"Wajahmu sangat mirip ayahmu, seperti pinang dibelah dua." bisik Codet memelukku.
Dengkulku terasa lemas, kupikir Codet akan menyerangku. Ternyata dia memelukku. Benar benar ular berbisa yang pandai bersandiwara. Codet merangkul pundakku melihat ke arah ke 4 orang anak buahnya yang usianya rata rata 30an. Wajah mereka terlihat sangar.
"Kalian lihat baik baik wajah pemuda ini, mulai sekarang dia menjadi pemilik Club xxx. " kata Codet kepada anak buahnya.
Apakah ini sebuah ancaman tersembunyi? Pikirku. Aku sudah masuk dalam lingkaran hitam dan aku tidak bisa mundur lagi. Mundur berarti hancur. Perlahan tekadku semakin menguat. Aku bukanlah orang lemah, kemampuan bertarungku sudah termasuk hebat. Aku selalu menyempatkan diri berlatih setiap hari. Apalagi sejak Mang Udin tinggal berdekatan denganku, aku punya sparit fatner berlatih dengan gaya yang berbeda. Aku telah menjadi lebih kuat lagi.
"Bagaimana dengan uang keamanan yang harus kami bayarkan?" tanya Bu Dhea mengajukan pertanyaan pada intinya.
"Sabar dulu, Bu. Kita rayakan dulu kehadiran Bod baru Club xxx. Aku berharap club ini menjadi lebih brsar lagi dari pada waktu dipimpin mendiang Pak Budi. Seperti kita tahu, Pak Budi selalu bersedia menyisihkan penghasilan Club sebesar 2.1/2%, jumlah yang cukup adil. Sekarang dengan kehadiran bos baru yang masih muda, 5% kurasa cukup adil, karna tugas kami bertambah mendidik anak muda ini agar lebih kuat." kata Codet. Suaranya melengking tinggi memekakan telinga siapa saja yang mendengarnya. Diiringi sahutan 4 orang anak buahnya yang meyetujui.
"Itu gak adil, Bos. Pak Budi pernah mengajukan keberatan dengan jumlah tersebut." kata Bu Dhea yang merasa keberatan.
"Bagaimana, Bos? Kamu setuju?" Codet tidak menggubris sanggahan Bu Dhea. Dia justru bertanya padaku, bocah bau kencur yang bisa diintimidasi.
"5%, saya harus pikir pikur dulu, Bos." kataku dengan suara mengambang. Antara takut, marah dan benci. Begitu sombongnya orang yang bernama Codet ini. Aku tidak selemah yang dia pikirkan.
Jawaban yang mengejutkan Codet. Dia menatapku tajam, heran karna intimidasinya tidak berhasil. Codet melangkah mundur, lalu duduk di kursi empuk. Tanganya mengambil gelas berisi minuman yang diangkat ke atas.
"Mari berpesta.!" katanya yang diiringi 4 orang anak buahnya bangun.
Menurut informasi yang kuterima dari Mang Karta, 4 orang yang selalu mengawal Codet adalah jago jago pilihan dengan kemampuan yang luar biasa. Mereka para petarung jalanan yang telah membunuh banyak lawannya dalam pertarunga tangan kosong. Mereka adalah anjing peliharaan Codet yang paling setia.
Mang Karta mebyuruhku waspada menghadapi mereka, apa lagi aku belum berpengalaman menghadapi pertarungan jalanan yang brutal. Maka satu satunya cara menghadapi mereka adalah melakukan serangan mematikan secepat mungkin.
Lagi pula di ruangan sekecil ini ke 4 orang itu tidak akan bisa mengeroyokku. Mau tidak mau mereka harus bertarung satu satu. Dan salah satu keunggulan silat cimande murni adalah sejak pertama kali berlatih kami sudah biasa berlatih di ruang sempit. Karna pencipta silat cimande Mbah Khair menciptakan jurus secara sembunyi sembunyi dan kemudian melatih pemuda pemuda di dalam rumah berpasangan, di ruang yang sempit.
