𝐂𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚 𝐓𝐞𝐧𝐭𝐚𝐧𝐠 𝐈𝐬𝐭𝐫𝐢𝐤𝐮 [ 𝐓𝐀𝐌𝐀𝐓 ]

POV ARIEF

“Jaga Vina baik-baik… kalau ada masalah apapun, hubungi Koko… jangan ada lagi keputusan bodoh seperti malam ini, kalau kamu sakitin Vina… Koko yang berurusan sama kamu… ga akan ada toleransi lagi…….”, ucap Koh Freddy padaku sambil menepuk bahuku.

Koh Freddy tampak ramah kali ini, walaupun aku yakin dirinya tidak sebaik dan sesempurna ucapannya, tapi setidaknya aku melihat Koh Freddy adalah lelaki yang bertanggung jawab dan cukup berpikiran dewasa, mungkin Lidya memang pantas untuk bahagia dengannya dibanding harus menderita bersamaku. Apakah kali ini aku sudah merelakan? tetap tidak…….. rasanya sangat sulit dan berat.

“Vin, nanti sesampai Koko di rumah, Koko transfer”, lanjut Koh Freddy kali ini ditujukan untuk Vina.

Transfer? Untuk kata ini sepertinya ada yang janggal di telingaku, aku berburuk sangka jika diantara Koh Freddy dan Vina ada sesuatu yang disembunyikan… entahlah, aku sedang tak bisa berpikir.

Aku melihat langkah mereka seolah gerakan melambat pergi meninggalkanku, menuju pintu keluar kemudian berbelok hingga sosok Lidya tak terlihat lagi, bahkan mungkin tak akan pernah kulihat lagi…………………… Kisah dengannya sudah BERAKHIR.

ZZZZZZRRRRRRRTTTTTTTT

Tiba-tiba kurasakan telingaku seperti berdengung atau apalah ini namanya, baru sekarang aku merasakan hal seperti ini. Saat aku memegangi telingaku, tangan Vina merangkul pundakku.

“Ayo Pah, mau pulang kemana kita malam ini?.... tempat Mamah atau rumah kita?”, tanya Vina mengajakku pulang. Apakah Vina adalah jodohku? Seseorang yang tak pernah kuharapkan dan kuinginkan ini ternyata menjadi pasangan hidupku, meskipun mungkin dia benar jodohku, tapi aku masih berharap ada keajaiban yang menganulir takdir ini. Aku meneteskan air mata, aku rindu Lidya…

“Udah dong, Paaah… jangan nangis ah, kan ada Mamah… nanti anak kita sedih liat Papa-nya nangis….”, ucap Vina lagi, mencoba untuk menghiburku, telapak tanganku diarahkan untuk mengelus perutnya yang belum terlihat membuncit.

Kemudian Vina memelukku, erat sekali… sepertinya dia memang benar sayang padaku. Aku pun merasakan nyaman dalam pelukannya, sedikit mengobati kepedihanku…. Tapi tetap saja dan aku baru sadar sekarang… dan sudah benar-benar yakin, kalau aku tak pernah mencintai Vina, meski mungkin mulai detik ini aku harus rela menjalani hidup bersama dengannya. Entahlah esok atau hari nanti, apalagi setelah anakku benar-benar lahir, siapa tahu cinta itu tumbuh.

ZZZZZZRRRRRRRTTTTTTTT

Lagi-lagi suara itu muncul kembali di telingaku, kali ini lebih keras… saking kerasnya aku terperanjat hingga melepaskan pelukan. Vina kemudian menuntunku untuk meninggalkan ruangan Apartemen ini tepat jam 1 malam, akhirnya aku meninggalkan ruangan terburuk yang pernah ada di atas muka bumi ini.

Selama perjalanan menuju pintu keluar, suara atau dengungan itu semakin sering datang. Bahkan ketika kami sampai lobby, dengungan itu semakin keras dan lama sekali sehingga membuatku refleks menutup kedua telingaku, aku menangis tak tahan menahan sakit ini, pekak akibat suara yang menggangu telinga, sakit di belakang kepala, jantungku berdebar, telapak tanganku basah oleh keringat, telapak kakiku rasanya dingin sekali…. dan Vina baru menyadari itu.

“Papah kenapa?... Pusing?... duduk dulu deh, Mamah cariin dulu minum…”, ucap Vina dengan raut wajah yang tampak cemas dan khawatir, lalu ia memapahku ke sebuah kursi tunggu di lobby Apartemen, sementara dia langsung berlari sigap mencarikanku minum, semoga masih ada mini market yang buka di dalam Apartemen ini. Memang benar, selain kini aku merasa pusing… tenggorokanku pun rasanya kering, mata mulai berkunang-kunang.

Aku melihat bayangan-bayangan aneh lagi, tapi masih sama seperti yang tadi kurasakan di dalam kamar… hanya berkelebat cepat.

