๐Ÿ๐ŸŽ๐ŸŽ๐Ÿ ๐Š๐ˆ๐’๐€๐‡ ๐”๐’๐“๐€๐™๐€๐‡ ๐๐š๐ ๐ข๐š๐ง ๐Ÿ๐Ÿ‘๐š: ๐๐ž๐ฌ๐ญ๐š ๐”๐ฅ๐ญ๐š๐ก ๐”๐ฌ๐ญ๐š๐ณ๐š๐ก ๐€๐ฆ๐ข๐ง๐š๐ก

 Ustazah Aminah menatap kertas putih dengan coretan warna merah itu sambil meraba kepalanya yang akhir-akhir ini semakin pusing. Saat itu dua hari setelah dia pergi ke pengobatan alternatif bersama umi lilik dan dia masih belum mengambil keputusan langkah apa yang akan dia ambil. Dia masih bimbang. Kemarin dia sudah mengunjungi umi lilik, berdebat panjang dengannya yang intinya umi lilik mendukung keputusan pengobatan alternatif itu.


“Di satu sisi antum kan tidak mau, umi, jelas, ana juga tak bakalan mau dalam kondisi biasa, tapi ingat bahwa ini mungkin satu-satunya cara supaya antum sembuh. Ustaz karim sudah berangkat, kan? Nah, ana yakin penyakit pusing di kepala antum akan semakin menjadi-jadi juga karena antum sudah tak memiliki pelindung sama sekali. Jadi kalau menurut ana ini merupakan satu-satunya pilihan buruk di antara beberapa yang paling buruk.”

Ustazah Aminah diam. Lalu dia mengangkat kepalanya sambil berkata ragu, “Tapi....masa sama Alif, umi, anak kandung ana. Sama pria lain pun haram, apalagi sama anak kandung sendiri, makin haram itu.”

“Aisshhh,” Umi Lilik mengibaskan tangannya. “Ingat bahwa darurat itu membolehkan segala yang haram. Antum pasti sudah paham itu.”

Umi Aminah semakin menunduk.

“Sambil diminum tehnya, umi,” Umi Lilik mencoba mencairkan suasana. Didahuluinya mengambil gelas teh. Umi Aminah menyusul. Umi Lilik tersenyum dalam hatinya. Sesuai petunjuk Alif, dirinya sudah mencampurkan obat perangsang juga ke dalam teh umi Aminah.

“Emm, umi,” Umi Aminah berkata dengan ragu. “Kalaupun misalnya ana mengambil saran pengobatan ini, gimana menurut umi langkah-langkahnya?”

“Begini, antum sudah ngobrol dengan Alif belum, umi?” Umi Lilik malah balas bertanya.

“Be..belum, umi, ana malu.” Umi Aminah nampak gelisah.

“Nah, menurut ana sebaiknya antum sesegera mungkin ngobrolin ini dulu sama Alif. Hal semacam ini tak mungkin diobrolin melalui perantara. Yang perlu diobrolkan itu misalnya kesediaan dia ataupun masalah peraturan yang harus disepakati antara kalian berdua. Toh ini kan hanya untuk pengobatan, jadi hubungan antum dengan Alif jelas tidak sesederhana hubungan suami istri antara antum dengan ustaz karim.”

Saran Umi Lilik terdengar sangat bijak di telinga umi Aminah. Meski demikian, hati kecilnya jelas menduga bahwa Alif dengan senang hati akan menyetujuinya. Demikian juga dirasakannya dalam dirinya ada keinginan yang kuat untuk menggunakan momen ini supaya dia dapat menikmati kontol Alif anak kandungnya itu dalam keadaan sadar. Dengan kata lain, jika sekarang dia nampak ogah-ogahan di depan umi Lilik, dia hanyalah membangun imej supaya dirinya tidak terkesan murahan. Dia membutuhkan dukungan sehingga seolah-olah dirinya mau menuruti saran pengobatan itu setelah mendapatkan saran tambahan dari umi Lilik.

Di sisi lain, Umi Aminah juga berpikir bahwa selain nanti pusing di kepalanya bisa sembuh, dia juga bisa sekalian menuruti saran Ustazah Lia supaya anaknya nanti tidak terjerumus pada pelacuran yang kotor.

