya.
"Ay....ayahmu...!" Mulutnya terbata bata mengucapkan nama yang tidak bisa diselesaikannya.
"Ada apa dengan ayah?" tanyaku heran mendengar ibu mengucapkan nama itu seakan akan dia masih hidup.
"Seminggu sebelum meninggal dia memberikan ini ke Ibu agar diberikan kepadamu saat kamu sudah menikah
" kata ibuku menyerahkan kotak kayu berukir. Kotak kecil yang biasa dipakai untuk menyimpan perhiasan.
Tanganku gemetar menerima kotak itu. Ketika aku akan membukanya, ibuku justru melarangnya.
"Jangan dibuka di depan, Ibu. Ibu tidak mau melihatnya." kata ibuku membuatku heran.
Ahirnya aku berpamitan pulang. Aku penasaran apa yang di dalam kotak. Belum juga aku duduk, Lilis dan Ningsih sudah berebutan bertanya.
"Ada apa, A?" tanya mereka berbarengan.
"Ibu ngasih kotak pemberian almarhum ayah." kataku sambil mengelus kotak pemberian ayahku. Dengan tangan gemetar aku membukanya. Ternyata isinya sebuah surat yang kertasnya sudah mulai menguning.
"A, Lilis mau meriksa bon bon Toko, ya !" kata Lilis beranjak meninggalkanku setelah tahu isinya hanya sebuah surat. Lilis memberi insyarat ke Ningsih agar meninggalkanku sendirian.
"Ningsih juga mau masak, A." kata Ningsih yang mengerti isyarat Lilis.
Perlahan aku membuka surat yang berada paling atas.
Aku titipkan surat ini pada ibumu, karena aku tahu ibumu orang paling Amanah dan setia yang pernah aku kenal
Di bawahnya ada surat ke dua.
Kuberi nama kamu Jalu, kamu tau kenapa? Karena ayah ingin kamu menjadi pria kuat dan hebat yang bisa menaklukan dunia.
Kuberi kamu nama Jalu, karena Ayah berharap suatu saat kelak kamu akan mengambil alih tanggung jawab ayah untuk merawat dan menjaga Ibu dan adik adikmu.
Kuberi kamu nama Jalu, karena kamu adalah lelaki.
Bogor, 1973
Jalu, ya itulah nama asliku yang tertera di KTP, tapi aku lebih suka dipanggil Ujang.
Lalu aku membuka surat yang ke tiga., isinya lebih panjang.
Jalu, anakku. Saat kamu membaca surat ini artinya kamu sudah dewasa, mempunyai seorang istri dan sudah harus tahu kebenarannya. Ayahmu mungkin masih hidup atau juga mati. Tapi bukan kematian dengan cara seperti yang kalian tahu. Karena mayat yang akan kalian temukan di sungai, bukanlah mayatku. Karena mayat itu adalah mayat seseorang yang tidak aku kenal. Mayat yang aku temukan mengambang di sungai.
Ini sebuah rencana besar untuk mengelabui kematianku. Karena ada seseorang yang menginginkan kematianku dan aku tidak mau kalian celaka karena mereka tidak mampu membunuhku. Racun yang mereka berikan tidak akan sanggup membunuhku. Aku kebal racun.
Orang itu sangat licik, anakku. Dia akan menggunakan berbagai macam cara untuk membunuhku. Bahkan dia akan tega mencelakai kalian agar aku menjadi lemah.
Jalu anakku, kalau kamu mau tahu apakah aku saat ini masih hidup atau sudah mati, temui Narsih.
Bogor, 1980
Bi Narsih tahu semuanya. Dan selama ini dia menyembunyikan semuanya dariku.
Bersambung........