Kenapa semua pentunjuk harus mengarah ke Bi Narsih? Apa benar dia tahu ayahku masih hidup apa tidak?
Menurut ibj, mayat ayahku ditemukan setelah dua hari dia hanyut dan mayatnya sudah membusuk. Mukanya hancur tidak bisa dikenali.
Menurut Mang Karta ayahku dilemparkan ke sungai setelah bertarung dengan Mang Karta, mereka berdua sama sama hanyut terbawa sungai yang sedang banjir. Mayat ayahku ditemukan kurang lebih 2 KM dari tempat kejadian.
Lalu yang jadi persoalan, berapa lama mayat akan membusuk di dalam air? Karena menurut ibuku mayat ayahku sudah membusuk dan tidak dikenali setelah dua hari hanyut. Apa mungkin dalam waktu dua hari mayat akan membusuk sampai tidak dikenali?
Mang Udin mungkin bisa membantuku mencari informasi, karena aku mulai meragukan Bi Narsih. Selama ini Bi Narsih berusaha menyembunyikan sesuatu dariku. Aku mulai curiga dengan gerakannya.
Tapi, apa Mang Udin juga bisa dipercaya? Selama ini dia selalu menghindar saat bertatapan mata denganku. Tapi aku sering memergoki dia sedang menatapku. Apa lagi dia adalah orangnya Mang Karta.
Aku baru menyadari ada sesuatu yang janggal dengan Mang Udin yang selalu memakai topi dan ketika berjalan wajahnya agak menunduk. Brewok dan kumisnya tidak pernah dicukur. Terkesan menyeramkan.
Tiba tiba aku melihat sebuang angka yang terukir di dasar kotak. Angka yang tidak berurutan. Aku tidak tahu maksudnya, tapi aku berusaha untuk menghafalnya, siapa tahu ini sebuah petunjuk juga.
"A Ujang, sudah beres belum?" tanya Lilis tiba tiba muncul dan mengagetkanku.
"Sudah, ada apa Lis?" tanyaku melihat Lilis yang berdiri mengusap perutnya yang mulai membesar karena kehamilannya.
"Tolong pindahin brankas yang di kamar almarhum ke kamar, biar Lilis gak mondar mandir." kata Lilis.
"Iya, geulis." kataku sambil merangkul Lilis berjalan ke kamar Pak Budi. Inilah untuk pertama kalinya aku masuk kamar Pak Budi.
"Yang ini sekarang jadi brankas Lilis, sedang yang satunya punya A Ujang." kata Lilis menerangkan.
"Isinya apa Li?" tanyaku heran karena tiba tiba mempunyai brenkas.
Aku mencoba nenganggkat brankas Lilis, ternyata sangat berat. Bahkan tidak bergerak saat aku mencoba menggesernya. Lalu aku mencoba menggeser brankas yang kata Lilis sudah menjadi milikku. Ternyata sama saja, tidak bergerak saat aku geser.
"Berat, Lis. Gak bisa diangkat." kataku menyerah.
"Kirain Lilis bisa diangkat, A." kata Lilis duduk di ranjang Pak Budi.
Iseng aku mencoba membuka brankas yang sudah jadi milikku, ternyata tidak bisa dibuka. Aku menoleh ke arah Lilis yang menahan tawa melihatku gagal membuka brankas.
"Kok gak bisa dibuka, Lis? Gak ada lobang koncinya, lagi !" karaku semakin penasaran dengan isi brankas.
"Emang gak pake konci, Aa Sayang. Pake nomer kombinasi. Sini liat cara buka kuncinya." kata Lilis menarikku agar bisa melihat caranya membuka brankas.
Lilis mulai memutar mutar benda bulat yang bertuliskan angka yang mengelilinginya. Tadinya kupikir itu gagang pintu atau tombol, ternyata bisa diputar.
"Gini A caranya, kombinasi angka Lilis, 9, putar ke angka 9, lalu 7, lalu 4, nah bisa dibuka kan!" kata Lilis mempraktekan cara membuka pintu brankas.