Aku mencoba menyenderkan kepala, ingin kupejamkan mataku namun tak pernah bisa, untung saja malam ini ada Vina yang mau menemaniku, kalau tidak… mungkin aku limbung sendirian di tengah keadaan seperti ini. Tapi Vina belum juga datang, aku melihat ponselku sudah hampir pukul 2, berarti kira-kira sudah lebih dari setengah jam Vina mencari air minum untukku, namun dia belum juga kembali.

Entah mengapa tiba-tiba aku menjadi panik, aku takut ada sesuatu yang terjadi pada Vina.. tadi Vina masuk lagi ke arah dalam Apartemen, ya memang sepertinya dia belum keluar… kalau dia sempat keluar pasti aku melihatnya karena posisi dudukku tepat di samping pintu keluar.

Akhirnya aku memaksakan berdiri dan mencoba mencari Vina ke dalam, aku susuri lorong yang tadi sempat kulihat Vina pergi ke arah ini. Aku melihat mini market yang masih buka 24 jam. Aku masuk ke mini market tersebut namun tak kujumpai Vina. Kini aku semakin panik, aku kembali ke Lobby, jangan-jangan pas tadi aku masuk mini market Vina sudah kembali ke Lobby. Namun tetap tidak ada siapapun di lobby ini. Aku akan kembali lagi ke mini market untuk memastikan sekali lagi, dan baru kusadari ternyata di ujung lorong ini ada pintu keluar kecil… aku berlari kesana.

Kemana Vina? Apakah Vina diculik? Atau jangan-jangan….. Vina meninggalkanku? Apa maksudnya ini?

ZZZZZZRRRRRRRTTTTTTTT

Suara itu datang lagi cukup keras, berkali-kali namun hanya sebentar-sebentar. Aku lawan keadaan yang entah apa itu namanya, aku telepon Vina….

“Vin, kamu dimana?”, tanyaku pada Vina dengan panik sesaat dia mengangkat teleponku.

“Kang…. Maafin Vina ya, Kang”, jawabnya dan….. telepon dimatikan!!!!! Aku hubungi dia lagi namun teleponnya sudah tidak aktif.

Vinaaaaaaa!!!!! Mengapa kamu meninggalkanku? Aku memang belum mencintainya, namun saat aku butuh seseorang yang mau mendampingiku dan aku sudah memutuskan bahwa Vina yang akan menjadi pendamping hidupku, ternyata dia pergi. Aku tak mengerti kenapa dia pergi, yang pasti dia tidak ada di sampingku, dan kini aku benar-benar sendiri!!!!

Aku meninggalkan Apartemen dengan langkah gontai, sudah tak bisa lagi kuungkapkan dengan kata-kata bagaimana hancur dan perihnya perasaanku saat ini. Pikiranku kacau dunia seolah berputar.

ZzzzzzzzNGIiiiiIINGZZZzzzzZZZKRSsKSkSKSkRSSKKSKSSzzzzzZZZ

Setelah sempat ku menutup lagi telingaku, bahkan kali ini aku berteriak dengan keras karena tidak tahan dengan bunyi suaranya. Tiba-tiba malam berubah menjadi terang benderang, bukan siang… entahlah, ini tetap malam tapi lebih cerah langitnya berwarna kemerahan.

Aku melihat ke sekeliling, pohon palem melambaikan tangannya dengan begitu ramah, begitu juga dengan tong sampah yang tersenyum ke arahku, aku pun melemparkan senyum kepadanya…. Aku kedipkan sebelah mataku mencoba menggodanya, kupikir tak ada salahnya karena kini aku tak memiliki siapa-siapa lagi. Tiang bendera di depan halaman Apartemen menyapaku….

“Haloooo benderaaa”, balasku menyapanya sambil tertawa. Aku bahagia, seketika itu juga aku ingin menari dan berlari-lari kecil, menikmati dunia yang ternyata masih terasa indah untukku.

zzzzNGIiiiiIINGZZZzzzzZ

POV LIDYA

“Maafin aku, Koh….. aku gini terus sama Kokoh…..”, ucapku antara penyesalan dan rasa malu teramat sangat yang bercampur jadi satu.

Koh Freddy terdiam. Aku pernah melihat raut wajah Koh Freddy kecewa terhadapku, tapi malam ini kekecewaan dia sepertinya jauh lebih besar.

“Aku ga bisa, Koh…. Sepertinya ga akan pernah bisa….”, kataku lagi mengharap pengertiannya.

Koh Freddy menghela nafas panjang sambil tatapannya lurus melihat jalan raya di balik kemudinya. “Kamu yakin, Lid?”, tanya Koh Freddy.

