𝐑𝐢𝐭𝐮𝐚𝐥 𝐆𝐮𝐧𝐮𝐧𝐠 𝐊𝐞𝐦𝐮𝐤𝐮𝐬 ( 𝐁𝐚𝐠.𝟒𝟒 : 𝐁𝐮𝐤𝐮 𝐖𝐚𝐬𝐢𝐚𝐭 𝐏𝐚𝐤 𝐁𝐮𝐝𝐢 )


"Apa, A Budi meninggal?" suara Lilis terdengar kaget.
Aku menoleh berbalik ke belakang, ternyata Lilis dan Ningsih sudah ada di ruang tamu. Lilis yerlihat shock mendengar kematian suaminya yang tiba tiba, kematian yang berurutan dalam tempo 2 minggu. Yragis, sungguh tragis.

Ahirnya aku ikut Polisi ke RS untuk mengidentifikasi mayat Pak Budi, sedangkan Lilis aku larang ikut karna kehamilannya masih muda.

Ternyata benar, mayat yang dimaksud adalah Pak Budi. Dari rumah sakit aku dibawa ke kantor Polisi untuk memberikan beberapa keterangan yang dilakukan, karna ini bukan sekedar kecelakaan.

Kronologi yang sebenarnya adalah, Pak Budi membunuh pacar prianya di sebuah hotel, menikam pria yang photonya membuat orang tua Pak Budi shock dan kena serangan jantung. Lalu setelah membunuh kekasih prianya, Pak Budi bunuh diri dengan cara memotong lehernya sendiri. Kejadian itu di dengar resepsionis hotel saat pria yang dibunuh berteriak meminta tolong.

Di kantor Polisi aku menjawab semua pertanyaan polisi selama 1 jam. Semua keterangan dicatat. Setelah semua pertanyaan dianggap selesai, aku kembali ke RS untuk mengurus jenazah Pak Budi.

Setelah jenazah diotopsi dan atas pertolongan pihak RS. Jenazah dimandikan dan dikafani pihak RS. Jadi saat mayat dibawa ke pulang, tetangga tidak akan ada yang tahu penyebab kematian yang sebenarnya. Orang hanya akan tahu penyebab kematian Pak Budi adalah kecelakaan, termasuk juga Lilis tidak boleh tahu.

Siang hari jenazah sudah boleh dibawa pulang dan di shoalatkan di masjid dekat rumah. Masjid yang dibangun dengan biaya dari almarhum tanpa bantuan donatur lainnya. Kemudian jenazah di makamkan.

Keesokan harinya Ambu datang sendiri tidak bersama Abah. kata Ambu, Abah masih harus mengurus pembagian harta peninggalan almarhum abah Haji. Karna Pak Budi sebagai ahli waris tunggal telah mendermakan semua harta kekayaan Abah untuk masyarakat kampungnya. Kecuali rumah dan 1 hektare sawah yang tetap dipertahankan Pak Budi.

******

Seminggu setelah kematian Pak Budi, Lilis mulai mbuka berkas berkas peninggalan Pak Budi. Ternyata semua kekayaan Pak Budi sudah atas nama Lilis, hanya sebagian yang masih dalam proses balik nama.

"A, gak nyangka, niat Pak Budi yang mau menceraikan Lilis setelah melahirkan ternyata sebuah firasat." kata Lilis sambil membaca berkas berkas peninggalan almarhum. Sudah seminggu ini Lilis memanggilku dengan sebutan Aa.

"Jang, setelah Lilis melahirkan kamu harus menikahi Lilis. Ningsih sudah bilang ke Ambu, memberi ijin kamu menikahi Lilis." kata Ambu begitu tiba tiba, sehingga membuatku tersedak air minum.

"Ambu juga sudah tau semuanya, bahwa Lilis hamil anak kamu. Ambu juga sudah tau almarhum Budi itu seorang homo, dia menikahi Lilis hanya untuk menutupi kekurangannya. Kenapa Lilis yang dipilijh jadi istrinya? Karna Lilis anak penurut." kata Ambu.