"Trus kombinasi brankasku berapa?" tanyaku bingung karena aku tidak tahu nomer brankasku.
"Di buku peninggalan almarhum pasti ditulis, soalnha Lilis gak tau nomer kombinasi Aa." kata Lilis.
Mungkin benar apa yang dikatakan Lilis, kalau tidak bisa dibuka, mungkin harua dibongkar. Aku segera ke kamar mengambil buku pemberian Pak Budi.
Di kamar aku melihat Ningsih tiduran, wajahnya terlihat kuyu, membuatku sangat hawatir. Mungkin dia kecapean tadi siang ngontrol kios dan toko, pulang malah langsung bantuin, ibu.
"Ningsih, sakit?" tanyaku hawatir sambil meraba dahinya. Normal, dahinya tidak panas.
"Enggak apa apa, kok. Cuma bawaanya males ngapa ngapain kalau gak dipaksain." Ningsih tersenyum sambil memegang tanganku.
"Beneran? " tanyaku sambil mencium bibirnya dengan mesra. Ningsih memelukku dan membalas ciumannku. Aku jadi lipa tujuanku ntuk mengambil buku agenda Pak Budi mencari nomer kombinasi brankas.
"A, pengen...!" Ningsih merajuk manja.
"Pengen apa, sayang?" tanyaku menggodanya walau aku tahu apa yang dimaksud Ningsih.
"Aa, jangan ngeledek. Pengen ini nich...!" kata Ningsih meraba selangkanganku.
Sebenarnya aku ingin menolak, aku sudah terlalu lelah setelah semalaman bergumul dengan Rani dan Rini, disambung dengan pertarungan dengan anak buah Mang Karta, lalu kembali bertarung birahi dengan Rani dan Rini. Kembali bertarung. Aku ragu, si Ujang junior masih bisa bangun atau tidak.
"Nanti dulu ya, A Ujang mau nyari nomer brankas di buku agenda almarhum." huf, aku lega karena menemukan alasan tepat untuk menunda ajakan istri tercinta.
"Aa, sekali aja...!" kata Ningsih memelukku.
"A Ujang, ada gak nomer kombinasinya?" tanya Lilis dari luar kamar. Kehadiran Lilis menjadi malaikat penyelamat buatku.
"Iya, sebentar..!" kataku. Terlihat wajah Ningsih yang kecewa. Aku menciumnya sekali lagi.
Aku mengambil buku agenda yang kuselipkan di bawah tumpukan baju. Aku mencari kombinasi angka di dalamnya. Ternyata tidak sulit mencarinya, Pak Budi menulisnya di halaman pertama. Aku bersorak kegirangan mendapatkan apa yang kucari.
"Ningsih, Aa mau lihat isi brankas dulu ya, sayang. Nanti Aa puasin kamu." kataku sambil mencium pipi istriku yang cuby. Tanpa menunggu jawabannya, aku segera keluar kamar.
Lilis sudah menungguku di kamar Pak Budi sambil memeriksa berkas dan bon toko yang bertumpuk. Lilis tersenyum menyambut kehadirannku.
"Udah dapat, A?" tanya Lilis menatapku lembut. Tatapan mata yang penuh cinta.
"Sudah..!" kataku sambil berusaha membuka pintu brankas dengan nomer kombinasai. Pintu brankas ahirnya berhasil aku buka.
Isinya hanya berkas berkas dan ada sebuah buku Diary yang menarik perhatianku. Mungkin ada petunjuk yang aku perlukan. Selain berkas dan buku diary, aku juga menemukan tumpukan obat yang tidak tahu buat apa?. Aku menoleh ke Lilis yang sedang asik memeriksa berkas.
"Lis, ini obat apa?" tanyaku sambil menunjukan tumpukan obat yang aku temukan di brankas.
Lilis mengambil obat dari tanganku dan memeriksanya dengan seksama.
"Ini viagra dan obat perangsang, A. Mungkin ini yang diminum almarhum buat berhubungan dengan Lilis." kata Lilis menerangkan.
