๐‚๐ž๐ซ๐ข๐ญ๐š ๐“๐ž๐ง๐ญ๐š๐ง๐  ๐ˆ๐ฌ๐ญ๐ซ๐ข๐ค๐ฎ ๐๐š๐ซ๐ญ ๐Ÿ๐Ÿ’ [๐“๐„๐‘๐“๐ˆ๐๐†๐†๐€๐‹]

 

“Makasih ya Vin… ma’af tadi Akang sempet salah sangka sama kamu…”, ucapku dengan nada menyesal sambil menatap wajah Vina dari jarak yang cukup dekat.

Vina mengangguk sambil tersenyum manis kepadaku.

“Lain kali jangan curigaan ya Kang…. Lidya itu sayang banget sama Akang, ga mungkin dia macem-macem”, balas Vina kembali berusaha meyakinkan sambil mengelus pipiku. Tentu saja aku cukup kaget ketika Vina melakukan hal itu. Aku tidak terbiasa mendapatkan kontak fisik dari lawan jenis selain dari Lidya…. Ah semoga Lidya tak seperti Vina yaaa….!

Kemudian Vina melanjutkan sambil berbisik pelan di telingaku, “Ga bakalan mungkin Lidya selingkuh, lagian dia selalu bilang Akang ini selalu muasin…….”.

Hembusan nafas Vina saat ia berbisik membuat merinding seluruh tubuhku. Tapi apa yang diucapkan Vina tentang pengakuan Lidya ini membuat aku terperanjat.

“Emang Lidya pernah ngomong gitu? Ngarang ah… muasin apaan juga….. ga jelas!”, tanyaku setengah tak percaya dan berpura-pura tidak mengerti maksudnya.

“Bukan pernah lagi Kang, sering Lidya ngomong gitu…. ya muasin itu lah, masa udah gede harus dijelasin juga”, jawab Vina tertawa kecil sambil melirikan matanya ke arah selangkanganku.

Ya ampun Vin… ekspresinya itu loh….. meresahkan!!! Dan sebenarnya aku agak kurang percaya sih, masa iya Lidya sampai bercerita urusan ranjang?

“Eh lupa Vin.. satu lagi, kamu tau ga orang yang punya mobil sedan warna item , mobil mahal lah kurang lebih sekitar 2 milyar-an”, tanyaku karena baru ingat ada satu pertanyaan yang tertinggal.

Vina mengerutkan dahinya, seperti berpikir…. mencari data yang tersimpan dalam otaknya, lalu ia menggelengkan kepalanya pelan, tanda ia tak menemukan data itu di memorinya.

Ah sudahlah, jika sebagian besar tuduhanku pada Lidya selama ini sudah tak terbukti, maka pertanyaan terakhirku ini juga bisa dipastikan hanya sebuah kecurigaanku yang berlebihan. Anggap saja pagi itu Lidya sedang beruntung mendapatkan taxi online dengan mobil yang super mewah. Case Closed!



***



Setelah membayar billing, aku segera bangkit untuk bergegas pulang. Namun ketika Vina berdiri, dia mengaduh lalu meraih dan memegangi tanganku erat-erat, dari raut wajahnya tampak sekali ia meringis kesakitan.

“kenapa Vin, kram?”, tanyaku panik sambil tangan kiri meraih pinggul kiri Vina, sementara tangan kanan Vina sekarang kupegangi dengan tangan kananku. Maksudku untuk membuat sikap berdirinya Vina yang goyah ini menjadi stabil. Kurang lebih jadi seperti gerakan memeluk sih.

“Ga tau Kang, agak sering gini akhir-akhir ini”, jawab Vina dengan wajah yang sudah agak tenang dibandingkan tadi.

“Ya udah duduk dulu lagi aja…”, aku menawarkan pada Vina untuk kembali duduk dan tidak buru-buru.

“Ga usah Kang, ayo jalan, tapi pelan-pelan ya..”, jawab Vina dengan suara pelan dan seperti masih menahan sakit.

Akupun meraih tas olahraga Vina dan menggantungkan di pundak kananku. Masih dengan posisi berjalan ‘memeluk’ Vina.

“Eh makasih Kang…. so sweet banget”, ucap Vina mengomentariku yang membawakan tasnya…. masih sempat-sempatnya bercanda disaat langkahnya tertatih kaya gitu!

Di beberapa langkah berikutnya tampak Vina sudah agak baikan, akupun melepaskan tangan yang berada di pinggulnya. Namun tangan kanan Vina masih membelit di lenganku. Jujur saja, hanya dengan sentuhan seperti ini juga perasaanku menjadi tak karuan, penisku menegang, dan mulai timbul pikiran-pikiran mesum. Tahan Rieeef… tahaaaan… kamu sudah berkeluarga!

Sampai di titian anak tangga di luar Cafรฉ, langkah kami pun tersendat karena Vina menuruninya dengan perlahan. Bahkan langkah kami sempat terhenti dan saling bertatapan sekitar lima detik.

Untuk menetralisir keadaan dari hal yang diinginkan, akhirnya aku mencoba mengejeknya, “susah ya jalan sama nenek-nenek”. Vina pun tertawa terbahak-bahak mendengar celotehku ini.

