𝐂𝐈𝐍𝐓𝐀 𝐏𝐔𝐓𝐈𝐇 𝐄𝐏𝐈𝐒𝐎𝐃𝐄 𝟏 : [ 𝐏𝐀𝐑𝐓 𝐀​​​​​​​​​​​​​​​​​​​​ 𝐀𝐏𝐀 𝐉𝐀𝐃𝐈𝐍𝐘𝐀❓ ]

POV MILA

[Selasa, 6 September 2016]
Hari ini tepat 4 tahun usia pernikahanku, acara anniversary pernikahan yang seharusnya dirayakan berdua dengan suamiku batal, karena secara mendadak ia harus bertugas ke luar kota. Memang akhir-akhir ini pekerjaan suamiku sangat padat, karier di kantornya semakin menanjak. Sebagai seorang istri berada dalam kondisi seperti ini tentu ada bahagianya, tapi lebih sering kesalnya…..

Akhirnya daripada berdiam diri di rumah, aku mendatangi sebuah Yayasan yang menampung anak-anak terlantar dan yatim piatu yang lokasinya tidak terlalu jauh dari rumah. ‘Yayasan Penuh Harapan’ namanya, tapi aku dan suamiku sering menyebutnya dengan sebutan ‘Yayasan Bunda Ita’, sesuai nama pemiliknya. Bunda Ita ini sepertinya usianya tak beda jauh denganku, tapi karena anak-anak dan pegawai di Yayasan itu menyapanya dengan sebutan ‘Bunda’, maka aku pun ikut-ikutan menyebutnya demikian. Rencananya hari ini aku akan membagikan bingkisan makanan dan juga pakaian untuk anak-anak di Yayasan tersebut.

Awal aku berkunjung ke Yayasan itu sekitar sebulan yang lalu, ketika aku dan suamiku sempat terpikir untuk mengadopsi anak, kalau menurut orang tua zaman dulu sih sering menyebutnya sebagai ‘pancingan’, maklum sampai saat ini kami belum dikaruniai keturunan.

Tapi rencana itu dibatalkan setelah kami memikirkan lagi secara matang, aku takut tidak bisa mencurahkan kasih sayang yang tulus kepada anak yang kami adopsi, namanya juga bukan anak sendiri… khawatirnya aku dan suamiku belum siap mental. Akhirnya kami memilih untuk bersabar, mudah-mudahan segera mendapatkan momongan sendiri karena usiaku masih 28 tahun, masih cukup potensial untuk memiliki anak. Hanya sayangnya upaya ‘membuat anak’ tersebut banyak terganggu karena kesibukan suamiku.

Meskipun batal melakukan adopsi, aku dan suamiku sudah berkomitmen untuk menyisihkan sebagian rezeki kepada anak-anak yang kurang beruntung. Setelah berkeliling ke berbagai Yayasan dan Panti Asuhan, kami kemudian menetapkan ‘Yayasan Bunda Ita’ ini yang akan kami beri perhatian lebih, rencananya kami akan menjadi d0natur (jadi d0natur HANYA melalui admin team, BUKAN lewat staff lain) tetap di Yayasan yang menurut kami paling memiliki komitmen dan total dalam mengurus anak-anak asuhnya ini. Walaupun tidak besar jumlah yang kami donasikan setiap bulannya, tapi mudah-mudahan bisa ikut membantu meringankan beban Yayasan tersebut.

“Eh.. Bu Mila, ga sama Bapak?”, sapa Bunda Ita ramah begitu aku tiba di Yayasan-nya. Bapak yang dimaksud beliau adalah suamiku karena sudah 2 kali aku dan suamiku berkunjung kesini bersama-sama.

“Suamiku lagi ada urusan Bu…”, jawabku sambil sibuk menurunkan bingkisan dari dalam mobilku dan diserahkan kepada pegawai Yayasan.

“Makasih lho Bu, udah mau dateng lagi….”, ucap Bunda Ita yang merasa senang dengan kehadiranku. Dia pun ikut sibuk membantu mengangkati bingkisan dariku ke dalam aula Yayasan.

