𝐑𝐢𝐭𝐮𝐚𝐥 𝐆𝐮𝐧𝐮𝐧𝐠 𝐊𝐞𝐦𝐮𝐤𝐮𝐬 ( 𝐁𝐚𝐠.𝟒𝟓 : 𝐏𝐞𝐫𝐭𝐞𝐦𝐮𝐚𝐧 𝐃𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐂𝐨𝐝𝐞𝐭 )


Aku sudah bersiaga penuh untuk memulai pertarungan, sedikit saja pria itu bergerak mencurigakan maka kepalan tanganku akan menghantamnya. Aku sudah mengukur bagian terlemah yang busa membuatnya terjungkal dalam satu kali pukulan. Aku sudah belajar banyak dalam pertarungan dengan Pak Shomad dan Kang Herman serta Kang Jeger. Bertahan akan membuatku celaka. Pertahanan terbaik adalah menyerang.

Melihatku dalam posisi siap, pria itu melangkah keluar dengan tenang tanpa takut. Hampir saja aku menyerang pria, kalau saja tidak terdengar suara merdu seorang wanita yang mempersilahkanku masuk kamar.

"Kang Ujang, silahkan masuk !" kata Bu Dhea yang muncul dari belakang pria itu yang menyingkir melewatiku.

Aku melangkah masuk ke dalam kamar melewati Bu Dhea, aroma parfunya tercium lembut dan sensual. Mataku melihat sekeliling kamar mencari tanda tanda mencurigakan. Tidak ada tanda tanda yang mencurigakan atau mungkin belum terlihat olehku.

"Duduk Kang, tenang saja. Tidak ada yang akan mencelakai Kang Ujang." kata Bu Dhea tersenyum simpul melihat kecurigaanku yang dianggapnya berlebihan. Kecurigaan has seorang pemuda culun sepertiku.

Aku duduk di meja yang pernah aku duduki bersama Pak Budi, bedanya sekarang yang menduduki kursi di sebelahku adalah Bu Dhea yang memegang berkas tebal yang tidak aku mengerti apa isinya.

"Ini berkas berisi surat surat pelimpahan kepemilikan 3 buah club malam milik mendiang Pak Budi. Silahkan di baca dan ditanda tangani, Pak. Eh saya harus manggil apa, enaknya?" tanya Bu Dhea sambil menyerahkan berkas berkas tersebut.

"Ujang saja, Bu." kataku. Risih rasanya harus dipanggil bapak oleh wanita yang jauh lebih tua dariku.

"Ya udah, saya panggil A Ujang saja." kata Bu Dhea dengan senyum menawan membuatku terpesona. Harus kuakui, Bu Dhea sangat cantik.

Perlahan aku membaca berkas berkas yang diberikan Bu Dhea, walau jujur aku tidak terlalu mengerti apa yang aku baca. Pendidikanku hanyalah sampai SMP dan tidak lulus. Dari usia 15 tahun aku sudah bekerja sebagai kuli bangunan.

Di berkas yang aku baca dan aku mengerti garis besarnya bahwa kepemilikan saham 60% dari club menjadi milikku dan yang 40% adalah milik Bu Dhea yang akan tetap menjadi bertuhas mengelola semua club peninggalan Pak Budi. Aku segera menanda tanganinya setelah membaca berkas tersebut.

Bu Dhea mulai menerangkan tentang bisnis lendir yang selama ini dikelola Pak Budi. Bahkan penginapan ini juga ternyata Pak Budi mempunyai saham sebesar 30%. Pantas aku melihat ada beberapa wanita keluar masuk kamar penginapan di sini. Ternyata ada prostitusi terselubung di sini. Dan sekarang aku menjadi bos mucikari kelas atas. Predikat yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Cita cita terbesarku selama ini adalah menjadi bos mie ayam yang mempunyai banyak anak buah.

Suara ketukan pintu membyarkan lamunannku, seorang pria paruh baya dengan rambut yang mulai memutih masuk kamar. Pria utu tersenyum, mengangguk padaku. Lalu mengulurkan tangan mengajakku bersalaman.