“Kokoh boleh nganggap aku apa aja… murahan, plin-plan, tolol, bodoh atau apapun, dan aku memang mengakuinya…. Aku akui memang bodoh dengan keputusanku ini….”, jawabku tak berani menatap ke arah wajahnya.

“Ya, kamu bodoh, Lid! Sama bodohnya seperti Koko yang masih juga mencintai dan mengharapkanmu…..”, balas Koh Freddy, nadanya datar, diantara marah dan kecewa, tapi juga sepertinya masih ada rasa sayang yang teramat dalam.

“Jadi Kokoh.. mau nerima.. keputusanku ini?.....”, tanyaku sedikit ragu-ragu.

“Maaf, Koko ga bisa terima dengan keputusanmu kali ini, ga masuk ke logikanya Koko…. tapi tetep Koko hargai keputusanmu…. Koko ga akan sampe bela-belain nganter kamu.. nemuin lagi suamimu seperti sekarang, kalo Koko ga hargai keputusanmu itu…”, jawab Koh Freddy yang membuatku lega.

Memang, tadi kami sudah sampai di depan rumah Koh Freddy, sampai tiba-tiba aku merubah keputusan dan aku ingin kembali ke Apartemen untuk menemui lagi suamiku. Semoga saja dia masih ada disana, telepon dariku tak juga dia angkat, begitu juga dengan Vina yang mungkin masih mendampingi suamiku, teleponnya tidak aktif.

Aku ingin menemui suamiku, meskipun dia mungkin sudah membenciku dan tak akan mau lagi menerimaku, yang penting malam ini aku hanya ingin mengucapkan maaf... maaf yang tulus karena tadi tak sempat untuk mengucapkannya, aku tidak kuat berkata-kata dalam suasana seperti tadi. Kini rasanya aku sudah siap.

Sebenarnya semua yang kulakukan di setiap kejadian malam ini, semuanya demi suamiku... terdengar klise? Izinkan aku menjelaskan semuanya meski mungkin penjelasanku ini tak bisa diterima.

Meski jujur saja aku sangat kecewa atas sikap suamiku yang seharusnya bertindak sebagai kepala rumah tangga, tapi ternyata dia tak mampu mengatasi permasalahannya ini dengan solusi yang baik, bahkan hampir tidak ada solusi sama sekali, karena itu dengan sangat terpaksa aku membantunya dengan cara ini, merelakan tubuhku… itu murni demi suamiku.. salahkah aku menggunakan cara seperti ini? Aku tahu.. mungkin banyak solusi yang lebih baik daripada caraku ini, aku terima jika solusiku ini disebut sebagai hal terbodoh… aku memang hanya istri yang bodoh, yang coba berusaha membantu pasangan hidupku itu semampuku.

Aku tahu siapa Fernando, aku tahu perangainya saat dia marah, sungguh mengerikan sekali, dia tak ubahnya seperti seorang pembunuh berdarah dingin akibat dari kejadian masa lalunya. Apa yang kuceritakan saat ‘penyekapan’ di rumah pada suamiku memang benar, tapi itu hanya luarnya saja, yang sebenarnya terjadi jauh lebih mengerikan, aku saat itu diantara hidup dan mati.

Aku takut jika menceritakan semuanya, suamiku menjadi emosi dan melabrak Nando, padahal Nando itu banyak sekali anak buahnya, seperti yang dia ceritakan dengan begitu sombongnya saat menyiksaku di rumah. Sedangkan suamiku tak memiliki backing-an siapapun, bahkan belajar bela diri pun dia tidak pernah. Itulah mengapa setelah peristiwa di Wisma aku sangat stress, selain masih trauma dari apa yang pernah kualami di rumahku, ditambah lagi oleh ketakutanku yang begitu besar kalau Nando dan anak buahnya akan melakukan balas dendam pada suamiku yang telah menghajarnya di kamar Wisma.

Dalam peristiwa ‘penyekapan’, di permainan terakhir sebelum pulang ke Wisma, diantara jerit kesakitan atas perlakuannya, antara sadar dan tidak sadar aku akhirnya mengatakan akan menuruti apapun keinginannya, dari situ aku lihat seketika perangai dia berubah 180 derajat, dia menjadi baik. Dari ‘ketidak-sengajaan’ ucapanku itu akhirnya aku tahu cara mengendalikan dia yang paling efektif… yaitu tidak membantahnya, selalu menurutinya, dan mengikuti apa kemauannya.. dan yang pasti menganggap dia sebagai kekasihku lagi… seperti permintaannya, karena dibalik perangainya yang buruk… dia masih juga menyimpan hati padaku. Tidak ada pilihan lain bagiku, antara aku tersiksa bahkan mungkin mati atau dengan mengikuti kemauannya. Jika aku memilih opsi yang kedua. Salahkah aku? Coba kubertanya… jika kejadian itu terjadi pada saudara perempuanmu…. relakah jika saudara wanitamu itu tersiksa atau mungkin terbunuh… padahal ada satu pilihan yang bisa menyelamatkannya?