Setelah beberapa lama di dalam aula, berkumpul, bercanda dan berbagi tawa bersama anak-anak, akhirnya aku mulai mengemukakan pada Bunda Ita bahwa aku dan suamiku berkeinginan menjadi d0natur (jadi d0natur HANYA melalui admin team, BUKAN lewat staff lain) tetap di Yayasan-nya. Dengan mata berkaca-kaca Bunda Ita memelukku dan mengucapkan berkali-kali ucapan terima kasih. Aku pun dibawa ke Ruang Administrasi untuk mengisi formulir persetujuan sebagai d0natur (jadi d0natur HANYA melalui admin team, BUKAN lewat staff lain).

“Ayah, kenalin ini Bu Mila… mau jadi d0natur (jadi d0natur HANYA melalui admin team, BUKAN lewat staff lain) Yayasan kita….”, ucap Bunda Ita begitu masuk ke ruang administrasi yang sederhana ini, tampak seorang lelaki yang disapa ‘Ayah’ oleh Bunda Ita ini duduk membelakangi pintu sedang mengetik sesuatu di komputer yang tersimpan di balik meja kerjanya.

Lelaki itu kemudian memutar kursinya, aku pun seketika tercekat saat melihatnya.

Pada dua kali kedatanganku sebelumnya ke Yayasan ini bersama suamiku, tak pernah sekalipun aku melihat lelaki ini.. mengapa kini saat aku sendiri harus berjumpa dengannya!

Aku tahu persis lelaki ini, dia adalah Faisal.. bahkan nama lengkapnya pun aku masih ingat, Faisal Amsar. Dia adalah cinta pertamaku, yang memacari sejak aku kelas 3 SMA di Sukabumi… lalu setelah hampir 4 tahun kami berpacaran…. ia memutuskan hubungan dengan tiba-tiba, tanpa ada masalah sedikitpun diantara kami sebelumnya.

Di kampungku dulu, rata-rata perempuan menikah di rentang usia 19-20 tahun. Ketika aku sudah menginjak usia menjelang 22 tahun, Faisal belum menunjukkan tanda-tanda untuk segera menikahiku, orang tuaku berkali-kali mempertanyakan keseriusannya. Hingga akhirnya saat usiaku masuk 23 tahun, Faisal pergi meninggalkanku begitu saja tanpa penjelasan apapun.

Aku sempat berpikir sepertinya Faisal sudah malu ditanyakan terus perihal pernikahan oleh orangtuaku, sampai kemudian aku tahu alasan sebenarnya dia meninggalkanku… ternyata dia akan dijodohkan oleh orang tuanya. Dan sekarang pun aku tahu kalau perempuan yang dinikahinya dulu itu adalah Bunda Ita, dunia memang sempit, kini kami dipertemukan kembali setelah hampir 5 tahun tak bersua, padahal sudah sama-sama pindah ke Jakarta!

“Eh.. oh.. silahkan duduk, Bu…”, kata Faisal yang sepertinya kikuk setelah melihatku, namun sikapnya seperti yang dipaksakan untuk seolah-olah tenang. Faisal mempersilahkan aku duduk di kursi yang berhadapan dengan meja kerjanya.

Aku masih berdiri mematung, jika dulu aku pernah membencinya… itu wajar, karena dulu saat ditinggalkan perasaanku masih sangat mencintainya. Tapi mengapa perasaan benci itu masih ada sampai sekarang? Saat aku berjumpa lagi dengannya….. saat statusku kini sudah memiliki suami.

“Untuk masalah kelengkapan administrasinya…. langsung sama suami saya aja ya, Bu…. Maaf ya Bu Mila, saya tinggal sebentar…. Ibu mau minum apa?”, ujar Bunda Ita yang sepertinya akan meninggalkan aku dan Faisal di ruangan ini, berdua.

“Eh… eh.. Bun, ga usah….”, jawabku cepat karena aku panik ditinggalkan berduaan saja dengan mantanku ini.

“Aah, masa ada tamu.. ga disuguhin..”, balas Bunda Ita sambil tersenyum dan melangkah dengan cepat keluar ruangan. Aku pasrah.

“Duduk Mil… gimana kabarnya?”, sapa Faisal kini ucapannya lebih tenang, ia menyapaku sambil berdiri dan mengulurkan tangannya untuk bersalaman. Dan kini dia juga memanggilku dengan sebutan ‘Mil’, seolah-olah dia masih mengenalku dekat.