“Baiklah, umi, nanti ana akan ngobrolin ini dulu dengan Alif.” Akhirnya umi Aminah mengambil keputusan.

“Nahh, begitu, ana ikut bahagia jika sakit antum kemudian sembuh.” Umi Lilik tersenyum senang. “Oya, umi sebaiknya nanti kawin kontrak saja, umi, untuk mengurangi dosa.”

“Kawin kontrak?” Umi Aminah bertanya heran. Setahunya dari kepartaian kemarin kemarin pernah menggalang demonstrasi menolak praktek itu saat musim-musimnya isu tentangnya merebak. “Bukannya itu tak boleh, umi?”

“Sekali lagi, umi, ini kondisi darurat. Daripada nanti antum hukumnya zina, kan lebih baik kawin kontrak.”

“Sama anak kandung ana, umi?” Ada desir gairah di dada umi Aminah hanya membayangkan pun.

Umi Lilik mengangguk. “Iya, umi, nanti diputuskan saja durasinya empat minggu, sesuai saran pengobatan itu. Nah, yang namanya kawin kontrak nanti yang penting itu ada saksi. Antum bisa ngambil ustazah dari asrama saja untuk jadi saksi, dua orang misalnya. Biar kisah antum ini nantinya tidak tersebar keluar.”

Umi Aminah mengangguk-angguk paham. Dia tambah lega karena berpikir bahwa setidaknya dia tidak berzina tapi melakukan kawin kontrak yang legal. Tinggal berpikir siapa nanti yang akan dia jadikan saksi. Pikiran pertama dia jelas ke ustazah lia, yang kedua mungkin ustazah raudah. Walau bagaimanapun keduanya adalah dua ustazah yang paling dekat dengannya.


“Umi,” lamunan Umi Aminah buyar oleh suara sapaan Alif. Alif saat itu sudah ada di dekatnya, mengenakan baju rapi dan langsung duduk di depannya. “Ada apa umi kok kelihatannya serius banget memanggil Alif.”

Umi Aminah menghela nafas dalam-dalam sebelum kemudian dia berkata. “Alif enggak sibuk kan?”

“Ah, Alif sibuk pun kalau buat umi pasti ada waktu kok,”

“Serius sayang,” sahut ustazah Aminah sambil memasang mimik serius.

“Iya umi, nih Alif santey-santey gini kok,” jawab Alif. “Serius banget umi, Alif jadi deg-degan.”

Ustazah Aminah kembali menghela nafasnya. “Umi butuh bantuanmu, sayang.”

“Oke, mi, bantuan apapun pasti Alif berikan kalau untuk umi.” Sahut Alif. “Alif sayang umi.” Ditatapnya ibu kandungnya itu dengan tatapan seperti ingin menelanjangi.

Ustazah Aminah menelan ludahnya. “Serius? Apapun?”

“Apapun, umi.” Alif mengangguk untuk menegaskan ucapannya.

“Mmm, bagaimana kalau umi minta Alif nikah sama umi?” Ustazah Aminah menatap anaknya lekat-lekat. Untuk sesaat, seperti orang yang mempertimbangkan dengan seksama kata-katanya, Alif terdiam. Dibalasnya tatapan umi aminah.

“Maksud umi?” Akhirnya dia malah balas bertanya.

“Iya umi minta Alif nikah sama umi.”

“Sebentar, sebentar, Alif agak bingung.” Jawab Alif meski dalam hatinya dia bersorak gembira. “Kan Alif putra kandung umi nih, emang boleh nikah sama umi? Lagipula nikahnya model apa mi?”

Ustazah Aminah menghela nafasnya. “Ini darurat, Lif, kondisi darurat membolehkan apapun. Nanti model nikahnya nikah kontrak saja, empat minggu. Umi sudah ngobrol sama umi lilik katanya bisa seperti itu.”

Alif tampak merenung. “Tujuannya apa umi?”

Ustazah Aminah lalu menceritakan kisah saran pengobatan dari pak sarjito. Ditambahinya pula dengan hasil obrolannya dengan umi lilik hamidah. Juga beberapa konsep nikah kontrak yang sudah dia pelajari tadi.

“Oh begitu,” Alif mengangguk-angguk. “Jadi Alif nikah kontrak empat minggu dengan umi untuk pengobatan mi?”

