𝐂𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚 𝐓𝐞𝐧𝐭𝐚𝐧𝐠 𝐈𝐬𝐭𝐫𝐢𝐤𝐮 𝐏𝐚𝐫𝐭 𝟕 [𝐌𝐀𝐈𝐍 𝐀𝐌𝐀𝐍]


Aku terbangun di sebuah ruangan gelap, “ah sial.. aku ketiduran. Lampu-lampu belum dinyalakan!”, gumamku masih keadaan belum sadar 100%. Setelah kunyalakan seluruh lampu di rumahku kulihat jam sudah menunjukan pukul setengah 7 malam.


“Mah…. Maaah!!”, aku memanggil-manggil istriku dan mencarinya ke dalam kamar dan juga kamar mandi, namun tak kutemui sosoknya. Aku memaki diriku sendiri, mengapa aku terlalu bodoh, sudah tahu lampu tadi gelap, sudah barang tentu istriku belum pulang!!!

Aku ingat ucapan Lidya di hari kemarin kalau ia akan pulang jam 5 sore, tapi kini sudah satu jam setengah melebihi waktu kepulangan sesuai janjinya. Aku ambil bungkusan rokok yang disembunyikan di salah satu jaketku yang tergantung di kamar. Tadinya aku memang perokok berat, tapi setelah pendapatanku menurun, aku merasa malu untuk merokok di rumah apalagi depan istriku, walaupun tak ada larangan dari dia. Cuma ya malu saja, udah ga punya uang masih ‘bakar-bakar uang’. Tapi malam ini dengan segala kekalutanku, aku sulut sebatang rokok dan kuhisap di ruang tamuku.

Aku pilih ruangan ini karena letaknya paling depan sehingga dari kaca jendela besarnya aku bisa tahu kalau istriku pulang. Aku coba kembali menghubungi nomor ponselnya, tapi masih tidak aktif. Aku gelisah, benar-benar gelisah, kemana perginya istriku ini?

Sambil menghisap rokok dalam-dalam aku mondar-mandir di dalam rumahku sendiri. Aku yakin, seyakin-yakinnya kalau istriku memang berselingkuh. Mungkin kini dia sedang berada di kamar hotel, apakah dia tidak akan pulang malam ini? Atau jangan-jangan ia tak akan pernah kembali lagi ke rumah ini, yang masih menyisakan angsuran 12 tahun lagi? Mungkin ia memilih berbahagia dan melepas beban bersama lelaki tampan gagah rupawan pemilik mobil seharga 2 M. Cuiiiih!!!

TIK TEK TIK TEK TIK TEK TIK TEK

Suara detak jarum jam dinding seolah sedang mengolok-olokku yang gelisah sepanjang hari. Jam 7 ia belum pulang, jam 8 belum juga pulang. Jam 9, aku masih tetap berada di ruang tamuku. Jujur, harapanku semakin menipis akan kedatangan Lidya, tapi aku masih berharap istri kesayanganku itu pulang, apapun yang telah dia lakukan, akan aku terima dengan lapang dada. Meskipun sangat sakit dikhianati, tapi bagiku ditinggalkan untuk selamanya jauh lebih sakit.

Setiap kendaraan yang melintas di depan rumahku membuat kepalaku menoleh ke arah jendela. Aku berharap itu Lidya. Tapi yang kutunggu tak kunjung tiba.

Sampai pukul sepuluh malam kurang delapan menit akhirnya sebuah minibus berwarna silver berhenti di depan rumahku. Sepertinya taxi online, karena kali ini yang datang adalah jenis mobil sejuta umat. Aku kegirangan, istriku pulang!!!

Namun rasa bahagiaku hanya sesaat, berganti dengan gemuruh yang kembali bergejolak di dalam dada. Tak ada tanda-tanda orang turun dari mobil itu. Sekitar 2 menit, atau mungkin itu berlebihan karena aku tidak memegang stopwatch. Yang pasti terasa lama olehku….. oleh aku yang sedang menunggu seseorang yang paling aku cintai.

Entah perasaanku saja atau benar ini terjadi, aku melihat mobil yang terhenti itu sedikit bergoyang…. pelan. Aku coba memperhatikan lagi lebih seksama, ah entahlah.

