"Mang Udin bertarung dengan ayahku?" tanyaku lirih, tidak percaya dengan apa yang aku dengar.
Kenapa dia tahu kedekatan Mang Udin dan ibuku? Apa dia selama ini selalu mengawasi kami? Mang Udin tidak salah apa apa, kenapa harus dicelakai.
Kesalahan semuanya ada di dia yang meninggalkan kami begitu saja. Apa dia tidak pernah berpikir, betapa berat perjuangan Ibuku untuk membesarkan 3 orang anaknya yang masih kecil. Betapa beratnya hidup tanpa seorang ayah.
Sekarang, dia mau merenggut kebahagian Ibuku. Tidak akan pernah aku biarkan itu terjadi. Dia harus berhadapan denganku. Aku tidak perduli walau dia ayah kandungku.
Aku tersadar dari lamunanku ketika Mang Karta memeluk pundakku. Memelukku dengan kasih sayang seorang ayah. Ya, Mang Karta lah yang seharusnya jadi ayahku. Bukan pria pengecut yang lari dari tanggung jawab. Pria yang bernama Gobang tidak pantas menjadi ayahku.
"Mamang baru tahu kalau Ayahmu benar benar masih hidup dari Bibimu." kata Mang Ujang menatap Bi Narsih dengan perasaan kagum.
"Tadinya Mamang menyangka, mustahil ayahmu masih hidup, walau mamang tahu mayat yang kami temukan bukanlah mayat Gobang. Tapi Bibimu bersikeras bahwa Gobang masih hidup dan mayat yang ditemukan adalah.....!" Mang Karta tidak meneruskan perkataannya. Dia menatap Bi Narsih.
"Mayat yang ditemukan adalah mayat ayahnya Desy.." suara Bi Narsih terdengar pilu. Tanpa bisa ditahan, wanita tegar itu menangis.
Aku terkejut, keterangan Bi Narsih menghantam jiwaku. Jiwaku semakin terguncang.
"Bibi ingat cerita Ibumu waktu Bibi baru sampai rumah. Kang Kardi dua hari sebelum Bibi pulang, dia datang menengok Desy. Lalu terjadi cek cok dengan Gobang. " Bi Narsih terdiam beberapa saat berusaha mengontrol emosinya.
"Keluarga Pak Baharudi ?" tanya seorang perawat.
"Saya, Sus!" kami bertiga menjawab berbarengan dan berdiri menghampiri Suster dengan hati was was.
"Alhamdulillah, kondisi Pak Baharudin sudah melewati masa kritis. Pisau belati tidak mengenai paru parunya. " kata Suster menerangkan kondisi Mang Udin.
Mendengar nyawa Mang Udin bisa diselamatkan, lututku gemetaran dan aku merasa semua kekuatan fisikku benar benar hilang. Tanpa dapat kutahan, aku terjatuh kehilangan kesadaranku.
*******
Aku terbangun di sebuah kamar yang asing. Kamar seorang gadis. Ada beberapa photo yang dipajang di dinding dan di meja belajar. Photo Desy. Kenapa aku bisa berada di kamar Desy? Apa Mang Karta dan Bi Narsih yang membawaku ke sini? Kenapa bukan ke kamar atas.
"A Ujang sudah sadar?" tanya Desy yang ternyata sejak tadi di dalam kamar dan aku tidak menyadarinya.
"Kok aku ada di kamar kamu, De" tanyaku heran.
"Semalam A Ujang pingsan di RS, kata dokter gak apa apa, cuma shock dan disuruh istirahat di rumah. Tadinya kata Mamah mau dibawa pulang, tapi takut Teh Ningsih dan Uwa kaget. Apa lagi Teh Ningsih kan lagi hamil. Makanya A Ujang dibawa ke sini. Mau dibawa ke kamar atas, badan A Ujang berat, ahirnya dibawa ke kamar Desy." kata Desy menerangkan.