“Iya sayang.”

“Dan nikahnya ini model nikah seperti umi sama abi, jadi kalau empat minggu terus umi sembuh ya sudah gitu ya mi?”

“Iya sayang. Tentu saja jangan sampai abi tahu. Kalau kata umi lilik nanti nikahnya hanya ada dua saksi saja. Umi rencananya minta bantuan ustazah raudah sama ustazah lia, tapi umi belum ngubungi mereka.”

Kembali Alif mengangguk-angguk. Dia tampak berpikir.

“Nanti tentu saja umi sama Alif seperti suami istri biasanya. Nanti emmm,” ustazah aminah sedikit malu menyebut ngentot. “umi sama alif bersetubuh juga, justru itu aspek yang paling penting.”

Alif menatap ibu kandungnya lekat-lekat.

“Tapi tentunya tanpa nafsu, sayang, hanya buat pengobatan.” Sambung ustazah aminah buru-buru untuk menutupi rasa malunya. Dadanya berdesir.

“Baiklah mi,” akhirnya Alif menjawab mengiyakan.

Wajah ustazah aminah menjadi cerah. “Makasih sayang, makasih banyak ya.”

“Alif akan ngelakuin apapun supaya umi sehat,” jawab Alif. Senyum mengembang di bibirnya. “Ada bulan madunya enggak mi?” tanyanya dengan nada bercanda.

“Husss,” ustazah aminah tersenyum. Dia menggerakkan tangannya hendak menepuk pipi Alif. Alif menangkap tangan itu. lalu ucapnya, “ehh, belum mahram,” lalu dilepaskannya tangan itu. ustazah aminah dan Alif tertawa bareng. Keduanya sudah seperti sepasang kekasih saja. Entah kenapa ustazah aminah pun merasa ada desir-desir cinta dalam hatinya yang tumbuh kian subur.

“Kalau Alif sudah setuju berarti umi tinggal ngubungi ustazah lia sama ustazah raudah,” ustazah aminah kembali berkata, mencoba menutupi desir-desir dalam dadanya. “Tapi mereka berdua sih pasti mau juga kok bantu umi.”

“Iya mi, menurut Alif juga begitu.”

“Tentu saja kisah ini jangan sampai tersebar keluar ya sayang, biar kita saja yang tahu, sama umi lilik.”

“Baik mi, beres deh,” jawab Alif. “Kapan rencananya, emm, nikahnya mi?”

“Kapan ya kalau menurut Alif?” Ustazah Aminah balas bertanya.

“Selasa saja gimana mi?”

“Lha kenapa selasa?”

“Gak kenapa-kenapa,” jawab Alif sambil mengedipkan matanya menggoda. “Atau umi mau cepat-cepat?”

“Husshhh,” lagi-lagi umi aminah hendak menepuk pipi Alif. “Kamu ini,” sambungnya sambil tersenyum. “Oke deh hari selasa. Biar ada persiapan juga.”

“Hehe, iya mi. Mending umi langsung sekarang manggil ustazah raudah sama ustazah lia mi, biar cepat beres semuanya.”

Ustazah Aminah mengangguk. “iya sayang, ini udah umi minta ke sini kok, nah, tuhh,” saat itu terdengar ucapan salam dan ketukan di pintu kamar. Dari kaca jendela nampak dua sosok ustazah asrama syahamah berdiri di depan pintu. Alif langsung bangkit dan beranjak pergi ke kamarnya, sementara ustazah aminah pun bangkit dan berjalan ke pintu, dibukakannya pintu dan disuruhnya kedua ustazah itu masuk.

Hari Selasa.

Tak ada yang beda dengan asrama syahamah saat itu. para ukhti penghuninya melakukan aktifitas seperti biasa. Yang sedikit berbeda mungkin adalah suasana kamar ustazah aminah. Saat itu jam setengah tujuh malam, di kamarnya ustazah aminah sudah berdandan rapi meski tetap dengan style seorang ustazah. Terus terang dia sedikit deg-degan karena hari ini dia akan menikah dengan anak kandungnya sendiri.