Tadi sore saat masih berada di rumah, setelah mandi sebelum aku pergi ke Apartemen, dia menelepon dan menginginkan agar aku tampil liar dan binal, serta tentu saja dia menginginkan aku untuk berdandan cantik di malam ini. Tapi di telepon itu juga, aku coba-coba untuk membangkang lagi dengan menolak permintaannya… sampai dia mengatakan sebuah kalimat penutup sebelum ia akhiri sambungan telepon… “Kamu sudah berani menolakku, Sayang?... OK!!!!”. Kalimat itu bagiku terdengar seperti sebuah ancaman yang baru lagi.

Aku menangis, aku tak tega pada suamiku jika mengikuti kemauan Fernando, yang pasti itu akan membuat suamiku menganggap aku sebagai perempuan murahan atau sekurang-kuranganya dianggap aku masih memiliki hati pada Fernando. Maka aku memutuskan untuk memilih menjaga perasaan suamiku, aku tetap tidak akan menuruti kemauannya, meski tentu saja ada perasaan takut yang hebat dalam diriku.

Namun aku tetap membawa perlengkapan make-up untuk upaya jaga-jaga. Benar saja, pada saat kami bersalaman di awal pertemuan di ruangan Apartemen, aku lihat raut wajah Fernando berbeda saat menatapku yang sama sekali tidak berdandan seperti permintaannya… raut wajah yang sama seperti raut wajah dia ketika akan berubah menjadi marah, di waktu dia ‘menyekapku’ di rumah. Raut wajah itu seperti sebuah kode darinya, dan dengan sangat terpaksa pada akhirnya aku turuti itu… meski sempat cukup lama aku bimbang memutuskan saat berada di kamar mandi.

Aku turuti untuk mempercantik diri, namun aku tetap tak mau untuk bersikap liar dan binal, tapi kemudian dia akhirnya benar-benar mengancamku… “Suamimu akan kuhabisi anak buahku malam ini juga, kalo kamu ga nurutin apa yang Abang minta”. Ucapannya itu ia bisikkan di kala aku bergerak dengan sangat kaku dan merasa terhina di waktu striptease. Ancaman yang kedua aku terima beberapa detik kemudian saat ia membisikkan lagi, “Kamu harus hina suamimu saat nanti berhubungan denganku.. buat suamimu benar-benar terhina, dia ga pantas mendampingimu”. Entahlah apa tujuannya… tapi aku menduga upaya itu dimaksudkan agar suamiku menjadi benci dan kemudian kami berpisah…

Setelah mengancam, di saat itu Fernando kemudian memasukkan seluruh daun telinga kananku ke mulutnya lalu ia memainkan lidahnya di belakang telingaku sambil meremas payudaraku, itu jujur membuatku menjadi terangsang, cara lama dia untuk membuat aku ‘on’. Sejak dulu dia memang tahu hal-hal yang membuatku hilang kendali. Bukankah aku pernah menceritakan tentang kebiasaan ini saat aku bercerita usai peristiwa di Wisma Pelatihan? Aku tak pernah berbohong saat suamiku memintaku jujur, semuanya…. termasuk hal-hal yang sebenarnya membuka kelemahan dan aibku sendiri.

Kembali ke saat striptease tadi, di tengah gairahku yang sudah muncul, aku pun pura-pura tersenyum seolah menyetujuinya, memang seperti itulah cara mengatasi kebrutalannya… aku lantas menurutinya meskipun aku akui, keliaran dan penghinaanku terhadap suamiku malam ini mungkin terlalu berlebihan. Tapi hal itu sangat memuaskan orang yang mengancamku. Itu pun semua kulakukan demi suamiku, lagi-lagi aku hanya tak ingin suamiku menjadi korban anak buahnya Fernando. Aku ingin Fernando merasa nyaman di malam ini agar tak melakukan hal yang mengancam jiwa suamiku dan juga aku.

Aku tahu anak buahnya stand by di depan Apartemen karena aku melihat mereka sudah membuntuti taxi kami sejak di gerbang kompleks saat perjalanan menuju Apartemen. Aku melihatnya, namun suamiku mencoba mengalihkan perhatianku. Aku tahu, suamiku sangat sayang padaku, dia tidak ingin aku menjadi stress… begitulah cara dia melindungiku. Sekarang, masihkah aku yang disalahkan?

Bukankah suamiku memang sempat berpesan agar aku boleh menikmati malam ini? dan dia pun sudah siap menerima dengan segala konsekuensinya. Meski aku menganggap sikap dan keputusan suamiku itu aneh dan ganjil, tapi akhirnya itu cukup menolong keselamatan kita di malam ini. Karena itulah aku tak ragu menjalankan rencanaku secara total, tapi aku yakin suamiku tak akan mengerti bahkan pasti di malam ini aku di matanya terlihat menjijikan.