Makanya aku melarang Mang Udin yang mau maju menghadapi begundalnya Codet Ini juga untuk membungkam kesombongan Codet yang telah berani meremehkanku. Aku bukan anak ingusan.
Salah seorang anak buah Codet menyerangku dengan pukulan cepat bertenaga mengarah ke wajahku. Aku hanya menggerakkan tangan kiriku ke kanan menepis pergelangan tangannya dibarengi kakiku melangkah maju dan tangan kananku melepaskan pukulan upercut yang menuju dagunya dengan kecepan tinggi.
Pria itu kaget, dia berusaha mundur menghindari pukulannku. Keputusan yang salah karna kakinya tertahan meja dan aku tidak menyia nyiakan kesempatan itu, kakiku maju dan tangan kiriku bergerak memakai jurus pamacan, mencakar selangkangannya yang tidak terjaga. Aku meremasbya dengan kekuatan penuh. Membuat lawanku membungkuk kesakita, aku tidak menyia nyiakannya. Sebuah uper cut keras dengan dorongan tubuhku menghantam dagu lawanku. Terdengar bunyi tulang patah.
Lawanku terhempas ke belakang menghantam meja yang berisi botol minuman dan gelas yang langsung hancur seketika.
Melihat temannya terkapar tidak berdaya, salah satu pria yang terdepan maju. Tapi terlambat, aku sudah maju lebih dulu ke arahnya .emanfaatkan kelengahannya yang terkejut nelihat temannya terkapar. Tinjuku menghantam wajahnya yang belum siap menghadapi serangan. Wajahnya terkena pukjlanku membuatnya terhuyung kesakitan memegang hidungnya yang patah. Kesempatan yang tidak kusia siakan. Dengan jurus pepedangan, tanganku menyabet dari samping menghantam tulang rusuknya hingga patah. Lawanku terjungkal tampa ampun.
Dua orang berhasil aku lumpuhkan dalam waktu singkat, dan itu membuat ke dua pengawal Codet lainnya merasa gentar dan ragu untuk menyerang. Sedang aku tidak bisa memulai penyerangan seperti tadi, kamar yang menjadi porak poranda dan dua lawanku yang tergeletak di lantai membuar ruangku untuk melakukan serangan menjadi terhalang.
Tiba tiba masuk seorang security Club tampa mengetuk pintu. Matanya terbelalak melihat ruangan VVIP porak poranda.
"Ada apa?" tanya Bu Dhea yang berhasil menguasai dirinya setelah melihat pertempuran singkatku.
"Ada pertarungan di depan, Bu. Anak buah Codet bertarung melawan Si Jeger dan teman temannya." kata security itu dengan wajah pucat.
"Kamu sudah mencari penyakit seperti ayahmu. " Codet berkata dengan sura dingin lalu memerintahkan anak buahnya menggendong dua temannya yang mengerang kesakitan.
Saat aku akan menghalangi jalan mereka, Mang Udin berbisik.
"Biarkan mereka pergi. " kata Mang Udin.
Aku mengangguk setuju. Kami mengikuti Codet ke ruangan depan yang terlihat berantakan oleh pertempuran sengit yang sudah selesai. Aku lihat Mang Karta, Kang Herman dan Jeger berdiri dengan beberapa orang yang belum aku kenal. Sementara anak buah Codet yang berjumlah 10 orang berjongkok ketakutan. Rupanya mereka sudah berhasil dikalahkan.
Mang Karta dan Codet saling bertatapan dengan kemarahan yang terpancar dari mata mereka.
"Ternyata kamu, Karta. Ingat urusan ini belum selesai.!" kata Codet dengan suara bergetar menahan amarah.
"Harusnya aku yang berkata begitu. Urusan kita belum selesai, Codet. Kematian Gobang harus kamu bayar lunas." kata Mang Karta dengan suara dingin penuh ancaman.
Setelah Codet dan orang orangnya pergi, Bu Dhea memerintahkan semua pegawai yang bersembunyi berkumpul untuk membereskan ruangan yang porak poranda karena pertarungan tadi.