Saat mandi, diraba-rabanya jembutnya yang sudah tumbuh lebat. Dia bimbang antara mencukurnya atau tidak. jika mengikuti pengalamannya saat menikah dengan ustaz karim dulu, maka dia harus mencukur rapi jembutnya. Akan tetapi dia mendadak teringat malam ketika disetubuhinya anaknya saat tidur. Ada kenikmatan tersendiri saat bulu-bulunya menyentuh-nyentuh selangkangan anaknya. Dibayangkannya anak kandungnya itu menjilatinya jembutnya sampai basah...

Akhirnya dibiarkannya jembutnya seperti itu, hanya dicucinya bersih-bersih supaya tidak semrawut dan juga berbau harum. Dia menghabiskan waktu di kamar mandinya lebih lama dari biasanya. Entahlah, dia merasa dirinya seperti perawan yang akan menikah dengan pemuda idaman hatinya.

Lalu dikenakannya gamis kombornya yang berwarna hijau tua, senada dengan warna kerudung lebar sepinggang yang dia kenakan. Nampak sederhana tapi natural. Sebagai seorang ustazah, tak lupa dipakainya kaus kaki warna cokelat menutupi betisnya. Kacamata berbingkai merah tua yang dikenakannya juga membuat paras keibuannya kelihatan tanpa mengurangi kecantikannya. Dipakainya wangi-wangian sekadarnya.

“Tok tok tok,” ada ketukan di pintu.

“Masuk,” jawab ustazah aminah pendek.

Ustazah Raudah dan Ustazah Lia masuk. Keduanya menatap ustazah Aminah lekat-lekat. “Umi cantik sekali,” seru mereka dengan nada kagum. Ustazah Aminah tersipu malu. “Udah tua begini,” komentarnya.

“Umi gak kelihatan tua kok,” goda ustazah lia.

“Husshh, kalian ini, ukhti-ukhti yang suka menggoda. Dosa lho menggoda umi,” jawab ustazah aminah sambil diiringi tawa. Diam-diam dia merasa bangga juga disebut cantik oleh kedua ustazah itu.

“Ayo ke Aula, umi, acara sudah siap.” Lanjut Ustazah Raudah. Kemudian keduanya menggandeng Ustazah Aminah ke Aula yang biasanya dijadikan tempat kajian keagamaan. Ternyata Alif sudah berada lebih dulu di sana.

Malam itu aula sudah ditata oleh para ukhti asrama syahamah. Di depan ada dua kursi mewah yang biasanya dipakai dalam momen-momen tertentu misalnya ketika diskusi di sana mengundang pembicara orang penting. Di depannya diletakkan meja kayu berukir dari Jepara. Alif duduk di salah satu kursi yang ada, kemudian Ustazah Aminah juga duduk di kursi yang kosong di sisinya.

Memang ketika ustazah raudah dan ustazah lia dipanggil oleh Ustazah Aminah untuk mengobrolkan kawin kontraknya dan meminta mereka berdua menjadi saksi, keduanya malah memberi usul bahwa kawin ibu dan anak itu dilakukan di aula saja dengan disaksikan para ukhti semuanya.

“Lha umi Cuma kuatir kalau nanti ada yang mempermasalahkan, ukhti, kan ini kawin yang tidak lazim. Bahaya kalau sampai bocor ke luar misalnya, nama baik umi dipertaruhkan.” Begitu semula ustazah aminah menolak.

Kedua ustazah itu saling berpandangan. “Santai umi, bisa dikondisikan,” sahut mereka hampir berbarengan. Setelah beradu argumen beberapa saat, akhirnya ustazah aminah setuju setelah kembali kedua ustazah kepercayaannya itu memberikan jaminan bahwa acara itu tak akan sampai bocor ke luar asrama.

Maka ketika ustazah aminah masuk ke aula, para ukhti semuanya sudah ada di sana. Terhitung ada lima belas ukhti saat itu, termasuk ustazah raudah dan ustazah lia. Sebenarnya keseluruhan penghuni asrama syahamah saat itu adalah enam belas orang, akan tetapi satu orang ukhti sedang mudik.