Aku tidak berani menolak, karena akan menyakiti hati Lilis. Tetapi secara hukum aku tidak bisa menikahi Lilis karena dia adalah kakak kandung Ningsih. Haram hukumnya memadu dua orang kakak berdik, kecuali aku bercerai dengan Ningsih. Tapi aku tidak mungkin menceraikan Ningsih. Aku sudah jatuh cinta pada istriku terlebih dia sedang hamil anakku.

Seperti mengerti apa yang aku pikirkan, Ambu melanjutkan perkataanya.

"Kamu gak perlu menceraikan Ningsih buat menikahi Lilis. Lilis itu anak adik Ambu yang meninggal waktu Lilis berusia 3 tahun. Ambu yang merawat Lilis seperti anak kandung ibu." kata Ambu menjelaskan.

Karma, itu yang pertama muncul di pikiranku. Dulu ayahku menghamili Bi Narsih yang ternyata bukan adik kandung ibuku. Sekarang aku menikahi Ningsih dan sekarang harus menikahi Lilis, juga. Ruwer.

"Ningsih ikhlas dimadu, A. Yang jadi madu Ningsih kan Teh Lilis. " Ningsih meyakinkanku.

"A Ujang harus mau nikahin Lilis." kata Lilis menatapku dengan senyum terindah yang pernah aku lihat di wajah Lilis. Semua beban penderitaan yang selama ini membayang di wajahnya telah sirna.

Saat kami asik ngobrol, tiba tiba telpon berbunyi. Lilis segera mengangkat telpon. Hanya sebentar, lalu telpon dirutup kembali.

"A Bu Dhea tadi nelpon. Aa disuruh ngambil berkas almarhum jam 5 sore di tempat Aa ketemu Bu Dhea kemarin." kata Lilis.

Kewaspadaanku langsung neningkat makzimal saat nama Dhea disebut. Bukankah sebelum Pak Budi meninggal, sore itu kami bertemu Bu Dhea? Malamnya Pak Budi ditemukan meninggal. Menurut polisi, Pak Budi membunuh teman prianya, setelah itu Pak Budi menggorok leherbya bunub diri. Bisa kejadiannya bukan seperti itu. Teman pria Pak Budi dan Pak Budi dibunuh oleh orang yang sama.

Bukankah Pak Budi sempat mengatakan bahwa ada seseorang yang menikamnya dari belakang untuk merebut bisnis kotornya.

Aku ingin mengutarakan keberatan dan kenggananku untuk datang. Tapi begitu melihat wajah Lilis. Keberanianku timbul. Kalau benar mereka berniat mencelakakanku untuk menghilangkab bukti, ini saat yang tepat untuk menangkap mereka.

"Lilis kenal dengan Bu Dhea?" tanyaku ke calon istriku yang cantik ini.

"Kenal. a. Bu Dhea orang kepercayaan almarhum dalam mengurus bisnisnya di Jakarta." kata Lilis tampa menoleh. Dia terlihat asik mempelajari buku pembukuan toko toko agen Pak Budi.

Telpon kembali berbunyi. Lilis segera mengangkat telpon yang berada di sampingbya. Terjadi percakapan singkat, lalu Lilis menutupnya kembali.

"A, kata Bu Dhea pertemuannya diundur jam.7 malam. Berkasnya belum lengkap semua." kata Lilis lagi.

Kecurigaanku semakin bertambah. Bu Dhea pasti berencana melenyapkanku agar semua petunjuk tentang kematian Pak Budi lenyap.

Lalu Lilis ke kamar Pak Budi, tidak lama kemudian Lilis kembali dengan membawa bungkusan yang tertata rapi. Ada tulisan : "Berikan buku ini ke Ujang kalau aku mati sebagai rasa terimakasihku sudah memberikan sedikit kebahagian untuk Abah dan Ambu. Harapan kepada Abah dan Ambu untuk mempunyai cucu"]/COLOR]. Lilis memberikan buku yang terbungkus itu kepadaku.

"Ini hadiah untuk A Ujang dari almarhum. Aa bacanya di kamar aja." kata Lilis.