"Saya Pak Handoko pemilik 70%/saham penginapan ini, Pak !" kata Pak Handoko memperkenalkan diri. Setelah berbasa basi sebentar, Pak Handoko meninggalkan kami kembali berdua di kamar.

Bu Dhea membuka blazer warna hitamnya, sehingga payudaranya yang besar terlihat semakin menonjol dari balik kemeja putihnya, membuatku sedikit terangsang.

"Besok A Ujang harus datang ke kantor Club xxx untuk saya perkenalkan dengan para maneger, staf dan para Mami. Mereka adalah tulang punggung yang menjalankan bisnis kita." kata Bu Dhea membuka 2 kancing atas kemeja yang dikenakannya sehingga aku bisa melihat sebagian payudaranya yang besar dan putih tersembunyi di balik BH yang juga berwarna putih.

Aku menelan air liur membasahi tenggoranku yang terasa kering. Sebuah tantangan terbuka dari Bu Dhea telah membangkitkan jiwa liarku. Ular yang tertidur di dalam celanaku menggeliat marah.

"Besok A Ujang juga harus bertemu denga Codet, preman paling berpengaruh di Jakarta. Kita harus bernegosiasi agar tidak terjadi bentrokan dengan orang orang Codet. " kata Bu Dhea menghempaskanku dari awang awang yang tinggi. Birahiku yang sudah terpancing, musnah tidak berbekas.

Aku sudah tidak tertarik lagi melihat kemolekan tubuh Bu Dhea yang sudah melepas kemejanya. Tubuhnya yang hanya tertutup BH dn celana dalam yang juga berwarna putih.

Nama Codet sudah tidak membuatku berselera. Nama yang hanya aku dengar nama saja dan tidak pernah bertatap muka langsung. Nama yang selalu menghantuiku dan merubah tujuan hidupku.

"Saya harus pulang, Bu." kataku menolak saat Bu Dhea duduk di pangkuannku dan meraba dadaku.

"A Ujang gak minat sama, Dhea!" kata Bu Dhea berbisik, lidahnya menggelitik kupingku.

"Saya harus pulang, istri saya sedang hamil." suaraku bergetar, berusaha menyembunyikan ketakutanku mendengar nama Codet.

********

"Mang, besok Ujang mau ketemu Codet." kata kepada Mang Karta yang saja membuka pintu.

"Masuk dulu, Jang. Ceritain pelan pelan." kata Mang Karta yang terlihat terkejut mendengar berita dariku.

Aku menghempaskan tubuhku di kursi tamu yang empuk berusaha menghilangkan kegelisahanku.

"Narsih, bikin kopi...!" Mang Karta memanggil Bi Narsih. Hal yang tidak biasa dilakukannya. Biasanya Mang Karta tidak berteriak memanggil Bi Narsih. Atau mungkin Mang Karta juga kaget mendengar berita dariku.

Bi Narsih keluar menemui kami. Wajahnya terlihat kaget apa lagi melihatku yang duduk lunglai. Aku bangun dan mencium tangannya.

"Ada apa, Jang?" tanya Bi Narsih menatapku penuh selidik.

"Jangan diajak ngobrol dulu, bikinin kopi biar Ujang tenang dulu." kata Mang Karta.

Tidak lama kemudian Bi Narsih membawa kopi.

"Coba cerita, Jang !" kata Bi Narsih tegas.

Lalu aku mulai menceritakan semua kronologinya dari mulai Pak Budi mewariskan semua aset bisnis club malam dan prostitusinya hingga rencana pertemuanku yang sudah diatur oleh Bu Dhea dengan Codet.

"Kamu besok minta dikawal Mang Udin, kan Mang Udin sekarang tinggal di kontrakan Budi. Kamu gak usah takut, Codet gak akan gegabah. Yang penting kamu tenang. Kamu harus menunjukka bahwa kamu punya kekuatan. Mamang akan mengawasi kamu dari deket." kata Mang Karta menenangkanku.

Hampir saja aku lupa Mang Udin sekarang tinggal di kontrakan Pak Budi atau sekarang sudah menjadi milik Lilis. Tugas Mang Udin adalah menjaga keluargaku. Sehari hari dia membantu ibuku belanjan dan berjualan Mie Ayam. Aku merasa lega.