Justru ukhti yang sedang mudik itulah yang sebenarnya berpotensi menentang dan ribut soal kawin kontrak ini. Namanya ukhti Nani Hidayanti. Ukhti Nani asli Rembang. Dia termasuk yang paling kritis selama ini dan seringkali berdebat dengan ustazah raudah tentang banyak hal khususnya yang berkaitan dengan ajaran agama. Andai sang ukhti tidak sedang mudik maka ustazah raudah dan ustazah lia pun tak akan berani menyarankan nikah kontrak itu diselenggarakan terbuka di aula.

“Para ukhti semuanya, diharap tenang dan mengikuti acara ini dengan tenang.” Demikian sambil berdiri ustazah raudah memulai acara. Semua ukhti yang hadir langsung duduk tenang memandang ke depan. Beberapa menundukkan kepala.

“Sebagaimana ana sudah obrolkan dengan antum semua, malam ini adalah acara kawin kontrak antara umi aminah, ibu kita, dengan Alif Nazarudin. Ana sudah menerangkan panjang lebar tentang kebolehannya, dan sebagaimana kita sudah sepakat, antum semua malam ini menjadi saksi. Bagaimana hadirin semua? Siap?”

“Siaaaappp,” begitu para ukhti menjawab berbarengan. Memang kepatuhan para ukhti pada ustazah aminah sangat tinggi. Sang ustazah sudah mereka anggap ibu mereka dan juga orang yang lebih alim dari mereka. Jadi, apapun yang dikatakan benar oleh sang umi pasti mereka anggap benar juga tanpa butuh alasan.

Lalu dimulailah resepsi kawin kontrak itu dengan bersahaja. Alif menyebutkan masa kawin kontrak itu, dan juga beberapa detail lainnya sesuai dengan tuntunan yang sudah diberikan oleh umi Lilik. Acara kawin kontrak memang sederhana dan mudah, maka hanya setengah jam kemudian, keduanya sudah resmi menjadi suami istri. Tanpa sadar ustazah aminah merasa matanya berkaca-kaca. Terharu. Refleks dipeluknya Alif kuat-kuat.

“Sttt, umi, umi,” bisik Alif sambil berusaha melepaskan pelukan istrinya itu dengan halus.

Terdengar deheman dari ustazah Raudah. Beberapa ukhti yang hadir tersenyum. Ustazah Aminah pun sadar. Dilepaskannya pelukannya dengan wajah bersemu merah. Kepalanya menunduk untuk beberapa saat. Bibirnya menyunggingkan senyum malu-malu.

“Nah, hadirin sekalian.” Ustazah Raudah kembali melanjutkan. “Kini setelah acara akad nikah selesai, kita masuk ke acara selanjutnya.” Ustazah Raudah memberi isyarat dan dua ukhti yang duduk paling belakang, Ukhti Rakhma Nurjanah dan Ukhti Novi Setyowati kemudian beranjak ke luar dari aula.

Ustazah Aminah menoleh ke arah Alif dengan pandangan bertanya-tanya. Dia memang tidak tahu apa sebenarnya acara selanjutnya. Alif hanya senyum-senyum. Demikian juga ustazah raudah dan ustazah lia.

Tak lama, ukhti rakhma dan ukhti novi pun masuk kembali sambil membawa kue besar dengan lilin di atasnya. Mereka berdua meletakkannya di meja depan sang ustazah. Ustazah aminah menatap kue itu dengan mata terbelalak. Dia baru ingat bahwa hari ini adalah hari ulang tahunnya. Pikirannya terlalu tersita oleh acara kawin kontrak sampai dia lupa memikirkan hal itu. ternyata itulah sebenarnya yang menjadi alasan Alif menyodorkan hari selasa itu sebagai hari resepsi. Dengan demikian setiap ultah ustazah aminah akan selalu diperingati sebagai hari pernikahannya juga dengan anak kandungnya itu.

Alif mendahului berdiri. Ustazah Aminah refleks mengikuti. Ustazah Raudah mengarahkan ustazah aminah untuk menyalakan lilin di atas kue. Setelah semuanya menyala, lampu aula pun dimatikan. Suasana di sana hening.

Alif memegang tangan uminya. Keduanya berdiri berhadapan, saling memandang, suasana menjadi sangat romantis. Lalu Alif berbisik mesra, “selamat ulang tahun umi, wanita yang tak pernah menua.”