Aku langsung duduk tak membalas jabatan tangannya. Padahal aku sangat ingin bersikap biasa, tapi entah mengapa aku tak bisa… Aku pun masih bertanya-tanya mengapa dan untuk apa aku masih membencinya? disaat kini aku telah menikah… Seharusnya kebencian itu sudah kukubur bersama kisah cintaku dengannya yang memang sudah mati. Apa jadinya Jika sampai saat ini ternyata aku masih mencintainya….?

“Silahkan diisi formulirnya, Mil…”, kata Faisal mencoba untuk memecah kekakuan di ruangan ini.

Aku langsung mengisi formulir itu, berharap cepat-cepat selesai dan segera pergi dari sini. Faisal pun tak berkata-kata lagi setelah aku memperlakukan dia dengan sikap yang dingin. Mungkin saat ini raut wajahku tak bisa menyembunyikan perasaan marahku, tak ada senyum di wajahku sejak masuk ruangan ini.

Untung saja Bunda Ita masuk kembali ke ruangan ini dengan membawakan sirup serta kue-kue basah jajanan pasar. Sambil menyelesaikan isian formulir, aku sempat menoleh dan tersenyum pada Bunda Ita.. berterima kasih untuk jamuannya, walau sebenarnya aku tak ingin makan dan minum apapun disaat ini.

Hanya berselang beberapa saat aku mendengar seseorang memanggil Bunda Ita dari luar ruangan. Sial… lagi-lagi Bunda Ita harus meninggalkan kami berdua karena ada urusan tentang anak-anak asuhnya yang harus dia tangani sendiri.

“Maafin aku, Mil…”, ucap Faisal tiba-tiba sesaat setelah Bunda Ita keluar ruangan. Aku terhenyak mendengar perkataan itu, memang tidak jelas arahnya kemana, tapi aku duga itu permintaan maaf untuk sikapnya dulu yang sudah meninggalkanku.

“Ga usah ungkit masa lalu…”, balasku ketus sambil terus menulis tak menatap wajahnya. Aku menyuruh dia tak perlu lagi mengungkit masa lalu, sementara sikapku sendiri masih terbawa perasaan dari masa lalu.

Aku sudah selesai mengisi formulir, aku pun langsung menyimpan di atas meja sebuah amplop cokelat berisi uang donasi untuk bulan ini. Aku langsung berdiri untuk meninggalkan ruangan ini.

“Sebentar Mil, dihitung dulu uangnya… silahkan dimakan dulu lemper-nya”, kata Faisal dengan cepat setelah melihat posisi dudukku seperti yang akan beranjak pergi.

Hmmmm, ada beberapa macam aneka kue di piring yang disajikan oleh istrinya itu, tapi Faisal langsung menyebut satu kata…. lemper. Dia seolah masih ingat makanan favoritku.. aku melihat sekilas ke arah lemper yang sepertinya lezat itu, tapi malu dan masih kesal… tapi…. ah sudahlah... aku langsung mengambil dan membuka daun pisang sebagai pembungkus dan langsung memakannya, astaga!! rasanya enak sekali…. Lemper berukuran kecil ini habis hanya dengan dua suapan saja.

“Tuh satu lagi…. sayang kalo ga dimakan”, ucap Faisal sambil tersenyum ke arahku, setelah selesai menghitung uang donasi-nya dan menyerahkan kwitansi penerimaan uang. Aku pun mulai tersenyum malu-malu ke arahnya, sepertinya mukaku kini merah merona. Aku ambil lagi lemper yang memang hanya ada dua buah di piring itu. Aku memang tak pernah bisa menahan diri kalau melihat lemper, kalau saja ada sepuluh pun pasti aku habiskan saat ini juga, apalagi jika rasanya enak seperti ini.

Setelah selesai, meskipun tadi sudah sempat tersenyum… namun aku masih saja bersikap kekanakan, tanpa basa-basi aku langsung bangkit berdiri dan melangkah keluar. Fasial lalu bergegas menyusul berjalan mendampingiku.