Setelah goyangan misterius (sumpah aku tak bisa memastikan apakah mobil goyang itu benar atau tidak), kemudian memang benar Lidya yang turun dari mobil itu, namun lagi-lagi mengapa dia duduk di kursi depan?

Setelah Lidya menuruni mobil, pintunya masih belum ia tutup. Lalu setengah tubuhnya kembali masuk ke dalam mobil itu dengan posisi tubuh Lidya sedikit condong ke dalam, sehingga aku bisa melihat setengah bulatan pantat indah Lidya, setengah lagi terhalang oleh pintu mobil. Tidak terlalu lama Lidya berbuat seperti itu, sampai akhirnya ia menutup pintu mobil dan langsung melangkah masuk ke halaman rumah.

Dari kaca jendela jelas terlihat wajahnya lelah, langkahnya pun tak sesemangat saat ia pergi. Mengapa ‘selingkuhannya’ berganti mobil? Jika benar si Mr. X berganti mobil, rasanya terlalu jomplang antara mobil yang tadi pagi dengan mobil yang barusan aku lihat. Ah suka-suka si Mr. X lah, kenapa harus aku pikirin? Atau jangan-jangan….. beda laki-laki, Ah Lidyaaa!!!

Lidya membuka pintu rumah, aku sudah berdiri di baliknya sambil menatap tajam wajahnya. Aku memang senang dengan kepulangannya, tapi rasa kesal terlalu tebal menyelimutiku. Melihat ekspresi wajahku yang tampak marah, Lidya langsung memelukku sambil berucap manja, “Papaaah ma’aaaaf”.

“Darimana aja jam segini baru pulang?”, aku bertanya secara tegas. Ketegasan yang hampir tak pernah aku tampakkan selama beberapa bulan terakhir. Aku memang tidak punya uang, tapi demi mempertahankan harga diri sebagai seorang kepala rumah tangga... rasanya malam ini aku harus berani bertindak tegas.

“Iya nanti aku cerita, aku mandi dulu yaaa?”, Lidya meminta izin masih dengan posisi memelukku erat. “Papah, udah makan?”, lanjut Lidya dengan mengangkat wajahnya yang letih, sorot mata sayu itu kini menatapku. Kami bertatapan, tapi aku masih menampakkan wajah kesal.

“Udah! ya udah sana mandi dulu”, jawabku dengan nada ketus, aku melepaskan pelukannya dengan sedikit memaksa. Aku berbalik menuju ruang TV, kunyalakan televisi berpura-pura menonton walau sebenarnya pikiranku masih dilanda kekalutan.

Lidya yang seharusnya masuk ke kamar untuk mandi malah kembali menghampiriku, kali ini dia bersimpuh dihadapanku yang sedang duduk di sofa. Lidya menggenggam kedua tanganku dan menciuminya berkali-kali. Kulihat dari sudut bola matanya tampak menetes butiran air mata.

“Udah sana, katanya mau mandi?”, aku masih belum menurunkan tensi bicaraku.

Lidya kembali mencium tanganku tiga kali lagi, kemudian tanpa berbicara ia langkahkan kakinya pelan untuk masuk kedalam kamar.

Sekitar 10 menit kemudian aku menyusulnya, tampaknya dia masih mandi. Aku lalu menyenderkan tubuhku di kepala tempat tidur, menunggu istriku selesai mandi. Pikiran kotorku kembali mendatangi, Lidya istriku mungkin sedang membersihkan bekas sperma yang berceceran di vagina dan tubuhnya. Bangsat!

Istriku keluar kamar mandi dengan berbalut handuk. Setengah bagian atas payudaranya terlihat menyembul. Lidya tersenyum manis ke arahku, kali ini sudah tidak ada butir air mata seperti yang ia perlihatkan saat tadi dia memohon maaf.

Aku tak menghiraukan senyumannya, tapi konsentrasi memperhatikan setiap inchi tubuh istriku yang aku lihat jelas dari tempatku bersandar, aku tidak menemukan tanda merah sisa ‘pertempuran’ atau apapun di tubuhnya yang putih mulus itu. Hmmmm, main aman rupanya…..​

BERSAMBUNG


 


Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Categories

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.
You will be redirected to the script in

seconds

BTemplates.com

Blogroll

About

Copyright © Cerita Panas | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com