Aku segera masuk kamar untuk membaca buku. Kok hadiahnya hanya sebuah buku. Untuk apa? Pikirku. Di lembar pertama tertulis :

Jang, aku menyerahkan semua bisnis club malamku untukmu. Di buku ini ada tata cara mengelola club malam. Kamu akan dibantu oleh Dhea, orang kepercayaanku yang selama ini berjasa mengelola club malam.

Sedang asik membaca cara cara mengelola Club malam yang d8berikan Pak Budi, ku kebelet kenckng. Setengah berlari aku ke kamar mandi belakang karna kamar mandi utama sedang rusak dan belum sempat diperbaiki. Menunggu masa berkabung selesai.

Tanpa mengetuk pintu kamar mandi yang tertutup, aku masuk. Ternyata ada Niat yang mau mandi. Tubuh bugilnya yang montok membuatku terangsang. Apalagi melihat perutnya yang mulai membuncit.

"A Ujang, ngagetin aja. " kata Ningsih mencubit pinggangku pelan.

Aku hanya tersenyum, lalu mengeluarkan kontolku untk kencing. Ningsih malah memperhatikan air kencing yang keluar dari kontolku, apa lagi melihat kontolku yang mulai mengeras tegang.

"A Ujang liat Ningsih telanjang langsung bgaceng. Kaya gak pernah liat Ningsih telanjang aja. Sini A, Ningsih cebokin kontol A Ujang." kata Ningsih mengambil gayung air dari peganganku.

Ningsih berjongkok menghadap kontolku dan hal yang tidak terduga terjadi. Ningsih mepahap kontolku yang belum dibersihkan dari sisa sisa air kencing.

"Ning, kontol A Ujang belum dicuci..!" kataku kaget. Istriku sepertinya tidak merasa jijik sama sekali melahap kontolku yang masih bau pesing.

Lilis mengulum dan menghisap kontolku dengan bernafsu, kepanya bergerak mengocok kontolku membuatku blingsatan oleh rasa nikmat.

"Ning, aduh ennnnak banget seponganmu." kataku sambil membelai rambutnya yang hitam legam. Ingin rasanya aku menjambak rambutnya dan menggerakkan kepalanya dengan cepat mengocok kontolku. Tapi dia wanita yang aku cintai. Tidak mungkin aku bermain kasar dengan istriku sendiri.

Setelah puas mengulum kontolku, Ningsih bangun memeluk leherku. Kami berciuman lama. Kuremas pantatnya yabg bulat dan besar dengan lembut.

"A, Ningsih dari kemaren pengen dientot di kamar mandi." kata Ningsih menatapku malu.

"Kok gak bilang, sayang?" tanyaku mesra.

"Malu !" kata Ningsih tersenyum. Ningsih menungging, tangganya berpegangan bak kamar mandi.

"Entot Ningsih sekarang, A!" kata Ningsih tidak sabar.

Aku mengarahkan kontolku di pintu masuk memek Ningsih ya g sudah basah. Bles, dengan mudah kontolku menerobos masuk memek Ningsih yang terasa semakin sempit menjepit kontolku.

Perlahan aku memompa memek istriku dengan lembut, gesekan yang ditimbukan dan sensasi yang aku rasakan semakin dahsat.

"A, ennnak memek Ningsih dientot kontol gede A Ujang...." rintiha. Ningsih terdengar merdu.

Perlahan aku meremas pantat bohay istriku dengan gemas. Pantatnya terlihat semakin besar dan keras. Mungkin karna kehamilannya.

"Aa, Ningsih kelllluarrrrr, ennnnak banget." kurasakan memek Ningsih berkedut lembut meremas kontolku disertai rasa hangat yang nikmat.

Kubiarkan kontolku terbenam di dasar memek istriku hingga badai orgasmenya reda. Kemudian aku kembali memompa memeknya dengan sedikit lebih cepat tapi tetap lembut.

"Ganti posisi, A...!" kata Ningsih menahan perutku. Aku menuruti kemauannya. Aku mencabut kontolku dari memeknya.

Ningsih duduk di pinggir bak mandi. Satu kakinya diangkat ke pinggir bak mandi. Tanganya berpegangan pada leherku. Tampa hambatan kontolku kembali menerobos masuk memeknya yang terlihat semakin basah saja.