“Ga perlu diantar, sampaikan saja salam buat istrimu..”, ucapku sedikit ketus tanpa menoleh ke arahnya, mencoba agar dia tidak mengikutiku.

Tapi Faisal sepertinya tidak mau mendengar ucapanku itu, dia tetap berjalan di sampingku. Begitu kami sudah berada di lorong Yayasan, Bunda Ita melihat ke arah kami dan langsung mendatangiku, namun begitu mendekat tiba-tiba Faisal berkata.. “Bun, tolong bungkusin lemper lagi ya buat Bu Mila.. yang banyak”

“Oh sebentar ya, saya ambilin dulu…”, jawab Bunda Ita lalu buru-buru kembali berbalik arah. Aku melihat Bunda Ita, sepertinya dia keluar melalui pintu samping Yayasan.

“Memang ngambilnya dimana gitu, Mas….?”, tanyaku dengan nada yang mulai normal dan kembali berjalan, entah mengapa tiba-tiba mulutku mulai menyapa sang mantan ini dengan sebutan ‘Mas’, panggilan yang sama seperti saat kami berpacaran dulu. Kini degup jantungku terasa melebihi tempo yang biasanya, mengiringi setiap langkah kaki yang kulangkahkan.

“Di tetangga sebelah….”, jawab Faisal singkat, dan terus berjalan di sebelahku hingga sampai di parkiran mobilku.

“Kamu nunggunya di dalam mobil aja, panas”, ucap Faisal sambil melirik ke atas, memang cuaca siang ini begitu terik. Sementara Bunda Ita belum menampakkan tanda-tanda kehadirannya.

Aku pun langsung masuk ke dalam mobil, tapi karena tidak enak hati mengacuhkan dia di luar mobil…. akhirnya aku luluh untuk menurunkan kaca jendela mobilku. Begitu terbuka tampak Faisal tersenyum ke arahku… dia masih sangat tampan seperti dulu. Wajahnya putih bersih berseri, di usianya yang menginjak 32 tahun, bahkan kini dia tampak lebih dewasa dan berwibawa. Ya, aku masih ingat tahun kelahirannya… yang kebetulan sama dengan tahun kelahiran suamiku. Ah mengapa aku jadi mengagumi ketampanan lelaki lain yang sudah beristri? Jaga kehormatanmu sebagai seorang istri… Milantia Fariska!!!!

“Makasih ya Mil, udah mau bantu Yayasan ini… tanpa ada donasi dari orang-orang baik sepertimu, berat menjalankan Yayasan ini sendirian…”, ucap Faisal lagi, sedikit curhat soal masalah yang dihadapi dalam mengurus Yayasan-nya itu. Memang aku pernah mendengar dari Bunda Ita tempo hari, kalau Yayasan-nya paling tidak bisa menolak kehadiran penghuni baru yang terlantar, selalu saja mereka tampung.. hingga kini jumlahnya semakin bertambah banyak yang tentunya membutuhkan biaya yang besar pula.

“Iya Mas, sama-sama..”, jawabku sambil tersenyum.

Faisal kemudian mengulurkan tangannya lagi untuk mencoba mengajakku bersalaman. Memang terlambat, ketika kami sudah bertemu cukup lama, baru kali ini aku mau membalas jabatan tangannya. Tanganku kujulurkan keluar melalui ruang jendela mobil yang terbuka, ada desiran darah yang mengalir memenuhi rongga dada, membuatku sekujur tubuhku terasa hangat saat aku menyentuh telapak tangannya.

Tak lama kemudian Bunda Ita datang membawakan satu box makanan kesukaanku, aku pun pamit pulang dan meninggalkan Yayasan ini.

[Senin, 3 Oktober 2016]

Satu bulan berlalu, ada kegalauan di hatiku kali ini, suamiku tadi pagi sebelum berangkat ke kantor berpesan agar aku jangan sampai lupa untuk memberi donasi pada Yayasan Bunda Ita.

Rasanya aku tak siap untuk bertemu dengan mantanku lagi, akhirnya aku putuskan untuk menelepon Bunda Ita dan meminta nomor rekening, kali ini aku akan mentransfer saja uang donasi-nya hingga aku tak perlu lagi mendatangi langsung tempat itu.

