𝐑𝐢𝐭𝐮𝐚𝐥 𝐆𝐮𝐧𝐮𝐧𝐠 𝐊𝐞𝐦𝐮𝐤𝐮𝐬 ( 𝐁𝐚𝐠.𝟒𝟑 : 𝐌𝐚𝐭𝐢𝐧𝐲𝐚 𝐒𝐚𝐧𝐠 𝐌𝐮𝐜𝐢𝐤𝐚𝐫𝐢 )


Aku termenung menatap photo photo Pak Budi yang tergeletak di kasur. Ningsih memeluk Lilis yang terisak menangis pelan. Entah Lilis menangis untuk siapa. Untuk kematian mertuanya atau untuk
kemalangan dirinya.

Aku tidak begitu tertarik untuk memikirkan penyebab Lilis menangis. Aku lebih tertarik siapa yang mengirim photo photo ini ke Lilis dan Abah Haji sehingga Abah Haji terkena serangan Jantung. Apa maksudnya mengirim photo photo ini.

Hidupku menjadi semakin ruwet. Aku memutuskan kembali ke depan mengaji Yassin di dekat mayat Abah Haji. Kusuruh Ningsih menemani Lilis.

Jam 10 siang mayat baru dikubur setelah Pak Budi datang dari Jakarta. Rupanya dia sudah dibebaskan karna tidak terbukti dia sedang dalam pengaruh Narkoba. Dia sedang sial saja kena ciduk saat pesta sex dengan sesama jenis. Ya, Pak Budi seorang homo.

Setelah jenazah Abah haji dikubur semua pelayat kembali pulang ke rumah masing masing kecuali Pak Budi yang tetap di makam menangisi kepergian ayahnya.

Aku dan Mang Udin duduk di teras depan bersama para tetangga yang berkumpul, tiba tiba kami dikejutkan dengan teriakan Lilis yang sangat kencang. Kami berlarian masuk ke dalam, ternyata Lilis di kamar Ambu Haji yang yergeletak lah mungkin pingsan karna shock dengan kepergian Abah Haji.

Di sini kesigapan Mang Udin aku ancungi jempol, dia menyuruh oran untuk mengangkat tubuh Ambu Haji ke mobil dan yang lainnya disuruh menjemput Pak Budi di makam.

Semuanya bergerak dengan cepat secepak Pak Udin melarikan mobil ke RS terdekat dengan ditemani aku dan Lilis yang sepanjang jalan menangis. Serangan jantung, kata seorang Perawat yang mendorong ranjang setengah berlari memasuki ruang ICU.

Kami bertiga terduduk lemas di ruang tunggu. Waktu terasa berjalan sangat lama. Aku menarik nafas sedikit lega melihat Pak Budi berlari menghampiri kami.

"Bagaimana keadaan Ambu, Jang?" tanya Pak Budi mengguncang tubuhku dengan keras. Aku terdiam sulit untuk memberitahukan keadaan Ambu karna jiwaku sendiri cukup terguncang menghadapi semua masalah yang tiba tiba datang silih berganti.

Mang Udin memeluk pundak Pak Budi, berusaha menenangkan Pak Budi yang sangat terguncang menghadapi situasi seperti sekarang. Ayahnya belum ada 24 jam .ebinggal dan sekarang Ibunya sedang menghadapi masa kritis.

"Keluarga Ibu Haji xxxx! " seorang perawat keluar memanggil.

Aku menoleh ke Pak Budi. Kulihat wajah pria itu pucat, bibirnya bergetar tanpa suara. Panggilan perawat wanita seperti sesuatu yang sangat mengerikan.

"Iya, Suster. Kami keluarga Ibu Haji." Mang Udin menjawab tenang.

"Maaf, kami tidak bisa menyelamatkan nyawa Ibu Haji." kata perawat itu yerdenvar dingin, seolah berita yang disampaikannya sebuah berita biasa yang tidak akan membawa pengaruh apa apa.