Beberapa bisikkan lagi aku terima sepanjang malam ini dari Fernando, dia selalu mengungkapkan keinginannya dengan cara seolah-olah aku yang menginginkannya. Lalu dia mengatakan hal itu seolah-olah mewakili diriku, dan kalimat yang keluar dari mulutnya itu sangat membuat suamiku terhina… Maafkan aku suamiku, aku tak bisa berbuat apa-apa lagi….

Apakah aku benar menikmatinya saat bersama Fernando? Aku harus jujur mengatakan, Ya… aku tak mau menjadi munafik.. Bahkan berulang kali aku mengakui kalau aku ini memang mudah terbawa perasaan saat berhubungan seks. Apalagi harus kuakui kalau dia memang sangat mengetahui titik-titik sensitifku. Harus jujur kuakui, ia adalah lelaki terhebat dalam urusan ranjang dibandingkan suamiku dan Koh Freddy. Tapi bukankah semua yang kunikmati dan kulakukan itupun sebenarnya sudah disetujui oleh suamiku, apakah aku sekarang masih dianggap salah?

Ketika suamiku mengajakku pulang, aku dengar Fernando menolak rencana itu dengan nada yang tinggi, aku tahu dia emosi.. karena dia ingin aku seutuhnya di malam ini, karena itulah aku membentak suamiku dengan nada yang tinggi, agar suamiku merubah rencananya yang menurutku membahayakan keselamatan kami berdua.

Aku tak tahu nasibku dan suamiku setelah malam ini apabila Koh Freddy tadi tak datang, sepertinya Fernando akan terus menggangguku di hari-hari selanjutnya.. yang aku pikirkan tadi hanyalah solusi jangka pendek, bagaimana agar malam ini aku dan suamiku selamat.. besok.. mungkin akan kupikirkan lagi solusinya... Mungkin…..

Mengenai Koh Freddy, lelaki yang sebenarnya aku cintai namun sudah kuputuskan sejak dulu bahwa aku tak akan pernah bisa menyerahkan hatiku untuknya. Aku pun tahu persis bagaimana sikap dan cara mengendalikannya. Aku sengaja membuat dia sangat marah pada Fernando dari ucapanku yang seolah memfitnah Fernando, walau sebenarnya jika dipikir-pikir itu tak sepenuhnya fitnah, aku memang benar terpaksa dan terancam. Dan ternyata aku berhasil… Fernando sepertinya tak akan pernah berani mengangguku dan suamiku lagi mulai malam ini. Apalagi setelah kudengar langsung saat Koh Freddy memerintahkan anak buahnya di telepon untuk ‘mengamankan’ Fernando. Aku merasa lega.

Di tengah kemarahan yang teramat sangat dari Koh Freddy, aku pun tak rela jika dia sampai menghajar suamiku dan bernasib sama seperti Fernando, aku lindungi suamiku dan kemudian membuat Koh Freddy merasa nyaman. Aku sadar, aku memang tampak seperti wanita murahan sekali malam ini. Dan hal ini juga menjadi hal yang paling aku takutkan karena bisa mengundang kebencian dari suamiku, aku takut suamiku marah karena dia tak tahu apa maksudku.

Untuk masalah pernikahan dengan Koh Freddy, aku sempat menolaknya, namun sempat pula aku tergoda dan sempat terpikir untuk benar-benar menerima Koh Freddy sebagai suamiku, bahkan sampai kami berada di perjalan menuju rumahnya aku masih berpikir tentang keputusan besar itu. Sebenarnya aku sudah lelah dengan suamiku, tapi ternyata kelelahanku itu tak sebesar rasa cintaku kepadanya.

Aku pun malam ini mengakui kalau aku tak menikmati ‘milik’ Koh Freddy, tapi aku terpaksa harus membuat dia nyaman. Setelah nyaman, emosinya mereda, maka Koh Freddy akan berubah kembali menjadi orang yang baik, dewasa, dan bijaksana. Ketika sikapnya sudah berubah seperti ini, aku lagi-lagi bisa menolak permintaannya untuk menjadi istrinya secara baik-baik. Dan itu berhasil, meskipun aku tahu itu lagi-lagi membuatnya sangat kecewa, seperti perbincangan terakhir kami di mobil ini beberapa saat yang lalu.

Vina, pada perempuan itu entah aku harus berterima kasih atau membencinya, dibalik semua skenario busuknya, secara tak langsung dia menunjukkan siapa Koh Freddy yang sebenarnya.. Akhirnya aku tahu ternyata Koh Freddy tak sebaik yang aku duga. Aku juga tahu Vina berbohong soal kehamilannya oleh suamiku yang katanya sudah 1 bulan, bagaimana aku bisa percaya… jika waktu menstruasinya saja selalu bersamaan denganku, dan sekitar 2 minggu yang lalu kita masih sama-sama mengganti pembalut di toilet Kantor.