"Sekarang Bi Narsih mana? Kamu gak sekolah?" tanyaku. Sudah jam 9.
"Tadi Teh Ningsih, Teh Lilis dan Uwa Kokom ke sini, sekarang ke RS sama Mamah. Desy disuruh jagain A Ujang." kata Desy.
Aku memejamkan mata, berusaha mengatur nafasku sehalus mungkin. Berusaha mengembalikan jiwaku yang sempat terguncang.
"A Ujang gak kenapa kenapa?" tanya Desy, aku bisa mendengar nada suaranya yang hawatir dengan kondisiku.
"A Ujang gak apa apa, Des." kataku tersenyum melihat kehawatiran di wajah cantiknya. Kusentuh pipinya yang halus.
"Alhamdulillah. A Ujang mau Desy bikinin kopi?" tanya Desy.
"Mau. A Ujang mau mandi dulu ya.!" kataku beranjak bangun. Tubuhku lebih segar sekarang setelah mengatur pernafasan seperti tadi.
Setelah mandi, badanku semakin segar. Semangatku telah pulih, apa lagi melihat kopi panas yang tersaji di meja ruang keluarga.
"Kamu semalam tidur di mana?" tanyaku ke Desy yang duduk di sampingku.
"Di kamar, atas." kata Desy sambil bersender di pundakku. "A, Desy kangen" Desy meraba Ujang junior yang masih tertidur karena kelelahan fisik psikis.
"Aa juga kangen." kataku mencium bibirnya yang tipis sensual
Desy membalas ciumanku dengan bernafsu, sifat binalnya menurun dari Bi Narsih. Bi Narsih, dia cerdas dan dapat mengendalikan diri namun di sisi lain, dia wanita binal yang tidak pernah puas dengan sex. Semoga saja seiring berjalannya waktu, Desy bisa secerdas dan setangguh ibunya.
Entah sejak kapan Desy sudah berjongkok di antara selangkanganku. Tangannya begitu terampil mengeluarkan Ujang junior yang masih dari sarangnya. Perlahan gadis belia yang binal itu mulai menggoda Ujang junior yang masih tertidur. Gadaannya mulai mengusik Ujang junior yang bangkit perlahan menunjukkan keperkasaan dan keangkuhannya.
"Sudah bangun. A!" Desy menggodaku, wajahnya kegirangan karena telah berhasil memancing Ujang junior berdiri dengan gagah. Siap menaklukan setiap goa yang tersembunyi di balik selangkangan wanita.
"Ssst, Aa masih cape. Biar Desy yang kerja." kata Desy yang melarangku untuk membalas perbuatannya karena telah membangunkan Ujang junior. Desy naik ke pangkuanku setelah melepas celana dalamnya. Roknya diangkat sedikit agar Ujang junior leluasa menerobos goa tersembunyi yang menjadi idaman setiap pria.
Perlahan, Ujang junior masuk celah sempit yang basah dan licin. Desy mendesis lirih, matanya yerpejam bagian tubuh terintimnya dimasuki Ujang junior.
"Enak A, punya A Ujang benar benar enak. " kata Desy mulai memacu Ujang junior dengan perlahan. Merasakan setiap inci bagian intimnya bergesekan dengan Ujang junior. Tangannya berpegangan pada pundakku.
Kami berciuman dengan mesra. Rasa nikmat mengalihkan perhatianku dari semua masalah yang aku hadapi. Semuanya sekarang tertuju pada Ujang junior yang bergerilya di goa sempit yang dindingnya bisa berdenyut meremas dan memberikan kenikmatan yang dicari semua pria.
"A, Desy gak kuat. Des, kelllluarrrrr...!" Desy memelukku erar. Menyambut orgasme dahsyat yang melambungkan jiwanya hingga langit ke tujuh.
"Enak, Des?" tanyaku menatap wajah cantik adik sepupuku yang imut.