Posisi seperti ini sebenarnya tidak begitu nyaman. Gerakan mengocokku terasa kaku berbeda dengan posisi yang biasa saja. Tapi sepertinya Ningsih lagi ngidam ngentot di kamar mandi. Jadi, nikmati sajalah demi istriku tercinta.

Kulihat Ningsih terlihat sangat menikmati sodokan kontolku yang lembut dan berirama. Saat sedang asik memompa memek Ningsih, tiba tiba pintu kamar mandi terbuka dan Ambu masuk. Kami sama sama kaget.

"Aduh, kalian ini ngentot malah di kamar mandi. Ambu gak tahan pengen kencing" kata Ambu sambil menurunkan celana dalamnya sampaii dengkul lalu mengangkat dasternya sampai perut sehingga aku bisa melihat pahanya yang besar dan memeknya yang tidak berbulu seperti memek Ningsih.

Ambu duduk di wastafel yang tepat berada di samping bak mandi, sehingga pemandangan indah terpampang jelas di depanku.

"Ambu gak malu memeknya kelihatan A Ujang?" protes Ningsih.

Terlanjur basah ditambah melihat memek Ambu yang tembem membuatku semakin terangsang. Aku kembali memompa memek istriku dengan cepat dan berirama, tidak kuperdulikan lagi kehadiran Ambu yang sudah selesai kencing dan matanya tertuju kontolku yang keluar masuk memek anaknya.

"Ambu, jangan ngeliatin. Nanti Ambu pengen kontol Aa lagi." protes Ningsih melihat Ambu yang memperhatikan kontolku keluar masuk memek Ningsih.

"Gila Jang, kontol kamu panjang dan gede amat! Coba liat, Jang !" kata Ambu mendorong tubuhku hingga kontolku terlepas dari memek Ningsih.

"Edun Jang, keras banget." kata Ambu menggenggam kontolku yang berlumuran cairan memek Ningsih.

"Ambu, Ningsih udah mau keluar, kontol A Ujang malah dipegang." kata Ningsih jengkel.

Ambu mengarahkan kontolku ke lobang memek Ningsih, aku langsung memompa memek istriku dengan bernafsu. Sementara Ambu keluar kamar mandi.

Ahirnya aku tidak mampu lagi bertahan, kubenamkan kontolku ke dasar memek Ningsih, tubuhku mengejang dan kontolku menyemburkan pejuh ke dasar memek Ningsih.

"Aa, Ningsih kelllluarrrrr lagiii ennnak...!" Ningsih mendapatkan orgasmenya lagi.

******

Jam 5.30 aku berangkat ke tempat yang dijanjikan Bu Dhea. Kewaspadaanku sudah sampai pada level tertinggi. Akan kuhadapi apapun yang terjadi nanti. Anggaplah ini adalah latihan yang akan membuatku semakin kuat dan siap menghadapi si Codet.

Aku hampir merasa yakin orang yang membunuh Pak Budi adalah Bu Dhea agar bisa merebut bisnis haram Pak Budi. Dan sekarang Bu Dhea merencanakan untuk melenyapkanku juga karna bisnis haram Pak Budi sudah diserahkan kepadaku. Surat surat kuasa dan balik nama Club malam milik Pak Budi sedang dalam proses.

Bu Dhea yang sudah lama berkecimpung dan mengelola Club malam dan prostitusi bersama Pak Budi pasti tidak akan rela melepas semua jerih payahnya ke anak bau kencur seperti aku.

Sampai kamar tempat pertemuan yang dijanjikan Bu Dhea, kewaspadaanku semakin meningkat. Mataku melirik setiap sudut yang kurasa mencurigakan. Setelah kurasa aman, aku mengetuk pintu.

Seorang pria bertubuh tinggi besar, badannya berotot membuka pintu. Rupanya pria ini yang akan menjadi algojo untuk megeksekusi aku. Reflek kakiku mundur satu langkah. Dengkulku agak menekuk memasang kuda kuda silat cimande. Kuda kuda yang tanggung.

Bersambung....


Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Categories

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.
You will be redirected to the script in

seconds

BTemplates.com

POP ADS

Blogroll

About

Copyright © Cerita Panas | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com