Jika aku menampar suamiku, itu memang benar ungkapan kemarahanku pada perbuatannya yang berselingkuh dengan sahabatku sendiri, kalau untuk perselingkuhan ini… sepertinya naluriku mengatakan bahwa suamiku memang benar berselingkuh, meskipun tak sampai hamil. Bahkan aku tadi melihatnya sekilas dengan mata kepalaku sendiri saat Vina ‘bermain’ dengan suamiku, walaupun dari raut wajah suamiku sepertinya dia terpaksa dan tertekan.

Tapi bagaimana pun kesalahan suamiku, termasuk dengan segala penyimpangan seksnya yang sebenarnya sudah lama aku duga, aku akan tetap menerima dan memaafkan dia, sama seperti halnya dia yang selalu memaafkan sebesar apapun kesalahanku.

Jika tadi aku sempat marah pada suamiku ketika Vina menyebutkan tentang fantasi suamiku itu, tak lain karena reaksi spontanku yang tetap saja kaget meskipun sudah aku curigai dari dulu. Hanya saja ucapanku yang mengatakan, ‘Malam ini aku kasih kesempatan buatmu untuk yang terakhir kalinya… biar kamu puas….’, itu sungguh….. sama sekali tak aku mengerti, mengapa aku sampai mengatakan kalimat itu.

Kembali pada Vina, mengapa tadi aku mau membalas ciumannya dan sedikit ‘bermain-main’ dengannya? itu untuk memastikan bagaimana kelakuan Koh Freddy sebenarnya, ternyata sikap lelaki itu tak sesempurna ucapannya kepadaku, dia sama saja seperti lelaki yang lain, sama seperti suamiku yang memiliki fantasi seks yang ganjil walaupun berbeda jenisnya. Di malam ini pandangan Koh Freddy begitu liar terhadap tubuh Vina. Saat aku berciuman dengan Vina, kurasakan tangan Koh Freddy menyelinap ke belakangku, ke tempat Vina berada, sepertinya dia memang menyentuhnya, dan itu dilakukan berkali-kali, aku rasakan itu… meskipun aku tak melihatnya secara langsung. Bahkan di saat-saat akhir permainan, nafsunya pada Vina sudah tak terbendung, aku pun tahu itu.. meski aku pura-pura tak tahu.

Sementara mengenai hubungaku dengan Vina, aku harus mengakui kalau kami memang pernah melakukan hal yang diluar batas pertemanan. Tapi tentunya bukan hubungan asmara, kami masih sama-sama straight, tapi mungkin karena kami sama-sama mudah terbuai, atau mungkin hanya sekedar bersenang-senang saja, meskipun aku tahu itu salah. Aku tak tahu apa istilah untuk kondisi yang seperti ini, jika ini adalah kelainan.. maka apa alasanku untuk tak menerima kelainan dari suamiku? Aku dan suamiku memiliki rahasia yang terpendam rapat, tapi di malam ini aku tak ingin lagi ada rahasia apapun diantara kita. Semuanya sudah terbuka.

Yang pasti hubungan panasku dengan Vina tidak pernah membuat menjadi candu, bahkan kami tak pernah membahasnya sama sekali di lain hari saat kami kembali berjumpa.

Dengan malam ini berarti sudah 3 kali kami melakukannya.

Yang pertama di kamar kost-nya… itu pun sudah lama sekali.

Kedua di dalam bioskop sepulang mengantar Koh Freddy squash… karena terbawa suasana permainan panasnya akhirnya aku terpancing dan mengaku dengan sejujurnya pada Vina.. bahwa pada siang hari itu aku telah squirt oleh Koh Freddy. Anehnya aku selalu merasa bersalah ketika dijamah oleh lelaki lain, tapi oleh Vina… aku merasa sedang bermain-main dengan diriku sendiri, tak ada penyesalan, rasanya biasa saja… karena sama sekali tak melibatkan perasaan.

Dan yang terakhir adalah yang barusan terjadi di kamar Apartemen.

Apakah tadi aku menikmatinya bersama Vina? Ya, lagi-lagi aku harus jujur pada kelakuan nakalku dengan mengatakan bahwa aku menikmatinya. Dibandingkan dengan penetrasi Koh Freddy yang membuatku kesakitan, tadi aku memang lebih nyaman saat ‘bermain’ dengan Vina.

Tapi semua ceritaku ini mungkin bisa saja orang sebut sebagai pembenaran atau upaya membela diri, itu hak setiap orang dan aku tak bermaksud menggiring opini, aku juga mengakui kalau aku bukanlah perempuan suci dan bukan sebagai istri yang baik. Jika malam ini aku tak bisa lagi menemui suamiku dan tak sempat menceritakan ungkapan hatiku ini, mohon sampaikan perasaanku ini padanya.