“Biarin, nenek-nenek juga masih sexy… iya kan?”, tanya Vina yang kini sudah kembali berjalan normal tapi masih menggandeng tanganku.

“Ih kepedean amat!”, jawabku yang sudah mulai bisa cair dan tak terlalu kaku pada perempuan lain selain Lidya. Tapi kalau soal sexy, emang bener sih…. sexy banget malahan!!! Cuma aku tak mau mengakui di depan orangnya langsung.

“Kang, anterin aku pulang yah……”, pinta Vina penuh harap.

“Ya iya lah, masa malem-malem gini Akang biarin kamu pulang sendiri”, jawabku. Memang sejak awal aku sudah berniat mengantarkannya pulang. Saat itu waktu memang sudah menunjukan pukul 10 malam lebih.

Vina pun tersenyum dengan manisnya kepadaku, sebuah tanda terima kasih yang tak terucap. Malam-malam, mendapatkan senyum dari perempuan yang berjalan sambil menggandeng tanganku, membuat jantung ini berdebar kencang.

Saat kami melangkah menuju mobil, ketika itu aku sadar bahwa langkah kaki Vina sudah normal kembali, langsung aku lepas tangannya yang melingkar di lenganku.

“Udah sembuh kan?”, tanyaku sedikit khawatir kalau sikapku yang melepaskan tangannya itu akan membuat Vina menjadi canggung. Tapi ternyata tidak, Vina masih tersenyum.

“Eh iya, keenakan sih barusan, ma’af”, jawab Vina cuek.

Meskipun aku tahu Vina sedang bercanda, tapi ucapan itu kembali membuat penisku menyundul celana dalamku.

Mobil pun bergerak meninggalkan parkiran cafรฉ, entah mengapa ada suasana canggung di dalam mobil sekitar 2 menit pertama. Untuk membuat cair suasana aku mencoba kembali untuk mengobrol.

“Emang kamu sama Lidya kalo ketemu suka ngobrolin soal seks ya?”, tanyaku membuka obrolan menyambung pembahasan di cafรฉ tadi mengenai ‘aku memuaskan Lidya’.

“Iya lah…. kaya cowok-cowok ga pernah aja!!!”, jawab Vina sambil melirik ke arahku yang sedang menyetir.

Akupun tertawa mencoba untuk menandakan sikap setuju dengan apa yang diucapkannya, walaupun sebenarnya aku pribadi tidak pernah membahas kegiatan ranjang dengan teman-temanku.

“Emang bener gitu Kang… Akang selalu muasin Lidya?”, lanjut Vina seperti penasaran.

“yee… ga taau, harusnya nanyanya ke Lidya”, jawabku. Aku merasa telah salah memilih topik pembicaraan yang agak panas ini.

“Maksudkuuuu….. gimana sih cara Akang muasinnya?”, tanya Vina lagi seolah mencecarku.

Aku menoleh ke arah Vina, kupikir dia bercanda seperti biasanya, namun kali ini dia tampak serius memandangku, seperti yang menunggu jawaban.

“Kepo ah, lagian dikasih tau juga buat apa….. ga penting”, tukasku tak mau memberi jawaban tentang topik yang membuat aku menjadi salah tingkah dan berpikiran mesum ini.

“ya buat dibayangin lah…..”, jawab Vina langsung sambil tertawa terbahak-bahak.

“Dasar, ga ada kerjaan!”, balasku lagi.

“Ya ngebayangin doang Kang, masa ga boleh…….? Masa aku harus nyobain langsung suami temen sendiri?”, ucapan Vina masih dengan nada bercanda, namun kali ini kepala Vina dimajukan sedikit ke depan untuk memandang wajahku agar lebih jelas.

“Hmmmm…”, hanya itu jawabanku, tak tau harus berkata apa. Sebenarnya aku sudah tidak tahan melawan nafsu dalam diri, tapi aku masih coba melawan setiap ucapan Vina yang seolah-olah menggoda keteguhanku.

“Eh tapi salah juga sih kalo aku percaya sama Lidya tentang kepuasan mah, dia kan baru nyoba punya Akang doang…. Jadi ga tau perbandingan yang lain”, Vina nyerocos sambil tertawa, meralat pernyataannya sendiri.

“Iya lah, emangnya kamu!”, balasku, kali ini aku kembali bangga dengan ucapan Vina yang menyebut istriku itu baru mencoba seorang laki-laki saja, yaitu aku!

“Iiih Akang mah gitu sama akuuuu…..”, ujar Vina dengan nada yang tampaknya sedih dan kecewa atas ucapanku barusan.

Aku pun baru menyadari bahwa perkataanku tadi mungkin terdengar melecehkan atau merendahkan Vina, aku langsung meminta maaf pada Vina sambil refleks mengusap-usap bagian atas kepalanya.

“Maafin ya Vin, maksud Akang ga gitu…”, ucapku panik, takut Vina tersinggung. Walaupun maksud sebenarnya dalam hatiku memang begitu.