Mendengar berita kematian Ambu Haji, Pak Budi terhuyung ke belakang lalu kehilangan kesadarannya. Beruntung Mang Udin bisa menahan tubuhnya agar tidak terjatuh. Semua adegan itu terlihat seperti adegan sinetron yang diperlambat sebelum ahirnya pelukan Lilis menyadarkanku dari berita kematian Ambu Haji yang mengagetkanku.

Mang Udin membatingkan Pak Budi di bangku panjang, berusaha menyadarkan Pak budi dengan pijitan lembut di telapak kakinya, sedangkan aku dan Lilis mengurus biaya administrasi dan biya Ambulan untuk membawa mayat Ambu Haji. Tidak lupa aku menelpon rumah Ambu mengabarkan kematiannya.

Ini seperti kematian Romeo and Juliet yang bersumpah sehidup dan semati. Kematian yang membuat hati kecilku ketakutan. Aku belum siap untuk mati apa lagi meninggalkan istriku yang sedang mengandung anakku.

Hari itu juga jenazah Ambu dimakamkan satu liang lahat dengan Suaminya seperti permintaan Ambu dan Abah yang semasa hidupnya selalu berpesan ke orang orang di sekelilingnya terutama ke Pak Budi agar saat mereka mati dikubur dalam satu liang lahat.

Setelah seminggu kematian Abah Haji dan Ambu, kami berlima, aku, Mang Udin, Pak Budi, Lilis dan Ningsih pulang ke Bogor.

******

"Jang, Aa mau membicarakan sesuatu." kata Pak Budi saat aku baru tiba dari Pasar. Sudah seminggu sejak kepulangan kami dari Garut, Pak Budi tidak pernah keluar rumah. Lebih banyak menghabiskan waktu dengan mengurung diri di kamar.

"Iya, A." aku duduk di hadapannya.

"Bukan di sini, Jang. Kita pergi ke suatu ingat apa yang akan kita bicarakan ini hanya menjadi rahasia kita berdua tidak boleh ada yang tau." kta Pak Budi terdengar sangat mencurigakan.

Sebenarnya aku ingin menolak ajakan Pak Budi yang mencurigakan. Entah kenapa sejak tahu Pak Budi adalah seorang Gay, aku selalu merasa risih setiap kali dekat dengan Pak Budi. Apa lagi sekarang dia mengajakku pergi, aku ketakutan sendiri. Bagaimana kalau dia memaksaku melayani nafsunya? Pikiran yang membuat perutku menjadi mual. Tapi, kenapa aku harus takut. Bukankah aku punya silat Cimande yang sudah mulai terbukti kehebatannya dalam perkelahian. Kalau Pak Budi macem macem, bisa kuhantam dengan satu dua pukulan.

"Awas, jangan macam macam sama, A Ujang!" ancam Lilis saat kami akan pergi. Tatapan matanya terlihat penuh kecurigaan. Pak Budi hanya tersenyum tak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Wajahnya terlihat jauh lebih tua.

Sepanjang perjalanan aku gelisah, situasinya menjadi sangat rumit. Posisiku, Lilis dan Ningsih menjadi terjepit kalau sekarang Pak Budi menceraikan Lilis. Toch selama ini Pak Budi menikahi Lilis karna orang tuanya, setelah orang tuanya tidak ada, maka sudah tidak ada yang perlu dipertahankan lagi. Kalau Lilis dan Pak Budi bercerai, apakah Pak Budi akan menghentikan semua bantuannya kepadaku, sedangkan kios yang aku kelola masih seumur jagung.

Yang menjadi pikiranku kalau Lilis dan Pak Budi bercerai bagaimana dengan nasib Lilis? Aku tidak mungkin menikahinya, dia kakak iparku. Lalu bagaimana nasib anakku yang dikandung Lilis?

Pikirannku semakin gelisah karena sepanjang perjalanan Pak Budi tidak bicara sepatah katapun. Entah ke mana tujuannya. Ternyata Pak Budi membawaku ke sebuah hotel yang dulu membongkar rahasianya. Kewaspadaanku meningkat dengan sendirinya.

"Jangan takut, Jang. Kamu bukan tipeku." kata Pak Budi tersenyum menenangkanku. Kegelisahanku terbaca oleh Pak Budi.