Jika aku masih juga disalahkan atas segala khilaf dan kebodohanku ini, maka aku kembalikan semua ini pada Sang Pemilik yang sesungguhnya, cukup bagiku Dia yang menghakimi.. sesungguhnya aku milik-Nya, dan kepada Dia lah aku akan kembali.

Aku tak bisa memenuhi segala keinginan dari pikiran semua orang. Aku tak bisa mengontrol orang-orang untuk menyukai atau membenciku. Aku………. seperti juga kisahku ini, memang tak akan pernah bisa sempurna. Aku hanya mengatakan yang sebenarnya kurasakan dari maksud perbuatanku. Jika memang tak sesuai dengan harapan semua orang… maka dari dasar hati yang terdalam, aku mengucapkan permohonan maaf sebesar-besarnya pada semuanya, sebelum kisah ini BERAKHIR.

Suasana di dalam mobil ini masih juga hening, aku dengan lamunannya… begitu juga Koh Freddy yang entah sedang memikirkan apa. Tidak ada suara diantara kami yang duduk bersebelahan di dalam sedan mewahnya.

Aku yang sedang melamun mengingat setiap kejadian yang kualami, tiba-tiba kepalaku seperti ada yang memaksa untuk menoleh ke arah seberang jalan, dan ternyata aku melihat sosok yang sedang berlari di sana, sepertinya itu suamiku!!! Ya, benar dia suamiku, aku benar-benar yakin setelah aku memperhatikan dengan menoleh ke arah belakang karena suamiku berlari ke arah yang berlawanan. Ada apa dengan suamiku? Mengapa dia berlari? Aku langsung meminta Koh Freddy untuk menghentikan laju mobilnya.

POV AUTHOR

Lidya dengan segera turun dari mobil sedan hitam mewah milik Koh Freddy begitu ia melihat suaminya sedang berlari di seberang jalan. Koh Freddy sempat menawarkan membalikkan dulu mobilnya untuk berputar arah, tapi Lidya bersikukuh untuk turun sekarang juga, putarannya terlalu jauh, Lidya takut suaminya terlanjur pergi jauh entah kemana dan susah lagi untuk dicari.

Koh Freddy menatap Lidya dari kaca spion mobilnya dengan mata berkaca-kaca, kini ia sudah benar-benar ikhlas melepaskan Lidya. Lidya memang sangat mencintai suaminya, tak ada harapan lagi untuk Koh Freddy. Kisahnya dengan Lidya sepertinya memang sudah harus BERAKHIR.

“Kamu gagal, Vin…”, ucap Koh Freddy yang kemudian mulai memajukan kembali laju kendaraannya.

Sementara itu Lidya berlari mengejar seraya memanggil-manggil suaminya yang ada di seberang jalan. Sementara Arief yang juga sedang berlari dengan sangat cepat tiba-tiba terhenti karena mendengar teriakan. Arief melihat ke arah teriakan yang sedang memanggilnya itu.

“Heu… ada si cantik mengejarku hahahaha…. aku pergi… lari siang malam tembok China biar sehaat”, racau Arief yang sudah kehilangan akal sehatnya.

“Paah… tungguuuu!!! maafin aku, Paaah!!!.....”, teriak Lidya di seberang jalan.

Arief berlari sangat cepat sehingga tak terkejar oleh Lidya, namun Lidya sekuat tenaga untuk tetap mengejarnya, setidaknya jangan sampai suaminya itu hilang dari pandangan matanya.

“Ayo taangkap… hap hap….. hahaha empat belas jajar pepaya dan matahariiiii… dinda oktoraaaa”, Arief kembali meracau sambil berlari dan melompat-lompat kegirangan.

POV ARIEF

ZzzzzzzzNGIiiiiIINGZZZzzzzZZZKRSsKSkSKSnGiiiinGKKSKSSzzzzzZZZ

Telingaku tiba-tiba berdengung suaranya begitu memekakan. Aku pun jongkok sambil menutup kedua daun telingaku dengan telapak tanganku. Kenapa ini? Aku juga tiba-tiba merasakan nafasku tersenggal seperti sudah berlari jauh.

Setelah dengungan itu mulai mereda, aku mencoba melihat ke sekeliling… Dimana aku sekarang? Kenapa aku tiba-tiba ada disini? Aku berada di pinggir sebuah jalan raya… malam hari… aku menutup mata, mengingat-ingat apa yang terjadi dengan diriku, rasanya seperti baru terbangun dari sebuah mimpi dan aku benar-benar tak ingat kejadian apa-apa.

“Paah… tungguuuu!!! maafin aku, Paaah!!!.....”, teriak seorang perempuan, seperti sedang mencari-cari seseorang di seberang jalan.