"Aa mau baca ini di kamar ya,!" kataku pamitan.
"Lilis ikut, serem kalo di sini sendirian." kata Lilis buru buru membenahi berkas yang sedang dibacanya.
***** ***
DIARY
Bogor, 1993
9 tahun sudah aku berumah tangga, tapi belum juga dikaruniai anak. Padahal Abah dan Ambu sangat menginginkan seorang cucu. Aku ingin bisa membahagiakan ke dua orang tuaku sebelum mereka tiada. Juga sebagai penebus kesalahanku.
Aku sudah tahu cerita ini, jadi aku melewati halaman itu. Aku perlu mencari informasi atau petunjuk atas semua masalah yang aku hadapi saat ini.
Bogor, July, 1994
Bu Narsih menyarankan agar aku menyerahkan semua urusan bisnis hitamku ke Ujang. Aku cukup menjadi tokoh di belakang layar. Menurutku itu sebuah ide yang konyol menyerahkan bisnis hitam ke seorang pemuda lugu yang tidak tahu apa apa.
Tapi Bu Narsih mengatakan ini adalah satu satunya cara untuk menyelamatkanku dan juga bisnisku dari Orang itu yang sangat berambisi mencaplok bisnisku. Bisnis yang sudah aku rintis hampir dua puluh tahun.
Siapa sebenarnya adik iparku ini, sampai Bu Narsih yakin orang itu tidak akan mengganggu bisnisku kalau dikelola Ujang.
Bogot, July, 1994
Hari ini aku berdebat dan memaksa Bu Narsih yang begitu yakin bisnisku tidak akan diganggu orang itu kalau si Ujang yang menjalankan bisnisku.
Dan Bu Narsih mengatakan hal yang sebenarnya, kenapa kalau bisnisku dijalankan Si Ujang, orang itu tidak akan mengganggu bisnisku. Pengakuan Bu Narsih yang membuatku sangat terkejut.
Si Ujang ternyata, ach membayangkannya saja tidak pernah. Pastas Bu Narsih begitu ngotot mengatur rencana Ritual di Gunung Kemukus yang melibatkan si Ujang, Lilis dan Ningsih. Dia juga yang mengatur agar Ningsih menjadi istrinya Ujang. Wanita yang sangat menakutkan.
Bogor, July 1994
Orang itu sudah bermain licik dengan mengirimkan photo photo mesumku dengan kekasih priaku dan menyebabkan ke dua orang tuaku terkena serangan jantung hingga meninggal.
Harusnya sejak awal aku mengikuti saran Bu Narsih. Mungkin kejadiannya tidak akan seperti ini. Orang tuaku masih hidup dan menimang cucu yang akan dilahirkan, walau sebenarnya aku bukan bapak biologis anak yang akan dilahirkan Lilis.
Bogor, July 1994]
Semalam aku sudah menelpon Bu Narsih dan Bu Dhea, mereka yang akan mengurus berkas berkas pelimpahan aset aset bisnis hitamku yang akan aku limpahkan ke adik iparku Ujang. Walau mereka sempat bertanya keheranan, kenapa seluruh asetku di dunia hitam akan menjadi milik adik iparku?
Aku tidak mengatakan apa apa kepada mereka tujuanku yang sebenarnya.
Ya, hari ini hari hari terahir aku melihat dunia.
Petunjuk yang sama, aku hanya berjalan di tempat. Tidak ada kemajuan sama sekali, siapa orang yang dimaksud. Dan kenapa Bi Narsih yakin orang itu tidak akan mencelakaiku. Apa karena dia ayahku? Entahlah, kepalaku sudah tidak mampu berpikir lagi.
Aku melihat ke Ningsih yang dari tadi tidak ada suarabya. Ternyata Ningsih sudah tidur. Perutnya semakin besar. Perlahan aku memeluknya dan ikut tidur sambil memeluk Ningsih.
Baru saja aku terlelap, suara Lilis memnggilku dengan keras. Aku dan Ningsih terbangun dengan perasaan kaget. Lilis tidak pernah memanggilku sekeras itu. Suaranya selalu lembut.