Pak Budi mengetuk pintu kamar. Seorang wanita membuka pintu kamar. Tanpa dipersilahkan, Pak Budi masuk, aku mengikuti masuk. Pak Budi menyuruhku duduk di kursi yang mengadap ranjang, sedangkan dia duduk di kursi sebelahku. Ada meja kecil di tengah kursi yang kami duduki. Wanita itu duduk di ranjang menghadap kami.

"Ini Bu Dhea, patner bisnisku di dunia hitam. Aku punya beberapa Club malam yang menyediakan wanita wanita penghibur di Jakarta. Atau bahasa kasarnya Aku Seorang Mucikari Sekarang posisiku sedang terancam oleh seseorang yang mulai main kotor." Pak Budi tidak melanjutkan perkataannya. Dia beralih melihat Bu Dhea wanita berusia 40an yang berwajah cantik seperti artis film.

"Semua berkas yang aku pinta sudah kamu siapkan Bu Dhea?" tanya Pak Budi.

"Sudah, Pak." Bu Dhea menyerahkan setumpuk berkas tebal ke Pak Budi yang langsung membukanya dan menelitinya satu persatu.

Aku tidak tahu apa berkas yang dibaca Pak Budi, aku lebih asik memperhatikan wajah Bu Dhea yang cantik dengan hidung mancung. Wajahnya mengingatkanku dengan wajah artis cantik Ayu Azhari. Kulitnya yang putih semakin mempercantik wajahnya.

Merasa kuperhatikan, Bu Dhea membalas tatapanku. Bibirnya tersenyum membuatnya semakin cantik. Entah aku salah lihat, Bu Dhea mengedipkan sebelah matanya kepadaku. Tangannya meraba dadanya yang terlihat menonjol dari balik baju yang dikenakannya.

"Jangan ngeledek, Ujang ini cowk normal,. Dia adik iparku. Jangan main apik dengan adik iparku, kamu bisa klepek klepek. " kata Pak Budi yang melihat Bu Dhea sedang menggodaku.

"Jang, berkas ini isinya surat surat berharga. Berkas berkas ini adalah aset resmiku. Kamu berikan ini ke Lilis. Simpan baik baik. Sekarang kamu pulang. Tolong jaga Lilis, bilang aku mencintainya walau aku tidak bisa jadi pria. Aku ada urusan yang harus aku selesaikan." kata Pak Budi lebih tenang dari pada biasanya. Mungkin dia sudah bisa merelakan kepergian orang tuanya.

******

Lilis yang membukakan pintu untukku. Matanya menatapku penuh selidik. Lilis melihatku dari atas ke bawah berulang ulang kali,.

"Aku gak disuruh masuk, Lis?" tanyaku heran dengan kelakuan Lilis.

Tanpa menjawab Lilis menarik tanganku masuk, setelah menutup pintu Lilis mengajakku ke ruang keluarga. Ningsih berdiri menyambut kedatanganku. Diciumnya tanganku.

Berbeda dengan Lilis, dia menciumi sekujur tubuhku mencari bau aneh yang bukan bau asliku. Setelah puas menciumi sekujur tubuhku dan tidak mendapatkan bau yang aneh, Lilis menarik nafas lega.

"Ujang gak diapa apai A Budi kan? Itu apa yang kamu bawa, Jang? " tanya Lilis melihat map berisi berkas yang aku bawa.

"Ini dari Pak Budi supaya disimpan baik baik." kataku menyerahkan berkas berkas. Lilis membawa berkas ke kamar.

"Ningsih masuk kamar dulu ya, A !" kata Ningsih sambil masuk kamar.

Sejak pulang dri Garut, Ningsih sering uring uringan kalau dekat denganku. Bahkan tidak mau tidur denganku. Kata ibuku itu bawaan bayi, dulu juga waktu ibuku hamil aku, ibuku gak mau tidur dan dekat dengan ayahku.