“Lidya?!? Istriku?!? Kenapa malam-malam kamu disini juga? Kenapa kamu berlari-lari? Apa kita sedang jalan berdua ke daerah ini?”, aku berbicara sendiri menanyakan keadaan yang sebenarnya dan sama sekali belum kutemukan jawabannya. Yang kudapati sekarang adalah istriku yang baru sebulan aku nikahi berada di seberang jalan dan sedang memanggilku.

Aku melihatnya, tapi mungkin dia tidak melihatku karena aku sedang jongkok, aku paksakan untuk berdiri namun kepalaku terasa berat hingga aku jongkok kembali.

“Lidyaaa….”, teriakku sambil mengangkat tangan, mencoba untuk memberitahu keberadaanku. Untungnya Lidya langsung mendengar teriakanku meski suara di jalan raya ini cukup bising.

“Papaaah….”, serunya, dia tampak bahagia seperti yang baru saja menemukanku, ia langsung berlari dan menyebrang ke arahku namun……….

CKKKIIIIIIIIITTTTTTTTT…. BRRAAAGGGG!!!!

Sebuah mobil merah dengan kecepatan tinggi menghantam tubuh Istriku yang membuatnya terpental cukup jauh.

“LIDYAAAAAAAA!”, teriakku sambil memaksakan untuk berdiri dan berlari terhuyung-huyung dengan langkah gontai ke arah jatuhnya Lidya.

Setelah susah payah aku menyebrangi jalan dengan kondisi kepalaku yang masih juga terasa berat, akhirnya aku berhasil mendekati Lidya, kuangkat tubuhnya dengan kaki gemetar.. segera kubawa istriku ke pinggir trotoar… astaga…. darah begitu banyak keluar dari belakang kepalanya membasahi telapak tanganku yang sedang menopang kepalanya, untungnya istriku ini tak apa-apa… masih bisa tersenyum ke arahku.

Kini aku duduk, tubuh Lidya terbaring di pangkuanku yang terus lekat menatapku. Satu tanganku tetap menopang bagian kepalanya yang terus menerus mengeluarkan darah, telapak tanganku yang satu sempat menyentuh juga darah itu, tapi aku segera mengelapkan darah di tanganku itu ke celana berkali-kali, agar Lidya tak melihat darahnya sendiri…. meskipun tadi ia sempat meliriknya.

“Malam ini aku kotor ya Pah…? maafin Mamah ya…”, ucap Lidya saat melihatku menghapus darahnya ke celanaku dan kini kulihat matanya mulai berkaca-kaca.

Aku berteriak meminta tolong pada orang-orang, namun trotoar ini begitu sepi tak ada orang. Aku coba untuk menghentikan kendaraan yang melintas dengan cara mengepak-ngepakan sebelah tanganku tapi mereka berlalu begitu saja tanpa mempedulikanku.

“Pah.. Mamah capek.. aku tidur duluan ya, nanti Papah bangunin aku.. mau kan kalo kita sama-sama lagi?...…”, kata Lidya sambil tersenyum menatapku... begitu cantik. Aku pun menciumi tangannya berulang kali sambil tak kuasa menahan tangis.

“Pah.. Maafin.. Mamah… sampai.. kapanpun…. Mamah.. bakal terus… dampingin Papah… ghrrkk apapun ghhrrrkkk kondisi..nya…..ghhrrrkkk”, ucap Lidya lagi yang mulai terengah tapi berusaha untuk memaksakan bicara, namun di dua kata terakhir ucapannya terdengar seperti suara yang tergorok…..

Aku melihat tubuh Lidya dengan beribu pertanyaan, seperti ada tarikan nafas dari bawah naik ke atas secara perlahan, melewati rongga dadanya, lalu naik ke leher dan rahangnya menjadi sedikit menggembung sesaat, bola mata Lidya sempat terbelalak ke atas….. kemudian pelan-pelan kelopak mata indahnya turun dan menutup rapat. Kini ia tertidur sambil tersenyum, tak ada kata yang keluar lagi, tak ada gerakan lagi, ia diam.. hanya diam.

“Maaah!!!”, aku coba memanggilnya namun tidurnya sudah terlalu dalam.

“Lidya!!!”, aku memanggilnya kembali namun jiwanya entah dimana.

“Ada apa ini? Kenapa jadi tiba-tiba begini?!?! Aku tak mengerti!!!!”, aku menoleh ke sekeliling, namun seakan tak ada siapapun yang menghiraukanku. Inikah yang dinamakan kisah yang BERAKHIR?

“ADA APA DENGAN LIDYA……..?!?!?!?” (silahkan pembaca menjawab sesuai imajinasinya masing2 hehe ... )

TAMAT


 


Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Categories

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.
You will be redirected to the script in

seconds

BTemplates.com

Blogroll

About

Copyright © Cerita Panas | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com