"Banget. Pindah ke kamar yuk, A..!" kata Desy bergerak bangun. Tanganku menahannya agar Ujang junior tetap dalam celah sempit yang hangat dan mampu memberikan sejuta kenikmatan.
Aku bangkit sambil menahan pantat besar Desy yang padat. Berjalan sambil menggendong Desy yang memeluk leherku agar tidak terjatuh.
Kulerkakkan Desy di pinggir ranjang, kakinya yang menjutai dinaikkan ke atas sehingga aku bisa melihat Ujang junior yang terjepit di celah sempit dipenuhi semak belukar. Desy membuka penutup tubuhnya, kecuali rok yang menutupi pinggangnya.
Aku mulai memompa Ujang junior yang begitu bersemangat menjelajahi celah sempit gadis belia, memberinya kenikmatan yang belum waktunya direguk.
"Aa pinter bikin enak, Desy mau jadi istri Aa biar bisa setiap saat merasakan kenikmatan seperti ini." kata Desy menatapku sayu. Pandanganya beralih ke Ujang junior yang keluar masuk celah sempit miliknya.
"Kita gak akan bisa nikah, Desy kan adik sepupu A Ujang." kataku sambil bergerak memompa dan tanganku meremas dada imutnya yang akan membesar saat melahirkan seorang bayi. Semoga bukan anakku yang akan disusuinya.
"Gak apa dech, yang penting Desy selalu dapet jatah." Desy dengan mahir menyambut hentakan pinggulku dengan bergairah. Menyongsong Ujang junior yang masuk ke lembah sempit tersembunyi.
Beban yang semalam serasa sirna oleh kenikmatan yang diberikan Desy, hingga ahirnya Ujang junior tersungkur memuntahkan cairan kenikmatan yang membawa ribuah benih yang siap membuahi rahim Desy. Dan aku berharap, benih yang kusemburkan gagal membuahinya.
"Desy kelllluarrrrr lagiii, Aa. Nikmat bangt." Desy mengerang, tubuhnya mengeliat dombang ambingkan puncak kenikmatan yang tiada henti menyeret dan melemparnya kembali ke langit ke tujuh.
Aku merasa tubuh dan jiwaku lepas dari semua beban yang menghimpitku. Aku terkapar di samping Desy yang langsung memeluk dan mencium pipiku.
"Kalian, kalau mau mesum pintu depan dikunci dulu. Coba kalau ada yang masuk, kalian bisa diarak keliling kampung" kata Bi Narsih yang tiba tiba masuk kamar melihat kami yang kelelahan setelah mengayuh birahi.
"Maaf, Mah. Desy lupa." kata Desy tanpa melepaskan pelukannya.
"Des, kamu ke RS, temenin Uwamu, kasian sendirian jaga Mang Udin." kata Bi Narsih.
"Kan tadi ada Teh Lilis dan Teh Ningsih." Desy menjawab enggan kalau harus pergi meninggalkanku. Itu artinya meninggalkan kenikmatan yang akan kembali direguknya.
"Teh Lilis dan Teh Ningsih berangkat meriksa toko, apa lagi Mang Udin sudah sadar." kata Bi Narsih memaksa Desy segera berpakaian dan pergi ke RS menemani Ibuku.
Dengan mengomel pendek, ahirnya Desy mengalah pergi ke RS. Sedangkan aku cuek tidak berusaha menutupi Ujang junior yang kelelahan sehabis bertempur cukup lama dengan Desy.
"Jang, pake celana. Jangan bikin Bibi horny, nanti kamu Bibi perkosa." kata Bi Narsih berusaha mengalihkan perhatiannya dari Ujang junior yang mulai terusik melihat keseksian tubuh Bi Narsih.
"Bibi harus menceritakan kejadian yang sebenarnya. Sepertinya Bibi tahu kalau ayahku masih hidup. Dan Bibi juga yang mengatur agar aku menggantikan posisi Pak Budi." kataku sambil membuka bajuku hingga bugil mempertontonkan tubuhku yang berotot karena rutin berlatih silat setiap hari.