Tak lama kemudian Vina yang memang saat itu tidak memasangkan seat-belt, bergerak menuju ke arahku lalu berbisik pelan di telingaku, “ga apa-apa Kang, emang bener koq… aku mah orangnya sering gitu”.

Kami pun kemudian tertawa, aku cukup lega kalau ternyata Vina tidak marah sekaligus bertambah horny ketika Vina mengucapkan hal tersebut. Dan kembali aku memegang kepalanya, saking gemasnya kali ini aku mengacak-acak rambutnya yang membuat kepala Vina bergoyang. “Dasaaaar!!!”, ucapku pada Vina yang dibalas dengan tawanya yang renyah.

Entah horny, entah terbawa suasana, hampir saja aku akan menarik kepala Vina dan meletakkan di pundakku. Lalu aku akan belai-belai rambutnya dan mencium keningnya. Namun ah, untung saja hal itu belum terjadi, karena mobil yang kupacu dengan kecepatan sedang ini telah tiba di tujuan. Jarak antara Cafรฉ dan tempat kost Vina memang tidak terlampau jauh.

“Yuk, masuk dulu Kang…..”, tanya Vina sambil bersiap-siap untuk turun, entah basa-basi atau benar-benar mengajakku masuk. Akan tetapi aku tolak secara halus karena sudah larut malam dan aku harus segera pulang, khawatir menginggalkan Lidya sendirian di rumah, termasuk khawatir kalau aku tak bisa menahan diri jika mampir dulu ke kamar Vina.

“kirain mau enak-enak dulu”, jawab Vina datar usai mendengar penolakanku. Sepertinya bagi Vina ucapannya itu bukanlah perkataan yang tabu.

“Husss….!!!”, jawabku cepat. Rasanya gemetar seluruh tubuhku. Seperti anak bocah yang baru pertama kali diajak untuk berbuat mesum.

“Eh tapi Kang……”, ucap Vina kali ini dengan raut wajah yang mendadak berubah serius, dia juga seperti mengurungkan gerakannya untuk keluar dari mobil. Aku memandangnya sambil mengernyitkan dahi mendengar ucapan Vina yang terpotong itu.

“Ada satu yang belum aku ceritain, tentang yang terakhir Akang tanyain waktu di Cafรฉ”, ucap Vina sambil memandangku, dengan suara pelan dan rangkaian kata yang ia ucapkan terdengar sangat hati-hati.

“Tentang mobil sedan hitam itu?... sebenernya itu siapa Vin?!?!”, tanyaku cepat. Jantungku kembali dag dig dug menerka-nerka apa yang sebenarnya Vina ketahui.

Vina mengangguk pelan, “ya udah yuk, diceritainnya di dalem aja sambil enak-enak”, jawab Vina sambil membuka pintu mobil.

“eh tunggu Vin…. maksud enak-enak itu gimana yah?”, tanyaku pada Vina. Mungkin saja aku salah menerka.

“Ya masa udah penah enak-enak masih belom ngerti juga….”, jawab Vina yang salah satu kakinya sudah keluar dari mobil. Kali ini Vina berucap tanpa menoleh lagi kepadaku yang duduk di balik kemudi.

“Aku ga bisa Vin”, ucapku tegas setelah mencoba paham tentang ‘enak-enak’ yang dimaksud Vina. Aku coba mempertahankan kesetiaanku pada seorang istri yang kini sedang menungguku di rumah.

“Ya udah Kang, aku juga ga maksa koq”, balas Vina yang sudah berdiri di luar mobil namun pintu mobilku masih terbuka.

Vina langsung menutup pintu mobil namun dengan cepat aku langsung memiringkan tubuh dan kutahan pintu mobil itu. “Kamu beneran tau tentang mobil sedan hitam itu?!?!”, tanyaku sambil menahan pintu mobil agar tak tertutup, karena kepenasaranan yang sangat besar, maka saat itu nadaku agak meninggi.

Vina menatapku sambil tersenyum tanpa menjawab, kemudian dengan cuek ia meninggalkanku yang masih di dalam mobil. Ia langkahkan kakinya masuk ke bangunan kost-nya. Tapi ia sempat menoleh lagi ke arahku sambil menggerak-gerakan jari telunjuknya, ekspresi menggoda agar aku mengikutinya.

Aku hanya terdiam terpaku ketika melihat Vina berjalan terus ke arah kamar kost-nya tanpa menoleh lagi ke belakang. Ia masuk ke kamar yang berbentuk seperti paviliun, letaknya berada di paling depan, mungkin dulunya bekas garasi mobil. Kamar Vina itu jauh terpisah dengan bangunan kost utama bertingkat dua, terhalang lahan parkir yang cukup luas.

Aku benar-benar penasaran ingin mengetahui tentang informasi yang tertinggal ini. Ada apa dengan Lidya dan mobil sedan hitam itu? tapi jujur aku tidak bisa mengabulkan apa yang Vina mau. Perang batin kembali berkecamuk dalam hatiku.​



Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Categories

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.
You will be redirected to the script in

seconds

BTemplates.com

Blogroll

About

Copyright © Cerita Panas | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com