๐‚๐ž๐ซ๐ข๐ญ๐š ๐“๐ž๐ง๐ญ๐š๐ง๐  ๐ˆ๐ฌ๐ญ๐ซ๐ข๐ค๐ฎ ๐๐€๐‘๐“ ๐Ÿ‘๐ŸŽ ๐€๐๐€ ๐Œ๐€๐”๐๐˜๐€ ๐’๐ˆ๐‡ ❓ (๐‚)

POV VINA LAGI

Di malam ketika aku mau tertidur. Ponselku berbunyi…. Lidya! Ada apa dengan Lidya malam-malam begini? Langsung kuraih ponselku dengan perasaan gelisah tak karuan.

“Halo Lid…”, sapaku cepat-cepat kepada sahabat kesayanganku ini.

“Vin…. boleh minta tolong sampein pesen ke Koh Freddy ga Vin? mungkin kamu bisa cari tau nomornya dari orang-orang Kantor, tapi Please….. jangan kasih tau ke mereka kalau aku yang perlu nomor itu”, ucap Lidya dengan nada yang sepertinya menyimpan duka yang mendalam.

“Pesan gimana ya Lid?”, tanyaku lagi semakin bingung dan penasaran. Soal nomor sih sudah ada sebetulnya, tapi aku akan merahasiakannya pada Lidya, karena pencarian nomor tadi memang tanpa sepengetahuan dia.

“Sampein kalau aku pinjem 80 juta…. Aku perlu banget Vin…”, ujar Lidya kembali menangis. Aku biarkan dulu dia menangis sampai hatinya tenang.

“Kalau nanti nomornya udah ada, kenapa ga kamu aja yang ngomong langsung Lid? Kalo aku kan ga kenal dia…”, jawabku yang merasa segan untuk menelepon atasanku yang satu itu.

“Tolong Lid, tolong aku, kamu aja yang sampein ya Vin… aku malu Vin….. ini berat banget buatku”, ujar Lidya yang semakin membuatku bertanya-tanya, apa benar Lidya dijadikan sebagai alat pembayaran utang? Apa dia tidak mau menghubungi Koh Freddy karena sudah membuat aib perusahaan? Ohh… tidak Lid!!

“LID! Tolong untuk kali ini kamu ceritain kejadian yang sebenernya…. Kalo kamu masih anggap aku sebagai sahabat!!!”, aku mengucapkannya dengan nada tinggi dan mendesak kepada sahabatku itu. Aku memang sedikit emosi, tapi emosi ini karena rasa sayangku kepada dia, aku perlu tahu yang sebenarnya terjadi langsung dari mulut dia, bukan dari cerita yang kuterima dari orang lain yang belum tentu benar.

Lidya menangis, sempat kudengar samar-samar dia berbicara pada Kang Arief, ternyata dia sedang meminta izin pada suaminya itu untuk membicarakan masalahnya padaku, kalau tak salah dengar… Kang Arief tak setuju kalau cerita ini diberitahukan pada orang lain, namun sepertinya Lidya seperti memaksanya, sepertinya dia ingin melepaskan beban yang selama ini dia pendam sendiri.

Setelah lama aku mendengar percakapan mereka, walaupun tidak seluruhnya bisa aku dengar karena sepertinya saat Lidya berbicara dia menjauhkan posisi ponselnya, akhirnya dia bercerita kejadian yang sebenarnya kepadaku. Sebelumnya ia mewanti-wanti agar berita ini tidak tersebar kepada siapapun termasuk Koh Freddy. Lidya bercerita cukup lengkap, walaupun sepertinya masih ada yang dia sembunyikan, seperti peristiwa di Wisma itu yang tak kuceritakan padaku.

“Ini Gila, Lid!!!”, begitulah reaksi spontan diriku setelah mendengarkan ceritanya itu. Meskipun aku sudah mendengar kabar itu yang kupikir kabar angin, ternyata soal dijadikan pembayaran utang itu memang terbukti benar… Aku tak percaya ini bisa terjadi pada sahabatku.

“Koq tega-teganya sih Arief ngebiarin istrinya kaya gini tanpa melakukan usaha apapun!”, ucapku lagi yang menjadi emosi kepada suaminya, lelaki yang sempat bermain perasaan denganku itu.