"Gak sekarang, lain kali Bibi cerita pada waktu yang tepat. Situasinya sekarang sedang genting. Ayahmu tidak akan membiarkan Mang Udin tetap hidup." kata Bi Narsih mengelak dari pertanyaanku. Dia meninggalkanku.
Reflek aku menarik tangan Bi Narsih hingga tubuhnya jatuh ke pelukanku. Kucium bibirnya dengan bernafsu, tanganku meremas pantanya yang besar dan masih keras.
"Ujang pengen Bibi cerita sekaranv, sebenarnya apa yang telah terjadi.?" kataku sambil terus meremas pantatnya.
Tanganku dengan terampil menelanjangi Bi Narsih tanpa ada penolakan darinya.
"Jang, kamu kok makin kurang ajar sama, Bi Narsih!" kata Bi Narsih mendorongku celentang di ranjang Desy.
Bi Narsih berjongkok membelai Ujang junior yang berdiri dengan gagah perkasa. Si Ujang junior sang penakluk setiap lembah tersembunyi..
Aku bangkit, berusaha menjauhi Bi Narsih dari Ujang junior, aku menariknya bangkit. Kurebahkan tubuhnya di ranjang.
"Bi Narsih cerita dulu, baru Ujang puasin Bi Narsih" kataku. Tanganku menggoda dadanya yang sudah mulai mengeras.
"Jang...!" Bi Narsih tidak mau menyerah, tangannya menggenggam Ujang junior yang berdiri gagah, lalu secara tiba tiba dia membalikkan tubuhku terlentang. Ternyata di balik kelembutannya, dia mempunyai kemampuan seorang pesilat. Gerakannya cepat dan akurat. Pandai memanfaatkan kelengahan lawan.
Dalam sekejab Bi Narsih sudah menduduki Ujang junior, memaksanya menerobos lembah sempit yang berlendir dan hangat. Ujang junior terperangkap di dalamnya, tidak mampu berkelit.
"Ponakan Bi Narsih ternyata sudah pinter menggoda Bibi, ya!" kata Bi Narsih tidak memberiku kesempatan untuk memegang kendali.
"Bibi baru tahu ayahmu tidak mati setelah satu setengah tahun penemuan mayat yang disangka ayahmu. Karena secara tidak sengaja Bibi bertemu dengan ayahmu di Gunung Kemukus. Ayahmu ternyata benar benar licik." kata Bi Narsih berteriak, antara marah dan nikmat.
"Mayat yang kami temukan adalah mayat Kang Kardi yang sudah dibunuhnya sebelum bertarung dengan Kang Karta. Dan ayahmu hanya pura pura mati saat bertarung dengan Kang Karta dan pada saat Kang Karta lengah, dia menikam perut Kang Karta. Kang Karta yang berniat melempar mayat Kang Gobang ke sungai, ahirnya mereka berdua terjatuh di sungai yang banjir.." Bi Narsih melampiaskan kemarahannya dengan memacu Ujang junior dengan liar.
"Ayahmu perenang handal, sungai adalah temannya sejak kecil, tidak heran dia bisa selamat. Gagal melenyapkan Kang Karta, dia menggali mayat Mang Kardi lalu dilemparkannya di sungai. Itu sebabnya mayat yang kami temukan sudah membusuk." kata Bi Narsih. Matanya berlinang. Tapi wanita ini terlalu angkuh untuk menangis, dia berusaha mengalihkan kesedihannya dengan menggerakkan pinggulnya selembut mungkin agar gesekan si Ujang junior mampu mengalihkan kesedihannya.