“Iya Bu, baik… nanti saya kirim nomor rekeningnya, tadinya saya sangat berharap Bu Mila datang lagi kesini… anak-anak udah pada nanyain… apalagi si Wiwi, tiap hari nanyain Bunda Mila terus….”, begitu yang diucapkan Bunda Ita ketika menjawab teleponku.

Duh… aku pun sebenarnya sangat rindu dengan anak-anak disana, apalagi sama Wiwi, bocah cantik dan menggemaskan berusia 3 tahun itu memang paling dekat dan terlihat bahagia kalau aku menggendongnya. Ah baiklah…….. aku kesana lagi saja sekarang!!

Sudah hampir 1 jam aku berada di Yayasan, di sela-sela kebahagiaanku berbagi rasa dengan anak-anak disana, mataku selalu melirik ke kanan-kiri seperti mencari-cari seseorang. Aku yang seolah-olah tak ingin bertemu lagi dengannya, namun ternyata hatiku berkata lain… “aku rindu senyumanmu, Mas Fais…”.

Sampai tiba aku akan memberikan uang yang sudah diamanatkan dari suamiku, Bunda Ita lalu membawaku menuju Ruang Administrasi. Jantungku berdebar-debar. Begitu sampai di dalam ruangan, aku tak mendapati siapapun disana. Entah mengapa aku merasa sangat kecewa, sampai aku bertanya pada Bunda Ita, “Pak Faisal-nya kemana, Bun?”.

“Suamiku cuma Selasa-Jumat saja ikut bantu disini, seringnya ya di Toko, harus cari uang… kalo ga gitu, gimana kami dan Yayasan bisa bertahan.. palingan nanti jam makan siang suamiku pulang dulu ke sini….”, jawab Bunda Ita dengan polosnya memberi tahu jadwal kegiatan suaminya.

Aku hanya mengangguk-angguk, ah… betapa bodohnya aku!!! Mengapa aku harus menanyakan keberadaan suaminya pada Bunda Ita? Bagaimana kalau Mas Fais sudah memberitahu dia kalau aku adalah mantan kekasihnya, kelihatan sekali kalau hari ini aku mencari suaminya, bodoh kamu Mila!!!

Setelah sempat berkangen-kangen lagi bersama anak-anak disana, akhirnya aku pulang ke rumah dengan sedikit perasaan kecewa. Entah mengapa di sepanjang perjalanan aku selalu memikirkan Mas Fais.

Begitu sampai rumah, belum sempat aku membuka pintu depan.. ponselku berdering dan begitu kulihat ‘Bunda Ita’ yang menghubungiku.

“Halo Bun…”, sapaku, dengan hati bertanya-tanya, ada apa Bunda Ita menghubungiku lagi.

“Bu Mila maaf banget, ini kwitansi lupa saya kasih… nanti suami saya yang anter ke rumah Ibu, maaf banget yaa…”, jawab Bunda Ita seperti sangat menyesal. Hatiku dag dig dug tak karuan mendengar Mas Fais akan datang ke rumahku.

“Eh Bun, ga usah… ga apa-apa kok ga pake kwitansi juga…”, balasku yang merasa Mas Fais tak perlu sampai datang ke rumahku. Lagipula bagiku kwitansi memang tak penting.

“Ga apa-apa Bu, biar transparan… lagian nanti kalo suami Bu Mila nanyain kan kita jadi ga enak..”, jawab Bunda Ita bersikukuh dengan rencananya.

“Eum… eh..”, ucapku mencoba berkata-kata, tapi otak ini masih berpikir bagaimana lagi cara untuk menolaknya, sampai Bunda Ita kembali melanjutkan pembicaraannya, “Tadi juga saya lupa mau ngasih lemper, nanti sekalian aja ya dititipin ke suamiku… alamat rumahnya sama dengan yang di formulir kan?”.

“Eh, iya Bun… sama….”, jawabku panik tapi kini aku sudah pasrah dengan rencana kedatangan Mas Fais.
***​

Bunda Ita mengatakan kalau suaminya akan datang pukul 2 siang ini, masih ada lima belas menit lagi tapi hatiku sudah begitu tak karuan. Aku bolak-balik melihat di cermin untuk melihat penampilanku, bahkan sampai dua kali ke kamar mandi karena selalu ingin pipis saking gugupnya. Mengapa aku ini…. kenapa seperti seorang gadis remaja yang sedang menunggu kedatangan kekasih hatinya?