“Vin…. PLEASE VIIIN!!! Jangan salah sangka sama suamiku, justru dia udah mati-matian supaya semua ini ga terjadi, dia udah berusaha Vin…. cuma emang kondisinya ga memungkinkan… ini justru inisiatif dari aku sendiri, jangan salahin suamiku, Vin…..”, jawab Lidya masih juga membela suaminya yang sangat dia cintai itu.

“Ya udah, sekarang aku cari nomor teleponnya Koh Freddy, tapi tolong kamu tulis lagi dan chat aku, soal pinjam uang berapa, hari apa jatuh tempo pembayaran ke temen suamimu itu, sama jam berapa batas akhirnya, jangan lupa juga sama nama dan nomor apartemennya, kalau-kalau aku telat dapet uang itu dan aku harus nganter langsung ke apartemen itu….. Sorry aku ga fokus tadi Lid, tulis yang lengkap ya……”, pintaku mengenai detail yang tadi dia sebutkan.

Lebih baik aku mengakhiri telepon daripada semakin emosi pada sahabatku yang selalu ‘bucin’ pada suaminya itu. Maaf Lid, bukan aku ga sayang kamu….. aku kepaksa tutup teleponnya. Aku juga sekarang ikut menangis, Lid…..

Tak berapa lama, Lidya mengirimkan chat yang cukup lengkap.

“Vin, tolong sampaikan ke Koh Freddy, aku pinjam uang 80 juta”

“Untuk lunasi utang suamiku”

“Uang itu harus udah dibayarkan paling telat hari Rabu ini”

“Jam 7 malam”

“di Apartemen N kamar 505”.

Karena waktu sudah hampir larut malam terlebih lagi aku sedang mengumpulkan keberanian untuk berbicara pada Koh Freddy. Akhirnya kuputuskan untuk menghubunginya besok pagi saat aku berada di kantor.

***​

Hari Senin ini suasana di Kantor seperti agak berbeda, tatapan orang-orang di kantor kepadaku sangat tak lazim, pandangannya seolah sedang menginterogasiku. Aku lihat mereka seperti ingin bertanya atau mengatakan sesuatu kepadaku tapi tak berani mengatakannya. Apakah berita tentang sahabatku itu sudah tersebar di kantor ini? Tentunya semua ini terjadi karena jelas mereka tahu persis… kalau aku adalah sahabat dekatnya Lidya. Ah sudahlah, lebih baik aku berpura-pura tak tahu saja, seolah-olah tak terjadi apa-apa.

Sekitar pukul setengah 10, aku izin untuk keluar sebentar… aku keluar kantor untuk mencari tempat sepi. Aku akan menelepon Koh Freddy!

“Halo Koh Freddy, selamat pagi”, ucapku ramah mengawali percakapan telepon ini dengan perasaan gundah gulana.

“Ya..”, jawab Koh Freddy singkat dengan nada yang tak bisa kutebak apakah ramah atau tidak, saking pendeknya dia berucap.

“Saya Vina dari Available Finance”, kataku memperkenalkan diri.

“Urusan kantor dibicarakan di kantor, saya lagi liburan”, jawab Koh Freddy tak ramah dan sepertinya sedang tidak ingin diganggu. Gawat kalau sampai Koh Freddy menutup teleponnya atau memblokir teleponku, jangan sampai!

“Saya sahabatnya Lidya….”, aku langsung menggunakan ‘kata kunci‘ Lidya, semoga ini menjadi bahan pertimbangannya.

“…………………………… saya ga kenal anda”, jawab Koh Freddy setelah sempat lama terdiam, mungkin tadi dia sedang berpikir.

“Lidya sedang ada masalah….”, tukasku setelah basa-basiku sudah tidak mempan, lebih baik langsung pada intinya, menyebut Lidya ada masalah…. perempuan yang dia cintai itu.

“Kenapa dia? Saya akan hubungi dia langsung”, jawab Koh Freddy mulai merespon dan sepertinya dia penasaran juga. Tapi ternyata dia langsung mematikan teleponku. HUH! Basa-basi dulu kek!!!