"Mang, Bi, ujang pulang dulu sudah malam." kataku berpamitan sambil mencium tangan mereka.

*******

Jam 11 aku sampai rumah, Ambu membukakanku pintu. Aku mencium tangan wanita cantik yang wajahnya sangat mirip istriku. Di usia yang ke 50, wanita itu masih terlihat cantik dan manis. Aku yakin, para pria pasti masih tergila gila padanya.

"Kok malam amat pulangnya, Jang?" tanya Ambu tersenyum lembut. Wajahnya begitu keibuan.

"Iya, bu. Banyak berkas mesti diperiksa. Kok Ambu belum tidur?" tanyaku.

"Nungguin kamu pulang, Lilis kecapean dari jam 8 sudah tidur. Ningsih tidur jam 10, ngantuk katanya. " kata Ambu berjalan di sisiku ke ruang keluarga.

Kulihat tv masih nenyala menyiarkan acara Wayang Golek yang biasanya jadi kesukaanku. Tapi malam ini aku tidak berniat menontonnya.

Aku ingin malam ini Ningsih mencumbuku dan memelukku dengan manja. Atau mungkin juga Lilis yang memanjakan tubuhku dengan jilatan jilatannya yang membuatku menggelinjang nikmat. Agar semua ketegangan hilang.

Aku masuk kamarku, Ningsih tertidur dengan lelap. Wajahnya terlihat cantik dan polos. Perlahan aku mencium bibirnya dengan mesra. Aku tahu, Ningsih kalau sudah tidur susah bangun.

Lalu aku berpindah ke kamar Lilis. Wanita cantik itu tidur dengan nyenyakknya. Harus kuakui, Lilis lebih cantik dari pada istriku. Tubuhnya juga lebih indah dan proposional. Kata orang, body biola. Aku mencium bibir Lilis, berharap Lilis bangun dan memanjakan birahiku. Ternyata tidurnya benar benar nyenyak. Karna biasanya Lilis akan terbangun bila kucium bibirnya.

Ahirnya aku keluar kamar, kulihat Ambu masih asik menonton Wayang Golek dengan dalang Asep Sunandar Sunarya. Menyadari kehadiranku, Ambu menoleh dan tersenyum melihatku yang seperti orang bingung.

"Kamu seperti orang bingung. Istri istri kamu sudah tidur, jadi gak ada yang ngelonin kamu, ya? Emang kamu belom puas ngentot di kamar mandi dengan Ningsih?" tanya Ambu menggodaku.

"Ich, Ambu. Ujang cuma pengen liat Ningsih dan Lilis." kataku mengelak tuduhan Ambu yang benar.

Ambu pindah duduk ke sampingku. Pipiku dicubit pelan.

"Ambu ini sudah tua. Tahu gelagat lelaki yang lagi pengen. Mau Ambu bantuin ngeluarin pejuh kamu? Tua tua gini Ambu masih seksi." kata Ambu menggodaku. Tangannya meraba kontolku yang sudah tegang dari tadi sejak mau masuk rumah.

"Tuh, kontol kamu sudah ngaceng, !" kata Ambu yang tiba tiba mencium bibirku dengan bernafsu.

Aku kaget dengan kebinalan ibu mertuaku. Tak pernah aku membayangkan berbuat mesum dengannya. Tapi sekarang ibu mertuaku telah memulai perang membangkitkan nafsu sex ku yang besar. Aku membalas ciumannya. Tak perduli dia adalah ibu mertuaku. Karna nafsu tidak mengenal etika.

Tanganku meremas payyudara Ambh dengan gemas. Payudara yang pernah menjadi sumber makanan istriku tercinta. Biarpun payudara Ambu sudah kendur, tetapi kekenyalannya tetap terjaga. Sebagai wanita desa yang selalu sibuk mengerjakan berbagai macam pekerjaan, membuat tubuh Ambu walaupun gemuk, namum tetap kencang.