Seumur pernikahanku, aku memang belum pernah menerima tamu laki-laki saat suami berada di luar rumah, baik yang kukenal apalagi tidak dikenal. Biasanya aku tak pernah membuka pintu rumahku, kebiasaan yang sering membuat suamiku kesal, dia mengatakan aku tak perlu kaku sampai seperti itu, tapi aku tetap bertahan dengan prinsipku ini. Namun…. prinsip yang kubuat sendiri itu sepertinya akan kulanggar di siang ini.

Aku sudah berada di ruang tamu menanti kedatangan tamu yang sangat istimewa. Dari kaca jendela tampak Jeep Wrangler berwarna hitam berhenti di depan rumahku, dari mobil itu tampak turun seorang laki-laki berkulit putih, berperawakan tinggi dan sedikit tegap. “Hmm.. Mas Fais… ganteng banget kamu, Mas…”, ucapku dalam hati melihat mantanku itu dari balik jendela.

Sampai dia mengetuk pintu untuk kedua kalinya, aku belum juga membukanya, padahal aku sudah ada di balik pintu itu. Akhirnya aku benar-benar memberanikan diri untuk membukanya.

Pintu terbuka, dia langsung tersenyum.. sementara aku semakin terpana melihat wajahnya secara langsung dari jarak yang cukup dekat. Aku pun membalas senyumnya, “Eh.. mari Mas, masuk dulu…”, ucapku sedikit gugup setelah sempat beberapa detik membiarkan tamu itu berdiri di depan pintu.

Mas Fais pun masuk ke dalam rumah dan kupersilahkan duduk di kursi tamu. “Mau minum apa, Mas… masih suka Kopi?”, tawarku pada Mas Fais, ah, seharusnya aku tak perlu berkata seperti itu, seolah-olah aku masih ingat tentang minuman kesukaannya.

“Ga usah Mil, Mas ga akan lama kok… harus ke toko lagi..”, jawab Mas Fais yang membuatku sangat kecewa. Jujur saja aku sebenarnya ingin sedikit berlama-lama dengannya di siang ini, walau aku tak tahu harus berbicara tentang apa selama dia disini.

Mas Fais kemudian mengeluarkan dua buah box dari kantung plastik yang kutebak itu berisi lemper kesukaanku. Dari saku kemejanya dia berikan secarik kertas berupa kwitansi.

“Maaf ya Mil, istriku emang agak pelupa.. bisa sampai ga ngasihin kwitansi… aku langsung pamit ya, kapan-kapan kita ketemu lagi…”, ucap Mas Fais sambil bangkit berdiri dan mengulurkan tangannya untuk menyalamiku.

Mas Fais ini memang sepertinya hanya mencoba ramah saja kepadaku, aku rasakan dia tidak menyimpan perasaan sepertiku, sikapnya biasa saja. Aku merasa malu sendiri ketika perasaanku ini tak berbalas, haruskah kini aku membencinya lagi?

Tapi dari perkataannya yang terakhir, ‘kapan-kapan kita ketemu lagi’…. itu maksudnya apa? Memang kapan kita akan bertemu lagi? Memangnya dia masih mau menemuiku? Sampai akhirnya aku sadar kalau ucapannya itu mungkin sekedar basa-basi, atau bisa juga hanya sekedar bertemu lagi di Yayasan, aku ke-ge-er-an!!

Aku pun menjabat tangannya dan seperti sebulan yang lalu… ada perasaan hangat di sekujur tubuhku saat menyentuh tangannya, namun kali ini rasa sensasinya bertambah setelah bulu kudukku ikut meremang. Meskipun kecewa dan merasa bodoh dengan perasaanku ini, aku tetap mengantarkan dia sampai ke depan pagar, hingga ia naik ke mobilnya dan pergi meninggalkanku dengan lambaian tangan.​


 


Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Categories

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.
You will be redirected to the script in

seconds

BTemplates.com

Blogroll

About

Copyright © Cerita Panas | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com