Aku bingung harus bagaimana, sepertinya dia sudah menelepon langsung pada Lidya, padahal Lidya sudah mewanti-wanti agar aku saja yang menghubungi Koh Freddy, tapi mau bagaimana lagi? Koh Freddy nya sendiri yang memutuskan telepon. Sudahlah, lebih baik aku kembali ke kantor dulu sambil khawatir kalau Lidya marah kepadaku. Begitu langkahku hampir sampai ke kantor, ponselku berbunyi lagi… Koh Freddy! Ah… aku harus balik lagi ke tempat sepi tadi.

“Anda jangan main-main! saya hubungi Lidya teleponnya tidak aktif!!!”, ucap Koh Freddy seperti yang marah…. Tapi benar seperti dugaanku, dia sudah penasaran, makanya dia menelepon lagi.

Ada permintaan pengaktifan kamera, Koh Freddy meminta untuk Video Call, sepertinya dia penasaran siapa aku sebenarnya atau ingin lebih jelas mendapatkan informasi dariku, aku menerima permintaan pengaktifan kamera itu.

“Anda siapa sih? Ini dimana? Sepertinya ini bukan di kantor!”, ucap Koh Freddy semakin curiga dan tak yakin aku pegawai kantornya, melihat background-ku yang memang bukan di kantor, ya.. aku memang sedang berada di sebuah gang buntu yang berada di sebelah kantor. Tapi dari seragam dan nametag-ku seharusnya Koh Freddy tahu kalau aku adalah pegawai Available Finance.

“Saya cari tempat sepi, agar berita ini tidak diketahui oleh orang Kantor…. Ini menyangkut aib Lidya dan perusahaan. Saya mohon Koh Freddy jangan dulu bertanya informasi apapun tentang Lidya… pada siapapun”, jawabku yang tiba-tiba lancar.

Koh Freddy diam, sepertinya antara percaya dan tak percaya.

“Koh Freddy bisa pulang sekarang? Cuma Koh Freddy yang bisa selamatkan Lidya!!!”, ucapku lagi setelah Koh Freddy tidak bicara apa-apa. Aku pikir untuk sekelas Koh Freddy, dia seharusnya bisa pulang kapan saja meskipun saat ini dia sedang berada di luar negeri.

“Lidya? Aib perusahaan? Tunggu saja, 5 hari lagi saya pulang”, jawab Koh Freddy yang sepertinya masih ragu dengan perkataanku tadi.

“KOH!! Kokoh sayang ga sih sama Lidya?!?!”, balasku cepat setelah mendengar waktu kepulangannya yang masih lima hari, itu jelas sangat terlambat. Nadaku sedikit tinggi, aku sudah tak peduli bahwa dia atasanku, Boss besarku… aku ingin menyelamatkan Lidya, aku katakan ini sambil menangis.

Koh Freddy hanya diam, tapi dia menatapku tajam dan seperti memperhatikan tangisanku ini apakah sungguhan atau hanya pura-pura.

“Please Koh, selamatkan Lidya…..”, ucapku memohon dengan sangat berharap sambil terus menangis.

“Ok... saya pulang besok sore, temui saya besok malam jam 8 di Resto S…. tapi apa jaminannya kalau kamu ini benar? Dan kamu tahu kan konsekuensinya kalau kamu bohongi saya?”, jawab Koh Freddy yang membuatku sangat bahagia!!! Aku pikir besok sore belumlah terlambat, dan mengenai konsekuensi yang dia ancamkan.. aku tidak takut sama sekali karena memang aku berkata jujur apa adanya.

“Saya akan kirimkan foto kartu identitas pribadi saya, jika saya bohong silahkan Koh Freddy pecat saya atau laporkan pada yang berwajib”, balasku memberikan segala upaya untuk mencoba meyakinkannya.



BACK TO POV ARIEF

Periode pemulihan, itulah aku menyebut 3 hari yang tersisa menjelang hari-H ‘eksekusi’, benar-benar kugunakan untuk memulihkan mental dari istriku. Bukan berarti aku ingin melihat istriku fit saat digauli oleh temanku itu… aku hanya ingin istriku benar-benar pulih kesehatannya. Aku khawatir setelah ‘eksekusi’ traumanya menjadi semakin parah apabila dipaksakan ketika kondisinya mentalnya masih terganggu. Karena aku rasa kejadian di hari Rabu nanti akan meninggalkan pengalaman buruk baginya.