Ambu membuka dasternya, ternyata Ambu tidak pakai BH dan celana dalam, tubuh bugilnya yang agak gemuk, tidak mengurangi keindahannya. Kulitnya yang putih tanpa cela. Memeknya yang tem em, mulus tanpa bulu.

Ambu membuka bajuku dan juga celananku mengikuti jejaknya, bugil seperti bayi yang baru lahir. Ambu berjongkok, membelai kontolku yang sangat tegang.

"Ko bisa kontol kamu segede panjang dan sekeras ini sich, Jang?”kata Ambu, lidahnya mejilat pangkal kontolku sampai kepalanya. Begitu berulang ulang.

"Gak tau Mbu...!" kataku sambil menikmati jilatan Ambu yangnsangat berpengalaman. Ada sensasi tersendiri karna yang melakukannya adalah ibu mertuaku.

Ambu mengulum kontolku dengan bernafsu, menghisap dan menjilati kepala kontolku yang sensitif.

"Ampun, Mbu... Gantian, Ujang pengen jilatin memek Ambu yang tembem. " kataku sambil menerik tubuh mertuaku bangkit.

Aku berganti posisi dengan Ambu. Sekarang Ambu duduk dengan paha yang mengangkang lebar. Sementara aku berjongkok membuka belahan memeknya yang berwarna merah. Wangi memek Ambu yang alami sangat aku suka. Lidahku menerobos memek Ambu, membuat pinggulnya agak terangkat.

"Aduh ampun, memek Ambu dijilat anak mantu sendiri." kata Ambu, tangannya menekan kepalaku agar semakin terbenam di memeknya.

Lidahku dengan lincah bermain main di memek Ambu membuatnya menggeliat nikmat. Apalagi saat lidahku menggelitik itilnya yang tersembunyi di balik lipatan memeknya.

"Udah, Jang. Entot Ambu...!" kata Ambu menarikku bangun. Ambu menuntun kontolku ke lobang memeknya yang sangat basah.

Perlahan aku menekan kontolku menembus memek mertuaku yang cantik
Sungguh sebuah sensasi yang tidak biasa membenamkan kontolku di memeknya. Perlahan aku mulai mengocok memek Ambu yang terasa masih sempit. Atau mungkin karna kontolku yang kegedean.

"Edun, kontol kamu kok gede gede amat.." kata Ambu menatap takjub memeknya yang tertembus kontolku.

Aku mengangkat dagu Ambu, kucium bibirnya dengan bernafsu, lidahku menerobos mulutnya. Rasanya agak manis seperti permen. Pasti karna Ambu habis makan permen.

Sementara kontolku memompa memek Ambu dengan cepat, gesekannya begitu terasa membuat tubuhku merinding karna wanita yang sedang aku entot adalah mertuaku sendiri.

"Ambuuu kelllluarrrrr, Jang...!" Ambu berteriak pelan. Badannya mengejang menyambut orgasmenya. Ternyata tidak perlu waktu lama membuat Ambu orgasme.

Aku terus mengicok memek Ambu dengan irama yang terjaga. Tidak kuperdulikam Ambu yang sedang mendapatkan orgasme.

"Udah, Jang. Gantian kamu duduk." kata Ambu mendorong dadaku. Aku segera mencabut kontolku dari memek Ambu.

Ambu segera bangkit, aku duduk di bekas tempat Ambu yang terasa hangat. Tidak membuang waktu Ambu segera berjongkok di pangkuanku. Ambu menurunkan pinggulnya, dengan mudah memeknya menelan kontolku.

Aku meremas tetek Ambu yang terpampang di hadapan wajahku. Payudara Ambu harum seperti payudara istriku. Aku menghisap putingnya dengan lembut.

"Anak pinter, udah gede kok masih nyusu?" kata Ambu sambil mengerakkan pinggulnya turun naik. Biarpun badannya agak gemuk, ternyata Ambu bisa bergerak lincah memompa kontolku.

"Memek Ambu ennnak amat..." kataku. Tanganku beralih meremas patatnya yang besar dan masuh keras.

"Enak mana sama memek memek istri kamu, Jang? Mantu Ambu yang kurang ajar. Memek mertua sendiri dientot." kata Ambu tersenyum menatap wajahku.