Bu Dhea mengajakku ke ruangan kantorku di lantai 3, karena di lantai dua dijadikan kamar kamar tempat prostitusi. Aku mengajak Mang Karta, Mang Udin, kang Herman dan Kang Jeger untuk berunding.
"Kenapa kita lepaskan Codet begitu saja, Mang?" tanyaku heran.
"Karena target kita bukan, Codet. Ada dalang di balik semuanya. Codet hanyalah pion yang akan segera dilenyapkan oleh si dalang karena telah gagal." kata Mang Karta tenang.
"Siapa Dalangnya, Mang?" tanyaku heran. Ternyata banyak yang disembunyikan Mang Karta dariku.
"Siapa Mang? Kenapa Codet mengenal, Ibu?" tanyaku penasaran.
"Nanti kamu akan tahu sendiri siapa dalangnya. Dulu Codet tergila gila pada ibumu, ayahmu marah. Wajah Codet dibuat cacat oleh ayahmu.." jawab Mang Karta singkat. Lalu berpamitan kepadaku. Sedangkan Mang udin memilih menungguk di bawah.
Aku masuk kamar yang berada di ruang kerjaku. Aku masih bingung harus melakukan apa. Bu Dhea hanya memberiku berkas yang harus aku tanda tangani. Ada beberapa berkas yang berisi angka angka yang membuatku semakin bingung.
Apalagi pada hari pertamaku kerja, aku nengalami kejadian hebat. Bertarung dengan para preman yang menguasai sebagian besar daerah Jakarta. Dan menurut Mang Karta, mereka hanyalah pion. Karena dalang yang sesungguhnya masih ada di tempat yang gelap. Kupikir Codet adalah target utamaku. Ternyata bukan. Lalu siapa orang itu?
Lamunanku buyar, terdengar ketukan pintu dari ruang kerjaku. Aku bangkit membuka pintu ruang kerjaku. Kupersilahkan Bu Dhea yang berdiri di depan pintu untuk masuk ruanganku.
"Tidak nyangka, ternyata Bos baru saya seorang jagoan hebat dan juga anaknya Kang Gobang. " kata Bu Dhea kagum.
"Bu Dhea kenal dengan ayah saya?" tanyaku.
"Saya tidak pernah bertemu langsung dengan Kang Gobang jagoan legendaris yang sangat ditakuti kawan maupun lawan. Tapi saya sering mendengar namanya. Kalau denhan Pak Karta, dulu saya beberapa kali bertemu." kata Bu Dhea menjelaskan.
"Oh iya, Pak. Ini perkiraan kerugian kiya hari ini." kata Bu Dhea menyerahkan kertas berisi perincian kerugian yang diakibatkan perkelahian tadi.
"Jangan panggil, saya Pak. Saya kan masih muda." kataku protes.
"Iya, maaf. A Ujang. A Ujang terlihat tegang dan lelah. Mau saya panggilin gadis pemijit, A? Tinggal pilih aja, A. Biar A Ujang rileks." kata Bu Dhea menyodorkan album photo gadis gadis di sini.
Aku membuka album photo yang memajang wajah wajah cantik penghuni Club ini. Tapi aku tidak tertarik sama sekali. Aku lebih tertarik dengan tubuh montok Bu Dhea, apa lagi dengan ukuran teteknya yang jumbo. Kalaupun waktu itu aku terkesan menolak ajakan Bu Dhea, karena nama Codet merusak seleraku.
"Kenapa bukan Bu Dhea saja yang memijit saya?" tanyaku iseng. Mungkin ajakannya yang kemarin malam masih berlaku.
"Sya gak bisa mijit badan, bisanya mijit kontol pake memek aa." kata Bu Dhea vulgar. Kemudian dia berdiri dan keluar meninggalkanku sendiri.
Wah, ternyata ajakannya yang semalam sudah tidak berlaku. Atau mungkin dia balas dendam karena semalam aku telah menolaknya. Dasar nasib, aku kurang beruntung.