Hari Senin, hampir tidak ada perubahan yang berarti pada istriku. Ia masih ketakutan, selalu minta ditemani, tampak gelisah, tatapannya kosong, sering melamun dan gampang kaget ketika mendengar suara apapun.. terutama suara-suara yang datang dari arah depan rumah.

Hari Selasa, sudah mulai ada perubahan, istriku mulai bisa beraktifitas mengerjakan pekerjaan rumah tangga, walaupun masih ada kaget jika mendengar suara yang keras, tapi sepertinya kali ini sudah lumayan tidak terlalu takut, dia sudah berani ke kamar kami lagi. Bahkan di hari ini aku bisa meninggalkannya sendirian di rumah, aku memang harus pergi ke warung di dekat rumah karena bahan makanan sudah habis, meski meninggalkannya pun tak lebih dari 10 menit, tapi lumayan.. ada kemajuan, dia sudah cukup berani.

Saat di warung, Bapak penjaga warung itu mengatakan di 2 hari terakhir ini, banyak orang yang mencariku.. bahkan kadang mereka berkumpul di warungnya. Bapak warung tadi curiga kalau mereka adalah debt collector dari Bank, aku iya-kan saja biar cepat. Dari situ aku semakin yakin bahwa orang-orangnya Nando itu memang selalu stand by mengawasiku di sekitar rumah setiap saat. Bahkan ketika Iwan kemarin malam menyerahkan uang hasil penjualan toko, pulangnya ia dicegat dan diinterogasi di depan Kompleks. Sepulang dari situ Iwan kemudian menelepon dan bertanya kepadaku, ada masalah apa? Aku tak mau menjawabnya, biarlah Iwan tetap berkonsetrasi pada pekerjaannya mengurus toko yang sudah hampir seminggu ini aku tinggalkan.

Sempat terpikir, apakah aku harus mengutus Iwan untuk menemui Kang Ajat di Bandung? Tapi aku mengurungkan niat itu, aku sudah memutuskan untuk membuat perhitungan dengan Nando setelah ‘kegiatan eksekusi’ selesai. Biar aku saja nanti yang menemui dan memohon bantuannya secara langsung kepada Kang Ajat.



THE LAST POV VINA

Di sebuah Resto yang berada di rooftop salah satu hotel termewah yang ada di kota ini. Pukul 8.20 malam di hari Selasa ini aku sudah berada di salah satu meja di Resto ini, bahkan aku sudah datang ke tempat ini sejak satu jam yang lalu, namun orang yang kutunggu belum juga tiba.

Sampai akhirnya dari arah belakang aku mencium harum parfum pria yang sangat menggetarkan gairahku. Lelaki itu langsung duduk di depanku. Aku sempat berdiri untuk menyalaminya namun dia memberikan gestur satu telapak tangan terbuka agar aku duduk kembali. Koh Freddy kini sudah ada di depanku, Boss besar perusahaanku.

“Langsung pada intinya, saya tidak suka basa-basi, saya telepon Lidya masih juga tidak aktif”, ucap Koh Freddy yang masih juga nadanya tak ramah kepadaku.

Aku langsung menceritakan semua hal yang terjadi pada Lidya kecuali mengenai waktu dan tempat yang akan digunakan sebagai eksekusi, meskipun Lidya sudah mengatakan jangan sampai Koh Freddy tahu… tapi maaf, aku punya cara lain yang pastinya Lidya tak akan pernah setuju.

Untuk membuat Koh Freddy menjadi percaya, aku sempat bangkit dan mendatangi tempat duduk Koh Freddy untuk memperlihatkan chat Lidya kepadaku mengenai pinjaman uang. Tapi tentu saja tak kuperlihatkan chat di bawahnya mengenai waktu dan tempat. Aku sudah punya maksud tersendiri.

Wajah Koh Freddy memerah, tampaknya dia sedang menahan kemarahan yang sangat setelah aku ceritakan nasib malang perempuan yang dikasihinya itu.

“Saya akan bertindak sekarang juga!”, ucap Koh Freddy yang sudah tak sabar ingin menyelamatkan Lidya.