"Sama sama enaknua, Mbu..." kataku sambil mencium bibirnya dengan mesra.

Semakin lama gerakkan Ambu semakin cepat mengocok kontolku, gerakannya mulai tidak beraturan. Memeknya berkedut kedut meremas kontolku. Rasanya seperti memek Bi Narsih yang bisa berkedut. Mungkin karna jam terbangnya yang sudah tinggi.

"Jang, Ambu kelllluarrrrr lagiiii. Kamu pinterrr ngentot.." ambu membenamkan pantatnya di pangkuanku. Kontolku mentok sampai dasar memeknya.

Setelah badai orgasmenya reda, Ambu kembali menggerakkan pinggulnya memompa kontolku yang belum mengeluarkan pejuhnya. Tanganku membantu menggerakkan pinggul Ambu.

"Ambu gak capek?" tanyaku menatap wajah Ambu yang basah oleh keringat.

"Gak, Jang. Ennnak banget ngentot sama mantu sendiri." kata Ambu sambil terus memompa kontolku. Kami kembali berciuman mesra.

Ahirnya aku merasa puncak orgasmeku semakin dekat. Ambu memompa kontolku semakin cepat saja.
"Ambu, Ujang kelllluarrrrr..." tubuhku menegang .enyemburkan pejuhku ke memek mertuaku. Dan saat yang bersamaan.

"Ambu jugaaaa kelllluarrrrr lagiiii....!" kami berpelukan dihempas oleh badai kenikmatan yang luar biasa.

Setelah badai orgasme reda, Ambu bangkit dan kembali memakai bajunya. Aku juga memakai bajuku.

"Jang, makasih, belum pernah Ambu ngentot seenak ini." kata Ambu mencium pipiku lalu berjalan masuk kamar setelah mematikan TV.

Akupun masuk kamarku dan tertidur sambil memeluk tubuh istriku tercinta.

******

Dengan ditemani Mang Udin yang bertugas sebagai pengawal dan juga supir, aku berangkat ke Jakarta. Tujuanku adalah Club xxx yang sekarang sudah jadi milikku. Bu Dhea menyambut kedatanganku dan memperkenalkan ke staf meneger dan para mami sebagai ujung tombak.

Jam 8 malam, rombongan Codet masuk ruang VVIP. Hatiku bergetar mendengar namanya. Kami akan bertemu untuk membicarakan banyak hal. Aku berusaha mengumpulkan keberaniannku. Toh pada ahirnya cepat atau lambat kami akan bertemu juga.

Aku berjalan dengan didampimgi Bu Dhea dan Mang Udin, langkahku yerasa ringan seperti tidak menapak. Membuka pintu ruang VVIP, ada 5 orang duduk di kursi panjang menghadap tv besar.

Ada seorang pria dengan wajah yang sangat mengerikan. Mukanya dipenuhi bekas luka benda tajam dan yang paling panjang adalah sayan yang memabjang dari bawah mata kiri hingga samping bibir sebelah kanan. Benar benar wajah yang sangat mengerikan. Aku tidak mampu menahan lututku yang gemetar ketakutan.

Aku menarik nafas panjang, menguatkan tekadku menghampiri pria itu yang sepertinya terkejut melihatku. Tentu dia mengenal wajahku yang sangat mirip dengan wajah ayahku. Seperti pinang dibelah dua.

Codet berdiri lalu berjalan ke arahku. Tanpa sadar aku mundur selangkah. Waspada dengan segala kemungkinan terburuk yang akan aku hadapi.

"Apakah kamu anak si Kokom?" tanya Codet, suaranya jelas terdengar bergetar.

Pria ini mengenal ibuku? Paikirku heran. Mataku tidak berani menatap wajahbya yang sangat buruk. Perlahan aku mengangguk.

Codet bergerak ke arahku dengan cepat saat, kedua tangannya membentang lebar. Aku tidak sempat untuk menghindar.


Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Categories

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.
You will be redirected to the script in

seconds

BTemplates.com

POP ADS

Blogroll

About

Copyright © Cerita Panas | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com