Tiba tiba Bu Dhea kembali masuk tanpa mengetuk pintu. Lalu mengunci pintu ruangan kerjaku. Bu Dhea menghampiriku, menarik tanganku masuk kamar tempat istirahatku.
"Buka dulu bajunya, A. Nanti kusut dan bau parfum Dhea nempel di baju. " kata Bu Dhea yang memberi contoh dengan membuka baju setelan kerjanya hingga wanita berwajah mirip Ayu Azhari itu bugil.
Aku senang karena Bu Dhea memperingatkanku. Kalau aku ketahuan selingkuh, bisa terjadi perang di rumahku. Aku segera membuka seluruh pakaianku sementara mataku tertuju ke payudara Bu Dhea yang benar benar besar.
Aku menghampiri Bu Dhea setalah tubuhku polos. Kuremas teteknya yang besar dan terawat sehingga bentuknya tetap indah dan mempesona.
"Idih, A Ujang Ujang maen remes tetek aja. Kontolnya gede amat!" kata bu Dhea takjub melihat ukuran kontolku yang sudah ngaceng sempurna.
Dhea mendorong tubuhku rebah di atas spring bed kecil. Dada kemudian merangkak di atas tubuhku. Lalu mencium bibirku dengan bernafsu, aku membalasnya dengan senang hati. Tanganku meremas pantatnya yang sekal dan berisi.
Bu Dhea mulai menjilati belakang telingaku membuatku merinding nikmat. Lidahnya menjilati setiap bagian leherku dengan ganas. Seperti seekor kucing yang sedang menjilati anaknya. Begitu ahli Bu Dhea mempermainkan birahiku. Lidahnya menjalar ke dadaku, dengan teliti Bu Dhea menjilati setiap bagian dadaku tanpa menyentuh putingnya.
Bu Dhea menggeser posisi tanganku sejajar dengan kepalaku sehingga ketiakku terbuka. Dan hal yang tidak kusanggka terjadi, Bu Dhea menjilati ketiakku membuatku geli geli nikmat. Jilatannya beralik ke ketiakku sebelahnya tanpa merasa jijik. Puas menjilati ketiakku, lidahnya kembali menjalar di sekukur dadaku dan ahirnya sampai pada putingku yang sudah menjadi sensitif.
Jilatannya kembali bergerak turun ke arah perutku, menggelitik pusarku dengan liar membuat birahiku semakin membumbung tinggi. Bu Dhea benar benar binal. Berbeda sekali dengan Lilis yang berusaha mempraktekan apa yang dibacanya dari cerita porno tentang mandi kucing. Jilatan Lilis terasa kaku dan terburu buru. Dan perbedaan lainnya adalah, Dhea melakukannya dengan binal dan kepuasaan sex semata. Sedangkan Lilis melakukannya dengan cinta dan kasih sayang untuk membahagiakan orang yang dicintainya.
Puas bermain dengan perutku, lidahnya bergerak turun ke samping kontol dan pelerku tampa menyentuhnya. Nafsanya yang halus mengenai kontolku yang terasa semakin sensitif. Dhea benar benar mempermainkan birahiku. Lidahnya bergerak semakin turun hingga pahaku.
Dhea melebarkan pahaku, dia membungkuk menjilati bagian dalam pahaku kiri dan kanan. Sekujur tubuhku merinding hingga ubun ubun. Dan saat lidah Dhea mulai menjilati pangkal kontolku, tampa dapat kutahan, tubuhku menggeliat oleh rasa nikmat yang luar biasa. Seperti orgasme tanpa mengeluarkan pejuh.
Lidahnya liar menjilati batang kontolku lalu melahapnya dengan bernafsu. Mulut Bu Dhea mengocok kontolku sambil menghisapnya.
"Sudah Bu, nanti keburu keluar...!" kataku menyerah kalah.
Bu Dhea tersenyum menatapku. Dia berjongkok di atas kontolku yang masih dalam genggamannya. Perlahan pingulnya turun, memeknya yang sudah basah dengan mudah me elan kontolku.