Aku menggelengkan kepala, “tidak perlu buru-buru, ikuti skenario dari saya”, aku berkata dengan tenang, kuambil sebatang rokok dan membakarnya... aku tak peduli yang dihadapi adalah seorang Boss besar. Sekarang….. aku yang pegang kendali!!!

“Skenario apa? Apa-apaan ini? Apa maunya sih?!?”, ujar Koh Freddy tampak marah, menganggapku telah mempermainkannya.

“Biarkan Lidya terhina dan dijadikan alat pembayaran utang suaminya”, ucapku santai sambil menghembuskan asap rokok.

Mendengar jawaban dariku Koh Freddy langsung bangkit dan telapak tangan besarnya langsung menamparku.

PLAAAK!!!

“Brengsek, sahabat macam apa kamu?!?! Musuh dalam selimut!!!”, bentaknya kepadaku. Aku merasakan sakitnya tamparan di pipiku, tapi aku menerimanya… untuk mencapai tujuan, terkadang memerlukan rasa sakit.

“Koh, duduk dulu…. Apa yang Kokoh dapatkan jika Kokoh bertindak sekarang? Meminjamkan uang atau membereskan penagih utang itu dengan caranya Kokoh? lalu Lidya bahagia karena masalah suaminya yang tak bertanggung jawab dan brengsek itu terselesaikan… Tapi, percayalah, Lidya akan tetap terus bersama dengan suaminya, paling Kokoh hanya diberi ucapan terima kasih saja…. Kokoh tau kan betapa Lidya mencintai suaminya itu?”, aku mencoba untuk memberinya pemahaman. Laki-laki memang kalau sedang emosi inginnya langsung buru-buru saja.

Koh Freddy duduk lagi di tempatnya semula, tampaknya dia sedikit paham apa yang saya maksudkan, walaupun dari wajahnya masih juga menyimpan kemarahan kepadaku.

“Saya tulus ingin membantunya, saya sayang dia! Tidak rela jika Lidya harus begitu… Saya tak perlu imbalan apapun setelah membantunya”, jawab Koh Freddy mempertahankan maksudnya.

“Yakin? Yakin Kokoh tak menginginkan Lidya sebagai istri Kokoh? Maksudku tentang ‘menyelamatkan Lidya’ kemarin itu bukan hanya menyelamatkan Lidya dari si penagih utang saja, tapi menyelamatkan dia dari suaminya. Kokoh tega terus menerus melihat perempuan yang Kokoh sayangi itu hidup penuh penderitaan dengan suaminya seumur hidupnya? Memangnya jika nanti Kokoh jadi suami Lidya lantas ketulusan Kokoh padanya menjadi hilang? Tidak kan?.......”, balasku yang sama-sama mempertahankan maksud dan tujuan rencanaku ini.

“Jadi apa yang harus saya lakukan?”, tanya Koh Freddy yang sepertinya sudah membenarkan perkataanku, tapi dari ekspresi wajah kesal yang tak mau menatapku, juga dengan gestur genggaman kedua tangan di atas meja yang sepertinya sedang gelisah itu, masih jelas menunjukkan ego kelaki-lakian dan statusnya sebagai seorang boss. Dia sudah tahu aku yang benar dan dia akan mengikutiku, tapi tentu masih gengsi mengakuinya.

“Biarkan dulu Lidya merasa benar-benar terhina akibat ulah suaminya, sampai dia benar-benar membenci suaminya itu… lalu Kokoh datang sebagai pahlawan…. saya juga akan melakukan sesuatu agar kebencian pada suaminnya itu semakin besar…. Tidak ada yang dirugikan disini…. Kokoh bahagia, Lidya juga bahagia… happy ending”, aku mulai menjelaskan bagaimana cara kerja menjalankan rencanaku.

“Kamu akan melakukan apa dalam rencana ini? Kapan Koko harus mulai menjalankan rencanamu?”, tanya Koh Freddy lagi yang kini sudah benar-benar ada di genggamanku.

“Soal aku akan melakukan apa… biar nanti Kokoh lihat sendiri pada waktunya… Kokoh besok harus selalu stand by… tunggu arahan aku selanjutnya”, jawabku tegas seperti memerintahkan pada seorang bawahan.