Keadaan Ningsih berbanding terbalik dengan Lilis yang selalu curiga kalau aku pulang. Dia akan menciumi sekujur tubuhku mencari bau parfum wanita lain. Bahkan dia memintaku menyanyikan lagu NINA BOBO kalau mau tidur.

"Jang, sini donk !" Lilis memanggilku dari dalam kamar.

"Iya, ada apa?" tanyaku sambil masuk kamar yang pintunya terbuka.

Lilis berbaring dengan tubuh bugil. Bibirnya yang sensual tersenyum menyambut kedatanganku.

"Buka baju dulu, Jang." kata Lilis saat aku akan naik ke atas ranjang.

Aku segera membuka bajuku hingga bugil, kontolku sudah tegang sejak pertama melihat Lilis bugil. Entah kenapa nafsuku semakin besar saja sejak pulang dari Gunung Kemukus. Jangankan melihat wanita bugil, melihat wanita berpakaian agak terbuka saja bisa membuat kontolku tegang sempurna.

"Ujang belum mandi, Lis!" kataku sambil naik ke atas ranjang memeluk Lilis.

"Gak usah mandi, jadi kalau kamu selingkuh pasti ketauan." kata Lilis membalas pelukanku. Bibimu menyambambar bibirku dengan mesra. Kami berciuman cukup lama.

"Jang, Lilis makin cinta dan sayang sama kamu. Kalau Lilis cerai dengan A Budi, Ujang nikahin Lilis ya, gak apa apa Lilis jadi istri muda Ujang juga." kata Lilis sambil mendorong tubuhku agar terlentang.

Lilis menciumi leherku dengan mesra, lidahnya menjilati kulit leherku yang masih dipenuhi sisa sisa keringat dan debu. Tapi Lilis seperti tidak perduli dengan hal itu. Kadang Lilis menggigit pelan leherku.

Perlahan ciumannya turun ke dadaku, dijilatinya setiap permukaan dadaku denga ln segenap jiwanya. Lalu hinggap ke puting susuku yang semakin mengeras. Menghisapnya dan mengkombinasi dengan jilatan yang membuat sekujur tubuhku merinding oleh rasa nikmat yang aneh. Rasa nikmat yang semakin membangkitkan birahiku hingga batas maksimal.

Puas memnggelitik dadaku, ciuman Lilis merambat turun ke bawah lalu hinggap di batang kontolku yang sangat tegan hingga batas maksimal. Lilis menjilati batang kontolku, membuatku mendesah nikmat. Terlebih saat kepala kontolku masuk dalam mulut hangat Lilis. Hisapan Lilis begitu lembut dan lidahnya lincah menggelitik kepala kontolku.

"Aduh, Lisss. Seponganmu enak banget." kataku sambil mengusap rambutnya yang tebal dan halus.

Kepala Lilis naik turun mengocok kontolku di dalam mulutnya yang mungil. Aku semakin menggeliat mendapatkan kenikmatan luar biasa. Hampir saja pejuhku muncrat, untung aku bisa mengendalikan diriku sehingga pejuhku tidak jadi muncrat di mulutnya.

"Udah, Lilis. Gabtian Ujang jilatin memek Lilis." kataku sambil mendorong kepalanya menjauhi kontolku.

"Ujang malam ini gak boleh jilatin memek Lilis, malam ini Lilis yang akan melayani Ujang." kata Lilis memegang kontolku, lalu berjongkok di atas kontolku yang mengarah tepat di lobang memeknya.

Lilis menurunkan pinggulnya, dengan mudah memeknya menelan kontolku. Ternyata memek Lilis sudah sangat basah. Lilis mulai memompa kontolku dengan lembut dan berirama, wajahnya terlihat semakin cantik. Matanya berbinar bahagia memandangku dengan senyum termanis yang pernah aku lihat dari bibirnya.

"Lilis bahagia, Jang. A Budi mau nyerein Lilis. Jadi Lilis bisa nikah sama kamu. Lilis bisa jadi istri sah Ujang." kata Lilis terus memompa kontolku dengan pelan.