"Bu, ko langsung dimasukin? Saya pengen jilatin memek Bu Dhea." kataku melihat memeknya yang menelan kontolku. Begitu bersih tanpa jembut yang rutin dicukurnya.
"Nanti aja, A. Saya mau ngasih hadiah karena A Ujang sudah bisa nglahin Codet. Sekarang A Ujang nikmati saja nepitan memek Dhea." kata Bu Dhea mulai mengocok kontolku.
Bu Dhea menyodorka tetek jumbonya yang harum ke mulutku, tanpa penolakan aku melahap pentilnya dengan rakus. Sementara pinggul bu Dhea bergerak makin cepat memompa kontolku yang sangat keras seperti pentungan hansip.
"Gila, kontol kamu gede amat, belom pernah memek Dhea dientot kontol segede punya kamu." kata Dhea terus memompa kontolku. Sementara tetek jumbonya aku hisap dan kuremas.
Memek Bu Dhea jepitannya cukup kuat sehingga gesekan kontolku dengan dinding memeknya terasa nikmat. Tidak kalah dengan jepitan memek istriku dan calon istriku Lilis.
"Jang, Dhea gak tahannnn kelllluarrrrr, nikmat...." kurasakan tubuh Dhea mengejang menyambut orgasme pertamanya. Tubuhnya menindihku.
Aku memeluk tubuhnya erat, membiarkan wanita itu merasakan orgasmenya dengan tuntas. Setelah tubuhnya mengendur lemas, aku miringkan tubuh perlahan agar kontolku tidak terlepas dari memeknya.
Ahirnya posisiku menindih Bu Dhea, perlahan aku mulai memompa kontolku mengocok memek Bu Dhea yang tampak sangat menikmati. Terdengar desis nikmat dari bibir sensualnya. Aku mencium bibirnya dengan bernafsu. Sangat bernafsu. Berbeda saat aku mencium bibir istriku dan Lilis, aku selalu melakukannya dengan selembut mungkin dan penuh perasaan.
"Ampunnn, Aa. Kontolnya ennnnak banget." kata Bu Dhea sambil menggerakkan pinggulnya menyambut hujaman kontolku di memeknya yang semakin basah.
Hingga ahirnya aku tidak mampu bertahan lama, tubuhku menegang disertai semburan pejuh dari kontolku.
"Buuuuu, aku gak kuat. Kelllluarrrrr...." kataku sambil menghujamkan kontolku ke dasar memeknya.
"Dhea jugaaa kelllluarrrrr, A. Kontol A Ujang ennnnak banget..." Dhea memelukku erat.
******
Jam 12 malam aku pamitan pulang ke Bu Dhea, sebab menurut Bu Dhea, mendiang Pak Budi juga selalu pulang jam 12 malam.
Tiba tiba aku teringat belum mencuci kontolku dengan sabun sehabis ngentot dengan Bu Dhea. Bahaya. Karena Lilis terbiasa mencium kontolku ketika pulang ke rumah.
Sepanjang perjalanan aku berdoa agar Lilis tidak terbangun saat aku pulang. Aku takut Lilis memeriksa kontolku dan mencium bau memek Bu Dhea di kontolku. Kalau dia mencium bau memek Bu Dhea, bisa runyam urusannya. Dia pasti marah besar.
Ternyata do'aku tidak dikabulbukan, mungkin karena aku belum mandi junub. Begitu aku masuk lewat garasi, ternyata Lilis sudah menyambutku di ruang keluarga. Senyumnya yang indah berubah sangat menakutkan buatku. Apa lagi kalau ingat ancamannya yang akan memotong kontolku kalau ternyata dia mencium bau memek wanita lain di kontolku.
"Aduh..." teriakku tanpa sadar memegang perutku yang tiba tiba terasa mulas.
"Kenapa, A?" tanya Lilis hawatir melihatku yang kesakitan memegang perutku.
"Aa dari tadi nahan mules...!" kataku sambil berlari ke kamar mandi.
Bersambung.....