“Terus apa yang kamu mau dari semua ini?”, kali ini pertanyaan Koh Freddy sepertinya mulai mengarah pada sebuah transaksi timbal balik.

“Hmmm… terlalu munafik jika aku mengatakan aku hanya tulus menginginkan sahabatku bahagia bersama Kokoh………. Serahkan posisi jabatan Lidya di perusahaan padaku, terus aku juga perlu mobil dan rumah… atau jika Kokoh ingin memberi tambahan lain, silahkan…”, jawabku dengan tenang menyebutkan bayaran yang pantas aku terima.

“Sudah kuduga, ada udang di balik batu….. kamu sudah merencanakan semua ini?!?!?”, ujar Koh Freddy kembali dengan nada tinggi. Aku menggeleng dan berani membalas balik tatapan matanya yang tajam itu.

“Tidak ada yang direncanakan, semua berjalan sesuai takdirnya….. Aku hanya memanfaatkan kesempatan ini untuk mengembalikan hak yang seharusnya aku dapatkan sejak dulu, posisi Lidya itu seharusnya aku yang pegang atas assesment Manager, aku sudah membaca namaku tertulis dalam SK Pengangkatan… namun sebelum SK itu ditandatangani…. Tiba-tiba memo dari Kokoh menganulir sepihak keputusan itu dan mengganti namaku dengan Lidya”, jawabku menceritakan sebuah kejadian di tempat kerjaku dulu.

“Hmmm, kamu dendam pada Lidya rupanya….”, tanya Koh Freddy memandangku dengan tatapan sinis. Aku lagi-lagi menggelengkan kepala.

“Tidak ada dendam sama sekali, tapi jujur aku kecewa pada keputusan Kokoh waktu itu, Lidya sendiri sampai saat ini tidak pernah tahu tentang SK pengangkatan itu… aku pun tidak pernah menceritakan hal ini kepadanya… Lidya tidak merebut posisiku, dia hanya menjalankan apa yang perusahaan sudah putuskan. Secara pribadi pun aku tak ada masalah sama sekali dengannya, dia tetap kuanggap sebagai adik, sekaligus sahabat terbaikku”, aku menjelaskan agar tidak ada kesalah pahaman.

“Tapi tidak ada pegawai yang lebih layak daripada dia, aku akan mempertahankan posisinya… kamu akan kuberi jabatan yang sama di Divisi yang lain”, ucap Koh Freddy.

“Koh, aku rasa Lidya sudah tidak akan melanjutkan pekerjaannya lagi, terlalu besar rasa malunya atas aib yang dia buat bersama suaminya itu.. dan kini aib itu sudah diketahui oleh orang-orang kantor sejak peristiwa di tempat Pelatihan itu.. kasihan dia jika terus dipaksakan bekerja disana…”, jawabku mencoba memberi Koh Freddy pengertian, ini bukan tentang soal pekerjaan, tapi tentang dampak psikologis.

“Baiklah aku bisa mengerti penjelasanmu, mengenai pekerjaan kamu dapatkan setelah rencana ini berhasil, begitu juga dengan rumah dan mobil.. Koko transfer saja uangnya biar kamu pilih sendiri. Tapi jika ini gagal… bukan saja kamu tak dapatkan itu semua, tapi kamu juga harus menanggung konsekuensinya sesuai kehendak Koko….. deal?”, ucap Koko sambil mengulurkan tangannya untuk bersalaman.

“Deal!”, jawabku sambil menyalami tangannya. Tak ada keraguan sedikit pun tentang rencana ini, meskipun Koh Freddy mengancam dengan kata ‘menanggung konsekuensi’ yang entah apa itu bentuknya, aku tidak akan mundur dengan rencanaku.

Koh Freddy bangkit dari duduknya dan meninggalkanku, tapi saat dia melangkah melewatiku yang masih duduk merokok, dia berhenti sejenak lalu dia memegangi atas kepalaku sambil sedikit mengacak rambutku.

“Thanks Vin…. Tolong temenin Koko dulu malam ini….”, ucapnya dan aku pun langsung bangkit berdiri, menggenggam tangannya dan mengikuti dia melangkah.​


 


Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Categories

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.
You will be redirected to the script in

seconds

BTemplates.com

Blogroll

About

Copyright © Cerita Panas | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com