Umi Aminah tak sanggup berkata apapun. Rasa haru terasa mengganjal tenggorokannya. Diremasnya tangan alif yang menggenggamnya, berharap bahwa itu sudah cukup sebagai jawaban bahwa dirinya malam itu merasa sangat bahagia.

Lalu tibalah acara tiup lilin. Para ukhti serempak menyanyikan lagu selamat ulang tahun berbahasa Arab dengan dipimpin ustazah lia dan ustazah raudah. Lalu ustazah aminah pun meniup lilin itu. potongan kue yang dipotongnya tentu saja dipersembahkannya untuk Alif Nazarudin, suaminya sekaligus anak kandungnya itu.

Lampu sudah kembali menyala. Ustazah Raudah kembali mengambil alih acara.

“Nah, kawan-kawanku para ukhti asrama syahamah, acara selanjutnya adalah pesta. Silahkan menikmati minuman dan makanan yang sudah kami sediakan sepuasnya.”

Para ukhti bersorak gembira. Mereka kemudian berebutan maju ke depan menyalami ustazah aminah sambil mengucapkan selamat ulang tahun. Alif berdiri mendampingi ustazah aminah sambil senyum-senyum sementara matanya diam-diam menilai fisik para ukhti, mengamati wajah-wajah mereka yang manis dan menggairahkan dengan sensasi alim yang menyembunyikan keliaran mereka.

Acara formal itu sudah selesai. Mereka keluar dari aula dan duduk-duduk di halaman. Memang struktur bangunan asrama syahamah dibuat melingkar sehingga ada halaman yang luas dan kosong sebagai taman berumput di tengah-tengah. Di sana sudah tersedia banyak cool box berisi beragam minuman, sudah ada pula meja-meja yang berisi beragam kue. Kue ulang tahun ustazah aminah pun diboyong ke sana dan menjadi santapan utama para ukhti.

Ustazah Aminah dan Alif berdiri di samping aula mengamati para ukhti yang sedang bergembira. Tangan keduanya saling menggenggam. Hangat.

“Asyik ya umi?” kata Alif.

“Iya sayang, malam ini umi bahagia sekali,” jawab ustazah aminah.

“Alif ikut bahagia kalau umi bahagia,”

Alif meremas tangan ustazah aminah sambil menatapnya mesra. Ustazah aminah tersipu malu. Kemudian disandarkannya kepalanya di bahu Alif. Dadanya berdebar-debar penuh dengan kebahagiaan dan juga gairah.

Ternyata ustazah Raudah pun sudah menyediakan kembang api. Maka malam itu di langit asrama syahamah nampak percikan-percikan kembang api yang nampak indah membuat orang-orang yang melihatnya di luar asrama syahamah sempat bertanya-tanya pula tentang acara apa sebenarnya yang ada di sana. Akan tetapi karena asrama syahamah memang sudah tenar sebagai asrama para ukhti yang alim-alim, maka tak ada yang berprasangka buruk.

Di pojok yang gelap, dekat kamar nomor 14, ukhti novi dan ukhti rakhma nampak duduk di lantai yang sudah ditutupi karpet kecil. Ukhti rakhma duduk bersandar di dinding. Kamar 14 adalah kamar ukhti novi, sedangkan kamar 15 adalah kamar ukhti rakhma. Ukhti novi nampak sedang menenggak isi botol sementara ukhti rakhma mengamatinya sambil senyum-senyum.

“Ahhh, coba asrama ini pesta terus kaya gini ya ukh,” kata ukhti novi sambil meletakkan botol itu di hadapannya.

“Hihihi, yah besok-besok kita usulin saja ke ustazah raudah sama ustazah lia,” timpal ukhti rakhma. Diambilnya botol yang tadi diletakkan ukhti novi. Ternyata itu botol pilsener. Dingin. Dilekatkannya mulut botol itu, kemudian mulut botol yang tadi dikulum ukhti novi dijilat-jilatnya. Matanya sayu menatap ukhti novi yang juga sedang memandangnya.

Ustazah Aminah tentu saja tidak tahu bahwa minuman yang ada di coolbox di taman itu bukan hanya teh botol, sprite, fanta, coca cola saja melainkan juga pilsener dan juga bir bintang. Itu merupakan inisiatif ustazah raudah dan ustazah lia dengan dibantu oleh para ukhti yang lain. Mereka semua sudah sepakat bahwa pesta malam itu segala hal dibebaskan tanpa kecuali.