Aku terkejut mendengar Pak Budi akan menceraikan Lilis. Bagaimana mungkin aku menikahi Lilis, dia adlah kakak iparku. Nanti sajalh aku pikirkan, sekarang aku sedang menikmati gesekan memek Lilis yang terasa semakin sempit menjepit kontolku.

"Jang, enak banget kontol kamu." kata Lilis sambil terus bergerak memompa kontolku.

Melihat dadanya yang semakin besar bergerak indah, membuatku menjadi gemas. Aku meremasnya perlahan lahan agar tidak menyakitinya. Lilis membungkukkan tubuhnya sehingga dadanya mendekati mulutku. Aku menyambutnya, kuhisap putingnya yang mengeras denga rakus. Ternyata ASInya belim keluar. Padahal aku berharap ASInya keluar seperti ASInya Marni yang mengucur deras.

"Jang, Lilis keluarrrrrrr, ennnnak banget kontol Ujang." kata Lilis menekan pinggulnya, sehingga kontolku terbenam makin dalam. Memek Lilis berdenyut meremas kontolku dengan lembut.

Serelah badai orgasmenya reda, Lilis kembali memompa kontolku dengan lebih cepat dari tadi. Kadang pinggulnya bergerak memutar lain dari pada biasanya.

"Lilis gak mau tuker pisisi?" tanyaku heran.

"Kan udah Lilis bilang, malam ini biar Lilis yang melayani, Ujang." kata Lilis sambil terus memompa kontolku sambil mengedut ngedutkan memeknya meremas kontolku. Nikmat sekali rasanya.

Lilis menciumi bibirku dengan mesra. Kami berciuman sambil berpelukan, sementara pinggulnya bergerak memompa kontolku dengan cepat dan berirama menimbukan bunyi merdu akibat hujaman kontolku yang mengocok memeknya.

Batas antara cinta dan nafsu sudah lebur menjadi satu. Aku tidak tahu persetubuhan ini apakah ungkapan rasa cinta Lilis ke diriku atau sekedar pemuasan birahi yang butuh pelampiasan. Tapi yang jelas, kami sama sama menikmati sepenuh hati.

"Jang, Lilis keluar lagi.....! " kembali lilis mendapatkan orgasmenya sementara aku belum juga mendapatkan orgasme.

Lilis menindihku, pinggulku memompa memeknya dari bawah berusaha mendapatkan kenikmatan yang belum aku dapatkan. Perlahan Lilis mengimbangi pinggulku yang bergerak memompa memeknya. Pinggulnya bergerak lebih cepat dari tadi.

Kami kembali berciuman sambil saling menggerakkan pinggul. Gesekan kontolku dan memeknya semakin membuat kontolku semakin sensitif. Hingga ahirnya kontolku menyemburkan pejuh yang cukup banyak ke dasar memek Lilis.

"Jang, Lilis kelllluarrrrr lagiiii." saking hebat orgasme yang dirasakannya, Lilis menggigit pundakku sehingga mengurangi rasa nikmat orgasmeku.

******

Jam 3 pagi kami dikejutkan suara ketukan pintu yang cukup keras. Kewaspadaanku langsung meningkat. Lilis terlibat ketakutan memelukku.

"Gak apa apa, Lis. Lilis tunggu di sini, biar Ujang buka pintu." kataku sambil memakai baju. Sebelum ke depan, aku mengambil pentungan hansip yang tergantung di ruang keluarga.

Ketukan itu kembali terdengar keras, aku mengintip lewat hordeng. Ternyata dua orang polisi yang mengetuk pintu. Aku segera membuka pintu.

"Apa ini rumahnya Pak Budi Natapraja?" tanya polisi itu.

"Benar, Pak. Ada apa, Pak?" tanyaku was was.

"Pak Budi mengalami kecelakaan, jasadnya ada di kamar mayat di RS xxx. Kami harap pihak keluarga datang ke RS untuk mengidentifikasi mayatnya." kata polisi itu membuatku shock dan kaget setengah mati sehingga tidak bisa bicara sepatah katapun.

Bersambung.....




Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Categories

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.
You will be redirected to the script in

seconds

BTemplates.com

POP ADS

Blogroll

About

Copyright © Cerita Panas | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com