"Bibi pula yang mengaturmu menggantikan posisi Pak Budi. Itu sudah bibi rencanakan sejak 10 tahun yang lalu. Kamu tahu kenapa Bibi selalu mengingatkan kamu untuk mengambil alih tanggung jawab sebagai kepala rumah tangga? Agar kamu tidak tertarik untuk sekolah tinggi. Kalau kamu menjadi sarjana seperti yang dicita citakan pamanmu, maka semua rencana yang bibi susun akan berantakan." kata bi Narsih mengerang menyambut orgasmenya yang dahsya. Tubuhnya menggeliat tegang, lalu perlahan mulai melemas. Bi Narsih melemparkan tubuhnya ke sampingku.
Melihat Bi Narsih tergolek tidak berdaya, aku menindihnya. Ujang junior sudah berpengalaman menerobos lembah sempit yang menyimpan surga di dalamnya.
"Kamu pinter, sayang. Andai kamu bukan ponakan Bibi, Bibi akan memaksa kamu menikahi Bibi." kata Bi Narsih menyambut bibirku dengan bernafsu.
"Kenapa Bi Narsih menjadikanku pengganti Pak Budi?" tanyaku heran.
"Untuk memancing Gobang keluar dari persembunyiannya." kata Bi Narsih menggoyangkan pinggulnya menyambut Ujang junior yang menerobos masuk.
"Bibi merencanakan semuanya dengan matang tanpa celah. Bahkan Mamangmu sendiri tidak tahu rencana ini. Bibi yang mengatur kamu agar kerja jadi kuli bangunan di Jakarta agar kamu belajar di jalanan. Bibi juga yang mengatur agar kamu jadi tukang Mie Ayam agar kamu bisa mengenal keluarga Pak Budi. Pak Budi hanyalah bonekaku. Karena semua modal untuk membangun jaringan bisnisnya adalah uang yang Bibi dapatkan dari ayahmu. Uang haram ayahmu dari bisnis hitamnya." kata Bi Narsih melenguh saat aku membenamkan Ujang junior dengan keras.
"Jadi selama ini Bi Narsih masih berhubungan dengan ayahku?" tanyaku marah karena merasa dibohongi. Aku semakin kasar memompa Ujang junior ke lembah sempit yang benar benar basah.
"Terahir aku bertemu adalah saat kami secara tidak sengaja bertemu di Gunung Kemukus, dia memberiku uang sangat banyak untuk menutup mulutku dan juga membiayai hidup kalian. Uang itu aku pakai untuk membangun jaringan bisnis prostitusi hingga ahirnya menjadi Club malam. Pak Budi hanya pengelola saja. Dan dia mendapat sebagian saham yang dibagi dua dengan Bu Dhea.” kata Bi Narsih.
"Jang, bibi kelllluarrrrr lagiii..!" bi Narsih memelukku dengan erat, pinggulnya menggeliat mendapatkan orgasme dan saat bersamaan hasratkupun tuntas. Ujang junior menumpahkan semua kandungannya di telaga kenikmtan.
Aku berbaring di samping Bi Narsih, nafasku masih tersengal sengal tidak beraturan. Rasa nikmat yang sempat kurasakan hanya dalam hitungan detik, hilang tidak berbekas.
Aku sudah terlalu lelah dan sudah tidak mampu berpikir lagi. Ternyata Dalang yang mengatur semuanya adalah Bi Narsih sehingga aku menjadi pemilik Club malam. Wanita yang sangat menakutkan.
"Aku juga yang mengirim photo ke Lilis dan orang tua Pak Budi sehingga mereka mati bunuh diri" kata Bi Narsih. Membuatku benar benar sangat terkejut.
"Apa Mang Karta tahu?" tanyaku penasaran.
"Kang Karta tidak tahu menahu tentang itu semua. Makanya aku menjebak Pak Budi karena dia mau membocorkan semuanya pada Kang Karta. Aku yang mengatur rencana pembunuhan, Pak Budi." kata Bi Narsih, suaranya seperti petir di siang hari.