"Ada apa, Lis?" tanyaku hawatir.
"Bi Narsih nelpon, Mang Udin masuk rumah sakit, katanya kecelakaan." kata Lilis, wajahnya pucat. Karena Mang Udin masih saudara sepupu Abahnya.
Aku tidak kalah kagetnya, bukankah tadi aku pulang diantar Mang Udin? Bagaimana ceritanya Mang Udin bisa celaka. Aku segera berpamitan ke Lilis dan Ningsih untuk ke rumah sakit Lilis dan Ningsih memaksa untuk ikut. Tapi aku bersikeras melarang mereka ikut.
"Kalian jangan ikut, aku ke Ibu dulu supaya nemenin kalian di sini." kataku tegas.
Aku segera keluar menemui ibuku, bertepatan dengan adikku yang berniat mengetuk pintu belakang.
"Ada apa, Neng?" tanyaku heran.
"Ibu pingsan, A!" kembali aku terkejut. Aku segera berlari menemui ibuku.
Ibuku tergolek lemas, kepalanya di pangku adik bungsuku yang menangis ketakutan.
"Neng, punya balsem, ga?" tanyaku.
"Ada, A." adikku segera mengambil balsem.
"Ibu, ibu, bangun, bu!" kataku sambil mengoleskan balsem ke hidung yang diberikan adikku.
Perlahan ibuku membuka mata.
"Jang, tolong Mang Udun" kata ibuku lemah.
"Mang Udin kenapa, Bu?" apa ibuku juga tau Mang Udin masuk RS karena kecelakaan.
"Mang Udin mau.....cepat kamu ke xxxx sebelum terlambat. Ibu tidak apa apa." kata ibuku.
"Ibu malam ini nginap di rumah Lilis ya?" kataku tidak memberitahu ibuku bahwa Mang Udin masuk RS.
Tanpa menunggu jawaban ibu, aku menggendong tubuh ibuku. Tidak kuperdulikan protes keras ibuku yang minta diturunkan dan menolak digendong.
"Ibu kenapa?" tanya Lilis dan Ningsih melihat aku menggendong ibuku.
"Tadi ibu pingsan." kataku.
Ningsih segera memeriksa ibuku. Ya, Ningsih lulusan Akademi Keperawatan, jadi dia tahu bagaimana memperlakukan orang sakit.
"Ibu cuma shock. Gak apa apa, A." kata Ningsih membuatku lega.
********
Sampai rumah sakit, aku lihat Bi Narsih dan Mang Karta duduk dengan gelisah di ruang tunggu.
"Mang, Bi apa yang terjadi dengan Mang Udin?" tanyaku gelisah.
"Mang Udin terlibat dalam pertarungan dengan orang itu. Untungnya Mamangmu nyusul, sehingga Kang Udin bisa diselamatkan dan dibawa ke RS. Kondisinya sekarang kritis. Dadanya tertebus pisau belati orang itu." kata Bi Narsih menjelaskan.
"Siapa orang itu, Bi? Kenapa Mang Udin menemui orang itu? " tanyaku heran.
Bi Narsih tidak menjawab, dia menyerahkan sebuah amplop kepadaku. Aku membukanya, ternyata sebuah surat.
Kalau kamu ingin memiliki istriku, langkahi dulu mayatku. Kutunggu kamu di xxx jam xxx
Tidak ada nama pengirimnya. Apa Mang Udin sudah berselingkuh dengan istri orang dan orang itu berniat membunuh Mang Udin.
"Siapa orang itu?" tanyaku.
"Kang Udin berniat menikah dengan ibumu. Orang itu tidak rela ibumu menikah dengan orang lain, makanya dia berusaha membunuh Kang Udin." kata Bi Narsih. Wajahbya terlihat marah.
"Maksud Bibi orang yang mencelakai Mang Udin adalah ayahku?" tanyaku terkejut.
"Ya, si Gobang. Tidak kusangka dia benar benar masih hidup." kata Mang Karta terlihat marah.
Bersambung