“Ukhhh,” bisik ukhti rakhma.

Ukhti novi meresponnya dengan meraih tangan ukhti rakhma. Diremas-remasnya lalu ditariknya tubuh ukhti rakhma bersandar ke tubuhnya. Lalu lututnya diangkat sehingga posisi dia duduk dengan lutut seperti akan dia peluk. Ukhti rakhma paham. Diletakkannya punggungnya di lutut ukhti novi. Keduanya saling bertatapan. Nafas mereka berdua mulai memburu.

“Kamu menggairahkan sekali malam ini ukhti,” bisik ukhti novi. Bibirnya nampak bergetar. Jemari ukhti rakhma menyentuh-nyentuh bibir itu dengan lembut. Lalu perlahan wajah ukhti novi mendekat dan kemudian bibir keduanya saling melumat.

“Nghhhhhh,” ukhti rakhma mendesah di selama lumatan bibir ukhti novi. Tangan ukhti novi meremas-remas payudara ukhti rakhma yang membusung indah. Tubuh itu menggeliat-geliat seperti cacing kepanasan sementara mulut keduanya makin liar saling melumat.

“Ehem ehemm,” terdengar deheman di dekat mereka. Tersentak mereka melepaskan kuluman bibir mereka dan berbarengan menoleh ke arah sosok yang mendehem tadi. Nampak ustazah raudah berdiri sambil tersenyum menatap mereka.

“Kalian ini malah mojok, gelap-gelapan, pacaran lagi,” ucapnya sambil duduk di depan mereka. Diambilnya botol yang tergeletak dan diminumnya isinya.

“Hihi, iya ustazah, mumpung bebas,” sahut ukhti novi sambil mengedipkan matanya. Ustazah raudah tersenyum membalasnya.

“Rencana malam ini sukses. Bantu terus ya buat malam-malam selanjutnya biar sering-sering kaya gini.”

“Siiip pokoknya. Coba dari dulu ustazah ngobrol sama kita-kita ini.” Ukhti rakhma kini yang menjawab. Diacungkannya jempolnya.

“Hehe, lha kalian kan nampak alim banget. Bahaya kalau ustazah ini asal ngomong kan, harus nyelidiki dulu.” Jawab ustazah raudah santai. “Oya, kalian hati-hati ya, memadu kasihnya nanti saja setelah umi aminah sudah masuk kamar.” Mereka bertiga menatap ke ustazah aminah dan alif yang nampak berdiri mengamati para ukhti di taman. Nampak sesekali mereka tertawa-tawa.

Ukhti novi tak menjawab. Dirogohnya saku gamisnya, lalu dikeluarkannya sebungkus rokok. “Ngisep dulu ustazah.” Disulutnya satu batang. A Mild.

Ustazah Raudah membelalakkan matanya. “Kalian ini! Nakal sekali awas ya ukhti-ukhti nakal harus dihukum!” tapi di ujung perkataannya dia tertawa. Lalu dia pamit mau nyamperin ustazah aminah dulu, sekadar mengobrol-ngobrol, ditinggalkannya kembali ukhti rakhma dan novi berduaan di kegelapan depan kamar mereka yang lampunya sengaja tidak dinyalakan.

Setelah ngobrol beberapa lama dengan ustazah raudah dan ustazah lia, ustazah Aminah kemudian pamit dan mempersilahkan para ukhti untuk meneruskan berpesta. “Besok gak jamaah gak apa-apa, libur dulu ya satu hari,” ucapnya disambut oleh sorakan para ukhti.

Lalu Ustazah Aminah pergi melangkah berdampingan bersama alif menuju kamar mereka. kedua tangan mereka saling menggenggam. Dicubitnya pinggang alif pelan saat didengarnya komentar guyonan ustazah raudah yang mengatakan, “tidak usah ana antar ke kamar kan umi?”

Alif hanya menggeliat sedikit, diketatkannya genggamannya di tangan ustazah aminah. Saat itu jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam.


Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Categories

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.
You will be redirected to the script in

seconds

BTemplates.com

Blogroll

About

Copyright © Cerita Panas | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com